Tuesday, May 31, 2005

Bom Poso dan Korupsi Dana Kemanusiaan Korban Kerusuhan Poso
Pernyataan Pers BersamaWahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)Yayasan Tanah Merdeka (YTM) PaluLembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) PosoYayasan Panorama Alam Lestari (YPAL)

Tentang Bom Poso dan Korupsi Dana Kemanusiaan Korban Kerusuhan Poso
Tragedi kemanusiaan Poso yang terjadi sejak 1998 memakan korban tidak sedikit. Lebih 1.000 penduduk meninggal, ratusan lainnya cedera, ribuan rumah, dan bangunan terbakar, puluhan ribu orang berulang-ulang menjadi pengungsi. Inilah peristiwa paling kelam dalam sejarah kemanusiaan Poso.
Tragedi kemanusiaan Poso tidak pasti kapan akan berakhir. Peledakan bom di Tentena, Poso, pada tanggal 28 Mei 2005, yang menewaskan 21 orang dan mencederai lebih dari 70 orang menunjukkan bahwa aparat keamanan telah gagal memberikan jaminan rasa aman kepada warga selama tujuh tahun ini.
Di tengah-tengah tingginya tingkat saling percaya antar-komunitas yang berbeda agama dan suku di Poso saat ini, maka peristiwa peledakan bom di Tentena, bagaimanapun mengundang tanda tanya berkenaan dengan motif dan pelaku peristiwa tersebut. Bahwa, peristiwa pemboman ini tidak serta-merta merupakan kekerasan antar-komunitas, tetapi memiliki motif-motif ekonomi politik yang sangat kental. Paling penting di antaranya adalah bahwa peristiwa pemboman ini cenderung bermotifkan usaha untuk mengalihkan isu korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso.
Dasar motif tersebut, dapat dijelaskan dari:
Korupsi Dana Pengungsi PosoPemerintah pusat telah mengucurkan dana tidak kurang Rp. 162 milyar, untuk membiayai penduduk Poso karena kerusuhan. Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Sulawesi Tengah, yang dipimpin Saudara Andi Azikin Suyuti adalah penanggungjawab pengelolaan dana sebanyak itu untuk lauk-pauk, jaminan hidup (jadup), dan bekal hidup (bedup), bahan bangunan rumah (BBR), dan biaya pemulangan pengungsi. Itu di luar Rp 35 milyar untuk pembangunan rumah tinggal sementara (RTS), yang dikelola Dinas Kimpraswil Sulawesi Tengah.
Dalam pelaksanaannya, proyek-proyek bantuan kemanusiaan itu sarat korupsi. Modusnya bermacam-macam. Pertama, pemotongan hak-hak pengungsi. Ini terjadi dalam pelbagai kasus, mulai dari jadup dan bedup, BBR, hingga pemulangan pengungsi. Investigasi kami di lapangan dalam proyek BBR, bisa dilihat bagaimana modus ini terjadi. Nilai BBR untuk setiap rumah adalah Rp. 4,5 juta. Temuan kami di 20 desa sampel menunjukkan rata-rata keluarga hanya menerima Rp. 2,5 juta. Dalam catatan kami, ada sekitar 6.000 unit BBR, sehingga jika pola desa itu digunakan juga di desa-desa lain, maka terdapat sekitar Rp. 12 milyar hak penduduk Poso telah dijarah koruptor.
Kedua, pembayaran palsu kepada pengungsi. Contohnya, dalam proyek pengembalian pengungsi. Dalam proyek ini, banyak warga desa/kelurahan yang dicatut namanya telah menerima dana pengembalian pengungsi, lengkap dengan tanda tangan mereka. Pada saat daftar rekapitulasi pemulangan pengungsi diperlihatkan, mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, karena sama sekali tidak pernah menerima dan tanda tangan yang tertera berbeda dengan tanda tangan asli miliknya.
Modus lain, munculnya ribuan nama asing di desa/kelurahan tertentu. Beberapa Kepala Desa menyatakan tidak memiliki warga, seperti tercantum dalam daftar rekapitulasi pengungsi. Tetapi, orang-orang itu dilaporkan sudah menerima dana pemulangan pengungsi. Lebih aneh lagi, karena nama-nama asing itu memiliki tanda tangan yang seragam.
Dalam kasus ini, investigasi kami mendapatkan praktek manipulasi yang sangat telanjang. Lebih ari 4.300 pengungsi yang dilaporkan sudah menerima dana pemulangan pengungsi, 60% di antaranya adalah penduduk fiktif atau penduduk yang dipalsukan tanda tangannya. Kerugian negara, dalam kasus ini, mencapai sekitar Rp. 8 milyar.
Ketiga, penggelembungan jumlah pengungsi. Modus ini, secara telanjang mata, terjadi dalam kasus bantuan jadup dan bedup. Dilaporkan bahwa jumlah pengungsi Poso yang memperoleh jadup dan bedup mencapai 31.326 kepala keluarga. Jumlah paling besar adalah Poso Kota sebanyak 11.726 kepala keluarga dan Kecamatan Poso Pesisir sejumlah 9.563 kepala keluarga.
Angka-angka itu, benar-benar merupakan hasil penggelembungan. Karena, jumlah penduduk Kecamatan Poso Kota hanya 6.367 kepala keluarga dan Poso Pesisir sejumlah 5.148 kepala keluarga. Artinya, terjadi penggelembungan penduduk sebanyak 5.359 kepala keluarga di Poso Kota dan 4.415 kepala keluarga di Poso Pesisir atau sebanyak 9.774 kepala keluarga, di kedua kecamatan itu. Karena, setiap kepala keluarga memperoleh Rp. 2,5 juta untuk jadup dan bedup, maka dalam kasus penggelembungan ini saja uang negara telah raib sekitar Rp. 24,4 milyar.
Tentu saja, penggelembungan jumlah keluarga pengungsi untuk jadup dan bedup mengakibatkan angka kerugian negara jauh lebih besar. Karena, angka yang realistis untuk keluarga pengungsi akibat konflik Poso hanya sekitar 15.430 kepala keluarga, dibanding 31.325 kepala keluarga berdasarkan versi resmi Dinkesos Propinsi Sulawesi Tengah. Artinya, terjadi penggelembungan sekitar 15.895 kepala keluarga. Dengan jumlah itu, paling sedikit telah terjadi penjarahan uang negara sekitar Rp. 39,7 milyar.
Teror-Teror Terhadap Upaya Pengungkapan Korupsi Dana Kemanusiaan Pengungsi Poso Bertahun-tahun, korupsi dana kemanusiaan pengungsi tidak pernah terungkap ke permukaan. Karena, selama ini, perhatian publik lebih terfokus ke kekerasan yang secara berulang terjadi dan tidak pernah berakhir di sana. Kasus ini juga tertutup rapi, karena praktek korupsinya berbentuk jejaring yang melibatkan aparat penegak hukum, politisi, pengusaha, hingga preman. Dimana masing-masing pihak berusaha untuk menutupi dan melindungi korupsi yang dilakukan anggota jejaringnya.
Tetapi, ketika upaya pengungkapan korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso berlangsung massif dalam lima bulan terakhir, maka rangkaian teror dan kekerasan mulai marak terjadi. Ancaman pembunuhan dan kekerasan mulai marak terjadi. Ancaman pembunuhan dan kekerasan terhadap anggota masyarakat dan aktivis organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam upaya pengungkapan korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso mulai muncul di mana-mana. Pemboman dua kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso dan Pusat Rekonsiliasi Konflik Poso (PRKP) pada tanggal 28 April 2005, merupakan puncak dari teror dan ancaman kekerasan itu.
Pengeboman yang terjadi di Pasar Tentena, Poso, juga terindikasi merupakan bagian dari upaya untuk mengalihkan isu pengungkapan korupsi dana kemanusiaan Poso. Hal ini terlihat dari keberhasilan aparat keamanan menangkap 3 orang –Ahmad Laparigi, Andi Makassau, dan Abdul Kadir Sidik—yang diduga terlibat dalam kasus korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso dan pelaku yang dituduh terlibat dalam peristiwa pengeboman tersebut. Seperti diketahui, ketiganya adalah pelaku yang terlibat dalam kasus korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso dan pelaku yang dituduh terlibat dalam sejumlah pembunuhan dan penembakan di Poso sebelum ini. Ketiganya, saat ini, tengah menjalani sidang pemeriksaan Pengadilan Negeri Poso. Karena di antara mereka terlibat dalam dugaan korupsi dana kemanusiaan senilai Rp2,2 milyar dan pembunuhan Kepala Desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir, tahun lalu.
Apa yang Harus Dilakukan?Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut: Pertama, mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengungkap aktor di balik pemboman di Pasar Tentena, Poso. Semakin cepat pengungkapan kasus ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat dan memberikan iklim yang kondusif terhadap pemulihan keamanan dan saling percaya antar-komunitas yang berbeda agama dan suku di Poso.
Kedua, mendesak aparat penegak hukum untuk menyelidiki hubungan antara pemboman dan korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso. Indikasi awal sudah cukup jelas dengan adanya penangkapan terhadap tiga orang pelaku kekerasan dan korupsi di Poso saat ini. Hendaknya, aparat kepolisian mengembangkan penyelidikan dengan memeriksa Kepala Dinas Kesejahateraan Sosial Propinsi Sulawesi Tengah (juga merangkap pejabat sementara Bupati Poso), karena hubungannya secara fungsional dengan ketiga orang tersebut, dalam proyek penyaluran dana kemanusiaan pengungsi Poso yang sarat dengan korupsi.
Ketiga, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memprioritaskan penanganan kasus korupsi dana kemanusiaan pengungsi Poso. Karena, bagaimanapun kasus korupsi ini selain berniali puluhan milyar rupiah, kasus ini juga sudah menggunakan teror dan kekerasan sebagai metodenya.
Keempat, pemberantasan korupsi dana kemanusiaan harus menjadi agenda bersama warga Poso. Karena, korupsi dana kemanusiaan merugikan semua warga, apapun agama dan suku mereka. Inilah kesempatan bagi warga Poso untuk menemukan musuh bersama (common enemy) mereka, yakni para koruptor. Siapa tahu, dengan menempatkan koruptor sebagai musuh bersama, merupakan momentum untuk membangun rekonsiliasi yang sejati di Poso.
Jakarta, 31 Mei 2005
Chalid Muhammad (Direktur Eksekutif WALHI)Munarman (Ketua YLBHI)Iskandar Lamuka (Direktur Pelaksana Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Poso)Robert Rombot (Direktur Pelaksana Yayasan Panorama Alam Lestari Tentena)Arianto Sangaji (Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka Palu)
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:M. Teguh Surya Deputi Direktur WALHI Riau
');
// -->
Email M. Teguh Surya Telepon kantor: +62 - 0761- 22545Mobile: Fax: +62 - 0761- 22545
Tanggal Buat: 31 May 2005 Tanggal Update: 06 Jun 2005