Thursday, December 11, 2008

Rumah Sakit Dianggap Seperti Terminal, Pasien Kabur
Kamis, 11 Desember 2008 21:37 WIB

TEMPO Interaktif, Poso: Gara-gara pelayanan di Rumah Sakit Umum Poso dinilai buruk, seorang pasien yang tengah dirawat melarikan diri meski di tangannya masih ditancap jarum infus. Pasien bernama Khalis Said itu mengaku terpaksa keluar lebih cepat karena tidak betah berada di Rumah Sakit Umum tersebut. "Tidak betah saya dirawat di RSU. Seperti tinggal di terminal, kamar mandinya jorok, tidak ada air lagi," kata Khalis di Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (11/12). Menurut Khalis, selama di rumah sakit, dokter tidak pernah memberi tahu apa penyakit yang diderita. Karena itu, Khalis memutuskan untuk keluar dari rumah sakit meski selang infus di tangannya masih terpasang. "Lama-lama tambah sakit dan bisa mampus saya, mendingan lari," ujar Khalis yang masih tampak pucat. Selama dirawat di Rumah Sakit itu, Khalis sempat bertanya kepada para perawat jaga soal air di kamar mandi yang kosong. Tapi perawat hanya menjawab enteng, itu bukan urusan perawat. Sebelum lari dari Rumah Sakit Umum Poso, Khalis sempat pamit kepada petugas jaga dan menyelesaikan segala administrasi keuangan. Khalis dirawat di kamar Anggrek Kelas 1. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Umum Poso oleh keluarganya pada Jumat pekan lalu ketika para keluarganya mendapati dirinya tidak sadarkan diri. "Sampai saya kaget kok tiba-tiba ada di rumah sakit, waktu itu saya tidak sadar lalu dibawa ke RSU Poso oleh keluarga," ujar Khalis yang kabur dari RSU Poso pada Senin sore (8/12) lalu. Direktur Rumah Sakit Umum Poso Dr Asnah, yang saat ini masih berada di Rumah Sakit Umum Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, ketika dihubungi via telepon genggam mengaku belum menerima laporan adanya pasien yang kabur. Terkait pelayanan Rumah Sakit yang dinilai buruk, Asnah akan memberi keterangan sepulang dari mengikuti pelatihan di Rumah Sakit Umum Pangkep. DARLIS

Sunday, November 23, 2008

Belajar Perdamaian, Muslim Moro Kunjungi Poso
Minggu, 23 November 2008 20:13 WIB

TEMPO Interaktif , Poso: Sejumlah perwakilan dari organisasi masyarakat muslim Moro, Filipina Selatan, tiba di Poso, sejak Jumat, (21/11) lalu. Kedatangan para perwakilan muslim dari wilayah yang masih dilanda konflik tersebut merupakan rangkaian perjalanan yang mereka lakukan guna membangun perdamaian untuk Moro.

Perjalanan tujuh orang dari perwakilan ormas muslim Moro ke Poso difasilitasi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Mereka adalah, Ismael Mastura (Vice President Finance and Administration, Sultan Kudarat Islamic Academy, Bulalo), Amilhusin Jalilulla (Daen College of Islamic and Arabic Studies MSU-TCTO Bongao Tawi-Tawi), Nurmina D Injani (Administrative Assistant I Municipal Bugdet Office LGU Jolo), Yusop T. Alano (Provinsial Board Member Sangguniang Panlalawigan Office), Sherma Sappari (Principal Liwanag Kapayapan Foundation), Amilodin Sharief (Director Jamiat Muslim Mindanao) dan Zaenida Tan Lim (President Sarang Bangun Learning Center).

Di Poso, para perwakilan muslim Moro tersebut melakukan pertemuan bersama sejumlah tokoh muslim Poso dan korban kerusuhan di Kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso di Jalan Monginsidi, Kelurahan Bonesompe.

Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 9 pagi dan berakhir pukul 11.30 tersebut banyak mendiskusikan riwayat konflik dan pola penyelesaiannya di dua wilayah yang berjauhan, Moro dan Poso. Baik, Moro dan Poso hampir memiliki kesamaan konflik yang berakar dari ketidakadilan pemerintah yang berujung pada konflik antar penganut agama.

Namun, yang berbeda, pemerintah Indonesia dan masyarakat Poso mampu menyelesaikan konflik yang berlangsung hampir 10 tahun tersebut. Sementara, Pemerintah Filipina dan Masyarakat Moro sulit menemukan titik temu menyelesakan perseteruan yang telah berlangung puluhan tahun. Sejumlah tokoh muslim dan perdamaian Poso yang hadir dalam pertemuan tersebut seperti Udin Ojobolo, Yahya Mangun, Ruaida Untingo mengungkapkan, perdamaian hanya bisa dicapai karena kesungguhan pemerintah.

Kepala rombongan tokoh muslim Moro Ismael Mastura mengatakan kunjungan mereka ke Poso guna melihat secara dekat masyarakat dan pemerintah dalam menjalani proses pendidikan dan proses perdamaian di Poso. Mereka berharap, apa yang telah mereka lihat dan dengar langsung dari para tokoh-tokoh agama dan masyarakat dapat menjadi refrensi dalam pelaksaan proses perdamaian di Moro.

Sementara itu, koordinator rombongan dari UIN Jakarta Asep Setiawan mengatakan, para tokoh muslim Moro ini memilih melakukan studi banding di Poso karena mereka melihat konflik di Poso memiliki kesamaan dengan konflik yang terjadi di Moro yang dilatarbelakangi konflik antar pemeluk agama sehingga mereka berharap metode penyelesaian konflik yang telah dicapai di Poso bisa mereka terapkan Moro.

Direktur LPMS Poso Budiman Maliki Minggu (23/11) siang menyatakan kepada Tempo, salah satu wujud perdamaian yang dicapai adalah kerjasama antara pemerintah pusat dan masyarakat dalam mendukung seluruh proses pelaksanaan perdamaian. “Ini yang telah dilakukan di Indonesia dalam menyelesaikan konflik disejumlah daerah dan penting diterapkan juga oleh pemerintah Filipina dengan Masyarakat Moro,” sebut Budi.

Muslim Moro itu juga menyempatkan diri mengunjungi pesantren Hidayatullah di Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota. Rombongan diterima Pembina pesantren Hidayatullah Darwis Waru yang menggelar dialok di beranda Masjid Pesantren.

“Mereka tertarik dengan metode pendidikan pesantren yang kebanyakan diterapkan di Indonesia. Pola pendidikan ala pesantren bisa mereka terapkan di Filipina khususnya bagi bangsa Moro,”katanya.

Darlis

Saturday, September 06, 2008

70 Persen Ijazah Para Caleg Meragukan
Sabtu, 06 September 2008 05:42 WIB

TEMPO Interaktif, Poso:Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah akan mengembalikan sebagian besar berkas para calon legislator Kabupaten Poso. Ini karena dari 427 caleg yang mendaftar, 70 persen ijazah mereka meragukan.Indikasi adanya ijazah palsu para calon legislayor itu akan diselidiki lebih jauh oleh pihak berwenang. Selain dugaan banjir ijazah palsu, kebanyakan, ijazah-ijazah tersebut tidak dilegalisir dan hanya melampirkan surat keterangan pengganti ijazah. Itupun, legalisir dan keterangannya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.Di kantor KPUD Poso, Jumat ini 3 orang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan seorang dari Deperteman Agama Poso melakukan verifikasi ijazah para Caleg, di situlah banyak temuan ijazah remang-remang.“Masih banyak berkas para caleg yang harus perbaiki terutama masalah ijazah. Selain itu, banyak yang belum menyertai catatan Kepolisian,” kata Divisi Hukum, anggota KPUD Syamsul Gafur.Mulai 7 September, KPUD akan mengembalikan berkas yang bermasalah kepada para caleg untuk dilengkapi. Para calon anggota dewan itu masih punya waktu 11 hari untuk melengkapinya. Darlis

Tuesday, July 29, 2008

Janda-janda, Bukan Kue Korban Konflik

Kompas.com/Josephus Primus
Kue janda-janda tampil dengan dua warna, merah dan hijau. Warna hijau bisa diperoleh dari daun suji yang ditumbuk dan diperas airnya.
/Selasa, 22 Juli 2008 20:55 WIB


BUKAN lantaran Kabupaten Poso pernah terlanda konflik horizontal berdarah delapan tahun lalu yang membuat kue janda-janda terkenal. Memang, semua orang makin paham, konflik sia-sia itu menyisakan kenyataan mulai dari anak yang kehilangan orangtua hingga istri yang kehilangan suami.

"Ini kue sudah sejak lama dikenal masyarakat," kata Oktav Ondagau dari Wahana Visi Indonesia Area Development Program Poso pekan lalu di Desa Sangira, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Sangira tak sepelemparan batu jaraknya dari Poso. Desa ini terletak sekitar 55 kilometer dari Poso menuju selatan arah Tentena. Kurang lebih dua jam lamanya waktu tempuh jarak itu melalui Jalan Trans Sulawesi yang berhutan lebat. Lebar jalan yang menghubungkan bagian selatan dengan utara pulau yang juga kerap disebut Celebes itu cuma sekitar lima meteran.

Menurut Siti Pondete, guru sekolah dasar yang menjadi kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desa tersebut, mungkin disebut "janda" karena penganan berbahan dasar ubi kayu atau singkong itu manis rasanya. "Mungkin karena 'janda' itu manis rasanya," katanya berseloroh.

Untuk membuat kue berbentuk bulat ini, terang Siti, singkong yang juga banyak tumbuh di Sangira, harus dikupas. Kemudian, setelah dicuci bersih, ubi kayu itu diparut. Setelah itu, parutan dibentuk bulat.

Biasanya, kue janda-janda diisi potongan pisang. Potongan buah matang seukuran dua sentimeter itu dimasukkan ke dalam parutan yang sedang dibuat bulat. Sesudah dicampur gula pasir, terang Siti, bulatan tersebut dapat langsung dikukus hingga matang.

Kue janda-janda tampil dengan dua warna, merah dan hijau. Warna hijau bisa diperoleh dari daun suji yang ditumbuk dan diperas airnya. Kalau mau harum baunya, parutan singkong itu bisa juga ditambahkan perasan tumbukan daun pandan. "Warna merah bisa didapat dari pewarna makanan alami yang bisa dibeli di warung-warung," kata Siti.

Kalau sudah dingin, kua janda-janda, kemudian, ditaburi kelapa parut. "Gula pasir juga bisa ditambahkan kalau kue sudah matang," imbuh Siti.

Masyarakat Sangira kerap menyuguhkan kue janda-janda ini untuk berbagai kesempatan. Kue legit itu bahkan bisa menjadi teman saat minum teh atau kopi mulai pagi hingga malam hari. "Kalau ada pesta atau sembahyangan, kue ini pun kami sajikan," demikian Siti.

Josephus Primus

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
dohan @ Sabtu, 26 Juli 2008 09:10 WIB
jandanya apa bisa juga ya di cicipin.... he he he
buby @ Rabu, 23 Juli 2008 17:50 WIB
ehmmm...nikmat banget..sudah lama rasanya tidak merasakan kue ini...di jkt belinya dimana ya..jadi ngiler melihat fotonya

Kaledo, Gara-gara Cuma Dapat Kaki

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Kaledo menjadi pas rasanya asam pedas menyegarkan jika disajikan panas. Kaledo disantap bersama nasi atau ubi kayu alias singkong rebus. Agar terasa gurih, tambahkan pula bawang merah goreng ke dalamnya.

Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:05 WIB
SEJATINYA, Orang Donggala ketinggalan giliran kala ada acara pemotongan lembu di kawasan Sulawesi Tengah. Tapi, jatah paling bontot yakni kaki lembu justru jadi kuliner khas, khususnya di Kota Palu.
Mari simak anekdot dari Jamrin Abubakar, seorang penyair setempat. Konon, ada acara pemotongan lembu. Waktu itu, Orang Jawa datang pertama kali dan mengambil semua daging lembu. Oleh Orang Jawa, bagian yang menurut banyak kalangan paling enak rasanya itu diolah menjadi bakso.
Giliran kedua adalah Orang Makassar. Mereka yang kebanyakan tinggal di kawasan Sulawesi Selatan itu mengambil seluruh jeroan lembu macam hati dan usus untuk dijadikan coto makassar.
Nah, tinggallah Orang Donggala yang cuma kebagian sisa tulang, termasuk tulang kaki yang dagingnya cuma seiprit alias sedikit banget. Tapi, dari bahan minimalis itulah, kreativitas memasak Orang Donggala mencapai titik puncak. Berikut racikan bumbu seperti asam jawa dan cabe rawit, "barang sisa" itu kian sohor dengan sebutan kaledo atau kaki lembu donggala.
Kaledo memang cuma berbahan dasar tulang kaki lembu. Itu pengakuan Reny, salah seorang menantu pasangan almarhum Haji Mansur Kambacong (80) dan Hajjah Rahma Yusuf (70), pekan lalu saat kompas.com bersama David dari Wahana Visi Indonesia berkunjung makan ke Warung Kaledo Abadi di Jalan Diponegoro, Kota Palu.
Hajjah Rahma yang kebetulan tengah mengawasi proses pengolahan makanan tersebut mengatakan dirinya sudah menjalankan usaha kaledo sejak 1970- an. Sementara, Reny yang dipersunting putera kelima Hajjah Rahma yakni Ibrahim Haji Mansur dan kini ikut mengelola warung makan seukuran 20 meter x 5 meter di rumah keluarga mertuanya itu menambahkan mengolah kaki lembu menjadi makanan berkuah encer itu bukan pekerjaan mudah.
Mula-mula, tulang kaki berikut tulang bagian tubuh lembu lainnya dicuci bersih. Kemudian, usai dipotong-potong, seluruh bahan itu dimasak dengan air hingga mendidih. "Air rebusan itu harus dibuang karena di situ kan ada lemak-lemak yang harus juga dibuang," kata Renny.
Proses pertama dengan bahan bakar kayu bakar ini berlanjut ke proses kedua. Pada tahap ini bahan bakar kompor diganti dengan minyak tanah. "Waktu masak pertama kan lama, jadi kami pakai kayu," ujar Renny.
Pada proses kedua, bahan yang sudah ditiriskan dari air rebusan tersebut dimasak lagi dengan air hingga mendidih dan daging pada tulang sudah terasa empuk. Bumbu-bumbu yakni asam jawa mentah, cabe rawit hijau, dan garam pun dimasukkan. Renny mengungkapkan, perlu waktu sekitar dua jam untuk seluruh pengolahan tersebut.
Kaledo menjadi pas rasanya asam pedas menyegarkan jika disajikan panas. David kemudian menjelaskan, kaledo disantap bersama nasi atau ubi kayu alias singkong rebus. Agar terasa gurih, tambahkan pula bawang merah goreng ke dalamnya. "Kalau mau yang khas, ya, yang pakai singkong," katanya.
Siang hari yang lebih sering terasa panas terik di Bumi Tadulako itu adalah waktu paling cocok untuk menyantap kaledo. Warung Kaledo Abadi adalah satu dari beberapa tempat makan kaledo yang ada di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah itu. Di warung yang buka sejak pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah (Wita) hingga pukul 22.00 Wita, seporsi kaledo plus nasi atau singkong dibanderol Rp25.000.
Dalam hitung-hitungan Reny, tiap hari pihaknya bisa mengolah 10 kilogram kaki dan 15 kilogram tulang lembu. "Harga kaki lembu yang mahal, bisa Rp100.000 sebuah," imbuh Reny seraya menambahkan selama seharian sekitar 100 porsi lebih kaledo licin tandas dilahap pelanggan.
Bahan yang juga masuk dalam hitungan belanja adalah asam jawa dan cabe rawit. Rata-rata harga asam jawa seikat Rp1.000. Sementara, seliter cabe rawit harganya Rp20.000. Dengan modal belanja Rp500.000 sehari, usaha kaledo keluarga Hajjah Rahma yang warungnya bisa menampung 50 orang pelanggan ini bisa meraup pemasukan Rp2 juta tiap hari.
Selain Warung Kaledo Abadi, di Kota Palu dan sekitarnya, Anda bisa juga menikmati kaledo di Warung Kaledo Stereo di depan Pantai Taman Ria. Selanjutnya, di poros jalan Palu-Donggala atau tepatnya di Tumbelaka, ada pula Warung Kaledo Megaria. Silakan mencoba!
Josephus Primus

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

joko b. hermanto @ Jumat, 25 Juli 2008 21:06 WIBDemikian pula saya pernah makan Kaledo sebagai menu buka puasa di Poso tahun 1992 tepatnya di areal pelabuhan Poso di mana warung ini begitu sederhana namun sore itu tak banyak pengunjungnya. Yang mengherankan selepas santap Kaledo penjual menyuguhkan buah durian sebagai pencuci mulut dan wajib hukumnya untuk di makan dan buah durian ini gratis. Kalau yang punya kolesterol tinggi jangan coba-coba. Pokoknya enak banget sambil dibelai angin laut senja hari.

Henry @ Rabu, 23 Juli 2008 16:52 WIBSaya pernah makan di Luwuk Banggai di samping hotel Ramayana. Di Palu di jalan yang menuju Donggala. Rasana Ueeeeeenaaaaak. Sayang, saya gak ketemu yang jual Kaledo di Jakarta. Bisa ada yang bantu kasih pemncerahan???

Senang, Femmy Bisa Tersenyum Lagi

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Femmy ikut serta dalam pelatihan jurnalistik proanak di Siuri. Femmy yang terpaksa mengungsi karena konflik Poso sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama.

Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:42 WIB

DANAU Poso, siang menjelang sore. Angin yang bertiup menyapu ombak hingga ke pantai Siuri. Deburannya terdengar keras, tapi tak memekakkan telinga. Aliran air bening semata kaki itu menyentuh hamparan pasir pantai berwarna keemasan di kawasan yang berjarak lebih dari 283 kilometer ke selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Danau yang berada pada ketinggian 675 meter di atas permukaan laut ini merupakan danau ketiga terbesar di Indonesia. Dari ujung utara ke ujung selatan, panjang danau ini berkisar 32 kilometer dengan lebar 16 kilometer. Kedalamannya bisa mencapai 510 meter.
Kala itu Femmy masih duduk memandang ke arah danau yang cuma punya Sungai Poso sebagai satu-satunya saluran menuju ke laut lepas melalui Poso, ibu kota kabupaten. "Aku tinggal di Pamona Tentena sekarang," kata Femmy, kelahiran Poso 16 tahun lalu, membuka pembicaraan.
Delapan tahun lalu, bungsu dari tiga bersaudara ini bersama ayah dan ibunya terpaksa mengungsi ke Tentena. Kota kecil berjarak sekitar 58 kilometer dari Poso ini adalah ibu kota Kecamatan Pamona Utara. Konflik horizontal yang memprihatinkan itu membuat rumah tempat tinggalnya di kawasan pantai pelabuhan Poso di Teluk Tomini, tak jauh dari muara Sungai Poso, hangus terbakar. "Padahal rumah itu tempat yang paling menyenangkan," ujar pemilik nama lengkap Femmy Febriyanti Kumenit.
Memulai kehidupan baru di tempat baru awalnya memang terasa kurang nyaman. Rumah yang lumayan luas mesti berganti dengan rumah papan sederhana. "Tapi, meski kami sekeluarga berstatus pengungsi, tak pernah sehari pun kami lewati dengan kelaparan," begitu pengakuan rasa syukur Femmy.
Femmy tak sendirian. Karibnya, Ripka Margaretha, berikut keluarganya juga terpaksa mengungsi, menghindari dampak negatif kerusuhan. Kalau Femmy pernah tinggal di Poso, Ripka, anak kedua dari lima bersaudara ini, sebelumnya tinggal di Kabupaten Tojo Una-una, kabupaten termuda di Sulawesi Tengah. Kabupaten yang baru berumur lima tahun ini tadinya masuk dalam wilayah Kabupaten Poso.
Menurut Ripka, pelajar kelas XII IPA SMA GKST 2 Tentena, di kota yang terletak di tepi Danau Poso itu, dirinya dan keluarga memang harus memulai kehidupan dari nol lagi. Orangtuanya yang berprofesi di bidang pendidikan inilah yang ikut ambil bagian membangun kembali kehidupan di Tentena, melewati hal-hal sulit.
Sementara, pengalaman Hesty Pratiwi lain lagi. Tadinya, bungsu dari dua bersaudara, bersama ayah dan ibunya tinggal di Malel, Kecamatan Lage. Kecamatan ini masih dalam bagian Kabupaten Poso. Lagi-lagi, memilih untuk menghindari dampak tak mengenakkan dari peristiwa delapan tahun lalu, mereka menetap di Tentena.
Lokasi tempat tinggal Hesty sekeluarga ada di Kelurahan Pamona. Tepatnya di Posma. Orang sekitar mengenal Posma sebagai lokasi pengungsian warga asal Malel.
Tentu, aku Hesty, bukan perkara mudah membiasakan diri dengan berbagai hal baru. Apalagi, dengan kondisi tanah di kawasan itu yang selalu becek saat musim hujan. Soalnya, meski cuma berjarak 600 meter dari rumah, Hesty mesti menempuh jalur itu dengan berjalan kaki di tengah lumpur pekat.
Kebetulan sekali, Hesty, Femmy, dan Ripka menempuh pendidikan di sekolah sama. Pekan lalu, ketiganya juga bertemu dalam kesempatan sama, di Siuri. Sama-sama menambah pengetahuan dalam pelatihan jurnalistik proanak oleh Wahana Visi Indonesia Area Development Program Poso.
Tentena, kota berhawa sejuk ini sempat menjadi basis pengungsi korban konflik Poso. Kota seluas sekitar 400 meter persegi ini kedatangan sekitar 18 ribu jiwa. Tentena dengan enam kelurahan yaitu Tentena, Sangele, Pamona, Petirodongi, Tendeadongi, dan Sawidago, seturut data tahun lalu, dihuni oleh sekitar 25 ribu jiwa. "Sampai sekarang juga masih banyak pengungsi yang menetap di sini," kata Hendra J Parainta, mahasiswa Universitas Kristen Tentena yang ikut ambil bagian menangani problem pengungsi.
Sama seperti persoalan pengungsi di mana pun, segala hal kekurangan selalu menyertai mereka. Di tempat pengungsian, segalanya serba terbatas mulai dari pasokan air, listrik, ketersediaan bahan makanan, bantuan kesehatan, dan kesempatan dan kelengkapan pendidikan khususnya bagi anak-anak, dan lain sebagainya.
Ujung-ujungnya memang, pengalaman kurang mengenakkan acap dialami oleh anak-anak. Femmy, misalnya, mengaku sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama. Demikian halnya dengan kedua rekannya, Ripka dan Hesty.
Tak hanya itu. Sekarang, kawasan Tentena juga mengalami krisis listrik seperti terjadi di hampir seluruh wilayah Nusantara. Pagi, mulai pukul 06.00 Wita hingga pukul 18.00 Wita, listrik lebih sering tak mengalir ke daerah penghasil cengkeh, kakao, dan rotan ini. "Setiap hari ya mati listrik seperti ini," kata Budi, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah lama tinggal di Tentena, jauh sebelum konflik terjadi.
Kondisi serba minim inilah yang dikhawatirkan bakal menghalangi tercapainya pemenuhan hak anak untuk memperoleh pendidikan. Anak pun terancam tak bisa mengemukakan suaranya ke publik karena keterbatasan pengetahuan mengelola informasi.
Oleh karena itulah, seperti juga termaktub dalam catatan refleksi "Bagaimana Poso ke Depan?" di dalam buku Indonesian Top Secret Membongkar Konflik Poso, pemulihan kondisi masyarakat pascakerusuhan salah satunya dilakukan dengan pembelajaran berbagai hal baru untuk pengembangan wawasan pengetahuan. Termasuk, untuk anak-anak tentunya.
Mungkin belum seluruh kenangan kala gonjang-ganjing di Poso, kota yang ironisnya punya semboyan sintuwu maroso atau bersatu kita kuat, yang membekas di benak Femmy dan rekan-rekan delapan tahun lalu hilang. Tapi, bolehlah semua pihak senang karena Femmy bisa tersenyum lagi, menggali bekal di masa depan melalui pelatihan tersebut. "Cuma torang (saya) tak mau kalau kerusuhan seperti itu terjadi lagi. Torang tak mau lagi!" katanya sungguh-sungguh.Josephus Primus

Sogili Bakar dari Danau Poso

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Sogili bakar paling digemari ketimbang yang digoreng atau direbus. Soalnya, rasanya lebih gurih dan kesat.

Kompas, Selasa, 29 Juli 2008 17:03 WIB

ADA yang bilang, belum pas rasanya jika ke Danau Poso, pengunjung belum menikmati ikan sogili bakar. Hewan yang kerap disebut sebagai belut air tawar atau sidat ini memang menu khas andalan beberapa rumah makan, di Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
"Sogili juga ikan mahal. Sekilo bisa Rp45.000," kata Max Powandu dari Wahana Visi Indonesia Area Development Program (ADP) Poso yang mendampingi kompas.com mencoba makanan tersebut di Rumah Makan Rajawali, dekat dari Jalan Potuja, Tentena, dua pekan lalu.
Dua puluh tahunan silam, sogili atau anguilla celebensis mudah didapat di danau yang berada di ketinggian 675 meter di permukaan laut ini. Sogili yang sekujur tubuhnya berlendir ditangkap nelayan setempat menggunakan jaring, tombak maupun jerat berbentuk huruf V berbahan dasar bambu.
Kini, ikan yang tubuhnya rata-rata dua kali lebih besar ketimbang lele yang dijumpai di warung-warung pecel lele Ibu Kota, sudah terhitung langka. Sogili yang pernah ditangkap mencapai panjang 1,8 meter dan berat 20 kilogram. Warga Tentena, sekarang, melakukan budidaya ikan ini di dalam karamba.
Catatan yang dikumpulkan kompas.com dari Irwan Bauda yang juga peneliti asal Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Poso pada 1983 pun menunjukkan sogili bersama dengan ikan anasa (xenopoecillius oophorus), butingi (x poptae), padi (oryzias nigrimas), dan rono danau (oryzias ortognatus) adalah ikan endemik Danau Poso. Kelimanya sudah tergolong hewan langka.
Satu jenis ikan khas Danau Poso yang lainnya yakni bungu atau adrianictis kruity, pada tahun sama, malahan sudah dinyatakan punah. Tampaknya, ikan yang ukurannya 10-15 sentimeter itu mati karena getaran atau debu dari letusan Gunung Colo. Gunung yang letaknya tak jauh dari Danau Poso tersebut, tepatnya di Kabupaten Tojo Una-una, meletus pada tahun itu juga.
Tak cuma itu. Langkanya sogili juga disebabkan oleh perubahan ekosistem Danau Poso. Makin hari, makin banyak ikan dari luar daerah yang dimasukkan ke Danau Poso. Dalam hal ini, ikan mas atau karper (cyprinus carpio) serta ikan nila (oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di situ justru menjadi predator bagi ikan-ikan endemik Danau Poso.
Lalu, ketiadaan kontrol terhadap penangkapan ikan-ikan endemik di danau yang kedalamannya mencapai 510 meter itu juga menjadi penyebab kelangkaan. Sudah begitu, reproduksi ikan-ikan dimaksud terhitung lamban. Soalnya, Setiap kali bertelur, ikan endemik di Danau Poso cuma mengeluarkan 20-25 telur.
Tak kalah pentingya, pencemaran akibat sampah dan limbah rumah tangga di danau terbesar ketiga di Indonesia ini membuat jumlah ikan endemik makin ciut.
Nah, kembali ke menu, selain dibakar, sogili juga bisa direbus atau digoreng. Cuma, seturut pengakuan Max, sogili bakar paling digemari. Soalnya, rasanya lebih gurih dan kesat. "Mungkin lendir di tubuh sogili yang membuat rasanya enak," imbuh Max.
Proses pertama, setelah dibersihkan dan dipotong menjadi empat bagian atau sesuai selera, sogili dibakar di atas arang yang membara. Pada proses ini, belum ada bumbu yang ditambahkan.
Nanti, setelah matang, barulah sogili bakar diberi bumbu. Biasanya, bumbu yang dipakai adalah rica-rica atau dabu-dabu, lengkap dengan tambahan perasan jeruk nipis, potongan tomat, dan bawang merah. Kalau mau terasa manis, penikmat sogili biasanya menambahkan kecap manis pada bumbu sambal tersebut.
Sogili yang tersaji dalam keadaan hangat itu menjadi teman makan nasi. Nikmat rasanya bila nasi yang dihidangkan juga dalam keadaan hangat.
Sementara itu, seperti halnya pecel lele, sogili juga dihidangkan dengan lalap sayuran mentah seperti selada air, timun, maupun kacang panjang serta kemangi. Menikmati sogili bakar, terlebih pada siang hari, sembari memandang indahnya Danau Poso adalah satu dari kekayaan kuliner Tanah Air yang tak ternilai.
Josephus Primus

Tuesday, April 15, 2008

Komentar, 15 April 2008
Polri Akui DPO Poso Dr Agus Tertangkap

Polri memastikan DPO Poso Dr Agus telah ditangkap di Malaysia. Namun pihak kepo-lisian belum mau memberi-kan keterangan rinci terkait hal ini. “Ya besok saja ya, be-sok,” kata Kabareskrim Ma-bes Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakar-ta, seperti dilansir detik.com, Senin (14/04).Dr Agus diketahui adalah Waqalah JI Poso sejak 2006, menggantikan Hasanuddin yang tertangkap. Disebut-sebut dia adalah murid dari tersangka teroris Dr Azahari.Dr Agus pun diketahui per-nah menerima pelatihan me-rakit bom di Blitar pada 2005. Dan dengan keahliannya da-lam medis pernah memberikan pengobatan untuk buronan lainnya Noordin M Top. “Tidak hanya kasus Poso, ada yang lainnya. Besok saja (hari ini, red) ya,” tambah Bambang. Informa-si menyebutkan Dr Agus di-tangkap di Malaysia pada akhir Maret 2008 lalu, bersama ka-wannya Abu Husna. Padahal sebelumnya pada sekitar 2006-2007 diperkirakan Dr Agus melarikan diri dari Poso ke Fili-pina Selatan. Dia kini mende-kam di tahanan Brimob Kelapa Dua, setelah diekstradisi pada pekan lalu. Saat dikonfirmasi mengenai keberadaan Dr Agus, Bambang mengelak. “Ya nan-tilah,” tandasnya.(dtc)

Monday, April 14, 2008

Komentar, 14 April 2008
Malaysia Klaim Tangkap Teroris Jaringan Poso

Seorang dokter asal Indone-sia bernama Agus Idrus di-tangkap Polisi Diraja Malaysia karena memalsukan paspor. Kini pihak Malaysia meng-klaim dr Agus terlibat jari-ngan teroris Poso. Namun orangtua dr Agus, tidak yakin anaknya terlibat teroris. Keya-kinan itu disampaikan Ny Tamrin (68), ibu kandung dr Agus Idris saat ditemui detik-surabaya.com di rumahnya Jalan Petemon IV no 151 H, Surabaya, Minggu (13/04).“Anak saya itu sebelumnya memang tinggal di sini dan baru keluar sekitar tahun 2002 karena mendapat Penu-gasan Tidak Tetap (PTT),” im-buhnya. Ny Tamrin sangat ti-dak yakin jika anaknya terli-bat dalam jaringan teroris. “Saya tenang-tenang saja, karena anak saya itu seorang dokter dan orang yang baik. Serta insting seorang ibu yang saya punya mengatakan tidak mungkin anak saya ikut te-roris. Wong anak saya itu dok-ter kok,” yakin Ny Tamrin.Dokter Agus yang ditangkap Polisi Diraja Malaysia adalah seorang dokter yang lulus pada tahun 1997. Anak no-mor dua dari empat bersau-dara ini kemudian tinggal bersama istri dan seorang anak di Kalimantan pada tahun 2003.Dokter Agus Idrus ditangkap Polisi Diraja Malaysia bersa-ma Abu Husna alias Abdur-rahim, Sabtu lalu, adalah anak kedua dari empat ber-saudara. Dokter Agus diyakini polisi sebagai pemimpin jaringan Jamaah Islamiyah (JI) Poso menggantikan Hasa-nuddin yang telah dibekuk polisi sebelumnya.(dts)

Thursday, March 27, 2008

Teroris Pemasok Senjata ke Poso Dituntut Penjara Seumur Hidup
Komentar, 27 Maret 2008

Teroris yang kerap menjadi pemasok senjata ke Poso, Abu Dujana, dituntut penjara se-umur hidup karena terbukti melakukan tindak pidana terorisme. “Menuntut hukuman seumur hidup,” kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Paya-man di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (26/03).
Menurut jaksa, Abu Dujana alias Ainul Bahri alias Yusron Mahmudi alias Pak Guru ter-bukti memiliki amunisi dan sen-jata api yang kemudian didistri-busikan ke daerah konflik. Mi-salnya, kata jaksa, Abu Dujana telah mengirimkan potasium, senapan jenis M-16, revolver dan ribuan butir peluru ke Poso pada pertengahan dan akhir tahun 2006.
Abu Dujana juga terbukti mendanai sejumlah aktivitas terorisme di Moro, Filipina dan Poso, Sulawesi Tengah. Me-nurut jaksa, pria yang berbaju koko putih dan peci
hitam ini menerima dana dari terpidana terorisme Poso, Hasanuddin, sebesar Rp 30 juta. Uang itu kemudian di-sumbangkan kepada para keluarga atau aktivis yang sedang menjalani hukuman atau jandanya. Abu Dujana bersama terdakwa terorisme lainnya Zarkasih alias Mbah, lanjut jaksa, juga telah me-ngirimkan bantuan dana kepada para ‘ikhwan’ di Moro, Filipina pada tahun 2005 hingga Februari 2007.
Jaksa juga menyatakan, pria yang tertangkap di wila-yah Banyumas, Jawa Tengah pada 9 Juni 2007 lalu mela-kukan kejahatan korporasi atau secara bersama-sama. Buktinya, kata jaksa, Kepala Bidang Syariah Jamaah Is-lamiyah ini memiliki tugas yang jelas. Organisasi Al Ja-maah Al Islamiyah juga memi-liki struktur organisasi, ang-garan dasar dan tujuan yang jelas. ”Namun organisasi ini tidak terdaftar di pemerintah dan bersifat rahasia,” kata Payaman. “Oleh karenanya, ini masuk dalam lingkup korporasi.”
Selain menuntut hukuman seumur hidup, jaksa juga me-minta majelis hakim menyata-kan organisasi Al Jamaah Al Islamiyah adalah korporasi yang terlarang. “Terdakwa te-lah terbukti melanggar Un-dang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” kata Payaman.
Abu Dujana yang biasanya terlihat tenang terlihat kaget dengan tuntutan seumur hidup tersebut. Sambil geleng-geleng kepala, dia berkata, “Zalim, za-lim. Saya tidak pernah dibaiat oleh Abdullah Sungkar (Amir Jamaah al Islamiyah). Dan sa-ya tidak pernah bergabung de-ngannya. Sudah saya sebutkan dengan sebenar-benarnya. Ini banyak sekali bohongnya. Bu-kan kebenaran,” sesal pria yang mengenakan baju koko putih dan peci hitam tersebut. Abu Dujana selesai pembacaan tuntutan, terlihat pucat pasi. Na-da bicaranya pun bergetar, tan-da adanya ketakutan.(tic/dtc*)

Friday, February 22, 2008

Keragaman Hayati
Beberapa Spesies Ikan Air Tawar di Sulawesi Punah
Jumat, 22 Februari 2008 02:16 WIB

Jakarta, Kompas - Danau-danau di Sulawesi yang miskin spesies ikan asli kini justru ikan endemisnya terancam punah, antara lain Xenopoecilus sarasinorum, ikan endemis Danau Lindu yang tidak diketahui keberadaannya.
Selama ini untuk meningkatkan produksi perikanan danau dilakukan introduksi ikan dari luar kawasan.
Demikian diungkapkan Lukman, peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Fadly Y Tantu dari Universitas Tadulako, Palu, dalam ”Workshop: Global Change and Sustainable Resource Management-What Can Researchers Tell Decision Makers?”, yang diselenggarakan LIPI bekerja sama dengan STORMA (Stability of Rainforest Margins) di Jakarta, Kamis (21/2).
STORMA adalah kerja sama penelitian terpadu yang bersifat interdisiplin antara GAUG (Georg August University of Goetitingen) dan University of Kassel dari Jerman dengan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako.
Ikan panjang 8 cm ini, jelas Lukman, pertama kali dikoleksi FR Sarasin dan PB Sarasin serta diidentifikasi DE Rosen, ML Canne, dan Popta tahun 1905. Pada 1996, ikan X. sarasinorum tercatat sebagai spesies yang terancam punah oleh IUCN.
Selain di Danau Lindu, penelitian Fadly, peneliti akuakultur dari Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, juga menunjukkan punahnya ikan moncong bebek di Danau Poso dan ikan malele di Danau Matano.
Keberadaan 32 jenis ikan malele terancam akibat introduksi beberapa ikan dari luar Indonesia, antara lain cichlid dari Afrika dan lohan dari China. (yun)

Wednesday, February 20, 2008

Poso council demands answers in graft case
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, February 20, 2008

Members of the Poso legislative council in South Sulawesi have demanded the immediate settlement of a Rp 58 billion (US$6.4 million) recovery fund graft case.
The fund was designed to revive economic growth among victims of conflicts in Poso, but was instead allegedly channeled to a number of cooperatives, the council's speaker, Sawerigading Pelima, said.
He said, based on the council's findings, a portion of the fund was channeled to a cooperative using a ficticious name and to another cooperative and his family members.
"This is stupid. The case is getting serious, so it requires urgent settling," Sawerigading said Sunday.
He said the fund was also partly given to a number of cooperatives whose legal stature was questionable and to other cooperatives established soley for the sake of receiving the money.
The fund was handed over by the central government via the office of the coordinating minister for people's welfare to the Poso regency administration.
The central government also assigned the local industry, trade and cooperatives office to channel the money to those entitled to receive it through cooperatives. At least 57 cooperatives have been recorded to have received Rp 50 million to Rp 200 million each.
In the fund's disbursement, the industry, trade and cooperatives office imposed a levy of Rp 5 million to Rp 25 million on each cooperative, depending on the amount they had received. The fund distributor reported 27 cooperatives who had levies collected from them.
Upon inspection, most cooperatives turned out to have no offices. It is also thought much of the money was not spent on empowering conflict victims, but to buy private facilities like cars and motorcycles. "Yes, we've checked it, but the regency administration officials insist the fund disbursement already reached the target," Sawerigading said.
Manuel Pasepe, head of administration at the Poso industry, trade and cooperatives office, denied the allegation. "There is no malfeasance whatsoever," he said.
Manuel said the 57 cooperatives receiving the money were chosen from a total of 141 in Poso. Any cooperative failing to meet a set of requirements would automatically be dropped, he said.
Many conflict victims at Bone Sompe in Poso Kota district said they had not received aid. Hundreds of people went to the Poso regency office recently to question the fund distribution.
Syarifuddin Labatjo, one of the victims' lawyer, said the money should have been received last July.
"But many of them have got nothing thus far. What's wrong with this?" he asked.

Monday, February 11, 2008

Latea Cave, burial site of Pamona ancestors
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, Central Sulawesi, February 11, 2008

Latea Cave is more than 30 million years old. This natural cave is located in the limestone of Parere Hill. It is the place where the Pamona people, the indigenous residents of Poso, traditionally buried their ancestors.
The Pamona people have lived in the hills of Central Sulawesi for generations; particularly in the Wawolembo area. Their practice of putting the dead in caves did not stop until the 19th century.
Latea Cave is comprised of two sections. The first section is located at the lower part of the cave. Here you can find four pairs of coffins and 36 skeletons. The second section is located at the upper part of the cave. Here one can find 17 pairs of coffins, 47 skeletons and five bracelets. Both caves were renovated in 1994.
The manner in which the Pamona people buried their dead was similar to the burial practice till prevailing in Tana Toraja, South Sulawesi. "The Pamona people and the Toraja people historically share a very close kinship," says Yustinus Hoke, a cultural activist of Pamona. Owing to this kinship, some traditional practices of the Pamona and Toraja people are the same, including the practice of putting their dead in caves.
Another cave used by the ancestors of the Pamona people is the Pamona Cave. This cave is located on the edge of Lake Poso. It has 12 rooms. According to Yustinus Hoke, the specific rooms in which the dead were placed was dependent on their social class.
Although it is the burial site of the ancestors of the Pamona people, during the 20th and 21st century the Pamona Cave would become both an attractive tourist spot as well as a playground for the local kids.
Ruweyana Gundo, a local resident, told The Jakarta Post recently that she used to spend her free time inside the Pamona Cave in her childhood. Sometimes she and her classmates would skip class and spend their time playing in the cave. Relying on her childhood experience in the cave, Ruweyana can give a detailed description of each room.
"Only the first three rooms are easily accessible," said Ruweyana. "If you want to go to the other rooms you must use a flashlight as it is very dark there. The twelfth room is actually submerged under the water of Lake Poso," she said.
Latea Cave is located about two kilometers away from the main road of Tentena, the capital of North Pamona district, Poso regency. To get there, visitors must ride a motorcycle a distance of one kilometer and then walk for another kilometer from the main road.
Before reaching Latea Cave, one will have to pass two bridges. The first bridge is still in good condition while the second is in a poor state. Locals have used bamboo and wooden planks to cover the damaged part of the second bridge but the trip across remains precarious.
While the Pamona caves have been popular with foreign tourists in the past, more recently, since 1998 and the start of the prolonged bloody conflicts in Poso, visits to the area by foreign tourists have abated.
The last time both caves saw many visitors was in 1997 during the 9th Lake Poso Festival. "Since the violence the two caves have seen very few visitors," said Reverend Hengky Bawias, of the local church. The Reverend also commented that some of the facilities in the area have fallen into disrepair. "The second bridge began to deteriorate rapidly in 2004. Unfortunately very little has been done about it."
Reverend Hengky is saddened by the fact that neither Latea Cave or Pamona Cave were included in the 10th Lake Poso Festival which was held late last year. "The reason for excluding these important cultural heritage sites has remained unclear," said Reverend Hengky.
According to Roana Kabi, a member of the 10th Lake Poso Festival's organizing committee in charge of public affairs, the committee organized the 10th Lake Poso Festival simply to revive the festival.
"We will be sure to include all cultural and tourist items in the 2008 Lake Poso Festival. Right now, our goal is only to carry out a campaign to inform the world that Poso is a safe place," said Roana.

Saturday, January 26, 2008

SUARA PEMBARUAN DAILY
Terpidana Kasus Poso Meninggal

[PALU] Terpidana kasus kekerasan Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) Yusuf Asapa (35), Kamis (24/1) pagi, pukul 07.00 Wita, meninggal dunia di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Palu. Diduga meninggal karena penyakit tuberkulosis (TB) yang dideritanya.
Menurut rekan-rekannya di LP, pagi itu Yusuf ke kamar mandi dan terjatuh. Seorang rekannya yang melihat kejadian itu langsung menolong Yusuf dan membawanya ke poliklinik di LP tersebut.
Namun saat di poliklinik, Yusuf sudah tak sadarkan diri dan akhir- nya mengembuskan napas yang terakhir.
Oleh Tim Pembela Muslim (TPM) Poso, jena- zah Yusuf setelah disemayamkan di Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu, Kamis siang langsung dibawa ke Poso dan dike-bumikan hari itu juga di sana.
"Dari hasil pemeriksaan medis, Yusuf sudah lama menderita penyakit TB," ujar Harun Nyak Itam Abu, Ketua TPM Poso.
Tak Diautopsi
Dokter Kesehatan di Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng , Kompol dr Haris mengatakan semula jenazah Yusuf akan diautop- si namun keluarganya menolak.
Yusuf divonis 9 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dinyatakan terbukti terlibat pembunuhan warga Poso, I Nyoman Sumaryasa pada 29 Mei 2001.
Yusuf juga didakwa terlibat pembunuhan Briptu Agus Sulaiman serta penembakan mantan Kapolres Poso, AKBP Rudy Sufariady. Sedikitnya ada 12 kasus kekerasan di Poso yang dituduhkan pada Yusuf terlibat di dalamnya.
Yusuf dikebumikan di pekuburan umum Lawanga Poso. Ribuan warga Poso menghadiri prosesi pemakaman Yusuf termasuk Kapolres Poso AKBP Adheni Muhan serta para pejabat teras lainnya di daerah ini. [128]
Last modified: 25/1/08

Sunday, January 20, 2008

SUARA PEMBARUAN DAILY
Penyerobotan Hutan di Poso

[PALU] Sekitar 200 warga asal Sulawesi Selatan (Sulsel) saat ini secara tiba-tiba menyerobot masuk ke wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Warga itu secara terang-terangan menebang kayu hutan dan membuka kebun serta membuat permukiman baru di kawasan hutan yang dimasuki tersebut. Ini menimbulkan keresahan warga di Poso dan sekitarnya yang belum sepenuhnya pulih dari konflik.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Poso, S Pelima yang dikomformasi SP Jumat (18/1) mengatakan, sesuai hasil penyelidikan sementara sekitar 200 warga itu berasal dari wilayah Sulsel, dipimpin seorang lelaki bernama Tungkanan.
Warga tersebut, tambahnya, menyerobot kawasan hutan di Gunung Meko, Kecamatan Pamona Barat, sekitar 100 kilometer (km) dari Kota Poso. Penyerobotan itu sudah berlangsung sejak bulan Desember dan belum ada upaya pengamanan dari Pemda maupun kepolisian setempat.
"Mereka membawa mesin gergaji kayu, kapak, parang, dan menebang hutan, serta membuka permukiman baru di kawasan hutan tersebut. Situasi ini menimbulkan keresahan masyarakat di Pamona Barat," katanya.
Belum diketahui apa motif penyerobotan warga Sulsel tersebut. Dugaan sementara ada upaya okupasi warga tersebut ke Poso. Nama Tungkanan sendiri, adalah nama seorang tokoh warga Poso.
Kurang Cepat
Dikatakan, Bupati Poso kurang cepat menangani kasus ini, padahal telah berdampak pada keresahan warga karena sudah berlangsung sejak sebulan lalu, sehingga demi mencegah berbagai kemungkinan yang akan terjadi lebih parah, Pelima akan bertemu Gubernur Sulteng, HB Paliudju meminta agar masalah ini diselesaikan.
"Saya sudah melaporkan hal ini ke Kapolda Sulteng agar segera dilakukan tindak pengamanan," katanya.
Kawasan Gunung Meko, tambahnya, merupakan salah satu daerah tangkapan air untuk wilayah Poso dan sekitarnya. Kawasan hutan di wilayah tersebut juga tengah diusulkan menjadi kawasan hutan lindung.
"Kalau hutan ini di- rusak, bisa terjadi banjir parah di Pamona Barat dan bisa merambah di da-erah-daerah lain di Poso," katanya.
Seperti diketahui situ-asi Poso saat ini relatif aman. Pemerintah Kabupaten Poso masih sibuk melakukan pemulihan kembali daerah itu, baik pemulihan keamanan, ekonomi, sosial, dan politik. [128]
Last modified: 19/1/08

Tuesday, January 08, 2008

C. Sulawesi nomads keep old customs alive
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, Central Sulawesi, January 08, 2008

Some of the women were dressed in clothes that left their shoulders bare. They wore basic make-up and brought baskets made from leaves.
Some women carried baskets full of their daily needs on their heads, some slung them across their shoulders, while others were carried by hand.
Some of the men were wearing socks, others used waistcoats made from tree bark; some were just wearing sarongs and head cloths. Others came bare-chested and walked along carrying spears, blowpipes and machetes.
Suddenly someone, probably a headman, walked forward followed by a woman. Both spoke in the local language -- a language very difficult for an outsider to understand.
Apparently both were reciting traditional poetry in a conversational style, in the local language -- an activity called Kayori.
This is but a snapshot of the To Wana society, the community that lives in the forests around Morowali Regency in Central Sulawesi.
Last month, this community, which is primarily made up of itinerant farm workers, took part in a theater performance representing their cultural rituals.
Their performance made up part of the 10th Lake Poso Festival.
While the principals were involved in Kayori, a group of people behind them accompanied recitations with traditional music using the talali or flute, the ngeso-ngeso, an instrument similar to a violin, and a due or popondo -- a single-string instrument with a front part that acts as a resonator.
There was also a tutubuaa percussion instrument made from bamboo, drums and gongs.
Amirullah Sia, the coordinator from Morowali Regency for the Poso Lake Festival, said he hoped the Kayori recital of traditional poetry and music would encourage more and more To Wana people to stage their cultural arts in Central Sulawesi and elsewhere in Indonesia.
After finishing Kayori, the To Wana people also performed the Dendelu dance. This is a movement performed in a circle and accompanied by poetry recited and sung by the dancers. This dance is performed to remember certain events, such as the commemoration of a death or to console a grieving family. This is why the movements of the dance are so slow.
They also performed the Salonde dance. This dance was carried out by women from the To Wana community, as an expression of their thanksgiving at harvest time and to welcome important guests who come to their region.
The To Wana people also staged the Tendebomba dance. This dance is more about general activities and can be performed on any occasion by men or women. In this dance other people are also invited to take part.
"A performance of the Tendebomba dance usually takes the whole night. That is why some people who follow that dance watch it till they fall asleep," said Amirullah Sia.
The To Wana people have a very rich traditional culture. Apart from their dances and songs, they also have a community play they call Wawinti.
This is about a calf race and can be performed only by men. This play is only performed as a pastime while waiting for rice crops to ripen.
This play was staged at the start of the season when the people plant rice -- and at the end when they harvest their crops.
One or two or more men can do Wawinti, or the contest with the calf. They take it in turns until there is a loser. Contestants will be judged the loser when they are kicked by an opponent who is playing the role of the calf.
If the contest is one man against two or more people, they will link their feet together in a way so they can kick out.
Apart from these activities there's another tradition belonging to the To Wana people -- shooting with a blowpipe. This is one of the activities that is important in the daily life of the To Wana. They use blowpipes to hunt birds, monkeys and pigs for consumption.
Blowpipes are very important for the To Wana people. They are not only used as a tool for hunting, but also as a lethal weapon for self-defense from attacks by wild animals and against those who threaten to destroy the lives of the people in the forest.
The blowpipe dart used by To Wana is made from sharpened bamboo. Later it is laced with impo, a special ingredient that is very poisonous.
So that whoever is struck by a blowpipe dart fired by the To Wana people definitely won't recover.
The To Wana people also have a treatment ceremony for the healing of sick people they call Momago or Mobolong.
This is the use of the invisible spirits of the natural things in the world, such as big trees, hills or springs.
In this ceremony the role of a paranormal, or Walia, is important as the mediator directing the strength of the invisible spirits to cure people who are sick.
Some offerings such as nuts from areca (a kind of palm), betel leaves, basil leaves and baru (a special To Wana drink) are also used as part of this ceremony.
"This ceremony is usually performed throughout the whole night. The musical instruments such as gongs and drums are a part of the procedures which are very important in this event," said Amin Abdullah, a To Wana researcher.
So before starting this ceremony the musical instruments have to be made ready. The instruments are played repeatedly, which is meant to invite an invisible spirit some believe can cure sick people through a paranormal mediator.
The rhythm of the gong and drum cease and the paranormal starts reading a magic formula to ask for the strength of the invisible spirit to help in this treatment ceremony. "This is called with the core treatment," Amin Abdullah said
The paranormal used a white cloth to detect someone's disease. The white cloth was put on top of the body of the person who is sick or was used to cover the body of the sick individual.
The paranormal moves the cloth, as if putting something into the body of the person who is sick, then makes it shake. At this moment the music stops.
Suddenly the gong and drum burst into their rhythm again accompanying the ritual activity of the treatment. This continues until the paranormal feels the treatment had been sufficient.
If the sick person cannot be cured and dies, the body will be wrapped in a white cloth or put in a coffin, but covered with tree bark representing the simplicity of To Wana society.
There are more demonstrations of distress when the body is buried; the family members who are left crying at the same time struggle to get free while scratching their bodies and roughing up their hair.
"This shows they are unable to be separated from their beloved family," Amin said.
Some 16 days after the funeral, the family then conducts the Momata ceremony to release their longing and to recount memories of the person who has passed away by the ritual destruction of the deceased's house.
The family side is ready with everything that is needed. They maintain their grief and wait for family members who didn't have the chance to attend the funeral ceremony.
Those who didn't have the opportunity to attend the funeral then express their remorse by crying, struggling to get loose and knocking down the house. Although some try to prevent it, the house is knocked down because it is considered to bring misfortune to the people.
After the house that belonged to the person who has passed away has been demolished, the family then moves again to another place to start a plantation and make a new place to live, and that goes on and on, which is why they are usually called nomadic or itinerant farm workers.

Monday, January 07, 2008

Kompas, Senin, 07 Januari 2008
Soal Pengungsi Poso Mesti Dituntaskan Secepatnya

Pamona, Kompas - Pengungsi merupakan persoalan berkepanjangan di wilayah bekas konflik, seperti Poso, Sulawesi Tengah. Menyediakan permukiman dan akses ekonomi menjadi jawaban agar persoalan pengungsi tidak berlarut menjadi "bara dalam sekam" untuk pemulihan wilayah bekas konflik itu.
Ketua Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah Alex Patambo dan Direktur Wasantara Vincent Lumintang secara terpisah dalam perbincangan dengan Kompas, Sabtu (5/1) di Tentena, Pamona Utara, Poso, mengingatkan soal perlunya langkah cepat pemerintah menuntaskan masalah pengungsian itu.
Alex menyebutkan, banyak pengungsi Poso yang bersedia kembali ke kediaman asal sebelum konflik pecah. Namun, bukan hanya soal jaminan keamanan, ketersediaan rumah juga menjadi masalah.
Vincent menyatakan, mayoritas pengungsi meninggalkan pengungsian karena inisiatif pribadi. Sebagian yang memilih tak kembali pun bukan lagi karena kekhawatiran atas kondisi keamanan, melainkan lebih karena mereka mendapatkan pekerjaan atau berinvestasi di sekitar lokasi pengungsian.
Keduanya sependapat, persoalan pengungsi yang berlarut- larut kontraproduktif bagi upaya pemulihan Poso pascakonflik. Masalah pengungsi yang tak tuntas tertangani rawan menjadi sumber konflik baru. Bukan konflik antarkomunitas saja, pertikaian antara pengungsi dan penduduk lokal pun berisiko terjadi.
Vincent juga mengingatkan, jangan sampai soal pengungsi terus "terpelihara" tanpa penyelesaian tuntas dan menyeluruh, sementara dana bantuan yang terus dikucurkan pemerintah tak pernah terasa manfaat konkretnya buat pengungsi. Justru berlimpahnya dana bantuan rawan diselewengkan oleh birokrat.
Data akhir tahun yang disampaikan Bupati Poso Piet Inkiriwang menunjukkan, pengungsi sebagian besar kembali ke daerahnya. Jumlah pengungsi luar daerah atau dalam daerah menurun sejak tahun 2005. (dik)

Thursday, January 03, 2008

Police: Central Sulawesi crime rates increasing
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, January 03, 2008

The crime rate in Central Sulawesi rose an average 9 percent, or to 7,895 cases in 2007 compared to the 7,250 cases in the previous year, a senior police official said in Palu on Wednesday.
Central Sulawesi Police Chief Brig. Gen. Badrodin Haiti told reporters the total number of crimes covered four categories; 7,623 cases related to conventional crime, 93 cases to transnational crime, 176 cases to crime against state wealth and three cases to contingent crime.
Badrodin said conventional crime was dominated by 1,710 cases of assault, from light to severe, followed by 1,657 cases of theft, 679 cases of fraud and 399 cases of extortion.
Psychotropic drug-related offenses were ranked top in the transnational crime category, with 77 cases, followed by 11 terror attack cases, three cases involving the possession of firearms and explosive materials and two drug-related cases. Terrorism cases dropped drastically in 2007 compared to the 45 cases the previous year.
Illegal logging ranked top with 156 cases in the crime against state wealth category, followed by 16 cases of corruption, three cases of money counterfeiting and one case of environmental destruction.
Contingent crime cases included conflicts involving tribal affiliations, religion, race and societal groups, military-police rivalry and an attack on a police station.
However, Badrodin said there was an increase in the number of solved crimes due to proactive law enforcement measures.
"More crimes were solved because police officers were proactive in carrying out their duties. I believe this was a good performance," he said.
However, he acknowledged his force was still slow in resolving cases, despite the rising trend each year. Of the 7,895 crimes in 2007, the police resolved 42 percent, or 3,512 cases.
Badrodin expressed hope terrorism cases in the province would drop this year, following the arrests of a number of perpetrators in Poso.
He said Poso residents were still easily provoked by certain issues, adding police personnel would be very careful in handling problems in Central Sulawesi, especially in Poso.
"In Poso, a traffic accident can spark a terror issue. I hope all parties will be able to work together to dispel the negative issues."

Wednesday, January 02, 2008

Central Sulawesi Police impose lenient measures
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, January 02, 2008

The Central Sulawesi Police Headquarters said on Tuesday it will tone down security measures in Poso considering the gradual improvement of conditions in the regency.
Central Sulawesi Police Chief Brig. Gen. Badrodin Hait launched an operation called Siwagilemba following the conclusion of the Lantodago operation in Poso on Dec. 31, 2007.
In his year-end report Badrodin said there were a number of basic differences in the implementation of the Siwagilemba and Lantodago operations in Poso.
He said the Siwagilemba operation would be coordinated by the Central Sulawesi Police, using funds from the provincial budget and involving at least 500 police personnel from the provincial police headquarters and Poso city police.
The now-completed Lantodago operation was coordinated by the National Police Headquarters, funded by the state budget and involved 1,200 personnel.
"They are two different things," Badrodin said.
"We focus more on persuasive measures by being involved in public awareness campaigns."
He said the security operation in Poso, where religious conflicts used to erupt and were usually followed by a series of violent terror acts, was crucial.
He said this was because there were still a number persons believed to be perpetrators of recent violent attacks in Poso. These people were on the police's wanted list and were still at large.
Badrodin said the suspects, identified by the initials M, Id, U, I and S, were believed to be still in Poso or overseas, including the Philippines.
A number of groups were believed to be carrying out clandestine activities to undermine the peace process in Poso and areas deemed risky following the arrest of Basri and his gang members, he said.
"We deemed Gebangrejo village as still risky and that security forces must continue to conduct small-scale security operations."
He said Poso still needed assistance to totally restore conditions, especially as the government was carrying out reconstruction and rehabilitation efforts after the conflicts.
Badrodin said former gang members of Basri's group must be reformed in order to stop them from carrying out destructive actions, "because they could turn into a hardline group and then be ready to engage in violence in Poso anytime".
Another pressing issue requiring police intervention, he said, was the return of people's civil rights.
"We deem that returning people's civil rights, in line with the Malino peace pact, that has yet to be implemented, would become a problem. "So, we deem the Siwagilemba operation as crucial," he asserted.
In Poso, New Year's Eve was a festive occasion. Nearly every subdistrict held parties to celebrate new year, including Poso Pesisir, where a traditional event was organized to see in the new year.
Fireworks displays were also held at the Maroso Square, Poso Port, Penghibur Beach, as well as in Tentena.
Poso Regent Piet Inkiriwang urged residents to unite in peace when celebrating the new year and to work together to turn Poso into a better place in 2008.
"We must unite and work hand-in-hand to develop Poso into a better place in the years ahead," Inkiriwang said.