Thursday, April 19, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Menko Kesra: Rumah Ibadah Sudah Rusak Sebelum Ditempati

[POSO] Menko Kesra Aburizal Bakrie menyoroti pembangunan sejumlah rumah ibadah yang dibiayai World Food Programme (WFP) di Poso. Rumah-rumah ibadah itu belum digunakan, tapi atapnya sudah bocor dan plafonnya robek-robek akibat terkena hujan.
"Ini menunjukkan hasil pekerjaan sangat tidak profesional. Tidak ada alasan, kontraktornya harus segera memperbaiki kembali kerusakan itu," tegas Aburizal, seusai mengunjungi rumah-rumah ibadah itu di kawasan Poso Pesisir dan Poso Kota, Selasa (16/4).
Ia didampingi Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) HB Paliudju ke Palu dan Poso untuk mempersiapkan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 April (ke Palu) dan 1 Mei (ke Poso).
Rumah-rumah ibadah, baik masjid dan gereja yang dibangun dengan dana WFP di Poso, termasuk proyek-proyek yang akan diresmikan Presiden Yudhoyono pada 1 Mei di Poso.
Menurut data, 10 rumah ibadah di Poso terdiri dari 5 masjid dan 5 gereja dan sebuah Rumah Sakit Cinta Kasih di Tentena, dibangun dengan dana dari WFP tahun 2006 senilai Rp 10 miliar.
Aburizal sempat meninjau beberapa dari rumah ibadah itu antara lain sebuah masjid (belum ada nama) di Desa Tokorondo dan Tiwaa (Poso Pesisir), Masjid An-Nur di Kelurahan Bone Sompe, Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Maengko, Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Jemaat Pniel di Kelurahan Lombogia (Poso Kota).
Peletakan batu pertama pembangunan rumah-rumah ibadah yang dibangun dana WFP tersebut, dilakukan Menko Kesra pada Mei 2006 di Poso. Namun, ia mengaku sangat kecewa karena menyaksikan atap-atapnya sudah bocor dan plafonnya pada robek akibat terkena hujan, terutama kerusakan yang dilihatnya langsung di Masjid An-Nur dan Tiwaa serta Gereja Katolik Santa Theresia, selain bangunannya tak rapi juga atapnya bocor dan plafonnya pada robek.
"Saya minta semua kerusakan ini diperbaiki sebelum diresmikan bapak Presiden," tegasnya saat berdialog dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuda se-Kabupaten Poso di aula rumah jabatan Bupati Poso Selasa siang.
Ia menilai kontraktor yang ditunjuk mengerjakan proyek-proyek vital itu kurang memiliki tanggung jawab sehingga pekerjaannya tidak memenuhi harapan semua orang.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Poso, S Pelima yang ditanya soal pengawasan atas pembangunan rumah-rumah ibadah itu mengaku sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengawasan.
Demikian juga Bupati Poso Piet Inkiriwang mengaku mendapat laporan setelah rumah ibadah itu selesai dikerjakan.
Secara umum, situasi Poso sudah kondusif dan cukup memungkinkan bagi Presiden Yudhoyono untuk datang ke daerah ini, katanya. [128]
Last modified: 17/4/07

Wednesday, April 18, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Presiden Resmikan 3 Proyek Besar di Poso

[PALU] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 April dan 1 Mei akan berkunjung ke Poso dan Palu. Di Poso akan meresmikan dimulainya pembangunan tiga proyek besar, yakni pembangunan pondok pesantren modern di Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir serta panti asuhan dan sekolah dasar di Tentena, Kecamata Lore Utara, Kabupaten Poso.
Sedangkan di Palu, selain meninjau sejumlah proyek nasional, pemberdayaan masyarakat miskin, Presiden Yudhoyono juga akan meresmikan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mpanau dan Jembatan Teluk Palu yang menelan investasi sekitar Rp 350 miliar serta membuka Simposium Pemuda Indonesia tentang Resolusi Konflik.
Untuk memantapkan rencana kunjungan tersebut, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Senin (16/4) selama dua hari datang ke Palu dan Poso. Di kedua daerah ini, Aburizal mengadakan pertemuan dengan jajaran pemerintah, tokoh masyarakat, agama, dan pemuda di daerah ini.
Menurut Aburizal, salah satu persiapan yang menjadi pertimbangan adalah faktor keamanan. "Tapi, tadi saya sudah dapat jaminan dari Kapolda dan Kepala Staf Korem di sini bahwa situasi keamanan cukup kondusif untuk dikunjungi presiden," katanya seusai pertemuan tertutup dengan Gubernur Sulteng HB Paliudju, Ketua DPRD Murad Nasir, Kapolda Brigjen Pol Badrodin Haiti, Kasrem 132/Tadulako Letkol Inf Alfred serta sejumlah kepala daerah tingkat II di Sulteng, Senin siang, di Palu. Hari Selasa pagi, Abu Rizal melanjutkan pertemuan di Poso dan Tentena.
Pemerintah memberi perhatian khusus bagi upaya percepatan pembangunan Sulteng, termasuk Poso pascakonflik. Gubernur Paliudju telah diminta membuat rancangan program percepatan pem- bangunan Sulteng, dan bulan Juli sudah bisa dipresentasikan di hadapan Presiden Yudhoyono di Jakarta agar bisa direalisasikan secepatnya.
Salah satu proyek pemberdayaan masyarakat miskin yang akan ditinjau Presiden Yudhoyono dalam kunjungannya ke Palu, yakni mesin sepeda motor yang berhasil diciptakan dengan menggunakan bahan bakar campuran air dan bensin. [128]
Last modified: 16/4/07

Monday, April 16, 2007

Rev. Susianti a mistaken target in Poso church shooting
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, April 16, 2007

Dressed in black trousers and jackets, two men stepped off their motorcycles and walked casually toward Efatha church in the South Palu district of Central Sulawesi, one of them carrying an M-16 rifle.
At the entrance to the church, one of the men, Basri alias Bagong, shot the reverend who was giving a sermon twice. Rev. Susianti Tinulele fell to the floor bleeding.
The other man, Anang Muhtadin alias Papa Enal, watched from outside the church, carrying an SS-1 rifle.
After killing Susianti, Basri and Papa Enal left the church and returned to their motorcycles where Iwan Irano and Ardin were waiting to drive them to Karanjalemba street one kilometer away where Haris was waiting.
Basri and Papa Enal gave their rifles to Haris and Abdul Muis who took the motorcycles and the rifles back to their headquarters in the BTN Palupi housing complex in South Palu.
Basri and Iwan Irano returned to Poso using the Alugoro travel service, while Papa Enal and Ardin returned to Poso with New Armada travel.
The chain of events at the church were presented Saturday during a case reconstruction of Susianti's murder, which took place on July 18, 2004.
Based on suspects' testimonies, the men's original target was not Susianti, but Rev. Irianto Kongkoli, who at the time was conducting a service for displaced people in Poso at another church and had been replaced by Susianti.
"After questioning suspects, we learned that the real target of the shooting was Rev. Irianto Kongkoli," Central Sulawesi Police chief Brig. Gen. Badrodin Haiti told The Jakarta Post at the site of the case reconstruction on Saturday.
Rev. Irianto Kongkoli, the secretary general of the South Sulawesi Christian Church, was shot dead in October last year while shopping with his wife in Palu.
His murder was condemned by both Christians and Muslims. Irianto was known for his close relationships with Muslim leaders in Palu and was involved in promoting a peaceful resolution to the conflict, while often staunchly criticizing the poor performance of security forces in the province.
Badrodin said that before shooting Rev. Susianti, the suspects were called to a housing complex in Poso where they were assigned by Haris to shoot a reverend in Efatha church.
After receiving their instructions, the suspects then surveyed the location and the route they would take before and after the shooting.
Previously, Ardin told the Post that after the shooting he took the motorcycles back to Karanjalemba and then returned to the site of the shooting.
"We were at the location of the shooting when the police arrived and were placed in the police line. Only the police did not recognize us because we mingled with the crowd," Ardin said.
He said that after confirming their target was dead, they went back to Poso on public transport.
The vehicles they were traveling in were stopped and searched outside the Central Sulawesi Police office in the Mamboro subdistrict in North Palu.
"We stepped out of the vehicle but again were not recognized by police and could escape again," Ardin said.

Bomb explodes in restive Poso, no casualties
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, 16 April 2007

A low-intensity bomb exploded Saturday evening in the Central Sulawesi city of Poso, which has been wracked by violence between Christians and Muslims, but no injuries were reported.
The bomb exploded at a house belonging to a man identified as Yohanes, in Kasiguncu village, Poso Pesisir district. Yohanes was not at home at the time of the explosion.
Poso Police chief Adj. Sr. Comr. Adheni Muhan told The Jakarta Post that he and his officers arrived on the scene shortly after the explosion.
Adheni did not give details of the explosion, only saying officers had recovered several pieces of plastic pipe and nails that may have come from the bomb. He added the explosion left a four-centimeter deep hole in the yard of the house.
"I am not able to give any details on the motive of the explosion. We're still investigating the case," Adheni said.
Residents also refused to speculate on who may have been behind the bomb and why.
Samaila, one of the residents, said the explosion was very loud. When asked who he thought was responsible, he offered no opinion. "I don't know who they are. Let the police investigate it."
Poso was the site of violence between Christians and Muslims between 1998 and 2001 that left thousands dead. A peace deal was signed in 2001, but it has failed totally to stop the violence.
The area has been especially tense since the executions of three Christian militants in September for their roles in the massacre of Muslims at a boarding school in 2000.
Meanwhile, several Muslim men detained by police for involvement in a series of violent attacks on Christians, apologized to their victims and victims' families on Friday.
The suspects have been identified as Basri alias Bagong, Wiwin Kalahe, Tugiran, Yudi Parsan and Ardin. They have reportedly admitted to involvement in a series of attacks, including the deadly bombing at Tentena market and the killing of three Christian students in Poso.
"We apologize for what we've done. Because of our acts, you -- my brothers and sisters -- are now suffering," said Basri, shaking the hands of Ivon Nathalia and Yuli, who survived an attack allegedly by Wiwin and Ardin on Nov. 8, 2005.
Ivon and Yuli cried as they shook hands with Basri and the other men. Ivon said she forgave them, and issued a plea for peace. "I ask for an end to violence in Poso."
The family of Nela Salianggo, who died in a bombing in Kawua village in South Poso Kota, also forgave the men.
Central Sulawesi Police chief Brig. Gen. Badrodin Haiti said the suspects would still be tried in criminal court for their actions.

Sunday, April 15, 2007

Jkt Post, 15 April 2007
Basri shoots Christian priest, reconstruction shows

PALU, Central Sulawesi (Antara): Basri, a terror suspect detained by the police, is allegedly the shooter of Priest Susianti Tinulele in Central Sulawesi capital of Palu in 2004. It was showed in the reconstruction of the incident on Saturday.
The reconstruction showed that Basri shot the priest at Effantha Church on Jl. Banteng, Tatura Selatan subdistrict, Palu Selatan district on July 18, 2004 after members of the group carried out a survey at the church.
Five suspects -- Basri, Haris, Irwanto Irano, Ardin and Papa Enal -- were involved in the reconstruction.
During the incident, Irwanto ride motorcycle, while Basri, who took M16 gun was on the backseat. Basri and Papa Enal entered church gate. Basri then entered the church and shot Priest Susianti, who delivered his sermon.
The religious conflicts in Poso reportedly killed some 1,000 people from both Muslims and Christians. Police recently arrested a number of rioters in a fatal shooting in the town. The suspects were charged with anti-terror law. (**) -->

Jkt Post, April 15, 2007
2 homemade bombs explode in Indonesian town

POSO, Central Sulawesi(AP): Two homemade nail bombsexploded in separate locations in a central Indonesian town that has been plagued by religiousviolence in recent years, police said Sunday.
No one was wounded in the blasts that took place within 15 minutes of each other Saturday night in Poso, a district town in Central Sulawesi province, said local police chief Lt. Col. Adeni Muhan.
Poso, about 1,600 kilometers northeast of the capital, Jakarta, was the center of fierce battles between Muslims and Christians that killed about 1,000 people in 2001 and 2002.
Saturday's first blast happened in an empty lot, while the second, about two kilometers away, took lace in front of a home belonging to a Christian, Muhan said.
Police declined to say what the possible motive for the blasts was or whether they were targeted at Christians.
Police were still investigating the explosions and have been questioning a number of witnesses.(***)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Korban Penembakan Poso Ralat Pengakuan

[PALU] Ivon Nathalia (18) dan Siti Nuraini alias Yuli (18), dua siswi SMEA Poso yang ditembak namun berhasil selamat pada 8 November 2005 di Poso, meralat kembali pengakuan mereka tentang pelaku penembakan diri mereka. Setelah mengikuti proses reka ulang, Jumat (13/4) di Poso, keduanya akhirnya mengakui Wiwin Kalahe, tersangka pelaku kekerasan Poso, adalah pelaku penembakan yang sebenarnya.
Sebelumnya, kedua gadis Poso ini menyebutkan pelaku penembakan diri mereka adalah Briptu Ilo, anggota Polres Poso. Akibat pengakuan Ivon dan Siti yang turut didampingi Poso Center itu, Briptu Ilo sempat dijadikan tersangka oleh Polda Sulawesi Tengah (Sulteng).
Dalam rekonstruksi kasus yang disaksikan sekitar 200 warga Poso, Wiwin memerankan langsung kejadian penembakan itu. Saat itu sekitar pukul 18.45 Wita, Selasa petang tanggal 28 November 2005, Wiwin dengan dibonceng sepeda motor oleh Ardin alias Rojak (tersangka lainnya), mendatangi rumah Ivon dan Siti di Jl Gatot Subroto Poso.
Saat itu, Ivon dan Siti tengah duduk-duduk santai di teras depan rumahnya. Namun tanpa mereka duga, Wiwin turun dari sepeda motor mendekati kedua korban dan langsung menembak, peluru menembus pipi hingga rahang kedua korban. Keduanya sempat koma satu minggu, namun akhirnya selamat setelah dirawat intensif di RS Bhayangkara Polda Sulteng.Wiwin dalam reka ulang itu memperlihatkan dirinya menembak kedua korban hanya dalam jarak sekitar satu meter dengan menggunakan senjata laras pendek jenis revolver.
Sebelum beraksi, lokasi penembakan sudah disurvei lebih dulu oleh Basri dan Yudit Parsan (keduanya ikut dihadirkan dalam rekonstruksi tersebut). Dalam penyidikan kasus Poso, Basri salah satu tersangka utama yang diduga menjadi otak dibalik kasus kekerasan Poso. Pemuda Poso ini, menjadi tahanan Mabes Polri.
Seusai menembak, Wiwin bersama Ardin lari ke belakang RSU Poso. Di situ mereka mengambil sebilah parang yang sempat disembunyikan (tadinya hendak dipakai membunuh kedua korban namun batal) kemudian keduanya menuju ke kompleks kuburan Cina di Kelurahan Lawanga. Pada Rabu dini hari sekitar pukul 04.00 Wita setelah situasi aman keduanya menyelamatkan diri ke kompleks pesantren Tanah Runtuh Poso.
"Setelah menyaksikan proses rekonstruksi kasus ini dan mendengarkan langsung pengakuan Wiwin Kalahe, saya yakin pelaku penembakan diri kami adalah Wiwin Kalahe," ujar Ivon.
Ada Kemiripan
Adapun tuduhannya kepada Briptu Ilo, menurut Ivon, karena ada kemiripan tubuh pelaku dengan polisi tersebut, dan saat kejadian polisi tersebut bertugas tidak jauh dari lokasi penembakan Ivon dan Siti.
Koordinator Poso Center, Iskandar Lamuka mengatakan, hasil reka ulang yang menganulir pengakuan Ivon dan Siti tentang tersangka pelaku penembakan masih kontroversial. "Menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa Ivon dan Siti secepat itu menganulir pengakuannya, padahal kurang lebih satu tahun kita mendampingi mereka dalam upaya pengungkapan kasus ini. Mereka begitu yakin pelakunya adalah polisi," ujarnya.
Juru Bicara Mabes Polri di Poso, AKBP Wibowo menyatakan, pihaknya belum memiliki sikap terhadap Poso Center maupun Ivon dan Siti yang telah menuduh anggota polisi sebagai pelaku penembakan, padahal hasil reka ulang membuktikan polisi bukan pelakunya. Seusai rekonstruksi kasus Poso, para tersangka pelaku kekerasan Poso tersebut di antaranya Basri, Yudit Parsan, Wiwin Kalahe, Ardin dan Ridwan dipertemukan dengan Ivon dan Siti serta para keluarga korban bom di Kelurahan Kawua. [128]
Last modified: 14/4/07

Thursday, April 12, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Enam Kasus Besar Kekerasan Poso Direka Ulang

[PALU] Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) menggelar reka ulang atas enam kasus kekerasan Poso dan Palu yang telah menewaskan puluhan warga tak berdosa di daerah ini.
Kapolda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haiti yang dihubungi Kamis (12/4) siang, di Palu, membenarkan adanya reka ulang atas keenam kasus besar kekerasan di Poso maupun Palu ter- sebut.
Kasus yang akan direka ulang itu yakni kasus penembakan Pdt Susianti Tinulele hingga tewas (Juli 2004), peledakan bom Tentena (Mei 2005, 22 orang tewas), penembakan dua siswi SMEA Poso, Ivon dan Yuli (November 2005, kedua korban luka parah, kini sudah sembuh) dan peledakan bom di Kawua dan Tangkura Poso (November 2006, menewaskan 2 orang).
Dikatakan, reka ulang untuk kasus penembakan Ivon-Yuli, bom Tangkura serta Kawua dilaksanakan Kamis (12/4) siang ini di Poso.
Sedangkan kasus bom Tentena serta penembakan Pdt Susianti, dijadwalkan Sabtu (14/4) di Palu.
Sementara itu, Plh Kabid Humas Polda Sulteng, Kompol Hedy mengatakan, 10 tersangka yang diduga terlibat dalam kasus tersebut akan melakukan proses reka ulang.
Mereka, sebagian sudah di bawa ke Poso dari Jakarta (karena ditahan di Mabes Polri) dan sebagian lagi berada di tahanan Polda Sulteng di Palu.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, para tersangka yang dibawa ke Poso antara lain Basri, Hasanudin, Ustad Lili, Agus Jenggot, Yudit Parsan, Wiwin Kalahe dan Abd Muis.
Para tersangka ini adalah orang-orang yang sebelumnya masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri karena diduga sebagai aktor dibalik aksi-aksi kekerasan di Poso. Mereka ditangkap secara terpisah pada Januari lalu di Poso.
Situasi di Poso pascapenangkapan para DPO saat ini sudah semakin kondusif.
Tidak pernah lagi terdengar bunyi ledakan bom dan suara tembakan yang membikin trauma masyarakat.
Warga sudah bisa melakukan aktivitasnya, tanpa dihantui rasa takut bahkan sudah berani melakukan perjalanan di malam hari dari dan melewati Poso.
Bupati Poso, Piet Inkiriwang mengatakan, pemerintah setempat saat ini terus membenahi semua kerusakan akibat konflik terutama menyangkut perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat konflik. [128]
Last modified: 11/4/07

Tuesday, April 10, 2007

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Pengadilan Lima Terdakwa Poso

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, menyidangkan lima terdakwa kasus teror Poso, Sulawesi tengah. Mereka adalah Arnoval Mencana (25 tahun), Bambang Tontou (23), Jonathan Tamsur (23), Dedy Doris Serpianus Rempali (25), dan Roni Sepriyanto Rantedago Parusu (18).
Jaksa penuntut umum Totok Bambang mendakwa kelimanya telah melakukan pembunuhan terhadap Arham Badaruddin dan Wandi, dua warga Desa Masamba, Poso, pascaeksekusi terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Domingus da Silva, dan Marinus Riwu, September 2006.
Para terdakwa kecewa terhadap eksekusi Tibo cs. Mereka mendapat kabar bahwa eksekusi itu dilakukan tidak wajar. Saat itu timbul ide mencegat kendaraan yang melewati jalan trans-Sulawesi, Desa Poleganyara. Mobil pikap yang dikemudikan Arham dan Wandi dihadang dan mereka dianiaya hingga tewas.
”Perbuatan terdakwa menimbulkan rasa takut yang meluas bagi masyarakat pengguna jalan trans-Sulawesi,” ujar Totok. Ia menilai terdakwa melanggar Undang-Undang Antiterorisme. Pengacara kelima terdakwa, Elvis D.J. Katuwu, tidak mengajukan bantahan atas dakwaan tersebut. Sidang yang dipimpin hakim Eddy Joenarso ini akan dilanjutkan pekan ini dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Sarwo Edi Nugroho: Kekerasan itu Jalan Darurat

IA bermimpi jadi tentara. Lulus da-ri SMA Negeri 1 Magelang pada 1985, ia mendaftar ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tapi gagal. Pria itu, Sarwo Edi Nugroho, kini 40 tahun, lalu pindah haluan, masuk Fakultas Matematika Institut Keguruan dan Il-mu Pendidikan (IKIP) Semarang.
Tapi di IKIP-lah ”kariernya” seba-gai ”tentara” justru terbuka. Di kampus itu ia bergabung dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Ajengan Masduki. Ketika petinggi kelompok itu pecah pada 1993, ia memilih bergabung dengan kelompok pecahan yang mendirikan Jamaah Islamiyah.
Ia lalu dikirim berlatih militer ke kawasan gerilyawan Moro, Filipina Selatan. Sejak tahun lalu, ia pun diminta memimpin sayap militer Jamaah Islamiyah di Semarang. Sarwo adalah bawahan langsung Abu Dujana, yang diyakini merupakan pemimpin sayap militer Jamaah Islamiyah.
Selasa tiga pekan lalu, polisi menangkap Sarwo ketika ia sedang mengambil senjata dari anggota kelompoknya di Yogyakarta. Pria kelahiran 16 Mei 1967 itu dituduh terlibat jaringan teroris. Karena ia berusaha lari, polisi menembak pinggang kirinya. Hampir sepekan ia dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Yogyakarta. Sejak itu, ia terpisah dengan dua istri dan sebelas anaknya—anak pertama kelas III SMP dan yang bungsu baru berusia tiga bulan.
Selasa pekan lalu, polisi menerbangkannya ke Jakarta bersama lima orang tersangka lain. Mereka ditahan di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Pada hari pertama meringkuk di sel barunya yang sempit, ia menerima Budi Setyarso dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus.
Ceritakan penangkapan Anda….
Selasa, 20 Maret 2007, saya mendapat tugas dari Abu Dujana untuk menerima dua senjata M-16, 400 amunisi, dan tiga revolver dari Ayyasy, yang mengurusi logistik Jamaah. Kami janjian di ring road Yogyakarta sekitar jam setengah tujuh malam. Saya harus menyerahkan senjata itu kepada seseorang bernama Ruri. Ia menunggu saya di dekat kolam renang di Muntilan. Sore itu, saya berboncengan dengan Agus Suryanto dari rumah saya di Muntilan. Rupanya, kami lebih dulu sampai di ring road, jadi saya salat magrib dulu. Saya juga sempat beli pulsa. Tapi pulsanya nggak masuk-masuk. Mungkin telepon saya sudah dikacau polisi.
Anda tahu dikuntit polisi?
Sampai sekarang, saya belum tahu bagaimana polisi mengidentifikasi saya. Saya merasa bersih dan nggak punya kasus. Mungkin itu karena Mujadid (salah seorang anggota jaringan) lebih dulu diidentifikasi dan saya tersangkut. Ia beberapa kali memang ikut kegiatan saya. Saya punya dua istri. Menurut interogator, polisi ternyata sudah lama menunggui rumah saya di Secang dan Muntilan. Telepon saya pun pasti disadap.
Bagaimana Anda tahu telepon Anda disadap?
Pernah ada telepon nyasar ke saya, missed call. Waktu itu, saya baru ganti telepon dan dengan telepon baru itu saya balas missed call. Nomor itu lalu mengirim SMS, ”Kalau memang elu jantan, jangan cuma missed call. Telepon!” Saya balas: ”Elu yang missed call-missed call saya.” Nomor yang sama, saya ingat nomor belakangnya 8001, bebera-pa kali masuk lagi. Terakhir pada hari saya mengambil senjata itu.
Anda sempat mengangkat?
Sewaktu salat magrib itu, HP saya matikan. Ketika HP saya nyalakan, Ayyasy menelepon dan bilang sudah sampai. Lalu nomor itu masuk. Saya nggak curiga dan segera ke tempat Ayyasy menunggu. Saya berhenti tapi tidak turun dari motor. Ayyasy menyerahkan barang, langsung saya masukkan ke dus kosong yang saya bawa. Adapun senjata M-16, dibungkus tas raket, segera saya serahkan ke Sur (Agus Suryanto). Saat itulah polisi datang.
Anda melawan?
Leher saya dipegang. Dengan refleks, saya tancap gas. Polisi menarik saya ke belakang, tapi saya tetap tancap gas. Kira-kira 10 meter, saya jatuh. Tiga polisi langsung memegangi saya. Saya melawan. Lalu, dorrr..., kaki saya tiba-tiba lemas. Saya tertembak. Agus mungkin lari sewaktu saya disergap. Dia ditembak mati.
Anda tadi menyebut Ruri. Siapa dia?
Teman. Kami seangkatan saat berlatih di Moro. Dia orang Kudus. Makanya Abu Dujana meminta saya menjadi penghubung karena saya dan Ruri sudah saling kenal. Jadi lebih mudah. Tapi kami sudah lama sekali nggak ketemu.
Apa posisi Ruri dalam kelompok Anda?
Saya nggak tahu karena tidak semua struktur dibuka. Kami mengenal prinsip: yang boleh diketahui hanya yang perlu diketahui.
Siapa pemilik senjata-senjata itu?
Punya organisasi. Selama ini disimpan Ayyasy. Dia bagian logistik kelompok kami. Saya tidak tahu dari mana senjata-senjata itu. Sebulan lalu, Abu Dujana bilang agar sebagian barang di tempat Ayyasy dipindahkan ke Ruri.
Mengapa?
Saya tidak tahu. Tugas saya dalam organisasi hanya melatih kader.
Untuk apa senjata itu?
Digunakan bila jalan dakwah mentok. Selama ini kebenaran dan kebaikan kan tidak selalu diterima. Kalau orang didakwahi tentang kebaikan tapi malah melawan, senjata boleh digunakan. Untuk itu, kita tetap harus melakukan persiapan atau i’dad. Berlatih bela diri jangan sewaktu kita diserang musuh. Itu terlambat. Latihan dilakukan jika sewaktu-waktu ada musuh. Syukur-syukur nggak ada musuh.
Untuk itu, apa yang harus disiapkan?
Ada dua: manti atau materi dan ma’nawiyah atau spiritual. Manti adalah menyiapkan keperluan logistik, menambah jumlah senjata dan barang-barang yang bisa digunakan untuk senjata. Kita juga harus berlatih agar fisik kita kuat. Ada tiga hal yang disarankan oleh Rasulullah: berenang, naik kuda, dan memanah. Naik kuda sekarang bisa diganti dengan mobil. Nah, untuk memanah, yang paling dekat tentu saja menembak.
Kapan Anda bergabung dengan Jamaah Islamiyah?
Sejak 1993. Awalnya saya masuk NII. Saya dibaiat oleh Haji Surya, Ketua NII Semarang. Kegiatannya biasa saja, kami ngaji atau naik gunung. Pada 1993 itu NII pecah. Haji Surya menyerahkan kepada saya untuk memilih bergabung ke kelompok NII yang mana. Tapi dia memberitahukan bahwa kelompok baru hasil pecahan didukung oleh ustad-ustad yang faqih (mumpuni). Alumni Afganistan yang bagus-bagus juga bergabung. Saya masuk ke situ.
Anda dibesarkan di lingkungan santri?
Saya justru dibesarkan di lingkungan yang minim agama. Saya bersekolah di SD negeri. SMP di sekolah Katolik. SMA juga negeri. Orang tua saya hanya mengenalkan kedisiplinan dan kejujuran. Islam tidak pernah dikenalkan. Di kampung saya, meski 80 persen warganya muslim, yang salat sedikit. Masjid tidak ada, tapi anjing banyak. Walau saya salat, saya tak pernah mengenal Islam. Begitu kuliah, saya bertemu de-ngan teman dari berbagai penjuru kota.
Lalu?
Pada 1986, ketika saya masuk kuliah, sedang terjadi kebangkitan Islam. Banyak kajian keislaman. Buku dari Mesir banyak diterjemahkan. Keyakinan saya mengkristal setelah membaca buku Ikhwanul Muslimin. Saya terinspirasi ibadah yang sempurna, bahwa perjuangan tidak dibatasi oleh langit dan sebagainya. Nah, waktu itu saya masuk NII.
Dari mana Anda punya kemampuan militer?
Saya pernah mengikuti latihan singkat di Moro pada 1999. Waktu itu saya ditawari Ustad Farah (alias Abu Ashkari, Ketua Wakalah Jamaah Islami-yah Jawa Tengah). Dia bilang ada kesempatan pergi ke Moro. Saya bilang oke, karena dunia militer memang saya suka. Oktober 1999, saya berangkat bersama 20 orang lain secara bergelombang.
Kemudian?
Dari Jawa Tengah cuma ada dua, saya dan Ruri. Di Surabaya, kami lebih dulu di-briefing oleh Pak Fahim (Ketua Wakalah Jamaah Islamiyah Jawa Timur). Dia bilang kami akan berangkat ke Nunukan, Kalimantan Timur, dan di sana sudah ada yang menjemput. Kami naik kapal Kerinci ke Nunukan. Setelah itu, naik kapal lagi ke Tawau, dan dilanjutkan naik pesawat ke Srandakan. Dari situ kami memakai kapal kecil yang nyambung-nyambung menuju Filipina Selatan. Semua akomodasi sudah disediakan Pak Fahim.
Anda berlatih apa saja?
Kami berlatih empat keterampilan dasar militer, yakni taktik infanteri, senjata, baca peta, dan field engineering. Taktik infanteri dilatih oleh Abu Dujana, senjata oleh Nasir Abas, field engineering oleh Abu Tholut, dan pemetaan oleh orang Jakarta yang saya lupa namanya. Semua hanya dasar-dasar karena kami hanya berlatih enam bulan. Semua pesertanya orang Indonesia meski tempat latihannya di wilayah mujahidin MNLF (Moro National Liberation Front).
Ilmu itu Anda praktekkan di Tanah Air?
Pulang dari Moro, sedikit-sedikit saya mulai memasukkan ilmu kemiliteran dalam kegiatan yang saya selenggarakan. Misalnya, saat naik gunung, kami berlatih mengenal medan dan rute. Setelah bom Bali (12 Oktober 2002), polisi melakukan penangkapan. Saya menyingkir dari Semarang karena takut kecipratan. Belakangan saya tahu nama saya memang disebut-sebut oleh para tersangka.
Anda setuju dengan bom Bali?
Bom Bali dipilih di tempat yang pa-ling maksiat dan syirik. Dilakukan pada malam Minggu karena saat itu banyak orang berbuat maksiat. Dipilih pukul sebelas malam karena orang Islam tak pantas berkeliaran pada jam-jam segitu. Memang, jika ditinjau oleh umat Islam secara umum, pengeboman itu kontraproduktif dengan dakwah. Tapi saya yakin mereka tidak sembarangan. Di situ kan ada Mukhlas, ustad yang sangat faqih.

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Dari Sebuah Corat-coret

Mantan rektor dan kampus Universitas Kristen Satya Wacana menjadi target teroris. Penjagaan nihil.
POS Satpam di pintu gerbang kompleks perumahan Universitas Satya Wacana (UKSW) tak berpenjaga. Malam belum datang, tapi sepi sudah terasa. Kamis sore pekan lalu, hanya satu-dua pemuda nongkrong di muka kompleks, di pinggir Jalan Kartini 11-A, Salatiga, Jawa Tengah, itu.
Tamu bebas keluar masuk kampus itu. Tak ada pemeriksaan identitas, apalagi penggeledahan oleh petugas penjinak bom. Hanya seorang satpam berjaga, mengatur mobil yang lewat. ”Tak ada perintah untuk periksa orang,” kata Satpam itu.
Padahal, dua hari sebelumnya, tim antiteror polisi mengungkapkan bahwa Satya Wacana akan menjadi target bom. Bukan itu saja, bekas rektornya pun jadi sasaran. Sehari kemudian, memang, beberapa personel polisi sempat patroli. ”Tapi hari ini tak kelihatan lagi,” kata seorang penghuni kompleks.
Rencana teror ke Satya Wacana terungkap dari coretan denah kompleks UKSW yang ditemukan polisi dalam penggerebekan rumah tersangka teroris di Muntilan, dua pekan lalu.
Target disiapkan Abu Dujana, gembong teroris yang kini buron. Incaran lain adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, M. Ismail. Ia jadi sasaran karena pada November lalu menuntut hukuman mati terhadap sejumlah anggota jaringan yang tertangkap.
Kepada Tempo, tersangka teroris Sarwo Edi Nugroho, 40 tahun, Ketua Ishoba (sayap militer) Jemaah Islamiyah Semarang, membenarkan soal denah itu. Ditemui di tahanan Markas Komando Brigadir Mobil Kelapa Dua, Selasa lalu, Sarwo Edi mengatakan bahwa aksi di UKSW akan dilakukan jika muslim Poso diserang pada Idul Fitri tahun lalu.
Siapa mantan rektor yang diincar? Polisi meyakini dia adalah John Titaley, mantan pendeta dan guru besar Fakultas Teologi UKSW. Namanya memang tak disebut dalam dokumen Muntilan, tapi denah rumahnya jelas tertera.
John terperanjat saat tahu dirinya dibidik. Ia mengaku baru pulang dari kunjungan ke University of California di Berkeley, Amerika Serikat, sehari sebelum namanya disebut-sebut. ”Apa salah saya? Kenal pun saya tidak (dengan mereka),” katanya kepada Tempo.
Lahir di Sorong, Papua, 19 Juni 1950, John berdarah Ambon. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Kakaknya adalah Pendeta Semmy Titaley, bekas ketua Sinode Gereja Protestan Maluku 1995–2000. Adiknya, Yulius Titaley, tewas setelah dua hari menghilang saat konflik Ambon berlangsung pada 1999.
John mengaku ikut berperan saat konflik pecah. ”Untuk meredakan konflik,” ujarnya. Pada 1999, ia dan sejumlah pendeta, termasuk Semmy, membawa kasus Ambon ke badan-badan internasional di Jenewa, Vatikan, dan parlemen Eropa. Konflik saat itu, menurut dia, sangat kompleks. ”Bukan sekadar agama, tapi ada juga masalah ekonomi, politik, sosial, konflik penduduk asli dan pendatang,” ujarnya. ”Ada pula permainan orang Jakarta.”
Mengapa kampus UKSW jadi sasar-an? Tak jelas. Nicodemus Lulu Kana, bekas pengajar yang kini aktif di Yayasan Percik, Salatiga, menolak anggapan kampus UKSW berideologi ekstrem. Katanya, orientasi kekristenan saat ini sudah pupus digerus pemikiran pragmatis. Ia mengaku prihatin mendengar kampusnya jadi target teroris.
Petugas di Kepolisian Resor Salatiga yang dihubungi Tempo mengaku tak menerima perintah khusus untuk mengamankan kampus UKSW. Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Sisno Adi Winoto, mengatakan, sejauh ini memang tak ada perintah pengamanan khusus meski kampus dan petingginya sudah sempat menjadi target teror. ”Itu kan belum tentu benar,” katanya. Lagi pula, ”Toh mereka sudah tertangkap.”
Kurie Suditomo, Budi Setyarso, Rofiuddin (Salatiga)

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Akhir Pelarian Pengebom Tentena

Mujadid mengaku meledakkan pasar Tentena dua tahun silam. Bom rakitan murid Dr Azahari.
BOM itu disetel untuk meledak 38 menit kemudian. Pagi akhir Mei 2005, Mujadid, kini 27 tahun, dengan hati-hati menaruh benda laknat itu di samping gedung Bank Rakyat Indonesia cabang Tentena, Sulawesi Tengah. Selanjutnya, ia bergegas menuju sepeda motor yang tetap menyala yang ditunggui seorang rekannya, Iwan Irano, tak jauh dari sana. Dalam sekejap, keduanya melesat menuju utara, ke arah Kota Poso.
Di sudut yang lain, Amril Ngiode alias Aat bersama Ardin juga beraksi. Ke-duanya meletakkan bom di tengah pa-sar kota itu. Timer bom disetel 15 menit. Keduanya lalu berboncengan menuju Poso, 60 kilometer dari Tentena.
Ketika bom meledak, Mujadid dan Iwan sudah nongkrong di warung kecil di Lawanga, di luar Kota Poso. ”Kami sarapan dan lamat-lamat mendengar ledakan,” kata Mujadid kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
Dua bom itu menewaskan 22 orang. Tubuh korban melepuh dengan serpihan bom di sekujur tubuh. Menurut polisi, kekuatan bom itu setara dengan bom Bali II, 1 Oktober 2005.
Mujadid—pertama kali masuk Poso pada 2001 bersama kelompok Jamaah Islamiyah—menyatakan dua bom itu dirakit oleh Taufik Bulaga alias Upik Lawanga. Upik pula yang menyiapkan semua bahan. Perakitan dilakukan di rumah Ardin alias Rojak, yang tewas dalam penggerebekan di Tanah Runtuh, Poso, 22 Januari lalu.
Upik Lawanga di kalangan rekan-rekannya di-kenal sebagai ”Azahari da-ri Poso”. Ia pernah belajar dari doktor bom asal Malaysia yang tewas dalam penggerebekan polisi di Batu, Jawa Timur, November 2005, itu. Upik kini diburu polisi.
Tengku Firzan alias Icang juga per-nah belajar soal bom dari Azahari. Mujadid mengaku pernah melihat buku catatan Icang yang berisi rumus-rumus. ”Saya tanya, ’Apaan ini, Cang?’,” kata Mujadid. ”Dia bilang, ’Jangan macam-macam. Ini catatan Doktor’.”
Segera setelah peledakan, Mujadid diminta Hasanuddin, pemimpin Jama-ah Islamiyah di Poso, meninggalkan kota itu. Istri dan anaknya sudah lebih dulu diungsikan ke Jawa. Mujadid naik kapal Lambelu menuju Surabaya. Di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ia kecopetan. Duit Rp 150 ribu untuk ongkos pulang ke rumah mertuanya di Tawangmangu, Jawa Tengah, raib. ”Aduh, sengsara betul. Masak, teroris kecopetan?” katanya seraya tertawa.
Pada 1 Oktober 2005, bom Bali II meledak. Beberapa hari kemudian, ada utusan Jamaah yang meminta Mujadid lari karena polisi sedang mendekati rumahnya. Satuan Tugas Bom Kepolisian RI menyangka Mujadid sebagai satu di antara tiga pelaku bom bunuh diri. Mereka mengambil sampel darah istri dan anaknya.
Mujadid lari ke Klaten. Dua puluh hari di sana, ia pindah ke Prambanan. Dia kemudian diantar ke Purworejo dan tinggal di rumah kontrakan bersama Salahuddin, tersangka pelaku pengeboman rumah Duta Besar Filipina di Jakarta. Dua bulan kemudian, ia dipindahkan ke Wonosobo. Semua perpin-dahan itu diatur Ari, anggota Jamaah.
Ari lalu menyerahkan lulusan Pondok Pesantren Al-Husein, Jatibarang, Jawa Barat, itu dalam lindungan Sarwo Edi Nugroho. Oleh Komandan Sayap Militer Jamaah Islamiyah Wilayah Semarang itu, ia diinapkan di sebuah rumah di kawasan Borobudur. Di situ tinggal Agus Suryanto, yang tewas dalam penyergapan polisi, Selasa tiga pekan lalu.
Setelah itu, ia dipindahkan ke Parakan, Temanggung. Akhir tahun lalu, ia tinggal bersama istrinya di Kebon Salak, Kranggan, Temanggung. Tentang pemilik rumah yang ditempatinya itu, ia berkata pendek, ”Itu rumah orang kaya. Pemiliknya tinggal di Jakarta.” Di rumah itulah Rabu tiga pekan lalu petualangannya berakhir. Saat dia sedang membaca Al-Quran dengan istrinya, belasan anggota Satgas Bom Polri datang. Ia berusaha lolos lewat jendela, tapi polisi mencokoknya.
Mujadid alias Brekele alias Saiful Anam lalu dinaikkan ke mobil setelah dilumpuhkan. Kaki kirinya didor petugas. ”Nggak papa, saya ikhlas. Dihukum mati pun saya ikhlas,” katanya. Polisi kemudian merawatnya di Paviliun Wijaya Kusuma, ruang perawatan kelas VIP Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta.
Di situlah polisi mempertemukan Mujadid dengan istri, anak, dan belasan kerabatnya. Seorang komandan Satgas Bom Polri bahkan meminjamkan telepon seluler kepadanya. Mujadid lalu menelepon ibunya, yang sedang sakit, di Bandung, Jawa Barat. Katanya terisak kepada sang ibu, ”Mama, ini sudah takdir Allah. Jangan terlalu dipikirin….”
Budi Setyarso (Yogyakarta)

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Komplotan Baru Pak Guru’ Dujana

Polisi menguak jaringan baru sayap militer Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Dujana. Mereka kerap tak seiring dengan Noor Din Top.

RUANG tahanan di Markas Komando Brimob itu terasa seperti pesantren, Rabu pagi pekan lalu. Tiga orang penghuni sel paling besar, berukuran 4x2 meter, menggelar salat duha berjemaah. Tiga lainnya, masing-masing menghuni sel lebih kecil, membaca Quran sambil tidur-tiduran.
Ini hari pertama para tahanan menghuni sel Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Mereka adalah Sarwo Edi Nugroho (40 tahun), Kholis (38), Sikas (37), Amir Ahmadi (32), Achmad Syahrul alias Doni (25), dan Mahfud Qomari alias Sutardjo (33 tahun). Sebelumnya, mereka ditahan di Yogyakarta untuk kemudian dipindah ke Depok dengan pesawat khusus milik polisi.
Pagi-pagi benar mereka telah mengepel lantai sel masing-masing. Bak kamar mandi juga digosok. Setelah itu, petugas membagikan nasi bungkus dengan lauk ayam goreng. Sarwo Edi, 40 tahun, mengeluhkan menu itu. Katanya, selama dua pekan ditahan, menunya selalu sama. ”Bisa nggak, Pak, lauknya diganti tempe dan tahu?” katanya. Polisi penjaga berjanji memenuhi permintaan itu. Sarwo menambahkan, ”Kalau bisa ditambah buah, biar metabolisme perut kami lancar.”
Enam pria itu ditangkap Satuan Tugas Bom Polri di Yogyakarta dan Surabaya, tiga pekan lalu. Mereka dituduh terlibat sejumlah aksi teror di Tanah Air. Seorang tersangka lainnya, Saiful Anam alias Mujadid, masih dirawat di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, karena kaki kirinya ditembak polisi. Adapun Agus Suryanto tewas didor dalam penyergapan di Yogyakarta.
Kepada polisi, para tersangka mengaku anggota sayap militer Jamaah Islamiyah. Pemimpin kelompok ini adalah Abu Dujana alias Ainul Bahri, veteran perang Afganistan asal Cianjur, Jawa Barat. Polisi menyimpulkan inilah sel baru di tubuh organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dinyatakan sebagai teroris internasional itu.
Polisi tampaknya sudah tahu bagaimana membuat para tersangka buka mulut. Setelah ditangkap, mereka umumnya ”digarap”, salah satunya dengan cara dipertemukan dengan senior-senior mereka yang sudah ”insyaf”. Dalam pertemuan itu, keyakinan mereka didebat habis-habisan oleh sang senior. Setelah itu, ditambah teknik-teknik ”penggarapan” lainnya, umumnya mereka ”melunak” dan mau ”berkicau”.
l l l
AWALNYA adalah penangkapan sejumlah buron pelaku berbagai aksi kekerasan di Poso, Januari lalu. Mereka dianggap terlibat berbagai kasus, seperti pengeboman Pasar Tentena, mutilasi tiga siswi SMA, dan pembunuhan Pendeta Susanti. Para tersangka itu lalu diterbangkan ke Jakarta.
Dari hasil interogasi, polisi memperoleh keterangan bahwa mereka bagian dari kelompok ”ustad dari Jawa”. Beberapa tersangka bahkan mengaku sempat dilarikan ke Jawa setelah melakukan aksi kekerasan. Satu di antaranya adalah Wiwin Kalahe yang dituduh melakukan mutilasi dan membunuh.
Polisi bergerak cepat. Sepekan sete-lah ditangkap, Wiwin diajak berkeliling ke sejumlah kota di Jawa—antara lain Semarang, Jepara, Solo, dan Surabaya. Ia diminta menunjukkan tempat-tempat yang dulu pernah dipakainya bersembunyi.
Hasilnya, Satuan Tugas Bom menandai belasan orang yang dicurigai. Kegiatan orang-orang itu pun diawasi. Mujadid, yang tinggal di Temanggung, Jawa Tengah, termasuk paling awal diintai. Ia dikenali sebagai pelaku pengeboman Pasar Tentena, Mei 2005. Orang-orang yang berhubungan dengannya juga dikuntit, termasuk Sarwo Edi.
”Saya dan Mujadid beberapa kali main sepak takraw. Ternyata polisi tahu tempat kami bermain itu. Jadi sudah lama kami diamati,” kata Sarwo Edi kepada Tempo. ”Padahal saya merasa bersih, belum ada kasus apa pun yang melibatkan saya.”
Polisi menerima informasi sahih bahwa Sarwo Edi hendak mengambil senjata pada Selasa tiga pekan lalu. Ketika ia meninggalkan rumah istri keduanya di Muntilan, Jawa Tengah, berboncengan dengan Agus Suryanto, polisi mengikutinya. Keduanya disergap setelah menerima senjata dari Sutarjo, Amir, dan Sikas di Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta (lihat Pertukaran Gagal di Maguwoharjo, Tempo, 1 April 2007).
Sehari kemudian polisi membongkar simpanan bahan peledak di rumah Sikas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Polisi juga menangkap Mujadid di Temanggung, lalu Kholis dan Doni di Surabaya. Di rumah kedua tersangka dari Jawa Timur itu pun ditemukan bahan peledak. Polisi mengklaim, total bahan peledak yang disita dari mereka bisa dipakai membuat bom berkekuatan dua kali lipat dibandingkan bom Bali, 12 Oktober 2002. ”Yang kami temukan di Surabaya bahkan sudah siap diledakkan,” kata Brigadir Jenderal Surya Darma, Komandan Satgas Bom Polri.
Polisi juga menemukan berbagai berkas di rumah para tersangka. Di antaranya, di rumah Sutarjo di Sukoharjo, aparat menemukan selembar kertas bergambar sebuah struktur organisasi. Sutarjo alias Ayyasy lalu buka mulut: itulah struktur terbaru sayap militer Jamaah Islamiyah.
Jabatan tertinggi pada struktur baru itu adalah qoryah, yang artinya komandan sariyah alias komandan tentara. Posisi ini ditempati Abu Dujana. Di bawahnya ada ishobah, yang menurut Surya Darma merupakan istilah baru di sayap militer Jamaah Islamiyah. Ishobah membawahkan sejumlah majmuah dan sejajar dengan qism dzakhiroh, yang mengurusi logistik (lihat Wajah Baru Jamaah Islamiyah).
Nasir Abas, bekas petinggi Jamaah Islamiyah, menjelaskan bahwa sariyah setara dengan satu kompi atau seratus orang dalam istilah militer pada umumnya. Adapun ishobah sama dengan peleton. Majmuah adalah regu yang anggotanya sekitar 10 orang.
Ishobah tidak ada dalam struktur awal sayap militer yang dibentuk berdasarkan Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah. Demikian juga dalam Tanzim Qoidatul Jihad, unit pasukan tempur yang dibentuk Noor Din Mohammad Top, buron nomor wahid berkewarganegaraan Malaysia, pada 2003.
Komandan satuan di bawah qoryah ditunjuk oleh Abu Dujana dalam pertemuan di Solo tahun lalu. Ahli senjata dan taktik perang yang oleh anggotanya dipanggil Pak Guru itu menganggap perlu penataan organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir Jamaah Islamiyah memang terkikis karena petingginya ditangkapi.
Sarwo Edi ditunjuk menjadi Komandan Ishobah Jafar bin Abi Tholib yang membawahkan wilayah Semarang. Kholis diperintahkan memimpin Ishobah Abdullah bin Rowiyah di Surabaya. Ishobah Zaid bin Haristah di Surakarta dipimpin seseorang yang, menurut Sarwo, bernama Gulam. Adapun Ayyasy ditunjuk untuk mengurusi logistik. ”Makanya dia banyak menyimpan senjata dan bahan peledak,” tuturnya.
Meski anggotanya hanya satu kompi, kelompok pimpinan Abu Dujana ini tak bisa dianggap enteng. Mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah yang kemampuan dan kesetiaannya sudah diuji. Sarwo Edi, misalnya, menjadi anggota organisasi ini sejak dibentuk pada 1993. Ia mengikuti latihan singkat militer di Kamp Pelatihan Hudaybiyah, Mindanao, Filipina Selatan, pada 1999-2000.
Agus Suryanto, yang tewas ditembak saat penyergapan, adalah murid Dr. Azahari, ahli bom asal Malaysia yang tewas saat penggerebekan oleh polisi di Batu, Jawa Timur, November 2005. Adapun Mujadid pernah meledakkan bom di Pasar Tentena, Sulawesi Tengah, yang menewaskan 22 orang.
Mujadid dibaiat menjadi anggota Jamaah Islamiyah saat menjadi santri Pondok Pesantren Al-Husein, Jatibarang, Jawa Barat pada 2000. Menurut polisi, yang membaiat adalah Ulul Albab, guru bantuan dari Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. Lulus dari pesantren Al-Husein yang tutup tiga tahun lalu itu, Mujadid terjun dalam konflik berdarah di Maluku dan Poso selama enam tahun.
Menurut Nasir Abas, penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah, kelompok ini tak bisa dianggap remeh. ”Meski jumlahnya hanya seratusan orang,” katanya, ”bayangkan akibatnya bila mereka bergerak bersama-sama.”
l l l
PENEMUAN struktur baru itu membuat polisi berkesimpulan bahwa Jamaah Islamiyah masih aktif bergerak. Nasir Abas sependapat. Apalagi sariyah hanya satu di antara lima bidang di bawah Majelis Qiyadah Markaziah alias pengurus pusat Jamaah Islamiyah. Empat bidang lainnya adalah dakwah, pendidikan, ekonomi, dan penerangan.
Tapi Abu Bakar Ba’asyir, yang disebut-sebut menjadi pemimpin tertinggi Jamaah Islamiyah, menuduh struktur baru itu hanya karangan polisi. ”Yang keluar dari polisi selalu rekayasa, diambil dari pengakuan orang yang disiksa,” kata pendiri Pondok Pesantren Al-Mukmin itu.
Kelompok Dujana aktif bergerak. Mereka berlatih bongkar pasang senjata dan merakit bom di Gunung Sumbing, Temanggung. Juga menggelar latihan menembak di Pantai Sekucing, Weleri, Jawa Tengah. Secara rutin mereka juga bertemu di Solo, Magelang, dan Parakan.
Sebulan sebelum ditangkap, Mujadid menghadiri pertemuan di Parakan. Abu Dujana hadir bersama seseorang yang dipanggil ”Mbah”. Pria yang diyakini sebagai Zulkarnain, buron tersangka kasus bom Bali I itu, meminta anggota kelompok Dujana bersabar. ”Dia bilang, ’Yang benar belum tentu menang, tapi yakinlah pada perjuangan kita’,” kata Mujadid kepada Tempo.
Meski sama-sama mengklaim ”berjuang menegakkan agama”, kelompok Abu Dujana dan Noor Din Mohammad Top sebenarnya tak seiring. Dujana, menurut Mujadid, dalam berbagai ke-sempatan membicarakan sepak terjang Noor Din dengan nada negatif. Pria yang konon ahli merekrut pelaku bom bunuh diri itu dianggap menyulitkan dakwah karena kerap mengebom tanpa koordinasi.
Sarwo Edi menyatakan pernah menolak permintaan Noor Din agar ”menyumbangkan” anggotanya. Ia bertemu buron yang nyawanya dihargai Rp 1 miliar itu pada awal 2004 di Solo. Da-lam pertemuan dua jam yang diselingi makan nasi goreng itu, Noor Din berkata bahwa jihad adalah ”memerangi Amerika berserta kepentingan, aset, warga, dan sekutu-kutunya di mana pun berada.”
Demi mendukung ”jihad”, Sarwo Edi diminta bergabung, menyerahkan anggotanya untuk terlibat, atau menyumbangkan dana dan bahan peledak bagi Noor Din. ”Saat itu saya menjawab hanya bisa menyumbangkan doa,” kata Sarwo. ”Pemahaman saya soal jihad berbeda dengan beliau.”
Walau begitu, bukan berarti Abu Dujana tak bergerak. Kelompok ini pernah menyiapkan target pembunuhan sebagai pembalasan atas kelompok Kristen yang menyerang warga muslim Poso. Di antaranya adalah John Titaley, bekas Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (lihat Dari Sebuah Corat-Coret).
Pada akhir Januari lalu, Abu Dujana juga menggelar latihan militer di lereng Gunung Sumbing. Sebulan kemudian ia mengumpulkan para komandan ishobah dalam pertemuan di Solo. Pria 38 tahun itu meminta agar senjata dan bahan peledak yang disimpan Ayyasy dibagi ke sejumlah tempat, seperti Semarang dan Surabaya.
Belum jelas tujuan pemindahan barang-barang berbahaya itu. Sarwo Edi mengaku tak menanyakannya kepada Pak Guru. Yang jelas, ia diperintahkan menyerahkan barang-barang dari Ayyasy kepada Ruri, pria asal Kudus, teman seangkatannya di Kamp Hudaybiyah.
Sarwo melaksanakan perintah Dujana pada Selasa tiga pekan lalu. Tapi misi itu gagal. Polisi melumpuhkan pemegang sabuk hitam kungfu itu segera setelah menerima kiriman senjata dari Ayyasy. Kini dia menghuni sel sempit di Markas Brimob. Ia mengaku tak menyesal. Katanya, ”Ini risiko perjuangan.”
Budi Setyarso (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo), Ivansyah (Indramayu)
Dari Towrkham Menuju Solo
Januari 1993 Abdul Halim (Abdullah Sungkar) dan Abdus Somad (Abu Bakar Ba’asyir) memisahkan diri dari Jamaah Negara Islam Indonesia pimpinan Ajengan Masduki. Mereka membentuk Jamaah Islamiyah, dengan Abdullah Sungkar sebagai pemimpin. Mujahidin asal Indonesia dan Malaysia di Kamp Towrkham, Afganistan, bergabung dengan kelompok baru ini. l Memiliki dua mantiqi (wilayah dakwah), yaitu Mantiqi Ula, yang meliputi Malaysia dan Singapura, serta Mantiqi Tsani (II) di Indonesia.
Akhir 1994 Jamaah Islamiyah membentuk kamp latihan Hudaybiyah di Mindanao, Filipina Selatan.
1997 Jumlah mantiqi ditambah menjadi tiga. Mantiqi Ula meliputi Malaysia Barat dan Singapura. Mantiqi Tsani meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Adapun Mantiqi Tsalis (III) meliputi Sabah, Malaysia, Kalimantan Timur, Palu, dan Mindanao. Juga dirintis pembentukan mantiqi di Australia.
November 1999 Abdullah Sungkar wafat. Abu Bakar Ba’asyir menggantikannya sebagai Amir Jamaah Islamiyah.
Agustus 2000 Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia. Kelompok garis keras Jamaah Islamiyah memprotes Ba’asyir yang dianggap terlalu lunak dan keluar dari garis perjuangan Abdullah Sungkar.
23 Oktober 2002 Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkan Jamaah Islamiyah ke daftar organisasi teroris internasional karena sejumlah anggotanya terlibat dalam bom Bali, 12 Oktober 2002.
April 2005 Noor Din M. Top mengklaim memimpin kelompok Tanzim Qoidatul Jihad, unit pasukan tempur yang wilayahnya meliputi Kepulauan Melayu.
2006 Abu Dujana menata kembali organisasi Jamaah Islamiyah, termasuk dengan mengubah struktur sayap militernya. Menurut polisi, struktur baru ini lebih ringkas karena dibuat dalam keadaan terdesak.
Wajah Baru Jamaah Islamiyah
Tujuh tersangka teroris ditangkap di Yogyakarta dan Surabaya akhir bulan lalu. Mereka mengaku sebagai anggota kelompok Abu Dujana. Dari pengakuan para tersangka itu terungkap struktur baru sayap militer Jamaah Islamiyah, yang menurut polisi lebih ringkas dibanding struktur sebelumnya.

Wednesday, April 04, 2007

Komentar, 04 April 2007
Kapolri: Bom mereka lebih dahsyat dari bom Bali
Dibaiat Abu Dujana, Teroris Sleman Mengaku JI

Asal organisasi para tersang-ka teroris jaringan Sleman mu-lai terkuak. Mereka mengaku sebagai anggota Jamaah Isla-miyah (JI) yang dibaiat oleh Abu Dujana. Masing-masing tersangka memiliki nama alias, bahkan ada yang sampai me-miliki 20 nama alias.Hal ini dibenarkan Direktur I Keamanan Transnasional Ba-dan Reserse Kriminal (Kam-trannas Bareskrim) Polri Brig-jen Pol Suryadarma dalam jumpa pers di Mako Brimob Polda DIY, Jln Mojo, Baciro, Yogyakarta, Se-lasa (03/04). Dalam jumpa pers diperlihatkan rekaman kesaksian masing-ma-sing tersangka. Juga diperli-hatkan barang bukti yang ditemu-kan di Sleman, Magelang, Suko-harjo, Temanggung, dan Sura-baya. Suryadarma mengatakan, semua tersangka mengaku se-bagai anggota JI “JI itu memangada, bukan khayalan. Ini ber-dasarkan pengakuan tersang-ka yang ditangkap. Pelaku-pe-laku juga mengaku berada di bawah kendali Abu Dujana,” ujar dia. Suryadarma juga menjelaskan, telah terjadi pe-rubahan struktur dan jaringan dalam JI. Di antara perubahan itu adalah untuk sebutan tipe posisi. Kini JI memiliki sayap militer yang dinamakan Sya-riah atau Qoriyah dan juga disebut Astari. Sayap militer ini dipimpin Abu Dujana atau Pak Guru alias Marsum. Tugas Abu Dujana beserta kelompoknya adalah mengumpulkan berba-gai senjata, amunisi, bahan peledak, bom siap pakai dan bahan berbahaya lainnya dari beberapa lokasi. Dikatakan Suryadarma, beberapa bom aktif yang digunakan dalam kegiatan teror dibuat oleh Agus Suryanto alias Agus Suryo yang juga murid Doktor Azahari. Sebe-lumnya Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengakui tersangka terorisme kelompok Sleman terkait jaringan Noordin M Top dan konflik di Poso. Kapolri ju-ga mengakui kualitas dan ke-mampuan tersangka dalam merakit bom lebih unggul dari-pada bom Bali.“Itu ada kaitannya dengan yang dulu, Noordin M Top, termasuk Poso dan ada juga yang terkait dengan bom Bali,” kata Sutanto.Kapolri juga mengakui, kua-litas dan kemampuan para ter-sangka terorisme Sleman ini sa-ma dengan kelompok Amrozi, Imam Samudra, Azahari dan Noordin M Top. “Kemampuan-nya lebih tinggi, seperti bom Bali dari barang bukti yang dite-mukan. Itu kalau dirakit semua, 4 sampai 5 kali lebih besar di-banding di Bali yang pertama,” jelas Sutanto.(dtc/rmc)

Tuesday, April 03, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pelaku Teror Poso Dituntut Pasal Berlapis

Para terdakwa kasus teror di Poso pascaeksekusi Tibo Cs mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (2/4). [Pembaruan/Ruht Semiono]
[JAKARTA] Dua belas orang yang diduga sebagai pelaku terorisme di Poso dituntut dengan pasal berlapis berdasarkan UU 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mereka dituntut karena diduga melakukan tindakan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban. Perbuatan para terdakwa juga diancam pidana sesuai Pasal 338 jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu dan Pasal 170 Ayat (2) ketiga, serta Pasal 181 jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.
Hal itu dikatakan Totok SH, Jaksa Penuntut Umum seusai membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/4).
Dikatakan, dua belas pengikut Tibo Cs, yaitu Harpri Tumonggi (28), Darman Aja (23), Edwin Polma (25), Agus Shandra (23), Syaiful Ibrahim (22), Erosman Tioki (28), Walsus Alpin (24), Benhard Tompondusu (28), Sastra Yuda (23), Romi Yanto (19), Fernikson Bontura (20), dan Jefri Bontura (21), dalam aksinya terinspirasi oleh eksekusi Tibo Cs. Mereka mendengar kabar bahwa eksekusi Tibo Cs dilaksanakan dengan cara yang tidak wajar.
Mendengar kabar itu, mereka berkumpul dan menyatukan ide untuk melakukan balas dendam. Mereka sepakat melakukan sweeping terhadap kendaraan yang melintas di Jalan Trans Sulawesi.
Pada saat melaksanakan sweeping, semua kendaran yang melintas diberhentikan. Saat kendaraan kedua melintas, para terdakwa menanyakan identitas sopir dan kondektur, yang kemudian diketahui bernama Arhan Burhanudin dan Wandi. Namun, keduanya tidak bisa menunjukkan KTP, seperti yang diminta pelaku. Keduanya dipukul hingga terjatuh.
Akibat pukulan itu, Wandi langsung meninggal di tempat kejadian. Sementara Arhan masih sempat melarikan diri, namun akhirnya juga dipukul hingga meninggal.
"Jadi, mereka dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang lain secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massa dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain," kata Totok.
Terkait hal itu, koordinator penasihat hukum terdakwa, Elfis Dj Katowu SH mengatakan pasal-pasal yang diajukan Jaksa Penuntut Umum akan dibuktikan, apakah merupakan pidana umum atau mengacu UU Anti-Teroris. "Jadi tergantung dari fakta di persidangan nanti," katanya. [146]
Last modified: 3/4/07

Terrorist manhunt in Java began with Poso arrests, says observer
M. Azis Tunny, The Jakarta Post, Ambon, 3 April 2007

Information gleaned from the January arrests of several terror suspects in Poso, Central Sulawesi, has assisted the current manhunt for members of terrorist organization Jamaah Islamiyah in Central Java and Yogyakarta, according to an observer.
Sidney Jones, the director of the International Crisis Group's Southeast Asia Project, said Monday police were able to extract information from one of the men arrested in Poso, Mujadir, also known as Brekele.
"I'm positive the (current) operation initiated from the arrests of suspects in Poso in January. Those arrested in Sleman are also close to the group in Poso, such as Agus, who has ties with Abu Dujana. Police probably knew about their presence in Central Java and Yogyakarta through his followers, who were caught in Poso," Jones told The Jakarta Post in Ambon on Saturday.
Abu Dujana is the second most wanted man in Indonesia after Noordin M. Top and thought to be part of a new organization within JI.
Jones said police were targeting Abu Dujana, but were only able to arrest six JI members, all followers of Abu Dujana.
One of them was shot and injured and another was shot dead by police. The raid in Sleman, added Jones, was closely related to the previous arrests.
During the Poso conflict, the network was busted up after the arrest of several members. The rest returned to their command centers in Java, especially Central and East Java.
Jones said Mujadir, who had been in Poso for a long time, graduated from a JI Islamic boarding school in Indramayu, West Java, and is close to Noordin M. Top.
Police hoped to be able to arrest Noordin, or at least Abu Dujana, through Mujadir. An Islamic teacher in Poso, Ustad Sahal, also reportedly provided information about the link between Poso and the group in Central Java.
According to Jones, the suspects also have been supplying bombs to Poso.
The discovery of thousands of rounds of ammunition, weapons and half a ton of explosive materials kept by a JI member in Bendosari in Sukaharjo, Central Java, believed to be owned by Abu Dujana, indicated that supplies of explosive materials to Poso were being dispatched from Central Java, according to Jones.
"Whether they were used in Tentena of other places is still unclear, but members from the Tanah Runtuh group get their supply of explosives from Central Java. There is a fraternity link between JI graduates in Central Java and teachers sent to Poso. Mujadir is from Central Java but stayed and taught in Poso for a long time. They still have close ties with those in Central Java," said Jones.
Abu Dujana became a police target after his name kept appearing as a JI amir, or leader. Despite that, Jones expressed confidence that Abu Dujana was not the highest leader in the network, but only one of its leaders.
Jones said Abu Dujana had so far been able to evade arrest through the support of hundreds of loyal JI members in Central Java and Yogyakarta.
"Yogyakarta, Klaten and Semarang are believed to be the base of JI in Indonesia now," said Jones, adding that the group also has a footing in East Java.
She said Central and East Java were the areas with the most JI members and the most militant members.
She said the latest round of arrests clearly showed the link between Poso and Central Java. Although a number of JI members have been caught in Poso and Java, it is still not easy to sever the link between the areas.
Although the number of terrorist acts in Poso, including bombings, might drop as a result of these arrests, Jones said the violence would return if the roots of the problem were not resolve.
She said the government could not rely on repressive measures to resolve the conflict in Poso, but had to take a more comprehensive approach.
"People are still traumatized and frustrated by the unresolved cases from 2000, when Muslims were butchered in Poso. Some feel the loss of their land and property could create other problems, especially when they have not been compensated. If such sentiments prevail among the Muslims in Poso, they will be easy targets to be recruited by the terror group," she said.

Trial begins for Christians accused of double murder in Poso
The Jakarta Post, Jakarta, 3 April 2007

Twelve Christian men are being tried at the South Jakarta District Court for the murder of two Muslims in Poso, Central Sulawesi, and could face the death penalty if convicted.
Prosecutors told the court Monday the defendants killed two traders at an illegal roadblock they set up Sept. 23, 2006, near Poleganyara village in East Pamona district, Poso regency.
The defendants are Harpri "Api" Tumonggi, 28; Darman "Panye" Aja, 23; Edwin "Epin" Poima, 25; Agus "Anda" Chandra, 23; Syaiful "Ipul" Ibrahim, 22; and Erosman "Eman" Tioki, 28.
Also being tried are Walsus "Eje" Alpin, 24; Benhard "Tende" Tompodusu, 28; Sastra Yudawastu "Ibo" Naser, 23; Romi Yanto "Romi" Parusu, 19; Fernikson "Kenong" Bontura, 20; and Jefri "Ate" Bontura, 21.
Lead prosecutor Bayu Adhinugroho Arianto told presiding judge Achmad Sobari it was Ipul's idea to set up the roadblock to protest the executions of Fabianus Tibo, Marinus Riwu and Dominggus da Silva on Sept. 22, 2006.
The three were convicted of leading a Christian militia that launched a series of attacks in Central Sulawesi in May 2000, including a deadly machete and gun assault on an Islamic school where scores of men were seeking shelter.
The 12 defendants in this latest case stopped passing vehicles and demanded to see the identity cards of occupants.
One of the vehicles stopped by the defendants was a cargo van driven by Arham Badaruddin, 40, and his assistant Wandi, 25, at about 11:30 p.m.
Prosecutors described how the defendants allegedly hunted down the two victims, tortured and killed them.
The defendants are accused of violating the 2002 Terrorism Law, as well as several articles in the Criminal Code on murder. They could be executed if convicted.
Judge Achmad Sobari adjourned the hearing until April 12, at which time the court will begin hearing from 10 witnesses called by the prosecution.
All 12 of the defendants are being held at the Jakarta Police detention center during the trial.

Monday, April 02, 2007

Tempo, Edisi. 06/XXXIIIIII/02 - 8 April 2007
Nyanyian Para Tersangka

Struktur Jamaah Islamiyah berubah. Mulai mengucilkan Noor Din Mohammad Top.
PERTEMUAN keluarga itu berlangsung di ruang perawatan VIP Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, Rabu malam pekan lalu. Mujadid, yang kaki kirinya ditembak anggota Satuan Tugas Bom Kepolisian, dipertemukan dengan istri, dua anak, dan adik iparnya.
Mujadid gembira dengan kedatangan keluarga yang dijemput khusus oleh polisi itu. ”Saya sebelumnya mengira akan dipukuli atau disetrum saat tertangkap,” katanya. ”Ternyata saya diperlakukan dengan baik.” Ia terus memeluk si bungsu di pangkuannya.
Mujadid, 27 tahun, ditangkap polisi sepekan sebelumnya di Desa Purwosari, Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah. Ia, yang juga memakai nama alias Saiful Anam, dituduh terlibat pengeboman Pasar Tentena, Poso, pada Mei 2005. Dia juga diduga anggota Jamaah Islamiyah yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa divonis sebagai kelompok teroris.
Segera setelah ditangkap, Mujadid membuka aktivitas jaringannya. Polisi juga menggali keterangan dari tersangka lain yang dicokok sepanjang dua pekan lalu: Sarwo Edi alias Suparjo, Amir Achmadi, Sikas alias Karim, Maulana alias Holis, dan Sutarjo Kumari alias Abu Azazi.
Dari keterangan mereka polisi menyimpulkan, terjadi perubahan-perubahan dalam struktur Al-Jamaah Islamiyah. Sayap militer kelompok itu, yang sebelumnya disebut sebagai asykari kini berubah nama menjadi ishoba. Struktur baru itu, kabarnya, akan dirilis polisi pekan ini.
Sarwo Edi, yang ditangkap dalam penggerebekan di Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, Selasa dua pekan lalu, merupakan pemimpin ishoba wilayah Semarang. Ia bawahan Abu Dujana yang disebut-sebut memimpin sayap militer se-Jawa.
Seorang penyelidik menyebutkan, ini perubahan ketiga dalam struktur Jamaah Islamiyah. Struktur pertama disusun berdasarkan Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah al-Islamiyah. Pedoman itu diubah pada 2003. ”Dokumen perubahan ini ditemukan polisi dalam penggerebekan di Semarang tahun lalu,” kata penyelidik itu.
Perwira itu juga menyebutkan, Jamaah Islamiyah kini juga mulai ”mengucilkan” Noor Din Mohammad Top, tersangka teroris yang diburu kepolisian di Asia Tenggara. Buron berkewarganegaraan Malaysia itu tak lagi diberi fasilitas persembunyian.
Ada tiga hal yang membuat Noor Din diasingkan. Ia dituduh tak pernah melaporkan kegiatannya kepada pemimpin Jamaah Islamiyah. Ia juga tidak pernah meminta izin pemimpin Jamaah ketika merekrut anggota gerakan untuk melakukan aksi peledakan. Yang terakhir, aksi peledakan oleh Noor Din dinilai banyak memakan korban warga muslim.
Perwira itu juga menambahkan bahwa polisi tidak bisa benar-benar mempercayai ”nyanyian” para tersangka. ”Kita tidak boleh meremehkan kelompok seperti Jamaah Islamiyah,” katanya. Ia lalu menunjuk penemuan bahan peledak di rumah para tersangka. Bukan hanya bahan mentah seperti potasium klorat dan TNT, polisi ternyata juga menemukan bom rakitan yang siap diledakkan.
Sejumlah buron pun diduga memiliki kemampuan merakit bom, di antaranya adalah Opik Lawanga. Menurut Mujadid, Opik adalah perakit bom yang ia ledakkan di Pasar Tentena. ”Dia sendiri yang menyiapkan bahan dan merakit bom itu,” katanya kepada Tempo.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal Sutanto, menyebutkan bahwa Opik pernah mendapat pelatihan dari Dr. Azahari, ahli bom yang tewas dalam penyergapan polisi di Batu, Jawa Timur, November 2005. ”Azahari juga sempat melatih beberapa orang,” kata Jenderal Sutanto.
Budi Setyarso (Yogyakarta)