Saturday, March 24, 2007

Orang-orang yang Ditangkap di Yogya Terkait Kasus Poso
Jum'at, 23 Maret 2007 20:06 WIB

TEMPO Interaktif, Solo: Dugaan polisi tentang bahan peledak yang ditemukan di ukoharjo, Jawa Tengah, berkaitan dengan kasus Poso kian mendekati kebenaran. Polisi memastikan, tersangka yang bernama Anang Mujadid alias Brekele alias Saiful alias Anam alias Joko, terkait kasus Poso. Tersangka selama ini diburu karena sudah dimasukan dalam daftar pencarian orang.Brekele adalah satu dari tujuh tersangka yang ditangkap polisi di yogyakarta, Selasa lalu. "Dia sempat dibawa pulang ke rumahnya di Temanggung," kata seorang perwira polisi Polda Jawa Tengah, kepada TEMPO, Jum'at (23/3).Tersangka saat ini mendapat tengah dirawat di RS Bayangkara Yogyakarta. Bahunya cedera setelah diterjang timah panas petugas. Belum diketahui secara jelas, penembakan terhadap Anang itu terjadi Yogyakarta atau di Temanggung saat dia digiring polisi menunjukan rumahnya. "Anang memang sempat dibawa ke rumahnya untuk mencari beberapa barang bukti yang mungkin disimpan di rumahnya," kata sumber tersebut.Anang Mujadid tinggal di rumah kontrakkan bersama isteri dan dua anaknya di Dusun Kebonsalak, Desa Purwosari, Kecamatan Kranggan, Temanggung. Menurut sumber yang sama, Anang sebenarnya berasal dari Palembang. Dia tinggal di Jawa sebagai perantau dan beberapa tahun lalu pergi ke Poso.Perwira Menengah di Polda Jawa Tengah tersebut meyakini mereka yang sudah ditangkap merupakan jaringan teroris di Poso. Dia mengatakan senjata api rakitan maupun organik --M-16 dan pistol revolver -- yang ditemukan merupakan persenjataan yang digunakan untuk peperangan di daerah konflik. Sumber itu menduga barang itu akan dikirim ke Poso namun karena aparat di Poso memperketat keluar masuk daerahnya, pengiriman itu tertunda. "Dari Semarang dulu dikirim bahan peledak atas nama Hasyim, tapi sampai sekarang belum diketahui pengirim sebenarnya," ujar sumber tadiImron Rosyid

Komentar, 24 Maret 2007
Surat wasiat teroris ditemukan Densus 88
Teroris Sleman Pemasok Bom Poso

Aksi terorisme di Poso yang selama ini misteri, makin terkuak satu persatu. Setelah sejumlah pelakunya tertangkap, kini agen pemasok bom di Poso, terungkap. Ternyata penyuplainya adalah jaringan teroris di Sleman yang berhasil dibekuk Densus 88. “Berdasarkan keterangan para tersangka teror, di-peroleh keterangan bahan peledak yang digunakan di Poso dan sekitarnya, mereka jaringan. Namanya jaringan, jalurnya bisa bolak-balik. Mana yang membutuhkan, di-supply,” kata Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto di Mabes Polri, Jumat (23/03).Sementara itu, Densus 88 dan Puslabfor Mabes Polri sendiri menggeledah rumah Sutarjo, salah satu tersangka teroris yang dibekuk di Sle-man. Di rumah itu polisi juga menemukan amunisi dan bahan peledak.Penggeledahan rumah yang beralamat di RT 4 RW 7, dusun Temulus, Desa Pondok, Kecama-tan Grogol, Sukoharjo itu dila-kukan pada pukul 17.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB, Kamis (22/03) lalu. Polisi juga menga-jak serta sejumlah pengurus kampung, seperti kepala desa, ketua RT dan RW setempat un-tuk menjadi saksi.Menurut Ketua RT 4 Agus Is-wanto, rumah Sutarjo dalam keadaan kosong. Selama ini Su-tarjo dan keluarganya tinggal di rumah mertuanya yang juga berada di Dusun Temulus.“Saat penggeledahan istri Sutarjo, Sri Suyani, juga dimin-ta datang. Tapi dia menolak hadir,” kata Agus. Menurut Agus, dalam penggeledahan itu polisi menemukan sejumlah barang berbahaya seperti, 550 gram TNT, satu jeriken cairan (belum diketahui jenisnya), satu kantong detonator, 2 magazin 2 senpi laras panjang, dan 2 senpi laras pendek.“Senpi dan magazin disita dari lemari. Sedangkan TNT dan cairan itu ditemukan di rak dapur,” tutur Agus. Sutarjo di-duga salah satu anggota kom-plotan teroris yang ditangkap di Sleman Yogyakarta. Kediaman Sutarjo diketahui berdasarkan nomor sepeda motor Honda Supra AD 3701 AT yang di sita dari lokasi penyergapan. Menariknya, selain menemu-kan senjata api dan bahan peledak, Densus 88 Mabes Polri juga menemukan surat wasiat Sutarjo. Surat berisi 7 butir pesan itu ditulis dengan tulisan tangan. Hal tersebut diung-kapkan Agus Iswanto, Ketua RT 4, Dusun Temulus, Desa Pon-dok, Kecamatan Grogol, Suko-harjo. Agus menjadi saksi dalam penggeledahan yang dilakukan tim Densus 88 Mabes Polri.“Dalam surat wasiat tersebut ada 7 butir pesan Sutarjo. Tapi yang saya ingat cuma dua,” ujar Agus di saat ditemui wartawan, kemarin. Dua butir wasiat Sutarjo itu adalah: 1. Andai saya mati, istriku jangan bingung. Dan anak-anak biarkan menentukan hidupnya sendiri. 2. Andai aku mati belum beristri, seluruh hartaku aku serahkan kepada adik-adikku.Mengenai sosok Sutarjo, Agus mengatakan, pria tersebut selama ini sangat tertutup. Dia jarang sekali bergaul dengan sesama warga Dusun Temulus. Berbagai aktivitasnya lebih banyak dilakukan di luar desa.“Baru setahun belakangan ini dia agak mau berbaur dengan warga. Sedangkan istrinya sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan warga,” ujar Agus.Untuk menafkahi keluarga-nya, Suparjo sehari-hari mem-buka bengkel sepeda. Sesekali dia juga mengisi berbagai fo-rum pengajian sebagai pence-ramah.(dtc/zal)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Kapolda Sulteng: 11 DPO Poso Sangat Berbahaya

Polisi memeriksa bahan baku bom yang ditemukan dalam penggerebekan di Sukoharjo, Kamis (22/3). [Foto: AP/Ali Lutfi]
[PALU] Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Pol Badrodin Haiti menyatakan, 11 tersangka kasus Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri dan belum tertangkap, keberadaan mereka sangat berbahaya. Mereka pandai merakit bahan-bahan peledak pemusnah massal seperti bom dan senjata api.
"Kalau ada warga masyarakat yang mengetahui keberadaan mereka mohon segera laporkan ke kepolisian terdekat agar mereka bisa segera ditangkap," ujar Badrodin seusai berbicara pada seminar "Pemberitaan Pers untuk Poso Damai" yang dilaksanakan komunitas wartawan unit Pemprov Sulteng, Kamis (22/3), di Palu.
Ke 11 DPO adalah sisa dari 29 DPO Poso yang belum tertangkap. Sebanyak 21 orang sudah berhasil ditangkap atau menyerahkan diri ke Polres Poso dan Polda Sulteng.
Disebutkan, salah satu dari 11 DPO yang belum tertangkap yang sangat berbahaya, yakni Taufik Baruga alias Upik atau juga dikenal sebagai Upik Lawanga.
Pria asal Poso ini sangat pandai merakit bom sekelas Mujadid alias Brekele, DPO Poso yang ditangkap di Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (21/3) malam. (Pembaruan, Kamis, 22/3).
Mujadid, sampai saat ini masih dirawat di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Salah satu kakinya luka parah akibat ditembak polisi karena melawan saat akan ditangkap. "Tersangka juga memiliki senjata dan saat hendak ditangkap mencoba melawan petugas sehingga ia terpaksa kita lumpuhkan," katanya.
Melarikan Diri
Ke 11 DPO, menurut Badrodin, sebagian sudah melarikan diri ke Pulau Jawa dan Sumatera. Yang masih bersembunyi di Poso tinggal kurang dari delapan orang, tapi lainnya sudah lari ke Jawa dan Sumatera.
Para DPO itu melarikan diri pascapenggerebekan polisi tanggal 11 dan 22 Januari di Kelurahan Gebang Rejo dan Kayamanya, Poso Kota. Mereka lari melalui jalur laut pakai motor katinting.
"Mereka melewati hutan pegunungan kemudian tembus di Tokorondo Poso Pesisir. Dari situ mereka naik katinting menuju pelabuhan di Palu dan lari ke Jawa dengan naik kapal laut," katanya.
Mengenai keberadaan beberapa oknum yang mengaku- ngaku sebagai guru agama (ustaz) di Poso tapi ternyata diduga menjadi otak pelaku aksi-aksi kekerasan, menurut Badrodin, mereka juga masih dicari. "Mereka juga jadi target pengejaran kita. Mereka itu otak di balik aksi-aksi kekerasan di Poso," tegasnya.
Polisi saat ini tengah menyelidiki keberadaan dokter Agus, seorang yang selama ini juga diduga terlibat kasus-kasus kekerasan Poso. Agus yang memberikan nasihat kepada para pelaku yang hendak meledakkan bom di Pasar Tentena Mei 2005. Dalam kejadian itu 22 orang tewas dan 50 orang lainnya terluka.
Situasi keamanan di Poso, lanjut Badrodin, sudah semakin membaik. Secara bertahap aparat yang diperbantukan men- jaga keamanan Poso mulai di- tarik. "Kita sudah tarik 1 satuan setingkat kompi (SSK) Brimob, dan mungkin akan ditarik lagi 2 SSK dan diganti dengan pasukan lain," katanya.
Sementara itu, berita penyergapan yang dilakukan Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri, Selasa (20/3) malam, nyaris tak diketahui oleh warga di RT 04/RW 06, Kelurahan Banjardowo, Kecamatan Genuk, Semarang. Padahal, surat kabar dan televisi cukup gencar memberitakannya.
Warga yang ditemui rata-rata mengaku tak tahu jika salah satu tersangka teroris yang tertembak kakinya dalam penyergapan di Depok, Sleman itu, adalah Suparjo, tetangga mereka. "Oh, orang yang tertangkap itu Suparjo, tho? Bukan Suparjo yang lain?'' ujar Asbat, salah seorang tetangganya, saat ditemui wartawan di rumahnya, Kamis (22/3).
Bagi Asbat, Suparjo, yang juga punya nama Sarwo Edi, dikenal sebagai orang baik-baik. Meski, ayah lima anak itu cenderung tertutup dengan warga di kampungnya. "Orangnya baik, kalau dengan tetangga juga bertegur sapa, tapi tak pernah mau ikut kumpulan dengan warga. Istrinya juga begitu, kalau diminta ikut kegiatan PKK atau posyandu menolak," ujarnya.
Suparjo, sehari-hari dikenal bekerja sebagai guru di SMP Mahad Islam di Jalan Citarum, Semarang Timur. Pria berperawakan tinggi besar itu juga dikenal sebagai guru bela diri tae kwon do. Warga tak tahu persis kapan Suparjo terlibat dalam kelompok terorisme.
Yang diingatnya, sekitar tahun 2003, Suparjo tiba-tiba saja menghilang bersama keluarganya, tanpa pamit kepada warga. Belakangan, ada warga yang tahu kalau dia pindah ke Muntilan, Magelang. [128/142/070]
Last modified: 22/3/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Kapolda Sulteng: 11 DPO Poso Sangat Berbahaya

Polisi memeriksa bahan baku bom yang ditemukan dalam penggerebekan di Sukoharjo, Kamis (22/3). [Foto: AP/Ali Lutfi]
[PALU] Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Pol Badrodin Haiti menyatakan, 11 tersangka kasus Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri dan belum tertangkap, keberadaan mereka sangat berbahaya. Mereka pandai merakit bahan-bahan peledak pemusnah massal seperti bom dan senjata api.
"Kalau ada warga masyarakat yang mengetahui keberadaan mereka mohon segera laporkan ke kepolisian terdekat agar mereka bisa segera ditangkap," ujar Badrodin seusai berbicara pada seminar "Pemberitaan Pers untuk Poso Damai" yang dilaksanakan komunitas wartawan unit Pemprov Sulteng, Kamis (22/3), di Palu.
Ke 11 DPO adalah sisa dari 29 DPO Poso yang belum tertangkap. Sebanyak 21 orang sudah berhasil ditangkap atau menyerahkan diri ke Polres Poso dan Polda Sulteng.
Disebutkan, salah satu dari 11 DPO yang belum tertangkap yang sangat berbahaya, yakni Taufik Baruga alias Upik atau juga dikenal sebagai Upik Lawanga.
Pria asal Poso ini sangat pandai merakit bom sekelas Mujadid alias Brekele, DPO Poso yang ditangkap di Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (21/3) malam. (Pembaruan, Kamis, 22/3).
Mujadid, sampai saat ini masih dirawat di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Salah satu kakinya luka parah akibat ditembak polisi karena melawan saat akan ditangkap. "Tersangka juga memiliki senjata dan saat hendak ditangkap mencoba melawan petugas sehingga ia terpaksa kita lumpuhkan," katanya.
Melarikan Diri
Ke 11 DPO, menurut Badrodin, sebagian sudah melarikan diri ke Pulau Jawa dan Sumatera. Yang masih bersembunyi di Poso tinggal kurang dari delapan orang, tapi lainnya sudah lari ke Jawa dan Sumatera.
Para DPO itu melarikan diri pascapenggerebekan polisi tanggal 11 dan 22 Januari di Kelurahan Gebang Rejo dan Kayamanya, Poso Kota. Mereka lari melalui jalur laut pakai motor katinting.
"Mereka melewati hutan pegunungan kemudian tembus di Tokorondo Poso Pesisir. Dari situ mereka naik katinting menuju pelabuhan di Palu dan lari ke Jawa dengan naik kapal laut," katanya.
Mengenai keberadaan beberapa oknum yang mengaku- ngaku sebagai guru agama (ustaz) di Poso tapi ternyata diduga menjadi otak pelaku aksi-aksi kekerasan, menurut Badrodin, mereka juga masih dicari. "Mereka juga jadi target pengejaran kita. Mereka itu otak di balik aksi-aksi kekerasan di Poso," tegasnya.
Polisi saat ini tengah menyelidiki keberadaan dokter Agus, seorang yang selama ini juga diduga terlibat kasus-kasus kekerasan Poso. Agus yang memberikan nasihat kepada para pelaku yang hendak meledakkan bom di Pasar Tentena Mei 2005. Dalam kejadian itu 22 orang tewas dan 50 orang lainnya terluka.
Situasi keamanan di Poso, lanjut Badrodin, sudah semakin membaik. Secara bertahap aparat yang diperbantukan men- jaga keamanan Poso mulai di- tarik. "Kita sudah tarik 1 satuan setingkat kompi (SSK) Brimob, dan mungkin akan ditarik lagi 2 SSK dan diganti dengan pasukan lain," katanya.
Sementara itu, berita penyergapan yang dilakukan Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri, Selasa (20/3) malam, nyaris tak diketahui oleh warga di RT 04/RW 06, Kelurahan Banjardowo, Kecamatan Genuk, Semarang. Padahal, surat kabar dan televisi cukup gencar memberitakannya.
Warga yang ditemui rata-rata mengaku tak tahu jika salah satu tersangka teroris yang tertembak kakinya dalam penyergapan di Depok, Sleman itu, adalah Suparjo, tetangga mereka. "Oh, orang yang tertangkap itu Suparjo, tho? Bukan Suparjo yang lain?'' ujar Asbat, salah seorang tetangganya, saat ditemui wartawan di rumahnya, Kamis (22/3).
Bagi Asbat, Suparjo, yang juga punya nama Sarwo Edi, dikenal sebagai orang baik-baik. Meski, ayah lima anak itu cenderung tertutup dengan warga di kampungnya. "Orangnya baik, kalau dengan tetangga juga bertegur sapa, tapi tak pernah mau ikut kumpulan dengan warga. Istrinya juga begitu, kalau diminta ikut kegiatan PKK atau posyandu menolak," ujarnya.
Suparjo, sehari-hari dikenal bekerja sebagai guru di SMP Mahad Islam di Jalan Citarum, Semarang Timur. Pria berperawakan tinggi besar itu juga dikenal sebagai guru bela diri tae kwon do. Warga tak tahu persis kapan Suparjo terlibat dalam kelompok terorisme.
Yang diingatnya, sekitar tahun 2003, Suparjo tiba-tiba saja menghilang bersama keluarganya, tanpa pamit kepada warga. Belakangan, ada warga yang tahu kalau dia pindah ke Muntilan, Magelang. [128/142/070]
Last modified: 22/3/07

Friday, March 23, 2007

Komentar, 23 Maret 2007
Seorang anak sembuhkan ratusan orang di Poso
Batasina: Tuhan Yang Memberi Karunia

Pucuk Pimpinan KGPM Gbel Tedius Batasina, Rabu (21/03) menegaskan, dalam teologi Kristen mujizat dapat terjadi atas kehendak Allah. Karena Tuhan teleh memakai orang-orang yang diberi karunia. Seperti halnya yang dialami gadis cilik berusia delapan tahun bernama Selvin Bungge, asal Desa Meko di Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso (Sulteng) yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan ratusan orang sakit.Ia mengatakan, artinya segala sumber mujizat itu sesungguhnya berasal dari Allah, dan dikirimkan dalam bentuk karunia kepada orang-orang tertentu. Namun demikian, katanya yang terpenting adalah, bagaimana keimanan kita secara total terfokus kepada Tuhan. Sebab, manusia hanyalah alat. “Maka, keyakinan tentang mujizat yang terutama adalah, kepada siapa kita menyembah dan percaya. Tentunya, tidak bukan tidak lain hanyalah kepada Tuhan semata. Sebab, kita tahu bahwa Tuhan adalah segala-galanya. Dan dalam kasus ini Tuhan, telah membantu umatnya dengan memakai perantara,” jelasnya. Pastor Fred Tawaluyan menilai, penyembuhan di Poso hendaknya ‘dibaca’ sebagai sapaan Tuhan terhadap umatnya lewat peristiwa alam. Karena atas pelbagai dan banyak cara, kesempatan dan waktu Tuhan ingin menegur kita. Untuk itu, menurutnya, hal yang perlu dipertanyakan, apakah kita peka ? sebab, katanya hal seperti ini jangan terlalu cepat dinilai sebagai mujizat. Mungkin saudara kita, adik kecil mendapat karisma / anugerah khusus dari Tuhan untuk membantu orang banyak, seperti halnya menyembuhkan berbagai penyakit atau yang lainnya. Ia mengatakan, dan baru sekarang disadari dan diketahui. “Kalau peristiwa itu terjadi di luar batas kemanusiaan dan diimani sebagai peristiwa ‘ilahi’ barulah pantas disebut mujizat. Tapi, kalau memang ada iman, maka mujizat itu pasti mungkin,” ujarnya.Presiden of Asia Fellowship of Mission 21 Partner Churches / Vice President of International Synod of Mission 21 Pdt Dr Nico Gara MA berpendapat bahwa, Tuhan bisa memakai apa saja, dana siapa saja untuk melakukan / menjankan kehendaknya. Seperti contoh kasus di Poso menurutnya, Tuhan telah memakai gadis perantara gadis cilik untuk menjalankan kehendaknya, yaitu membantu menyembuhkan orang sakit. “Sebenarnya, tidak ada hal yang aneh, karena mujizat itu juga terjadi kepada setiap manusia,” ucapnya. Ia mencontohkan, seperti halnya kelebihan yang dimiliki oleh seorang dokter yang telah menyembuhkan orang sakit, menurutnya juga merupakan mujizat, dan atas karunianya ia memiliki keahlian khusus. Senada dikatakan Ketua Bamag Manado Pdt Johan Manampiring. Menurutnya, kita harus percaya segala mujizat itu selalu ada dan akan terjadi dalam kehidupan nyata manusia. “Yang pasti, mujizat merupakan suatu hal yang harus kita syukuri. Karena, kita telah diberi kelebihan tersendiri. Dan kita harus ingat dibalik kelebihan / hal yang menonjol yang kita miliki, jangan menjadikan diri kita menjadi sombong, angkuh. Namun harus diingat, semua terjadi karena Tuhan,” tegasnya.(aan)

Komentar, 23 Maret 2007
Kisah mujizat dari Desa Meko (3)
Keluarga Turang: Mujizat Tuhan Memang Terjadi…..

IMAN lahir dari pendengaran akan Firman Yesus Kristus. Itulah yang diyakini Keluarga Tu-rang-Wuisan. Saat dihubungi Komentar via telepon Kamis (22/03) kemarin, Ibu Helmy Wuisan sedikit terkejut dan tak menyangka kalau kabar perubahan kondisi suaminya usai mengikuti doa di Desa Meko diketahui harian ini. Dengan sukacita iman Ibu Helmy menceritakan apa yang dialami suaminya.“Memang suami saya (Wel-lem Turang) menderita kom-plikasi berbagai penyakit, te-tapi usai mengikuti doa dan penyerahan di Desa Meko yang dipimpin Selvin, ada pe-rubahan mencolok yang diala-mi suami saya. Ini iman kami, jika kami sungguh-sungguh percaya dan menyerahkan sungguh-sungguh kehidupan di tangan Yesus Kristus pasti kami akan mengecapi berkat kesembuhan, meski tidak lang-sung sembuh total tapi ada perubahan besar terjadi pada suami saya,” ceritanya.Namun Ibu Helmy meng-akui, mujizat kesembuhan benar-benar terjadi di Desa Meko. Sebab dirinya melihat langsung seorang nenek yang sudah buta, meski tak dija-mah lewat doa khusus oleh Selvin, tapi karena nenek itu sungguh-sungguh dalam pu-jian dan penyembahan serta penyerahan penuh kepada Tuhan Yesus, mujizat dikeca-pinya. “Nenek yang buta itu lang-sung melihat dan saya me-nyaksikan sendiri apa yang terjadi, meski tak langsung dijamah dan didoakan tetapi suasana mujizat di Desa Meko itu benar-benar nyata dan ne-nek itu merasakannya,” tu-kasnya.Di akhir pembicaraan Ibu Helmy justru mengatakan, untuk membuktikan apa yang terjadi, sebaiknya melihat langsung di Desa Meko. “Anda akan melihat dari berbagai latar belakang suku, ras dan agama berkumpul untuk melihat kemurahan Tuhan yang terjadi,” katanya meng-akhiri pembicaraan. Kisah nyata penyembuhan yang dilakukan gadis cilik, Selvin Bungge, terhadap orang-orang sakit di Desa Meko, Kabupaten Poso, de-ngan cepat meluas dan men-jadi buah bibir, tidak hanya se Sulteng dan Sulut, melain-kan di sejumlah daerah se-Indonesia. Tak heran, orang yang datang di Meko, ada yang berasal dari berbagai daerah di luar Sulawesi. Redaksi koran ini juga me-nerima sejumlah telepon dari pembaca yang menanyakan tentang penyembuhan di Meko. Sementara kalangan rohaniawan Kristen Sulut ketika diwawancarai menga-mini bahwa mujizat itu da-tang dari Allah dan kadang menggunakan perantara manusia, dan salah satunya Selvin, gadis cilik berumur 8 tahun. Pucuk Pimpinan KGPM Gbl. Tedius Batasina menerang-kan, dalam teologi Kristen, mujizat dapat terjadi atas kehendak Allah. Tuhan me-makai orang-orang yang di-beri karunia. Seperti halnya yang dialami gadis cilik berusia delapan tahun ber-nama Selvin Bungge, asal Desa Meko di Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso (Sulteng) yang memiliki kemampuan untuk menyem-buhkan banyak orang sakit.‘’Segala sumber mujizat itu sesungguhnya berasal dari Allah, dan dikirimkan dalam bentuk karunia kepada orang-orang tertentu. Namun demikian, yang terpenting adalah, bagaimana keimanan kita secara total terfokus kepada Tuhan. Sebab, manu-sia hanyalah alat. Keyakinan tentang mujizat yang ter-utama adalah kepada siapa kita menyembah dan percaya. Tentunya, tidak bukan tidak lain hanyalah kepada Tuhan semata. Sebab, kita tahu bah-wa Tuhan adalah segala-ga-lanya. Dan dalam kasus ini Tuhan, telah membantu umatnya dengan memakai perantara,” jelasnya. Sedangkan Pastor Fred Tawaluyan menilai, pe-nyembuhan di Poso hen-daknya dibaca sebagai sa-paan Tuhan terhadap umat-nya lewat peristiwa alam. Karena atas pelbagai dan ba-nyak cara, kesempatan dan waktu, Tuhan ingin menegur kita. Untuk itu, menurutnya, hal yang perlu dipertanyakan, apakah kita peka? Sebab, katanya, hal seperti ini jangan terlalu cepat dinilai sebagai mujizat. Mungkin saudara kita, adik kecil tersbut, men-dapat kharisma dan anugerah khusus dari Tuhan untuk membantu orang banyak, seperti halnya menyem-buhkan berbagai penyakit atau yang lainnya. “Kalau peristiwa itu terjadi di luar batas kemanusiaan dan diimani sebagai peristiwa ilahi, pantas disebut mujizat. Tapi, kalau memang ada iman, maka mujizat itu pasti mungkin,” ujarnya.Presiden of Asia Fellowship of Mission 21 Partner Churches / Vice President of International Synod of Mission 21, Pdt Dr Nico Gara MA berpendapat bahwa, Tuhan bisa memakai apa saja dan siapa saja untuk mela-kukan dan menjankan ke-hendakNya. Seperti contoh kasus di Poso, menurutnya, Tuhan telah memakai perantara gadis cilik untuk menjalankan kehendakNya, yaitu memban-tu menyembuhkan orang sakit. “Sebenarnya tidak ada hal yang aneh, karena mujizat itu juga terjadi kepada setiap manusia,” ucapnya. Ia mencontohkan, seperti halnya kelebihan yang di-miliki oleh seorang dokter yang telah menyembuhkan orang sakit, menurutnya juga merupakan mujizat, dan atas karunianya ia memiliki ke-ahlian khusus. Senada dikatakan Ketua Bamag Manado Pdt Johan Manampiring. Menurutnya, kita harus percaya segala mujizat itu selalu ada dan akan terjadi dalam kehidupan nyata manusia. “Yang pasti, mujizat merupakan suatu hal yang harus kita syukuri. Ka-rena, kita telah diberi kelebi-han tersendiri. Dan kita harus ingat di balik kelebihan dan hal yang menonjol yang kita miliki, jangan menjadikan diri kita menjadi sombong, ang-kuh. Namun harus diingat, semua terjadi karena Tuhan,” tegasnya.(irv/aan/habis)

Komentar, 23 Maret 2007
Prof Dapu: Putusan hakim tidak mewakili rasa keadilan
Vonis Hasanuddin Belum Setimpal Perbuatannya

Vonis 20 tahun penjara terhadap pelaku pemenggalan tiga siswi Kristen di Poso, Hasanuddin, yang diputuskan PN Jakarta Pusat Rabu (21/03) lalu, mengundang reaksi keras sejumlah kalangan, termasuk politisi dan akademisi hukum Sulut. Mereka menilai hukuman itu belum setimpal dengan perbuatan sadis yang telah dilakukannya.“Tibo cs tidak terbukti mela-kukan pembantaian tapi di-vonis mati. Tapi Hasanuddin yang jelas-jelas terbukti melakukan pemenggalan, hanya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Ini bukti hu-kum di Indonesia tidak dida-sari atas prinsip keadilan, tapi pilih kasih,” tukas Anggota F-PDS DPRD Sulut, Pdt Belhein Ninia STh, kemarin (22/03).Menurutnya, vonis 20 tahun penjara kepada Hasanuddin menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak lagi objektif dalam menerapkan aturan yang berlaku. Sehing-ga sudah sewajarnya jika ke-putusan PN Jakarta Pusat pa-tut dipertanyakan. “Kaum mi-noritas akan terus dirugikan sepanjang hukum tidak didasari atas prinsip keadilan. Inilah yang sekarang terjadi di Indonesia,” ujarnya.Senada dikatakan Wakil Ketua DPRD Sulut dari Fraksi PDS, Ny Rosye Pandegiroth Roe-roe. Menurutnya, vonis 20 ta-hun penjara kepada Hasanud-din jelas sangat tidak setimpal dan terkesan sarat dengan ke-san subjektif. “Masa pelaku pe-menggalan kepala tiga orang siswi hanya dijatuhi vonis 20 ta-hun penjara. Kalau begitu sank-sinya, saya kira tidak akan me-nimbulkan efek jera. Malah sa-ya khawatir, kasus serupa bu-kannya berkurang tapi justru semakin banyak,” katanya. Kritikan tajam juga disam-paikan akademisi Unsrat, Prof Adolf Dapu SH, Toar Palilingan SH dan Novi Kolinug SH. “Saya bukan penganut teori pemba-lasan. Tapi, putusan yang dijatuhkan hakim tak mewakili rasa keadilan. Dengan sejumlah tindak pidana yakni terorisme dan pembunuhan yang melekat pada Hasanu-ddin, undang-undang menga-tur ancamannya adalah hu-kuman mati. So, mestinya Hasanuddin divonis mati, sesuai hukuman yang tertinggi,” tegas Dapu, mantan Dekan Fakultas Hukum Unsrat ini.Menurutnya, rasa keadilan memang relatif. Bagi keluarga terpidana mungkin putusan 20 tahun itu sudah adil. Tapi jika disampling, tentu tidak bagi ma-syarakat umum. Dapu juga tak mengingkari bahwa ada kepen-tingan tertentu di balik sidang Hasanuddin. “Namun, meski kasus seperti ini sarat kepenti-ngan politik, seharusnya hakim dalam memutus suatu perkara menjauhkan diri dari berbagai kepentingan itu,” imbuhnya.Senada ditegaskan praktisi hukum Novi Kolinug SH, bah-wa tak ada keadilan dalam pu-tusan hakim kasus tersebut. “Hakim telah melakukan pemi-hakan hukum bagi kalangan minoritas dan pertimbangan-nya sangat jelas dipengaruhi kepentingan politik yang besar dari pusat. Melihat biadabnya perbuatan Hasanuddin, harus-nya ia divonis mati. Berkaca dari kasus Tibo cs yang justru banyak celah hukum dan tak terbukti, hukuman bagi Hasa-nuddin, sangat tidak seban-ding,” tandas Kolinug yang juga Deputi Hukum Dewan Pim-pinan Tonaas (DPT) Brigade Manguni ini.Saking kecewanya, Kolinug menyatakan bila hukuman mati itu hanya diberlakukan bagi kalangan minoritas, maka hapuskan saja hukuman mati dari KUHP. “Kalau vonis hakim untuk pemihakan, karena seakan hanya berlaku bagi minoritas, maka hilangkan saja hukuman mati itu agar adil. Sebab vonis itu sangat ringan untuk seorang dalang teroris Poso dan terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan sadis,” papar Kolinug.Sementara pengamat Hukum Toar Palilingan SH mengung-kap, pihaknya sangat meng-hargai keputusan hakim. Namun, vonis terhadap Ha-sanuddin terbilang ringan. “Pu-tusan hakim ini sangat disesalkan. Bila dikhawatirkan vonis mati akan ditentang kalangan aktivis HAM, paling tidak hakim harus memvonis Hasanuddin seumur hidup, terkait aktifitas terorismenya dan pembunuhan sadis yang dilakukan. Dengan vonis 20 tahun, jelas pasca berjalannya Deklarasi Malino keputusan hakim justru meresahkan karena tak menjamin rasa keadilan masyarakat,” papar Palilingan.Di sisi lain, Kakanwil Depag Sulut yang juga Ketua NU Drs Halil Domu MSi menganggap hukuman 20 tahun sudah setimpal buat Hasanuddin. “Negara kita adalah negara hukum, tidak ada yang tidak kebal dengan hukum. Karena itulah hukuman tersebut sudah sesuai,” tandasnya.Menurut Domu, proses hu-kum bagi seorang eksekutor yang diakhiri dengan hukuman 20 tahun, kalau sudah melalui prosedur hukum, adalah su-dah yang terbaik sesuai proses hukum di negara kita. “Siapa-pun masyarakat di negara kita harus menghormati proses hu-kum yang berlaku,” tegasnya. Di sisi lain dia menam-bahkan, hukuman tersebut kalau di negara yang mene-rapkan hukum agama tentu-nya tidak sebanding. Sebab aturan hukum agama khusus-nya agama Islam, mereka yang melakukan pembunuhan harus dikenai hukuman yang setimpal. “Kalau melakukan pembu-nuhan jelas hukuman yang diberikan yaitu hukuman mati. Ini kalau negara yang mene-rapkan hukum agama,” tan-dasnya.(rol/lex/aan)

Thursday, March 22, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tersangka Kasus Poso Dinikahkan
Setelah Nikah, Saya Ingin Berubah


Ardin alias Rojak (36), tersangka perusuh Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri dan akhirnya tertangkap, Selasa (20/3) menikah di Masjid Nurul Ihsan Polda Sulawesi Tengah. Ia mempersunting Yunita Sari (19), gadis asal Lawanga, Poso Kota. Sampai saat ini Ardin masih ditahan dan dalam pemeriksaan intensif polisi.[Pembaruan/Jeis Montesori S]
"Saya terima nikahnya Yunita Sari dengan mas kawin seperangkat alat salat," ujar Ardin alias Rojak (36) dengan suara jernih meyakinkan. Mengenakan baju koko dipadu sarung warna hijau, Ardin mengikuti prosesi pernikahannya yang berlangsung sangat sederhana di Masjid Nurul Ihsan di markas Polda Sulawesi Tengah (Sulteng), Selasa (20/3).Beberapa orang menjadi saksi atas peristiwa itu, satu di antaranya anggota Brimob Polda Sulteng yang sengaja diminta Ardin menjadi saksi atas pernikahan yang sangat monumental dalam hidupnya itu. Tampak pula Muhamad Sidra, ayah Yunita Sari, duduk di samping Ardin.
Di luar halaman masjid, beberapa petugas melakukan penjagaan ekstra-ketat. Semua tamu yang hendak menghadiri akad nikah itu juga diperiksa ketat di pintu masuk Polda Sulteng, termasuk wartawan. Tampak beberapa kerabat dekat Ardin dan Yunita, menghadiri pernikahan itu, namun mereka menolak diwawancarai. Ada juga seorang tetangga Yunita yang mengaku sedang berobat di RS Bhayangkara Polda Sulteng, dan ketika mendengar Ardin akan menikah ia datang ingin menyaksikan peristiwa penting itu.
Pernikahan ini menarik perhatian karena Ardin dikenal sebagai salah satu tersangka perusuh Poso yang selama ini masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri. Ia tertangkap 22 Januari saat polisi berhasil membongkar pusat persembunyian para DPO di kawasan Kelurahan Gebang Rejo dan Kayamanya Poso Kota.
Karena melawan, kaki kiri Ardin ditembak petugas sehingga terluka parah. Saat nikah, kaki kiri Ardin masih tampak penuh balutan perban. Ia terpaksa berjalan dengan sebelah kaki dibantu dua tongkat."Saya berterima kasih pada polisi yang dengan sangat baik hati mengobati luka di kaki saya sehingga mulai berangsur sembuh. Ternyata polisi itu baik, ya! Tidak seperti yang saya duga," kata Ardin.
Pria yang bernama lengkap Ardin bin Djaid Djanatu ini, mengaku mengenal Yunita Sari binti Muhamad Sidra sejak dua tahun silam di Lawanga, Poso Kota. "Kami saling bertetangga," katanya.
Setelah dua tahun menjalin cinta, keduanya pun merencanakan pernikahan tersebut pada Maret ini. Tidak soal walau Ardin masih dalam status tersangka atau ditahan polisi.
"Alhamdulillah, semua proses pernikahan ini bisa terwujud berkat bantuan Pak Polisi yang telah memfasilitasi semua kebutuhan pernikahan saya. Sekali lagi saya berterima kasih pada Mabes Polri, khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror yang telah memberikan semangat supaya saya bisa mewujudkan pernikahan ini," ujar Ardin dengan nada haru.
Prosesi pernikahan Ardin dan Yunita sedikit berbeda dengan pernikahan yang lazim. Keduanya dalam ijab kabul yang dipimpin Umar Sholeh, Kepala Urusan Kantor Agama Kecamatan Palu Timur, sebagai penghulu yang menikahkan kedua pasangan itu, tidak didudukkan bersama. Tapi, Yunita ditempatkan di ruangan lain di masjid itu, dan nanti selesai semua proses ijab kabul barulah Ardin dibawa menemui Yunita di ruang sebelah.
Ardin, warga asal Dolong, Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-una (daerah pemekaran Kabupaten Poso). Ia disangkakan tiga kasus terkait konflik Poso, yakni terlibat penembakan Pdt Susianti Tinulele (Mei 2004), penembakan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Jemaat Anugerah Palu dan pelaku peledakan bom di Pasar Tentena, Poso yang menewaskan 22 orang (Mei 2005).
Ingin Berubah
Dia mengakui semua kesalahannya, dan apa yang dilakukannya menghilangkan nyawa orang lain adalah perbuatan salah. "Karena itu saya ingin berubah. Setelah ini saya ingin kembali hidup seperti biasa, ingin hidup rukun dengan istri saya," katanya.
Walaupun setelah menikah belum bisa kumpul dengan istrinya, Ardin mencoba menerima semua itu sebagai sebuah takdir Tuhan. Dia sangat berharap pengertian polisi untuk senantiasa bisa mempertemukan ia dan istrinya Yunita Sari terutama saat bulan madu seperti sekarang.
"Di tempat mana saja saya bersedia bertemu Yunita, asalkan polisi mengizinkannya," ujar Ardin yang disambut gelak tawa gembira oleh para polisi dan wartawan yang mewawancarainya seusai pernikahan itu.
Perwira polisi yang tampak hadir dalam pernikahan itu, yakni Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sulteng AKBP Armensyah, Kasat II AKBP Fahrus Zaman dan Plh Kabid Humas Polda Sulteng Kompol Heddy.
Heddy mengatakan, pelaksanaan sunah rasul untuk seorang tahanan seperti Ardin, baru untuk pertama kalinya dilaksanakan di lingkungan Polda Sulteng. Ini juga merupakan bagian dari tugas pembinaan polisi kepada para tahanan. Sampai saat ini polisi masih mengejar 12 DPO yang diduga berada di balik aksi kekerasan Poso.
Menurut Kapolda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haitu, para DPO itu diduga telah kabur ke Pulau Jawa. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan beberapa Polda di Jawa untuk menangkap para DPO yang masih berbahaya itu. [Pembaruan/Jeis Monteosori S]
Last modified: 22/3/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pembunuhan Tiga Siswi di Poso
Aktor Intelektual Divonis 20 Tahun Penjara

Aktor intelektual pembunuhan tiga siswi SMA Kristen di Poso, Sulawesi Tengah, pada Oktober 2005, Hasanuddin alias Hassan alias Slamet Rahardjo tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (21/3). Dia divonis 20 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana terorisme. [Pembaruan/Ruht Semiono]
[JAKARTA] Aktor intelektual pembunuhan tiga siswi SMA Kristen di Poso, Sulawesi Tengah, pada Oktober 2005, Hasanuddin alias Hassan alias Slamet Rahardjo, divonis 20 tahun penjara. Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah dengan menyuruh atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme secara bersama-sama.
Demikian putusan majelis hakim yang diketuai Binsar Siregar SH di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus), Rabu (21/3). Putusan majelis hakim itu sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Sebagaimana diberitakan, pada Sabtu, 29 Oktober 2005 pagi, tiga siswi SMA Kristen di Poso, yakni Theresia Morangke (15), Alfita Poliwo (19), dan Ida Yarni Sambue (15), tewas diserang sekelompok orang bersenjata parang dan golok. Seorang siswi, Nofiana Malewa (15), selamat dari aksi kejahatan tersebut.
Ketika itu mereka dalam perjalanan menuju sekolah yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah di Dusun Bambu, Kelurahan Bukit Bambu, Kecamatan Poso Kota (Pembaruan, 31/10/2005). Beberapa minggu setelah itu, aparat kepolisian menangkap para pelaku, yakni Hasanuddin dan kawan-kawannya.
Menurut majelis hakim, peran terdakwa sebagai aktor intelektual, terbukti dari keterangan saksi Lilik Purnomo (juga menjadi terdakwa dalam kasus ini) yang mengatakan, terdakwa yang mencetuskan ide pembunuhan itu. Lilik bersama dengan Irwanto yang berperan sebagai perencana pembunuhan dan koordinator lapangan, juga selalu melaporkan perkembangan rencana mereka kepada terdakwa.
Majelis hakim mengatakan, terdakwa berhasil menggerakkan Lilik dan anggota kelompoknya untuk melakukan pemenggalan terhadap ketiga siswi itu melalui nasihat yang diberikan sebelum pelaksanaan pembunuhan pada 29 Oktober 2005.
Arahan terdakwa sesuai dengan pengakuan yang dibuat Lilik dan Irwanto dalam pledoi mereka. Keduanya berada dalam keadaan tertekan dan mendapatkan doktrin dari orang luar, termasuk terdakwa, sehingga akhirnya berani melakukan pemenggalan ketiga siswi.
Selain itu, terdakwa juga memberikan uang sebesar Rp 200.000 kepada Lilik untuk keperluan pembelian enam buah parang dan kantong plastik.
Perbuatan terdakwa, kata majelis hakim, menimbulkan ketakutan dan teror yang luas di kalangan masyarakat Poso. Sampai sekarang, masyarakat tidak berani melewati jalan setapak tempat dilakukannya pemenggalan terhadap tiga siswi tersebut.
Divonis 14 Tahun
Sementara itu, dua anak buah Hasanuddin, yakni Lilik Purnomo dan Irwanto, masing-masing divonis 14 tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti melakukan permufakatan jahat terorisme dengan memenggal kepala tiga siswi tersebut. Vonis majelis hakim terhadap mereka lebih rendah dari tuntutan JPU, yang menuntut majelis hakim agar menghukum dua terdakwa 20 tahun penjara.
Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan ketiga terdakwa adalah perbuatan mereka dilakukan justru pada saat keadaan Poso sudah tenang. Perbuatan mereka dapat kembali memicu konflik di antara dua kelompok yang bertikai di Poso. Selain itu, perbuatan para terdakwa menimbulkan ketakutan, tidak hanya bagi masyarakat Poso. [E-8]
Last modified: 22/3/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tersangka Kasus Poso Diringkus di Jateng

[PALU] Pengejaran terhadap para tersangka pelaku teroris Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri terus dilakukan. Rabu (21/3), tim gabungan Mabes Polri meringkus Mujadid alias Brekele, satu dari sisa 12 DPO yang belum tertangkap.
Keseluruhan yang masuk DPO Polri untuk kasus terorisme di Poso 29 orang. Mujadid ditangkap daerah Temanggung, Jawa Tengah (Jateng). Saat itu tersangka sedang berada dalam rumah persembunyiannya, dan tim gabungan Mabes Polri yang sudah mengikutinya sejak awal melarikan diri dari Poso dapat dengan mudah melumpuhkan tersangka.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Kapolda Sulteng) Brigjen Polisi Badrodin Haiti ketika dikonfirmasi, Kamis (22/3) pagi, membenarkan penangkan Mujadid. Namun proses hukum terhadap tersangka, ungkapnya, langsung ditangani Mabes Polri.
Dari pemeriksaan polisi, Mujadid diduga terlibat peledakan bom di Pasar Tentena pada Mei 2004 yang menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 50 orang. Tersangka melakukan aksinya itu bersama Ardin alias Rojak yang kini sedang diperiksa di Markas Polda Sulteng.
Selain bom Tentena, Mujadid juga diduga sebagai pelaku perampokan gaji pegawai negeri sipil (PNS) Poso yang dipegang oleh bendahara gaji PNS di Poso. Dana-dana yang dirampok diduga dipakai untuk melakukan aksi-aksi kekerasan, seperti teror bom dan penembakan warga dan rumah-rumah ibadah di Palu maupun Poso.
Badrodin mengungkapkan, dalam pemeriksaan Mujadid sudah mengakui keterlibatannya dalam serangkaian peristiwa itu. Sampai saat ini masih 11 tersangka kasus Poso yang belum tertangkap. Dari 11 tersangka itu, menurut Badrodin, enam orang sudah lari ke Pulau Jawa dan lima lainnya masih bersembunyi di sekitar Poso. [128]
Last modified: 22/3/07

Buron Poso diduga ditangkap di Yogjakarta
Kamis, 22 Maret 2007 19:08 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Bambang Kuncoko membantah bahwa salah satu dari lima orang yang ditangkap dalam penggrebekan di Jogjakarta Selasa (20/1) adalah DPO Poso, Mujahid alias Brekele."Memang ada kecurigaan itu Mujahid tetapi kami masih terus melakukan penyelidikan dan mencek ulang. Proses mencek ulangnya ya tidak semudah itu," jelas Bambang di ruang pers Mabes Polri, Kamis (22/3).Bambang menambahkan, senjata dan peledak yang ditemukan di Sukoharjo, Jawa Tengah, merupakan pengembangan dari penangkapan sebelumnya. Menurutnya, ada kemungkinan senjata dan bahan peledak tersebut adalah yang biasa disuplai ke Poso. "Namun itu pun masih dalam penyelidikan juga," tegasnya.Dari penangkapan tersebut, polisi berhasil menahan tiga orang, satu orang ditembak mati dan satu lagi terluka parah. Namun, polisi tidak bersedia memberikan inisial ketiga tersangka tersebut. "Selama tujuh hari kedepan, mereka masih kami gunakan sebagai penunjuk jalan untuk menemukan posisi orang yang kami duga teroris dan juga barang-barang milik mereka. Setelah itu baru kami tetapkan status mereka," tambah Bambang.Menurut Bambang, kelompok tersebut diduga terlibat oleh kelompok Poso namun ia tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Mereka beberapa kali terlibat aksi pencurian di wilayah Jogjakarta dan diduga hasilnya adalah sebagai sumber dana kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok tersebut. "Kami masih terus selidiki apakah mereka kelompok Jamaah Islamiyah (JI) atau bukan," katanya.Hingga kini, Polri sudah melakukan koordinasi dengan TNI untuk membantu secara teknis pengungkapan kasus tersebut. Meskipun demikian, TNI tidak akan membantu proses penyelidikan. Bambang berharap masyarakat terus waspada dan meningkatkan kepeduliannya dan segera melaporkan kepada aparat jika ada sesuatu yang mencurigakan.Muslima Hapsari

Militants get between 14 and 20 years for beheadings of school girls
Jkt Post, Top Latest News, March 22, 2007

JAKARTA (JP): Panel of judges in Central Jakarta District Court Wednesday sentenced Muslim militants between 14 and 20 years in prison for beheading Christian schoolgirls in Central Sulawesi's town of Poso in 2005.
Hasanuddin was found guilty for masterminding the beheading, buying the machetes and leaving a handwritten note at the scene vowing more killings to avenge the deaths of Muslims in an earlier conflict on Sulawesi island.
Judge Udar Siregar was quoted by Elshinta news radio as saying that Hasanuddin's action can be categorized as terror crime, which could spark fresh religious violence in the Central Sulawesi towns.
Meanwhile, two other conspirators Lilik Purnomo and Irwanto Irano were handed 14-year jail terms in a separated hearing.
Religious conflict in Poso had left at least 1,000 people dead from both Muslims and Christians from 1998 to 2002.
A peace agreement ended the worst of the violence, but tensions flared after the 2005 beheadings and again in September 2006, after the execution of three Roman Catholic militants convicted of leading a 2000 attack on an Islamic school that killed up to 70 people.
In January, 15 alleged Islamic militants were killed in a gunbattle in Sulawesi. Several others were arrested, including three who have confessed to taking part in the beheadings. (**)

Komentar, 22 Maret 2007
Kisah mujizat dari Desa Meko
(2) Selvin: Ampunilah Orang yang Bersalah

‘’AMPUNILAH kesala-han kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami……’’ Ini adalah se-penggal kalimat dalam Doa Bapa Kami yang ditulis dalam Kitab Matius 6:9-13. Me-nurut Selvin, sebagaimana ditu-turkan Pdt Rainaldy Damanik, doa ini harus benar-benar dite-rapkan dalam kehidupan seha-ri-hari. ‘’Oleh sebab itu kita ja-ngan saling menghakimi,’’ ungkap Selvin dalam dialognya dengan Pdt Damanik. Oleh sebab itu, ketika melaku-kan penyembuhan ter-hadap orang-orang sakit, isi dari doa ini harus be-nar-benar dipraktikan bagi mereka yang ingin mendapatkan penyem-buhan. Tak heran ada beberapa dari pasien yang datang kepada dokter cilik ini, disuruh pulang kembali oleh Selvin, dan dimin-takan agar menyelesaikan atau meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan mereka terha-dap orang lain, atau memberi maaf atas kesalahan orang terhadap mereka. Sebab menurut Pdt Damanik, Selvin mengatakan, kesembuhan jasmani atas berbagai penya-kit harus didahului dulu dengan penyembuhan rohani. ‘’Opa, kalau kita sembuh se-cara rohani, maka kita sem-buh secara jasmani,’’ kata Sel-vin seperti dikutip Damanik. Pada bagian lain, Damanik mengatakan, apa yang terjadi di Desa Meko, benar-benar sebuah peristiwa luar biasa. Pasalnya, saat ini, sudah ada ribuan orang berdata-ngan. Mereka ini selain me-minta kesembuhan, juga ingin melihat dari dekat di penyembuh cilik, Selvin. Dan tidak sedikit dari para tamu ini, tinggal berhari-hari di Meko. Bahkan karena rumah penduduk tidak bisa menam-pung, sampai-sampai mereka membangun tenda-tenda di lapangan terbuka. ‘’Hebatnya, tidak ada yang namanya semacam panitia. Mereka membangun tenda sendiri dengan tertib. Kenda-raan juga banyak datang di Desa Meko, tapi tidak ada kendaraan yang harus diatur-atur, mereka tertib berlalu-lintas. Semua orang dari berbagai agama menyatu di tempat itu. Ini benar-benar rekonsiliasi sejati. Luar biasa !,’’ kata Damanik. Namun begitu, yang disa-yangkan, lanjut Damanik, da-ri peristiwa mujizat tersebut, masih saja ada sejumlah orang yang notabene pelayan Tuhan, malah masih mera-gukan pekerjaan Tuhan yang terjadi di Meko. ‘’Ada yang meragukan, sampai-sampai menyebut nabi palsu dan sebagainya. Tapi mana mungkin itu, ka-rena ibadah yang dilakukan menggunakan doa Bapa Kami dan lagu yang dilantunkan Allah Kuasa. Yah, memang iblis itu ada. Yang pasti sudah banyak orang disembuhkan. Ini mujizat dan luar biasa,’’ kunci Pdt Damanik yang pernah disuruh pulang oleh Selvin seraya mengatakan, ‘’ada orang yang sedang me-nunggu memerlukan opa (Pdt Damanik, red).’’ Dan setelah Pdt Damanik kembali ke Tentena, ternyata perkataan Selvin itu benar adanya. ‘’Di rumah memang ada orang yang sedang menunggu dan sangat memerlukan saya,’’ kata Damanik memberikan kesaksiannya. Sementara beredar informa-si, Ibu Selvin juga sudah bisa melakukan penyembuhan. Menurut kabar, aku Dama-nik, Selvin sebagai anak kecil, merasa letih melakukan pe-nyembuhan sendiri, sehingga dia meminta kepada Tuhan melalui doa, agar ibunya bisa melakukan hal yang sama se-perti yang dilakukannya. ‘’Dan itu terjadi.’’ (bersambung/rik)

Komentar, 22 Maret 2007
Hasanuddin: Saya sudah dimaafkan, seharusnya dibebaskan

Terdakwa yang juga otak pelaku pemenggalan terhadap tiga siswi di Poso tahun 2005 silam, Hasanuddin, akhirnya dijatuhi vonis 20 tahun penjara. Putusan ini disampaikan dalam sidang di PN Jakarta Pusat yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Binsar Siregar, Rabu (21/03) kemarin. Selain vonis 20 tahun, Hasa-nuddin juga dijatuhi huku-man denda Rp 5 ribu sebagai pengganti biaya sidang. Da-lam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meya-kinkan telah melakukan tin-dak kejahatan terorisme se-suai dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu pasal 14 junto pasal 7 Perp-pu RI 1/2002 junto pasal 1 Undang-Undang 15/2003 ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dakwan subsidernya adalah pasal 15 KUHPidana juncto pasal 7 Perppu RI 1/2002 junto pasal 1 Undang-undang 15/2003. Sementara, dak-waan kedua primer terhadap Hasanuddin adalah pasal 340 KUH Pidana junto pasal 55 (1) kesatu KUH Pidana dan subsi-dernya pasal 338 KUH Pidana junto pasal 55 (1) kedua KUH Pidana. Hasanuddin dinilai meme-nuhi unsur tindak pidana terorisme, di antaranya ada-lah melakukan aksi teror, merencanakan aksi-aksi teror, sengaja mengancam orang lain dengan kekerasan, menimbulkan teror di masya-rakat serta merampas kemer-dekaan orang lain. Ada pun hal-hal yang mem-beratkan adalah ia telah me-nimbulkan teror di masyara-kat dan menyebabkan terjadi-nya konflik antara warga Mu-slim dan Nasrani di Poso, Sul-teng. Padahal, sudah ada per-janjian perdamaian Malino. Hakim juga memvonis, kare-na aksi Hasanuddin telah me-nyebabkan rasa takut di ma-syarakat Kota Poso, masyara-kat Indonesia mau pun dunia internasional. Usai putusan itu, Hasanud-din menyatakan protes. Sebab menurut versi dia, syariat Islam membolehkan tindakan balas dendam. “Harusnya saya bebas!,” katanya saat di-giring aparat kepolisian ke ruang tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Selain membolehkan balas dendam, kata Hasanuddin, syariat Islam juga mengizin-kan pembantaian atas dasar dendam. “Orang kita saja ba-nyak yang dibantai kok!” ce-tus dia. Jadi tidak menyesal? “Saya sudah minta maaf dan saya sudah dimaafkan. Jadi seharusnya saya bebas!” tandasnya lagi.Ditanyai soal banding, dia mengatakan masih dipikir-kan. “Kan masih ada upaya lain, banding. Saya masih pi-kir-pikir untuk itu,” kata pria yang mengenakan kemeja putih dan celana panjang hi-tam saat disidang. Sedangkan kuasa hukum yang mendam-pinginya, Asrudin, dari Tim Pembela Muslim, tidak me-lontarkan sepatah kata pun terkait vonis kliennya.Sementara itu, anak buah Hasanuddin, yakni Irwanto Irano dan Lilik Purnomo, hanya divonis masing-masing 14 tahun penjara. Menurut hakim, yang meringankan kedua terdakwa, yakni telah meminta maaf dan dimaafkan, sopan, mengakui perbuatan, relatif masih muda, dan punya tanggungan keluar-ga. Usai sidang, Irwanto me-ngaku tidak akan banding. “Saya terima ini atas semua yang saya lakukan,” katanya tegas. Sedangkan Lilik masih akan pikir-pikir. “Itu tadi kan penilaian hakim. Saya masih bisa banding. Saya akan pikir-pikir dulu,” ujar Lilik dengan tangan terborgol.(dtc/zal)

Wednesday, March 21, 2007

Radar Sulteng, Selasa, 20 Maret 2007
DPO Poso Kabur ke Jawa

PALU- Sebagian dari 12 tersangka kasus kekerasan di Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) diduga kuat telah melarikan diri ke Pulau Jawa. Belum diketahui siapa dan berapa DPO yang kabur ke Jawa.
Kapolda Sulteng Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti yang dikonfirmasi Radar Sulteng via ponsel siang kemarin (19/3) membenarkan hal itu. "Informasi resmi yang kami terima sebagian para DPO itu kabur ke Jawa," katanya.
Kapolda mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Tim Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap para DPO itu. "Kami sudah berkoordinasi dengan Bareskrim Mabes Polri dan mereka siap untuk membantu menangkap para DPO," ujar Kapolda.
Kapolda mengatakan, meski keadaan keamanan dan ketertiban di Poso sudah mulai kondusif, namun hingga saat ini polisi tetap melanjutkan operasi penertiban dan razia terhadap senpi maupun bahan-bahan peledak lainnya di lokasi-lokasi yang dicurigai.
"Kita terus tingkatkan razia terhadap senpi maupun bahan-bahan peledak lainnya di wilayah-wilayah yang dianggap rawan," ujarnya menambahkan.
Kapolres Poso AKBP Drs Rudy Supariadi yang dihubungi kemarin mengatakan, saat ini penanganan terhadap para DPO telah diserahkan sepenuhnya kepada Bareskrim Mabes Polri. Ditanya jumlah DPO yang kabur, Rudy tidak dapat memastikannya. "Maaf, saya belum tahu kepastian berapa jumlah DPO yang kabur ke Jawa itu," kata Kapolres.
Sebagai langkah antisipasi polisi tetap meningkatkan pengamanan dan ketertiban di Poso. "Kami sendiri tetap berusaha menjaga kestabilan keamanan dan ketertiban di Poso yang perlahan mulai ada perkembangan," kata Kapolres.
Polisi yang bertugas di Poso akan tetap disiagakan untuk menjaga kemungkinan kembalinya para DPO. "Artinya jika mereka (Para DPO,red) kembali lagi ke Poso berarti kita harus segera bertindak untuk menangkap mereka," ujarnya. (mda/cr1)

Radar Sulteng, Rabu, 21 Maret 2007
DPO Poso Minta Bulan Madu

Prosesi Pernikahan di Jaga Ketat Undangan Diperiksa dan DicapPALU- Ardin Binti Djaid Djanatu (39), salah satu DPO kasus Poso yang tertangkap oleh polisi, resmi mempersunting Yunita Sari Binti Muh Sidra (19). Kemarin (20/3) prosesi pernikahan yang digelar di Masjid Nurul Iksan, Mapolda Sulteng berlangsung aman dan lancar.
Namun demikian aparat kepolisian melakukan penjagaan ekstra ketat lengkap dengan senjata selama prosesi nikah berlangsung. Tamu undangan yang memasuki Mapolda Sulteng diperiksa satu persatu. Usai diperiksa tamu undangan termasuk wartawan diberi cap (stempel) pada bagian tangan yang menandakan yang bersangkutan telah diperiksa.
Sesuai jadwal semula, ijab kabul mempelai pria tersebut dilaksanakan di Masjid Nurul Iksan, Mapolda Sulteng. Yang bertindak sebagai penghulu Kepala Urusan Agama Palu Timur, Umar Saleh. Sedangkan yang jadi saksi diantaranya anggota Brimob yang mengawal tersangka yakni Bripda A Rahman dan orangtua mempelai wanita, Muhammad Sidra. Yang unik, pernikahan tersebut juga disaksikan delapan DPO lain yang ditahan di Mapolda Sulteng.
Prosesi ijab kabul dilakukan terbuka namun mendapat pengawalan ketat serta dipimpin langsung Dirreskrim AKBP Armensyah dan Kasat II AKBP Fahrus Zaman. Para wartawan yang hendak mengabdikan gambar hanya diberi toleransi dari balik kaca masjid.
Ardin yang ditangkap Densus 88 Mabes Polri pada awal Februari 2007 lalu, kondisi fisiknya cacat. Untuk bisa memasuki masjid Polda Sulteng harus menggunakan kaki bantuan alias tongkat. Memang waktu penggerebekan di Kayamanya awal Februari lalu, Ardin terkena tembakan di bagian kaki, tangan dan perut.
Dengan mas kawin seperangkat alat salat, Ardin yang mengaku sudah dua tahun mengenal Yunita langsung memasuki ruang pembinaan rohani (Binroh). Ruang ini sengaja disiapkan aparat Polda Sulteng untuk mempelai wanita bersama keluarganya. Disitulah Ardin langsung bertemu istri dan keluarganya setelah dinyatakan resmi sebagai sang suami.
Kasubbid Publikasi Humas Polda Sulteng, Kompol Heddy Tri Pranoto yang langsung mengikuti prosesi pernikahan DPO Poso menjelaskan, proses hukum yang dijalani tersangka Ardin tidak menghalangi untuk melaksanakan sunah rasul yaitu pernikahan. Meski dilaksanakan di masjid Polda Sulteng, katanya, pernikahan DPO Poso itu tidak mengurangi nilai kesakralan karena sudah memenuhi unsur pelaksanaan pernikahan seperti yang disyaratkan agama yakni, ada saksi, penghulu, kedua orangtua mempelai wanita dan persyaratan lainnya.
Juru bicara Polda Sulteng itu menyebutkan, terlaksananya pernikahan DPO Poso juga mendapat dukungan dari tim Densus 88 Mabes Polri. Meski tidak disebutkan bentuk dukungannya namun rencana perkawinan kedua mempelai itu ternyata sudah direncanakan sebelum tersangka Ardin ditangkap Densus 88 Mabes Polri di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota pada 1 Februari 2007 lalu. ''Sebenarnya rencana ini sudah lama sebelum saya ditangkap. Alhamdulillah harapan saya dipenuhi pihak kepolisian untuk menikah dengan Yunita Sari. Saya berharap pihak kepolisian memberi kesempatan untuk berbulan madu,'' terang Ardin dengan sumringahnya.
Perkenalan kedua sejoli yang tersangkut kasus kekerasan di Poso dan Palu ternyata sejak mereka berdua tinggal di Kelurahan Lawanga, Kecamatan Poso Utara, dua tahun yang lalu. Saat itu, Yunita masih sekolah sedangkan Ardin berwiraswasta kerja proyek. Dari hasil kerja proyek itulah rencananya Ardin akan melamar Yunita dan akan melangsungkan pernikahan bulan Maret 2007. (lib)

Sidang Putusan Kasus Mutilasi Siswi Poso Molor
Rabu, 21 Maret 2007 13:14 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Sidang putusan kasus mutilasi siswi Sekolah Menengah Atas Poso, Sulawesi Tengah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (21/3) molor dua jam. Seharusnya persidangan ini dibuka pukul 10.00 WIB namun hingga kini belum juga dimulai. Berdasarkan pengamatan Tempo, terdakwa kasus ini, yakni Lilik Purnomo, Irwanto dan Hasanudin telah hadir. Mereka didampingi kuasa hukumnya, Abu Bakar Rasyide dan Asruddin. Sementara, jaksa penuntut umum Puji Raharjo juga telah bersiap di ruang persidangan. Ketiga terdakwa tersebut dituntut 20 tahun penjara. Mereka dianggap bersalah karena telah melanggar Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Menanggapi sidang putusan ini, kuasa hukum Hasanuddin, Asruddin yakin majelis hakim akan mempertimbangkan pledoi atau pembelaan terdakwa. “Yah, kita lihat saja nanti,” ujarnya kepada Tempo. Kartika Candra

Komentar, 21 Maret 2007
Pdt Damanik: Ini mujizat luar biasa
(1) Orang Buta Melihat yang Lumpuh Berjalan..

Kisah mujizat dari Desa Meko, turut diamini Pdt Rainaldy Da-manik. Bahkan Ketua Umum GKST ini sempat menemui dan berdialog dengan Selvin Bung-ge di Desa Meko. ‘’Ketika itu, tanggal 16 Februari malam. Tiba-tiba saya ditelepon. Dan yang menelepon adalah Selvin. Dia meminta saya datang ke Meko. Karena sudah mende-ngar beritanya, saya kemudian mengiayakan,’’ aku Pdt Dama-nik dalam wawancara denganKomentar, tadi malam. Ketika bertemu, Selvin me-nyapa Pdt Damanik dengan sebutan ‘’opa’’. ‘’Begitu bertemu, Selvin bi-lang kepada saya, selamat pagi opa. Baru kali ini saya dipanggil opa. Biasanya ma-syarakat memanggil saya papa nanda, abang atau Pdt Damanik,’’ cerita Damanik. Karena penasaran, Damanik pun bertanya kenapa Selvin memanggilnya opa. ‘’Itu agar menjadi teladan,’’ jawab Sel-vin seperti dikutip Damanik. Lantas Selvin menarik tangan Pdt Damanik untuk mengajak mendoakan orang-orang yang sedang sakit. Saat itu banyak orang sakit terba-ring meminta disembuhkan. ‘’Mereka terbaring sana-sini. Ketika didoakan, saya lihat langsung yang buta bisa melihat dan yang lumpuh bisa berjalan. Saya takjub, luar biasa. Banyak orang yang disembuhkan,’’ ungkap Da-manik. Menurut Damanik, pada tanggal 19 Februari, dirinya kembali dipanggil Selvin dari Tentena menuju Meko. Ketika bertemu, Selvin mengajaknya ke pantai yang tidak jauh dari Meko. ‘’Dalam dialog itu, Selvin meminta agar tolong mendoakan orang-orang yang mencari kesembuhan. Kata-katanya saat itu bukan seperti keluar dari seorang anak berumur 8 tahun,’’ kata Damanik. Dalam pembicaraan itu, Selvin mengatakan, ‘’Opa, kalau kita sembuh secara rohani, maka kita sembuh secara jasmani. Dia juga me-ngatakan, bukankah doa ba-pa kami adalah satu-satunya doa yang diajarkan Tuhan Yesus. Dan maksud bapa ka-mi adalah bapa semua orang,’’ ungkap Damanik menceri-takan pembicarannya dengan Selvin. Tak hanya itu, Selvin juga, lanjut Damanik, mengatakan, agar semua orang menerap-kan isi dari doa bapa kami terutama mengenai ‘’berikan makanan kami secukupnya… ‘’Selvin meminta agar berita-kan kepada orang-orang un-tuk tidak rakus. Tapi milikilah makanan secukupnya.’’(rik/bersambung)

Puluhan ribu orang datangi Desa Meko, Kabupaten Poso
Mujizat! Bocah 8 Tahun Sembuhkan Banyak Orang

Komentar, 21 Maret 2007

Desa Meko di Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso (Sulteng), tiba-tiba menjadi buah bibir. Puluhan ribu orang kini berduyun-duyun menuju desa yang berjarak sekitar 60 km dari Kota Tentena tersebut. Apa pasal? Seorang gadis cilik berumur 8 tahun bernama Selvin Bungge, dikabarkan mampu menyembuhkan banyak orang sakit.
Hebatnya, gadis cilik yang kini dijuluki ‘dokter kecil’ ter-sebut, menyembuhkan orang hanya lewat doa ‘’Bapa Kami’’ dan diiringi lagu ‘’Allah Kuasa Melakukan Segala Perkara’’. Warga meyakini penyembu-han yang dilakukan Selvin karena mendapatkan kekua-tan dari Tuhan Yesus Kristus.
Warga Kecamatan Meko, Morpan seperti dilansir Nuan-sa Pos, Senin (19/03) lalu me-nuturkan, peristiwa mujizat tersebut sudah terjadi sejak 9 Januari 2007 lalu, di mana awal-nya Selvin mampu menyem-buhkan penyakit ibunya. Hal ini diamini Pdt Rainaldy Dama-nik saat dikonfirmasi Komentar tadi malam lewat telepon.
Ketua Umum GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) ini membenarkan tentang pe-nyembuhan yang dilakukan Selvin. ‘’Awalnya dia menyem-buhkan ibunya,’’ kata Pdt Damanik yang sudah menemui langsung bocah cilik tersebut dan ibunya. Menurut Damanik sebagaimana cerita ibu Selvin, kisah menggemparkan itu terjadi 6 Januari 2007.
Saat itu pada malam hari sekitar Pukul 22.30 Wita, di rumah mereka yang sangat se-derhana, Selvin sedang memijit kaki ibunya yang menderita penyakit rematik akut. Tiba-tiba keesokan harinya, Ibu Sel-vin merasakan kakinya tidak sakit lagi. ‘’Ibu Selvin merasa sangat sehat. Ini kemudian ditanyakan ibunya kepada Selvin,’’ cerita Pdt Damanik.
Selvin kemudian mencerita-kan kepada ibunya sebuah peristiwa ajaib yang dialami-nya. Menurut Selvin, pada ma-lam dia melihat cahaya terang di kamarnya. Dalam cahaya itu, ada wujud Tuhan dengan seorang malaikat. Tiba-tiba Selvin mendengar sebuah suara yang berbunyi, ’’Saya akan memberikanmu ba-nyak….!!.’’ Selvin yang tidak me-ngerti dengan suara itu, lantas menjawab, ‘’Berapa? 5000?.’’ Suara itu kembali terdengar. ‘’Tidak, justru lebih banyak lagi. Tapi harus kau bagikan kepada semua orang. Namun keluarga-mu harus benar-benar patuh pada perintah Tuhan.’’ Seke-tika itu wujud tersebut hilang dari pandangan Selvin.
Keesokan harinya setelah ibu Selvin sembuh, mereka menuju Kota Palu. Di sana ada kakak Selvin yang sedang sakit. Ber-kat doa, kakak Selvin itu kemu-dian disembuhkan. Kabar pe-nyembuhan itu kemudian me-nyebar ke tetangga dan ke-mana-mana saat Selvin dan ibunya kembali ke Meko. ‘’Ka-rena kabar itu, kini Desa Meko dipadati orang-orang yang datang dari berbagai denomi-nasi, terutama yang menderita penyakit kronis,’’ ungkap Pdt Damanik.
Pdt Damanik sendiri menga-kui telah melihat langsung penyembuhan yang dilakukan Selvin ketika datang di Meko. ‘’Yang buta bisa melihat, yang berada di kursi roda bisa ber-jalan, dan banyak yang sudah disembuhkan,’’ aku Pdt Dama-nik. Hal ini diamini Morphan, warga Meko.
“Desa Meko yang tadinya sepi kini menjadi ramai didatangi orang-orang dari segala pen-juru, baik orang yang sedang sakit dan ingin mendapat kesembuhan maupun orang-orang yang ingin melihat langsung proses penyembuhan yang menghebohkan,” kata-nya.
Menurutnya, ada sebagian orang yang tidak disembuhkan saat itu, namun oleh Selvin disuruh pulang dan bertobat dulu, serta meminta maaf ke-pada siapa saja yang pernah berseteru dengan orang itu. Selvin akan memintanya kembali jika orang itu sudah benar-benar siap dalam iman.
“Saya sendiri penasaran dengan kabar itu, sehingga saya pulang kampung dan kaget bukan main ketika saya tiba di kampung begitu banyak orang-orang yang bertenda di lapangan sepak bola, tinggal di baruga dan rumah-rumah penduduk. Saya juga menyak-sikan langsung orang lumpuh bisa berjalan setelah mendapat pengobatan dari dokter kecil itu,’’ aku Morphan.
Tidak hanya itu, di halaman rumahnya kini terdapat ratu-san tongkat dan kursi roda dari orang-orang yang telah di-sembuhkan. Selain itu lanjut-nya, Selvin tidak mau mene-rima pemberian uang dan lainnya. Begitu juga ketika dipotret, dia tidak mau. Karena hal itulah sehingga wartawan dan siapa saja yang akan me-ngambil gambarnya, dilarang oleh keluarga Selvin atau warga Meko.
Pernah ada seorang pasien yang disembuhkan, hendak memberikan uang Rp 5 juta pada Selvin. Namun Selvin hanya mengambil Rp1000 dan mengatakan, uang itu akan didermakannya untuk gereja di hari Minggu.
Perilaku Selvin sendiri, ketika dalam keseharian dan tidak melakukan penyembuhan, terlihat seperti bocah seumur-nya. Siswi kelas 3 SD itu terli-hat bermain, atau bermanja kepada orang tuanya.
Tapi ketika melakukan pe-nyembuhan, Selvin seperti berubah menjadi seorang dewasa yang bijak. ‘’Kini dari informasi yang saya dengar-dengar, sudah sekitar 10 ribu orang yang datang ke Meko untuk memperoleh kesembu-han,” katanya. Senada disam-paikan ibu rumah tangga ber-nama Rosyana (37).
Rosyana mengaku telah melihat langsung proses pe-nyembuhan sang ‘dokter kecil’. Namun kini, Selvin sedang berada di Jakarta bersama seorang ibunya. ‘’Selvin sendiri yang meminta ke Jakarta, dan belum diketahui apa mak-sudnya ke Jakarta,” terang Rosyana. Sementara itu, di de-pan rumahnya yang berdeka-tan dengan balai desa dan lapangan, saat ini telah berdiri tenda-tenda yang dibikin oleh masyarakat untuk menampung orang-orang yang hendak meminta kesembuhan Tuhan lewat Sel-vin.(np/rik)

Sunday, March 18, 2007

Radar Sulteng, Sabtu, 17 Maret 2007
Kapolres Poso ke Polda Metro Polri Mutasi 157 Perwira Menengah

JAKARTA — Gerbong polisi bergerak lagi. Kali ini mutasi dilakukan di jajaran perwira menengah (pamen). Menurut TR nomor 162, 163, dan 164 yang dikeluarkan Mabes Polri tertanggal 15 Maret ada 157 pamen yang dimutasi.
Mereka terdiri dari 45 Kombes Pol (setingkat kolonel, Red), 78 AKBP (letkol), dan 34 kompol (mayor). Sebagian dari mereka menjabat di kepolisian wilayah seperti Kapolwil dan Direskrim di berbagai Polda. ”Ini adalah bentuk penyegaran organisasi,” kata Kabidpenum Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko di Mabes Polri kemarin.
Dari beberapa nama pamen yang mendapat promosi, terdapat Kapolres Poso AKBP Rudy Sufahriadi. Lulusan Akpol tahun 1988 itu dinilai sukses menangkap sejumlah pelaku teror Poso. Dia dimutasi menjadi Wadir Reskrimum Polda Metro Jaya menggantikan AKBP Tejo Subagio yang selanjutnya menjadi Dirlantas Polda Babel.
Saat dihubungi tadi malam, Rudy Sufahriadi mengaku baru mendengar mutasi tersebut. ”Tentu alhamdullilah karena sekarang mendapat tugas baru yang harus dilakukan sebaiknya-baiknya,” ujarnya. ”Tapi tentu saya tidak tahu apa pertimbangan pimpinan untuk promosi ini,” lanjutnya.
Nyawa Rudy hampir melayang di Poso pada 25 Januari 2006 lalu. Ceritanya saat itu dia hendak berangkat menunaikan sholat Subuh di Jl Pulau Kalimantan. Kini pelaku percobaan penembakan dirinya itu telah tertangkap. Sebelum di Poso dan berdinas selama 17 bulan di sana, Rudy lebih dulu berdinas di Papua dan Ambon. ”Memang lebih sering dinas di daerah konflik,” tambahnya.
Pengajar Kajian Ilmu Kepolisian UI Kombes Pol (Pur) Bambang Widodo Umar mengatakan jika proses mutasi di tingkat Pamen memang bobotnya lebih besar pada proses giliran. ”Sudah waktunya. Jadi ini seperti urut kacang saja, meskipun tentu ada satu dua yang spesial. Tapi kalau nanti dari Kombes Pol untuk jadi jenderal, nah ini baru berat persaingannya,” lanjutnya.
Mutasi juga banyak terjadi pada pamen di lingkungan Polda Jatim. Kapolresta Probolinggo AKBP Thofan Herinoto dimutasi menjadi Kasubbdid Dokliput Bid Prodok Div Humas Polri. Dia diganti AKBP Achmad Yani yang sebelumnya sebagai Kanit A.1.3 Den A.1 Dit A Baintelkam Polri.
Lalu ada Kapolres Blitar AKBP Komarul Zaman yang dimutasi sebagai Kasubbag Min Set Pusdalops Sdeops Polri. Dia diganti AKBP Ibnu Isticha yang sebelumnya menjabat Kasubdit Min Regident Ditlantas Polda Jatim.
Kapolres Sidoarjo AKBP Heru Utomo Cahyono ikut dimutasi menjadi Kasubbid Jatansus Bid Interpol Set NCB Interpol. Posisinya diiisi Kapolres Kediri AKBP Adnas. Posisi Adnas lalu diiisi AKBP Putu Jayan Danu Putra yang sebelumnya menjabat Sesspri Wakapolri Spripim Polri.
Di lingkungan Polda Sumut Kapoltabes Medan Kombes Pol Irawan Dahlan diangkat menjadi Karo Ops Polda Metro Jaya. Dia diganti AKBP Bambang Sukamto yang sebelumnya menjabat Wadir Lantas Polda Jabar. Posisi Bambang diisi AKBP Henry Subiansauri yang sebelumnya menjabat Kapolres Subang. Posisi Henry diisi AKBP Sugiyono yang sebelumnya menjabat Ka SPN Labuan Panimba Polda Sulteng.
Selain posisi Kapolres Subang, Kapolres Purwakarta AKBP Joko Hartanto juga dimutasi. Dia menjadi Wakapolrestro Jakarta Barat menggantikan AKBP Raja Haryono yang dipromosikan menjadi Dir Samapta Polda Babel. Posisi Joko diisi AKBP Sufyan Syarif yang sebelumnya menjabat Kasubbag Evadasi Bag Bindik Dit Akademik Sespim Polri.
Di lingkungan Direskrim yang dimutasi adalah Direskrim Polda Jabar Kombes Pol Djaswardhana sebagai Pamen Denmabes Polri. Dia diganti Kombes Pol Tatang Soemantri yang sebelumnya menjabat Direskrim Polda DIJ. Posisi Tatang diisi Kapoltabes Denpasar Kombes Pol Ari Dono Sukmanto. Ari diganti Kombes Pol Yovianes Mahar yang menjabat Kaden 88/Antiteror Polda Bali. (naz)

Friday, March 16, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
46.000 Ha Hutan di Poso Rusak Parah

[PALU] Kerusakan hutan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), terus meningkat. Hingga saat ini kerusakan sudah mencapai 46.000 hektare (ha) dari luas hutan sekitar 500.000 ha. Kerusakan diakibatkan maraknya aktivitas pembalakan liar (illegal logging), baik untuk kepentingan bisnis dan pembukaan lahan permukiman baru bagi penduduk.
"Akibat kerusakan hutan tersebut dampaknya sangat terasa saat ini bagi penduduk di Poso. Misalnya, kalau pada musim hujan wilayah-wilayah yang hutannya sudah rusak akan mudah kebanjiran dan musim panas kekeringan," ungkap Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Poso, Nahardi yang dikonfirmasi, di Palu, Kamis (15/3).
Kawasan hutan yang rusak tersebut tersebar di 15 kecamatan dengan kerusakan terparah di Kecamatan Poso Pesisir, Pamona Selatan, Pamona Utara, Pamona Barat dan Lage. Kawasan ini sejak lama dikenal sebagai daerah yang tempat tumbuhnya kayu-kayu berkomersial tinggi seperti jenis palapi, tahiti, nantu dan kayu hitam (ebony) jenis kayu sangat langka di dunia.
Dari 46.000 ha hutan yang rusak itu, tambahnya, 11.000 ha di antaranya berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Aktivitas illegal logging, pembukaan kebun dan permukiman penduduk menjadi salah satu penyebab rusaknya kawasan hutan tersebut.
Dikatakan, situasi ini diperparah saat konflik Poso (2000-2006) di mana kontrol terhadap pengamanan hutan sulit dilakukan secara maksimal. Kebutuhan kayu untuk kepentingan pembangunan puluhan ribu rumah penduduk yang rusak akibat konflik, juga diduga sebagai salah satu faktor terjadinya penebangan kayu secara meluas di Poso.
Sumber Pembaruan menyebutkan, pada saat konflik terjadi, banyak oknum memanfaatkan kesempatan menebang kayu secara ilegal dari dalam kawasan hutan Poso dan hasilnya dijual ke Palu, Manado hingga Kalimantan. [128]
Last modified: 15/3/07

Thursday, March 15, 2007

Kompas, Kamis, 15 Maret 2007 - 17:04 wib
Kepolisian Periksa 11 Pelaku di Poso
Laporan Wartawan Kompas Cornelius Helmy Herlambang

BANDUNG, KOMPAS--Pihak kepolisian masih memeriksa 11 orang yang dianggap terlibat dalam kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah. Selain itu, pencarian dan pendataan terhadap senjata ilegal masih terus dilakukan.
Demikian dikatakan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jendral Sisno Adiwinoto, Kamis (15/3) di Markas Polda Jabar.
Menurut Sisno 11 orang itu dianggap terlibat dalam 46 kasus di Poso. Sementara ini pelaku yang tertangkap telah mencapai 50 orang. Sedangkan mengenai senjata, selain sudah menemukan 2 bunker senjata, pengetatan senjata api yang kemungkinan dimiliki warga terus dilakukan.

Asia Times, 14 March 2007
New terrorism front opens in Indonesia
By Bill Guerin

JAKARTA - Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono has won high marks from both the United States and Australia for his government's efforts to combat terrorism, including the recent capture or elimination of at least 200 terror suspects. But a new front may be opening in strife-torn Sulawesi. Security analysts have noted that since the elite counter-terrorism Detachment 88, supplied and trained by the US and Australia, ramped up its counter-terrorism operations, there have over the past 18 months conspicuously been no new major terrorist attacks against local or Western targets. Now, however, a dangerous new front is opening in the Poso area of Central Sulawesi province that threatens to spiral into a new regional security hot spot and raises new questions about the effectiveness of Indonesia's anti-terrorism operations. Fear, loathing and violence are not new to religiously divided Poso. An estimated 2,000 people were killed in communal fighting between Muslims and Christians in the area until an accord was brokered by the central government in 2002. That deal never fully took hold and the Jemaah Islamiyah terror group has recently exploited the tensions for its own ideological ends. Several JI operatives have allegedly gathered in the coastal Poso region to regroup, recruit, and perhaps even plan new attacks across the archipelago. Indonesia's anti-terrorism chief, retired General Ansyaad Mbai, and General A M Hendropriyono, former State Intelligence Agency (BIN) chief, have both said in recent interviews that the renewed violence in Poso is the work of JI-inspired terrorists. Authorities say they are trying to link local players involved in the region's recent violence to the wider JI network. JI operatives have reportedly recently landed in Poso from former sanctuaries in the southern Philippines, where they were once welcomed by the rebel Moro Islamic Liberation Front, but have more recently been flushed out by US-backed counter-terrorism sweeps by the Philippine armed forces. Indonesian authorities have encountered heavily armed fighters during their recent Poso operations and claim to have uncovered large weapons caches during raids, which they contend originated from the southern Philippines. Regional intelligence officials have long claimed that JI ran a guerrilla training camp at Abubakar, a remote jungle-covered area on the Philippines' southern island of Mindanao. If indeed JI is now regrouping in Poso, as Indonesian authorities contend, it marks a worrisome new development. JI was responsible for the 2002 Bali bomb attacks, which killed more than 200 people, including 88 Australians, as well as the bombings in 2005 of the J W Marriott Hotel and the Australian Embassy in Jakarta. According to Western and regional intelligence officials, JI's motivating ambition is to create a regional Muslim caliphate encompassing territories in Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Australia and the Philippines. The group reportedly has four main operational divisions scattered across the region: Mantiqi I, which covers peninsular Malaysia and Singapore; Mantiqi II, based in Central Java, which covers Java, Sumatra, and most of eastern Indonesia; Mantiqi III, which encompasses Sabah, East Kalimantan and Sulawesi; and Mantiqi IV, which includes territories in Papua and Australia. Through mainly covert operations, Indonesian counter-terrorism forces, with US and Australian support, are now aggressively aiming to defuse that plan by intensifying their activities in Central and East Java. For instance, Detachment 88 tracked down and killed in East Java bomb maker Azahari bin Hussin, a Malaysian who reportedly played a pivotal role in both the 2002 and 2005 Bali bombings. In late January, Detachment 88 raided the houses of alleged Muslim militants in Poso, where several suspects were detained and at least 16 killed, including Ustadz Mahmud and Ustadz Riansyah, both considered senior JI members. Two days after the crackdown, the Brussels-based International Crisis Group released a report suggesting that militants based in Poso might extend their violent operations beyond Central Sulawesi province and aim for targets on the main island of Java. The report also raised the possibility that certain leading militants have already crossed into Java to link up with JI operational leader Noordin Mohammed Top, currently the most wanted terrorist in the region, who is believed to be holed up somewhere in Java. Australia, Thailand and the Philippines have all since issued advisories warning their citizens against travel not just to Sulawesi but to Indonesia as a whole, citing unconfirmed intelligence reports that Indonesia-based terrorists were in the advanced stages of planning new attacks. There are concerns among certain security analysts that JI might attempt to stir violence in Poso on par with the shadowy and destabilizing insurgent operations now seen in southern Thailand. The government's operations in Poso are galvanizing known Islamic radicals. Firebrand Islamic cleric Abu Bakar Ba'asyir, who was convicted (but soon thereafter released) on conspiracy charges related to his role in the 2002 Bali bombings, and who has been tagged by both Australia and the US as one of the region's most dangerous terrorists, has called on all Muslims to stop serving in the government's counter-terrorism forces in Poso. Ba'asyir has consistently denied the charges against him and has frequently denied that JI even exists. Still, he has recently called his followers to violent action. "If necessary, we must organize a jihad," said Ba'asyir to a group of angry protesters who had gathered outside the National Human Rights Commission to protest the government's handling of the Poso raids. "If Muslims are being killed, then we must fight back," he added. Counter-terrorism chief General Mbai has recently claimed publicly that Ba'asyir serves as a mentor for many JI militants in Poso. According to intelligence sources, Ba'asyir's followers in Solo several years ago set recruitment activities and training camps in firearms near Poso. Among those alleged JI recruits was Hasanuddin, who experienced fighting in the southern Philippines, moved to Poso in September 2002 and later became the reputed leader of Mantiqi III. He has been implicated in several acts of communal violence and was finally arrested last May for the gruesome crime of beheading three Christian schoolgirls. During interrogation, he has allegedly provided the names of several other JI operatives in the region that Detachment 88 is now hunting. Those operations, however, threaten to inflame the historically restive region into new violence. Last month, Vice President Jusuf Kalla called a meeting of several influential Islamic figures to discuss the conflict in Poso. So far these discussions have only highlighted criticism of the government's handling of the situation, which the Islamic leaders say is only serving to mobilize extremist sentiments and pave the way for militant recruitment. For instance, Tifatul Sembiring, chairman of the Muslim Prosperous Justice Party (PKS), was quoted in the local press saying police should be more selective in deciding on the targets of their security operations. Jafar Umar Thalib, a former radical militant who once headed the now-disbanded Laskar Jihad group, was closely linked to the fighting in Sulawesi in 2000 and 2001. He recently met with Kalla and thereafter told Adnkronos International in an interview that although JI in Central Sulawesi would likely be defeated by the army within the next six months, "holy war" could spread to other parts of Indonesia. Whether Thalib was privy to inside information from Poso cells is unclear, but his predictions sent a chilling warning. As Indonesia girds itself for a potential full-blown insurgency in Poso, the US has offered Jakarta an unprecedented helping hand in its counter-terrorism operations. Police chief General Sutanto recently confirmed that US authorities have agreed to allow Jakarta access to Indonesia-born terror suspect Riduan Isamuddin, or Hambali, whom the US captured in Thailand in August 2003. According to Western and regional intelligence agencies, Hambali is the mastermind behind the 2002 Bali bombings and JI's alleged point man with al-Qaeda. Until recently the US held Hambali at one of the Central Intelligence Agency's secret prisons, and over the past three years had denied Jakarta's requests to interrogate the suspect in person. Earlier, the US would only permit Indonesia to submit questions to be asked by US interrogators at the secret location. Three and a half years since his arrest, Hambali's knowledge of JI's current plans is probably minimal. And if the situation in Poso escalates, as many fear, Indonesian authorities are going to need all the inside knowledge and outside help they can get. Bill Guerin, a Jakarta correspondent for Asia Times Online since 2000, has been in Indonesia for more than 20 years, mostly in journalism and editorial positions. He specializes in Indonesian political, business and economic analysis, and hosts a weekly television political talk show, Face to Face, broadcast on two Indonesia-based satellite channels. He can be reached at softsell@prima.net.id. (Copyright 2007 Asia Times Online Ltd. All rights reserved. Please contact us about sales, syndication and republishing.)

Radar Sulteng, Rabu, 14 Maret 2007
Kasus Poso Masuk MKTPM Gugat Tindakan Polisi

JAKARTA— Tindakan tegas polisi di Poso pada 22 Januari yang menewaskan 13 orang masih berbuntut panjang. Rahmat, kakak salah seorang korban bernama Yusuf, mendaftarkan uji materil ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pertama dalam perkara ini akan digelar Jumat (16/03) besok.
”Kami sudah menerima surat panggilan sidang,” kata koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Mahendradatta kemarin pagi. TPM menjadi kuasa hukum Rahmat. Namun yang disidangkan bukan gugatan penembakan polisi melainkan uji materil terhadap KUHAP.
Rahmat mempermasalahkan penjelasan pasal 95 (1) KUHAP. Penjelasan pasal ini menurutnya membatasi haknya untuk mem-praperadilankan Polri yang dinilainya melakukan pelanggaran dalam menembak mati adiknya itu.
”Penjelasan pasal 95 (1) KUHAP secara normatif kami nilai melanggar UUD 1945,” jelas Mahendradatta. Penjelasan pasal 95 (1) KUHAP berbunyi, ”yang dimaksud dengan kerugian karena tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.”
Penjelasan ini tidak mengatur apakah pelaku yang ditembak mati terkategori ’tindakan lain’ sehingga polisi bisa dituntut karenanya. Pasal 95 (1) sendiri berbunyi tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
”Jadi sebenarnya Pasal 95 (1) memberi kebebasan karena hanya menyebut ’tindakan lain’ tapi ’tindakan lain’ itu lantas dibatasi dalam penjelasannya. Itu yang akan kita mintakan uji materiil,” beber Mahendradatta.
Jika uji materiil ini dikabulkan maka pihaknya akan melanjutkan dengan praperadilan dan tuntutan ganti rugi karena mereka beranggapan Yusuf korban salah tembak. Dalam catatan polisi, Yusuf yang masih berusia 21 tahun itu ditembak mati karena menyerang polisi dengan senjata api, bom, dan amunisi. (naz)

Tuesday, March 13, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
DBD Serang Warga Poso

[PALU] Wabah demam berdarah dengue (DBD) menyerang warga Poso. Di sana telah ditetapkan sebagai daerah dengan kasus kejadian luar biasa (KLB) DBD, setelah sebelumnya Palu dinyatakan berstatus serupa.
Demikian Kepala Dinas Kesehatan Poso melalui Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), Kisman Dg Matikke Selasa (13/3) mengatakan, dalam kurun dua bulan ini, wabah DBD tiba-tiba menyebar secara ganas di 10 desa/kelurahan yang selama ini belum pernah terjangkit DBD. Penetapan status KLB DBD di Poso menyusul penyebaran wabah penyakit tersebut yang meningkat tajam antara Februari - Maret hingga men-capai 19 kasus.
Ke-10 desa/keluarahan antara lain Kelurahan Tegal Rejo, Bonesompe, Lawanga, Moengko Baru (Kecamatan Poso Kota) dan Desa Togolu (Kecamatan Lage).
"Dengan melihat kondisi tersebut maka kita langsung menetapkan Poso sebagai status KLB DBD," kata Kisman yang dikonfirmasi Selasa pagi di Poso.
Para korban yang terserang penyakit yang belum ada obatnya saat ini dirawat di RSU Poso. Para korban umumnya anak-anak berusia 2-10 tahun. Sejumlah orang tua korban yang menjaga anaknya di rumah sakit mengaku awalnya anaknya mengalami demam panas tinggi.
Suster Wayan Sutarmi, Kepala Ruangan Perawatan RSU Poso mengaku dalam dua bulan ini pihaknya melayani hingga 19 penderita DBD yang dirujuk ke satu-satunya rumah sakit umum milik pemerintah di daerah itu. Hingga Selasa pagi, sembilan pasien masih dirawat di RSU Poso, namun Kondisinya makin membaik. Menurutnya, pasien itu berasal dari Kel Tegalrejo, Poso kota yang terserang wabab DBD paling parah di daerah itu. [128]
Last modified: 13/3/07

Monday, March 12, 2007

Militant to marry in police custody
Ruslan Sangaji, The Jakarta Post, Palu, March 12, 2007

A Poso militant currently in police custody is set to get married at Central Sulawesi police headquarters in Palu on Friday.
All facilities for the marriage of Muhammad Ardi, 31, to Yunita, 22, will be provided by the Central Sulawesi Police and the Densus 88 anti-terror police unit.
"I had planned to get married earlier, but because I've been detained at police headquarters since my capture, I will get married here," Ardin said at Bhayangkara Hospital in Palu on Saturday.
Ardin has been engaged to Yunita for one year. The two agreed to have their wedding at the police headquarters' mosque.
Ardin, a member of the Laskar Kompak militant group, was arrested by police in an operation at Kayamanya village in Poso on Jan. 31, 2007. At the time of his arrest he was with Basri, a man high on the police's most-wanted list. Police say Ardi was shot in the leg while trying to resist arrest.
Ardin was treated at Bhayangkara Hospital and can now walk normally. Together with Ardin at the hospital was Muhamad Jufri, 25, who was shot in the gut during a clash between police and militants at Tanah Runtuh in Poso on Jan. 22. He also received a wound from being hit in the head with the butt of a police rifle.
Ardin said before his arrest, he and several others on the police's wanted list were caught twice by traffic police for not having vehicle documents. However, he was released after paying a fine of Rp 30,000 (US$3.15).
The first time police stopped Ardin and his group, they were in the process of launching their fatal shooting of Rev. Susianti Tinulele at Efatha church in Palu in 2004.
Ardin said the intended victim of the attack was not Susianti but Rev. Irianto Kongkoli. However, unbeknownst to Ardin's group, Susianti had taken Kongkoli's place at the time of the attack.
"According to the schedule, Rev. Kongkoli was available at the church. We realized later through the media there was a change in the schedule after the shooting," Ardin said.
Ardin said the second time his group was stopped by police, in Dec. 2005, they were on their way to Palu to attack the Immanuel and Anugerah churches. They were stopped in front of Central Sulawesi mobile brigade headquarters in Palu. All in the car were searched and released after police failed to find any prohibited items.
"At the last operation, I was very afraid because our mission... was to shoot churchgoers. In the two churches there were many churchgoers from Poso. That was our target," he said.
Ardin expressed remorse for the attacks said he was ready to accept any sentence he receives.

Sunday, March 11, 2007

C. Sulawesi to revive tourism at Lake Poso
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, March 11, 2007

Apart from refugees, visitors have long shunned Lake Poso. Since conflict drove all willing visitors away, many of the lake's tourist facilities have fallen into disrepair.
Before the outbreak of conflict in 1998, the lake, which sits 657 meters above sea level in Tentena, North Pamona district in Poso regency, Central Sulawesi, was well known for its beautiful scenery.
A newspaper article once compared the shores of Lake Poso to Bunaken beach in Manado, the beaches of Lombok, and Lake Toba, North Sumatra.
Its crystal clear water is greenish at its edge, becoming bluer as the water deepens towards the middle.
Before the conflict, the area was one of Central Sulawesi's main tourist destinations, with many travel agencies including Lake Poso as one of the province's must-see spots.
The local administration held the internationally-acclaimed annual Lake Poso Festival for foreign and domestic visitors.
Tourists did not just enjoy the beautiful lake, the black orchid forest and the cool climate, but also wished to meet the beautiful girls of Pamona -- who are of mixed Chinese, Manado and Poso descent.
But all this was before the outbreak of the current fighting, which has claimed at least 1,000 lives.
These days Lake Poso, which spans 32 km from north to south and 16 km from east to west, is all but forsaken by visitors.
Facilities such as government-built cottages have been turned into shelters for people displaced by the conflict. Many of these facilities are falling into ruin.
But the Central Sulawesi Cultural and Tourism Office is unwilling to leave Lake Poso in isolation.
The office head, Mashud Kasim, said his office has dispatched a team to make a list of damaged facilities around the lake in order to rebuild the area.
"We have listed all damage caused by the conflict in the lake area and will start restoration in April," Mashud said recently.
The tourism office, he said, would also revive the Lake Poso Festival, which was last held in 1997, once the restoration work around the resort area was completed.
"God willing, we will organize the festival at the end of this year. If that's not possible, we will adjust the schedule according to the holiday season in Europe," said Mashud, who will visit Germany to promote Central Sulawesi's tourism potential.
To kick off the festival, Mashud said his office will organize a tour car rally, in cooperation with the Indonesian Motor Association (IMI), along the Palu-Poso-Tentena route.
"We hope the tour rally and festival will rejuvenate tourism in the area, so Lake Poso will no longer be left in isolation," Mashud said.

Saturday, March 10, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Ada Pelanggaran HAM di Poso

[PALU] Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Zoemrotin K Susilo menegaskan, secara umum polisi telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam menangani kasus-kasus kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
"Kita sedang mengklarifikasi hasil temuan kita di Poso apakah telah terjadi pelanggaran HAM berat ataukah masih dalam taraf pelanggaran HAM biasa yang dilakukan polisi," ujar Zoemrotin usai peresmian kantor perwakilan Komnas HAM Sulteng, Jumat (9/3) di Palu.
Pelanggaran HAM seperti menghilangkan nyawa belasan orang sehingga jelas telah melanggar hak hidup seseorang, hilangnya rasa aman masyarakat karena tindakan aparat yang menangkap orang dengan cara-cara represif, bahkan adanya kasus-kasus salah tangkap warga di Poso lalu dilepaskan kembali, menurut Zoemrotin sebagai tindak pelanggaran HAM oleh aparat.
Dikatakan, penyelidikan terhadap pelanggaran HAM di Poso akan dilihat dari pihak aparat juga masyarakat. Misalnya dalam kasus penggerebekan para tersangka perusuh Poso tanggal 22 Januari 2007, kendati 13 orang tewas tertembak polisi, namun dapat dipahami secara hukum saat itu polisi melakukan operasi menghadapi masyarakat kelompok bersenjata di Poso.
Tapi dalam kasus penggerebekan oleh aparat di kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo Poso yang menewaskan beberapa warga tanggal 22 Oktober 2006, Zoemrotin menegaskan ada unsur pelanggaran HAM oleh aparat dalam kejadian itu.
Misalnya ada pegawai RSU Poso yang dianiaya aparat, penangkapan warga oleh aparat dengan cara kekerasan, semua ini sedang diklarifikasi Komnas HAM dengan pihak Polri sehingga kasusnya dapat segera ditindaklanjuti.
"Hasil dari klarifikasi kita dengan Polri, kita sudah mendapatkan laporan lisan bahwa sudah ada perkembangan di mana Polri sedang mengusut kasus pelanggaran HAM dalam kejadian 22 Oktober di Poso. Semua ini kita pantau," tegasnya.
Mengenai kasus tewasnya 4 warga di Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) karena ditembak polisi, Komnas HAM kata Zoemrotin, baru akan turun ke Bangkep pertengah- an Maret untuk menyelidiki kejadian itu.
Sementara itu, Kapolda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haiti yang ditemui di acara yang sama mengatakan, silahkan saja dilakukan pengusutan kasus pelanggaran HAM terkait penegakan hukum oleh polisi di Poso.
"Silahkan diusut sesuai ketentuan yang ada, dan kalau memang benar ada pelanggaran HAM, kita akan proses," tantangnya.
Dikatakan, upaya pengejaran terhadap para perusuh di Poso sampai saat ini masih terus dilakukan, dan sebuah tim gabungan sedang dikirim ke Pulau Jawa untuk mengejar para daftar pencarian orang (DPO) Polri dalam kasus Poso yang bersembunyi di beberapa daerah di Jawa. [128]
Last modified: 9/3/07

Thursday, March 08, 2007

'Krespo' to voice Poso's young generation
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, March 8, 2007

When Poso was hit with sectarian conflict between 1998 and 2001, both local and foreign groups took great interest in the problems of the Central Sulawesi town. They worked to win projects and attempted to reconcile the respective Christian and Muslim communities at the center of the conflict.
The then coordinating minister for political, legal and security affairs, Susilo Bambang Yudhoyono, now the country's President, and the then coordinating minister for the people's welfare, Jusuf Kalla, now Vice President, managed to appease the two warring parties.
They conciliated the groups by sponsoring the Malino peace pact at the end of 2001. The meeting attempted to set in stone 10 points of agreement, referred to as the Malino Declaration. Accordingly, tensions gradually died down, despite sporadic eruptions to this day.
Following the declaration, the government then held peaceful ceremonies in the villages across Poso. Local peace activists set up non-governmental organizations (NGO) and continued peace efforts by organizing cultural meetings and discussions in the villages of both opposing communities.
The respective Christian and Muslim communities were able live side by side until now, thanks to the tedious reconciliation process.
Director of foreign NGO Cardi, Decy Sophan, said the current situation must be maintained and gradually improved as it was back in 2001.
"I think one of the efforts required to maintain the non-violent situation is an open communication between the former warring parties, since it would be very dangerous if communication was restricted or purposely hampered," he told The Jakarta Post recently.
In the spirit of maintaining a non-violent situation, the group planned to publish a bulletin for Poso called Krespo.
Prior to publishing the bulletin, the group will recruit two potential reporters from each of Poso's eight districts.
"We will train them in Poso, before publishing Krespo," said Decy.
According to the director, the bulletin is later expected to allow Poso's youth an opportunity to voice their opinions in a journalistic capacity and engage in media management.
Decy criticized a number of local and national media outlets for sensationalizing news on Poso.
The journalists, he said, would "attack" Poso when it was struck by acts of terror. But after the blood had dried and people in the villages converged and held peace meetings, the town would be snubbed by the press.
"That's what I call sensational. News on Poso is regarded as exciting only when there is blood and death," Decy said.
He said he hoped that local reporters and national media correspondents in Central Sulawesi would change this paradigm in order to inform the public that Poso was safe and not as turbulent as reported in the media.
Decy said the public was appalled by the violent nature of news from Poso. "The Krespo bulletin will not feature such news," he said assuredly.
Meanwhile, chairman of the Central Sulawesi chapter of the Indonesian National Youth Committee (KNPI), Hardy Yambas, told the Post his group would hold a national workshop on conflict resolution in April. Participants would include KNPI leaders from across the country.
He said the youth committee planned to invite President Susilo Bambang Yudhoyono to officiate the event and deliver its keynote speech. Also on their invite list was State Minister for Youth and Sports Affairs Adhyaksa Dault and a number of other local and national leaders.
"We have prepared everything, including the invitation for the President and minister. But they have not yet fixed the right time to attend," said Hardy.
The seminar will focus on key solutions not only to problems in Poso, but also to matters at a national level.
"I perceive there is something being ignored in the peace process, since the conflict has not been totally resolved up to now," Hardy said. "What's actually behind the conflict? I hope the seminar can uncover everything."

Wednesday, March 07, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polisi Poso Sita 5 Senjata Api

[PALU] Polres Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), kembali menyita sedikitnya 5 senjata api (senpi) terdiri dari 3 senpi organik dan 2 rakitan beserta 15 butir amunisi aktif berkaliber campuran. Ketiga senpi organik terdiri dari 2 pucuk M-16, 1 senpi US Carabine.
Kapolres Poso, AKBP Rudy Sufahriadi mengatakan, senjata-senjata berbahaya itu ditemukan di rumah yang sudah tak berpenghuni di Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota.
"Senjata-senjata itu ditemukan aparat TNI yang turut membantu polisi dalam mengamankan situasi Poso," kata Rudy yang dikonfirmasi Rabu (7/3) pagi.
Aparat berhasil menemukan keberadaan senjata itu, lanjutnya, setelah adanya pengakuan dari Agus Jenggot alias Boiren dan Rizal alias Inong, dua tersangka perusuh Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri namun akhirnya menyerahkan diri ke aparat Kopassus TNI pada Kamis (22/2) di Poso.
Agus dan Rizal yang diduga terlibat kasus mutilasi 3 siswa SMU Poso serta beberapa kasus kejahatan lain di Poso, kini sedang diperiksa di Mabes Polri bersama dengan sekitar 10 DPO lain yang sebelumnya sudah tertangkap/menyerahkan diri ke polisi.
Rudy mengakui senjata-senjata yang kembali ditemukan itu pernah dipakai para DPO untuk melakukan aksi-aksi kejahatannya di Poso dan telah menelan banyak korban.
Situasi di Poso saat ini tenang dan lancar. Setelah polisi menangkap para DPO Polri yang selama ini bersembunyi di Gebang Rejo, kini nyaris tak terdengar lagi teror-teror ledakan bom maupun tembakan yang membuat trauma warga di Poso. "Kita sekarang sudah mulai bisa tidur lebih tenang," kata Mama Dede, seorang warga di Poso.
Namun, warga tetap meminta polisi untuk mengungkap tuntas akar-akar kejahatan di Poso yang diya- kini belum sepenuhnya terungkap. [128]
Last modified: 7/3/07

Saturday, March 03, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Rapat Koordinasi Polda se-Sulawesi
Tersangka DPO Kasus Poso Harus Ditangkap


[MAKASSAR] Kepolisian Daerah (Polda) se-Sulawesi menargetkan pengejaran dan penangkapan terhadap tersangka yang kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus Poso, Sulawesi Tengah (Suteng). Pengejaran dan penangkapan DPO Poso menjadi target bersama Polda se-Sulawesi, sebab tidak tertutup kemungkinan mereka lari dan bersembunyi di provinsi lain di Sulawesi dan memperluas aksinya. Masih ada delapan orang DPO yang belum tertangkap.
Hal itu dikemukakan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan (Sulsel), Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Aryanto Boedihardjo kepada wartawan, Jumat (2/3), seusai mengikuti rapat koordinasi (Rakor) Kapolda se-Sulawesi, di Makassar, berlangsung hingga Sabtu (3/3).
Rakor itu , diikuti Kapolda Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. "Semua Polda di Sulawesi akan bekerja sama dan menargetkan pengejaran serta penangkapan DPO Poso, agar tidak memperluas aksinya dan melakukan teror seperti yang dilakukan di Poso. Kita juga tidak menginginkan mereka kembali lagi ke Poso melakukan kerusuhan," tandas Aryanto.
Dikatakan, sebagai implementasi dari kerja sama kelima polda, akan dilakukan pertukaran informasi, pertukaran intelijen, penentuan pos-pos perbatasan dan membentuk penyelidikan serta penyidikan bersama. Dan untuk kasus-kasus tertentu, akan dilakukan operasi kepolisian bersama.
Kejahatan Transnasional
Aryanto mengatakan, aksi teroris merupakan salah satu kejahatan transnasional yang harus ditangani bersama. Angka kejahatan kasus teroris di Sulawesi terbilang cukup tinggi, jumlahnya mencapai 50 kasus dan terbanyak terjadi di wilayah Sulawesi Tengah.
"Kejahatan transnasional lainnya yang cukup tinggi adalah perdagangan narkoba, mencapai 272 kasus, perdagangan manusia sebanyak 11 kasus, cyber crime 7 kasus dan money loundring 2 kasus," ujarnya.
Menurut Aryanto, wilayah Sulawesi berbatasan dengan Filipina dan Malaysia, sangat strategis bagi perlintasan dan menjadi pintu masuknya para pelarian dan pelaku aksi teroris.
Salah satu bukti adalah ditemukannya senjata api yang digunakan pada konflik Poso, ternyata bersumber dari Filipina. Bukan hanya itu, Sulawesi juga menjadi pelintasan bagi pelaku teroris atau kerusuhan dari dalam negeri, terutama dari Pulau Jawa menuju Indonesia Timur, seperti Ambon. Mereka selalu transit di Sulawesi sebelum menuju ke Ambon atau Poso dan wilayah lainnya di Indonesia Timur.
"Kerja sama dan koordinasi semua Polda perlu ditingkatkan, guna mencegah para pelaku teroris, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang memasuki wilayah Sulawesi. Sebab, daerah ini selalu dijadikan daerah pelintasan dan pintu masuk bagi para pelaku teroris itu," jelas Aryanto. [148]
Last modified: 3/3/07