Wednesday, January 31, 2007

Aniaya Warga, 4 Anggota Polres Poso Diperiksa
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N,
Rabu, 31 Januari 2007 - 17:26 wib

PALU, KOMPAS - Empat anggota Kepolisian Resor Poso yang diduga menganiaya sejumlah warga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah saat terjadi bentrokan di Kelurahan Gebang Rejo kini menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan oleh penyidik Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Sulteng.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar M Kilat, Rabu (31/1) mengatakan, apabila dalam pemeriksaan sejak Sabtu (27/1) lalu terbukti menganiya warga, keempat anggota Polres Poso itu akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Ini merupakan bukti bahwa polisi terbuka dikoreksi apabila memang bersalah dalam menjalankan tugas,” kata Kilat.
Keempat anggota Polres Poso yang diperiksa yaitu, Tedy, Cucu, Rasjid, dan Asta Gunadi. Semuanya berpangkat Brigadir Dua. Pascabentrokan antara polisi dan kelompok bersenjata pada 22 Oktober 2006 lalu, rumah mereka di Gebang Rejo dijarah dan dibakar anggota kelompok bersenjata.
Ketika Senin (22/1) lalu bentrokan antara polisi dan kelompok bersenjata terulang kembali, polisi mengamankan sekitar 20 warga di lokasi bentrokan dan menahan mereka 24 jam di Markas Polres Poso. Saat itulah empat anggota Polres Poso itu menganiaya beberapa dari 20 warga yang ditahan.
“Empat anggota Polres itu mengira warga yang ditahan itu adalah anggota kelompok bersenjata yang menjarah dan membakar rumah mereka di Gebang Rejo. Walaupun kami bisa memahami perasaan empat anggota Polres itu, tapi perbuatan mereka tidak bisa dibenarkan,” kata Kilat.
Penganiayaan warga itu terungkap ketika 20 warga Gebang Rejo yang ditangkap mengadukan polisi yang terlibat dalam operasi penangkapan DPO ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis (25/1) lalu. Mereka menyatakan ditangkap tanpa alasan yang jelas, kemudian disiksa sekalipun mereka bukan bagian dari kelompok bersenjata.

SUARA PEMBARUAN DAILY
Rekonsiliasi Konflik Poso Formula Kesejahteraan

[JAKARTA] Penyelesaian dan rekonsiliasi konflik berkepanjangan di Poso hanya dapat dilakukan dengan orientasi dialog yang dikembangkan menuju kearah menciptakan sebuah tatanan masyarakat baru di Poso yang bebas dari dendam, marah dan sepakat untuk melahirkan kedamaian sejati. Selain itu, pemerintah harus mencari formula atau cara menciptakan kesejahteraan dengan memberikan langkah konkrit untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat Poso dengan memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan dan lingkungan sosial.
"Degan cara seperti ini perdamaian sejati dapat terwujud," ujar Sekretaris Eksekutif Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, Benny Susetyo Pr kepada Pembaruan di Jakarta, Rabu (31/1). Sisa-sisa konflik di Poso harus segera diselesaikan, baik melalui jalur hukum maupun rekonsiliasi.
Menurut Benny, pemerintah harus menerapkan politik kesejahteraan dan perdamaian secepat mungkin di Poso. Tanpa menerapkan hal ini, maka Poso tetap akan menjadi api dalam sekam. Diharapkan elite politik mampu mengubah cara pendekatan kepada warga Poso bukan dengan cara kekerasan melainkan dengan memperbaiki kehidupan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi orang muda di Poso seluas mungkin.
Senada dengan itu, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menegaskan untuk menuntaskan berlarut- larutnya konflik di Poso, ia akan berbicara dengan pihak terkait, terutama pemerintah dan aparat keamanan. ''Saya juga akan bicara dengan tokoh-tokoh agama di Poso,'' katanya.
Disamping itu, menurut Hasyim warga di Poso harus mewaspadai adanya bisnis konflik di balik berbagai kekacauan di daerah itu. PBNU mengimbau masyarakat Poso bisa menahan diri, tidak gampang termakan isu. Sehingga, tidak menjadi mainan para pebisnis konflik yang mengambil keuntungan dari berbagai kekacauan tersebut.
Untuk menuntaskan berlarut-larutnya konflik di Poso, ia akan berbicara dengan pihak terkait, terutama pemerintah dan aparat keamanan. "Saya juga akan bicara dengan tokoh-tokoh agama di Poso," katanya."Pasti ada motif lain yang nimbrung di balik kerusuhan. Ada bisnis konflik. Terbukti, misalkan, dengan beredarnya senjata di sana, ada bengkel reparasi senjata juga, dan lain-lain," kata Hasyim
Sedangkan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, meminta masyarakat dan komponen bangsa lainnya mewaspadai propaganda kelompok bersenjata di Poso yang dapat menyudutkan pemerintah yang sedang menggelar operasi penegakan hukum di Poso.
"Bila masih ada pihak yang tidak percaya kalau para penjahat di Poso memiliki senjata, maka kita semua harusnya bisa menilai karena barang bukti sudah tergelar dan para tersangka sudah banyak bercerita," katanya. Ia mengharapkan semua pihak menyadari apa yang terjadi di Poso dan tidak asal bicara, menyebarkan rumor, dan isu yang tidak benar. [E-5]
Last modified: 31/1/07

Komentar, 31 January 2007
Rekonstruksi, Abdul Muis ditonjok pedagang
Bom Maesa (Sebenarnya) Disetel Meledak Saat Natal

Bom yang menewaskan 8 orang di Pasar Daging Babi Maesa (Palu), 31 Desember 2005 si-lam, ternyata disetel meledak saat Natal 25 Desember 2005.Namun upaya yang dilaku-kan tersangka Abdul Muis yang dibantu Firsan alias Ichang, tidak berhasil. Bom tidak meledak, sehingga di-ulang lagi oleh tersangka 31 Desember 2005 pada lokasi yang sama. Hal ini terungkap melalui penyidikan dan hasil rekon-struksi yang digelar di Pasar Babi Maesa, Selasa (30/01) pagi kemarin. Menariknya, re-ka ulang tersebut sempat di-warnai aksi pemukulan terha-dap tersangka utama kasus itu, Abdul Muis (21) yang dilakukan seorang pedagang.Pedagang yang orang tuanya tewas dalam kejadian itu ke-sal dengan perbuatan ter-sangka. Ia pun langsung me-nonjok wajah tersangka Abdul Muis. Petugas lalu menyeret tersangka ke mobil.Sang tersangka utama, Ab-dul Muis, sebelumnya terlibat juga kasus penembakan Pdt Irianto Kongkoli, dan proses rekonstruksikan sudah di-lakukan. Sementara dari pro-ses rekonstruksi di Pasar Maesa, Dimulai dari Jalan Anoa di mana Abdul Muis yang di-bantu Tengku Firsan alias Ichang (Ichang tewas tertem-bak saat baku tembak dengan polisi 11 Januari 2007) mem-persiapkan bom yang akan diletakan di Pasar Daging Babi itu. Dalam aksi ini Dedi Parsan, salah seorang DPO kasus te-ror Poso juga terlibat. Yang bersangkutan tewas dalam bentok dengan polisi 11 Ja-nuari 2007. Seperti skenario awal, Abdul Muis dan Ichang tidak bekerja tanpa perintah. Ustadz Ryan alias Santoso alias Abdul Hakim (tewas ter-tembak polisi 11 Januari 2007) memerintahkan kedua-nya untuk meledakkan bom di saat umat Kristiani akan melaksanakan Natal dan Ta-hun Baru. Dalam rekonstruksi itu juga terungkap bahwa bom itu di-gabung dengan sayur kang-kung dan daging babi yang dibeli Abdul Muis. Tersangka Abdul Muis kemudian mele-takkan bom itu di salah satu kios di Pasar Daging Babi Maesa, dan kemudian ‘’booom’’. Sedikitnya 8 tewas, enam luka berat dan 57 lainnya luka ringan. Beberapa di antaranya warga Sulut.Sementara Wakil Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Anton Bachrul Alam di Jakarta mengatakan, proses reka ulang kasus bom di Pasar Maesa, berjalan lancar meski diakuinya ada sedikit kericuhan. “Rekonstruksi berjalan lan-car, walaupun ada masyarakat yang tidak senang kepada tersangka Abdul Muis. Mereka hendak memukul tersangka, tetapi dengan pengamanan yang cukup, reka ulang dapat terlaksana dalam keadaan aman,” kata Anton.(shc/dtc)

Jejak Noordin Belum Terendus di Poso
Rabu, 31 Januari 2007, 05:08:16 WIB

Rakyat Merdeka. Kendati telah menyebut Jamaah Islamiyah (JI) berada di balik serangkaian kekerasan di Poso namun Mabes Polri belum menemukan jejak Noordin M Top di Sulawesi Tengah. Noordin yang diyakini polisi menggantikan posisi Dr Azhari sebagai salah satu pimpinan pucuk JI itu diduga kuat masih berada di Pulau Jawa. Polisi seolah kehilangan jejak warga Malaysia yang kepalanya dihargai Rp 1 miliar itu. ”Belum ada indikasi (Noordin) di sini,” kata Wakadiv Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang kini berada di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (30/1). Jenderal bintang satu itu menegaskan jika penyebutkan JI juga bukan berasal dari polisi tapi berdasarkan kesaksian para pelaku yang berhasil ditangkap. Antara lain pengakuan Abdul Muis yang kini menjadi tersangka utama penembak Pendeta Irianto Kongkoli. ”Dia mengaku sebagai ketua asykari wakalah Palu dan dibaiat oleh Mustofa alias Abu Tholut,” lanjut Anton. Mustofa sendiri saat ini mendekam di LP Cipinang dalam kasus kepemilikan senjata api, bahan peledak, dan amunisi di Jl Taman Rejeki, Semarang, 2004. Selain itu, Anton menambahkan, jika Muis juga mengaku pernah dibaiat oleh Firmansyah yang sekarang ditahan di LP Petobo, Palu karena kepemilikan senjata di Jl Rono, Palu. ”Hingga kini semua pengakuan itu terus kita dalami,” sambung Anton. Sebelum menyebut nama Muis dan Mustofa terlibat JI di Poso, sebelumnya polisi juga menyebut jika Ryan alias Santoso alias Abdul Hakim yang ditembak mati polisi 11 Januari lalu dicurigai terlibat sebagai panitia rapat Markaziyah JI pasca-bom Bali I di Tawangmangu, Magetan, Jawa Timur, 18 Oktober 2002, dan di Cisarua, Jawa Barat, 7 April 2003. Begitupun dengan Hasanudin, tersangka utama mutilasi tiga siswi SMA Kristen Poso, sebagai khoid wakalah Jamaah Islamiyah naz/jpnn

Baca juga:
Tiga Tersangka Kasus Kekerasan Poso Serahkan Diri
Polisi Bebaskan 10 Tersangka Poso
Bendung DPO, Sultra Dijaga
Operasi DPO Poso, 52 Warga Tolitoli Diamankan

Tuesday, January 30, 2007

(Reuters) IHT, Published: January 29, 2007
Crackdown on militants sparks violence on Sulawesi

JAKARTA: Renewed trouble in the north-central Indonesian island of Sulawesi, long the site of deadly Christian- Muslim rivalry, underscores how communal tensions may help reinvigorate the country's militant Islamic movement.
The latest violence, on Jan. 22, began with a police raid on Muslim militants suspected of attacks on Christians in the city of Poso, including the 2005 beheadings of three schoolgirls.
Fourteen people were killed in the fighting between the authorities and militants, which followed a smaller operation against the same suspects 11 days earlier.
Analysts and security experts say that these incidents illustrate the larger forces at work as the world's most populous Muslim nation struggles to contain an armed fringe that is demanding the imposition of Islamic rule across Southeast Asia.
Jemaah Islamiyah, also known as JI, is the region's biggest militant movement, and its members have been linked to a series of major bomb blasts in Jakarta and on the resort island of Bali that have killed almost 250 people since 2002.
"Communal fights like Poso attract a wide range of activists to defend fellow Muslims, not just hard-core militants," said one Western security official who follows the issue closely.
"Once blooded, they are more easily recruited into overtly militant groups, like JI," the analyst said.
Around 85 percent of Indonesia's 220 million people are Muslims, but some areas in Indonesia like Poso have roughly equal numbers of Muslims and Christians.
The area has been tense since the execution of three Christian militants in September over their role in violence against Muslims from 1998 to 2001.
More than 2,000 people died in communal fighting in central Sulawesi before a peace accord took effect in late 2001. There has been sporadic violence ever since.
The police said on Monday that a man captured during the January 11 raid had confessed to shooting and killing a Christian priest last year as he shopped for ceramic tiles in a Poso store.
"Abdul Muis confessed that he was the executioner," said the provincial police chief, Badrotin Haiti. He said that Muis's accomplice in the shooting was killed during the raid.
In a report on the clashes, the International Crisis Group said that the first raid, on Poso's Tanah Runtuh District, had drawn armed sympathizers, or mujahedeen, from Java Island and elsewhere to defend local Muslims from the police.
"The presence of outside mujahedeen, including from Java, complicates the Indonesia government's task enormously," the ICG report said.
The police say that among those arrested were fighters trained in Afghanistan and the southern Philippines. The authorities also report seizing bombs and supplies of ammunition.
Analysts say that the heavy-handed police tactics could dangerously inflame militants' antipathy for the state as "anti-Islamic" and cause unrest, which has been largely localized so far, to spread to other regions.
The second police raid, in which a local teenager and two other bystanders were killed, has drawn fire from mainstream Muslim groups and the press.
On Monday, a spokesman for the police said the authorities had released 10 of those arrested in the raid, adding credence to critics' assertions that they had overreached during the crackdown.
The Poso incident comes at a crucial time for Jemaah Islamiyah, which is on the defensive amid signs of an internal split over tactics and a loss of whatever tacit support the group may have enjoyed among mainstream Muslims.
The authorities have also made progress in disrupting the group's networks, interdicting the flow of illicit cash needed for large-scale attacks, and arresting or killing operatives.
A four-year run of major blasts, in what some analysts dubbed the "bombing season" between August and October, was broken in 2006, which passed without such an incident. And American and Australian fears of attacks in Jakarta over the Christmas season have failed to materialize.

Wapres akan Bangun Pesantren Modern di Poso
Laporan Wartawan Kompas Suhartono
Jumat, 26 Januari 2007 - 15:59 wib

JAKARTA, KOMPAS- Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan untuk memberikan persepsi tentang Islam yang lebih luas dan terbuka pascakonflik antara warga dan aparat Kepolisian di kawasan Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), akan dibangun pesantren modern seperti pesatren yang ada di Gontor, Jawa Timur.
Pernyataan Wapres Kalla itu disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Azyumardi Asra, seusai bertemu dengan Wapres Kalla, Jumat (26/1) siang di Istana Wapres, Jakarta. "Wapres bercerita bahwa pemerintah akan membangun pesantren dengan model Gontor, dengan kurikulum moderen yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggeris dan bahasa Arab. Kalau dibangun sekolah umum, tidak terlalu cocok dengan masyarakat yang mungkin menginginkan pesantren. Kalau dibangun itu, persfektif Islam bisa menjadi lebih luas dan terbuka, sehingga tidak mudah direkrut oleh kelompok kecil tersebut," ujar Azyumardi.
Menurut Azyumardi, masyarakat di Tanah Runtuh juga hendaknya dipisahkan antara mereka yang sudah terindoktrinasi dan yang belum terindoktrinasi oleh kelompok tersebut. Selain itu juga harus diimbangi dengan pemberdayaan ekonomi juga pendidikan kewarganegaraan dan lainnya.
Azyurmadi juga mengungkapkan untuk memberikan penjelasan mengenai bentrokan yang terjadi di Tanah Runtuh baru-baru ini, Wapres juga akan mengumpulkan tokoh-tokoh dan ulama serta Partai Islam di kediaman dinasnya di Jalan Diponegoro. Di situ juga akan ditayangkan film tentang aktivitas kelompok kecil tersebut di Tanah Runtuh.
Sementara, saat keterangan pers rutin seusai sholat Jumat, Wapres menyatakan bahwa kasus yang terjadi di Poso bukanlah konflik antar agama, akan tetapi kriminal biasa di mana kelompok kecil itu melakukan teror dan melakukan perlawanan.

KCM, Kamis, 25 Januari 2007 - 15:39 wib
Komite Kebenaran Kasus Poso Dibentuk di Solo
Laporan Wartawan Kompas Sri Rejeki

SOLO, KOMPAS--Sekelompok orang dari berbagai latar belakang membentuk Komite Kebenaran Kasus Poso (K3P). Mereka akan mengirimkan orang untuk melakukan investigasi lapangan guna mengungkap kebenaran di balik konflik Poso.
Sekertaris K3P Muh Taufiq, SH, mengatakan pihaknya meminta agar kasus Poso tidak ditangani secara parsial, melainkan harus merunut sejak rangkaian peristiwa yang terjadi 25 Desember 2000 dan sebelum terjadinya pertemuan Malino 1 dan 2.
”Jika hanya melihat dari kasus 2006, kami khawatir akan memutus akar dan mata rantai kerusuhan yang sebenarnya,” jelas Taufiq yang dikenal sebagai pengacara di Kota Solo, Kamis (25/1).

KCM, Minggu, 28 Januari 2007 - 22:22 wib
Pemerintah Bertanggung Jawab Selesaikan Poso
Laporan Wartawan Kompas Siwi Yunita Cahyaningrum

CIREBON, KOMPAS - Amir Majelis Mujahidin Indonesia Ustad Abu Bakar Ba’asir mendesak pemerintah bertanggungjawab terhadap berbagai kasus di Poso, Sulawesi Tengah. Salah satunya dengan jalan menarik Detasemen Khusus 88 dari Poso dan mengajak warga untuk berdialog kembali.
"Pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus Poso. Saya harap pemerintah bijaksana," katanya ketika ditemui sebelum memimpin tausiah di Masjid Attaqwa, Cirebon, Minggu (28/1).
Ia menambahkan, Densus 88 segera ditarik dan dibubarkan karena ia mencium adanya indikasi atau tekanan dari luar negeri. Ia juga menilai bahwa daftar pencarian orang itu hanya omong kosong.
Hingga berita ini diturunan Ba’asir masih memberikan tausiyah atau nasihat kepada ribuan warga di wilayah Cirebon. Acara ini dimulai sekitar pukul 21.00 di Masjid Attaqwa, Cirebon.

Polda Sulawesi Tengah Lepas 10 Tersangka
Senin, 29 Januari 2007 - 05:07 wib

POSO, KOMPAS - Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah melepas 10 tersangka yang ditangkap saat bentrokan antara polisi dan kelompok bersenjata di Kelurahan Gebang Rejo, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, 22 Januari lalu. Selain atas jaminan Tim Pengacara Muslim, mereka dilepas karena bukan anggota kelompok bersenjata.
Hal itu disampaikan Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Badrodin Haiti di Poso, Minggu (28/1). "Saat kejadian, mereka hanya ikut-ikutan melawan polisi. Mereka takut terhadap kelompok bersenjata itu. TPM menjamin mereka tak akan melarikan diri dan dapat dipanggil lagi kapan saja," ujarnya.
Ke-10 warga Gebang Rejo yang dilepas itu adalah Hafid, Mansur, Suhardi, Arman, Ahmad Saman, Sabirin, Suhartono, Bahaudin, H Rois, dan Abdul Wahab.
Dengan dilepasnya ke-10 orang itu, jumlah tersangka bentrokan polisi dengan kelompok bersenjata yang ditahan di Markas Polda Sulteng tinggal 16 orang. Mereka diduga anggota kelompok bersenjata Gebang Rejo. Mereka adalah Rahmad Duslan, Wikra Wardana, Mardiyanto, Jufri, Ibnu, Herwadi, Muhrini, Indra Setiawan, Iwan Hartono, Tugiran (masuk daftar pencarian orang/ DPO), Wiwin Kalahe (DPO), Rasiman, Ridwan Sinman, Iswadi Larata, Muh Yasin, dan Failul.
Temuan senjata
Polisi menemukan senjata organik dan ratusan amunisi di kawasan Gebang Rejo, Poso Kota. Penyisiran yang dilakukan pasukan Detasemen C/Satuan III Pelopor Brimob Kelapa Dua yang diperbantukan di Poso mendapati sepucuk senapan M-16 dan satu pistol rakitan. Selain itu, ditemukan enam magasin berisi peluru dan setidaknya 158 peluru kaliber 5,56 dan 132 peluru untuk jenis senjata MK 3.
Lokasi penemuan disebutkan di belakang eks Pos Polmas Jalan Pulau Irian, Gebang Rejo. Sampai Minggu sore, senjata dan amunisi temuan tersebut masih diidentifikasi di Markas Kepolisian Resor Poso. Pada Sabtu sore polisi di Poso juga menemukan 1.218 peluru dari berbagai kaliber di rumah Yuyun, salah satu tersangka bentrokan 22 Januari, di Jalan Pulau Irian, Gebang Rejo. Sebelumnya, pascainsiden kekerasan 22 Januari lalu, polisi menemukan dan menyita senjata tempur otomatis MK 3 buatan Rusia di perbukitan kawasan Tanah Runtuh.
Menanggapi bentrokan bersenjata 22 Januari, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin (Fraksi Partai Golkar, Lampung II) meminta aparat bertindak tegas dan terukur terhadap pihak yang menguasai senjata ilegal. Polisi diharapkan terus merazia untuk menarik senjata yang dimiliki masyarakat. Pemerintah diharapkan juga membuat program memulihkan trauma masyarakat, terutama anak-anak.
Tanpa kekerasan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta pemerintah dan siapa pun yang terkait dengan permasalahan Poso agar menyelesaikan kasus Poso tanpa kekerasan. Penyelesaian diharapkan sampai ke akar-akarnya.
Ini merupakan salah satu rumusan sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI di Manado (22-26 Januari) seperti disampaikan Ketua Umum PGI Andreas Yewangoe seusai penutupan sidang kepada wartawan, Sabtu, di Kalasey, Minahasa, Sulawesi Utara.
Sidang tahunan PGI diikuti 200 peserta, berasal dari perwakilan 83 sinode gereja anggota, PGI Wilayah/Sinode Gereja-gereja Am Sulawesi Utara dan Tengah, mitra perempuan dan pemuda gereja-gereja, serta mitra PGI dari dalam dan luar negeri.
Selain Poso, sidang MPL PGI membahas masalah di Papua serta mendoakan bangsa dan negara yang terus dilanda bencana alam dan kecelakaan. (REI/DIK/FR)

KCM, Senin, 29 Januari 2007 - 11:06 wib
Kodam VII BKO-kan 200 Personel TNI untuk Amankan Poso

MAKASSAR, SENIN- Kodam VII/Wirabuana telah mem-BKO-kan (Bawah Kendali Operasi) sebanyak 200 personel TNI ke Polda Sulawesi Tengah untuk mendukung kepolisian memulihkan keamanan di Kota Poso, pasca aksi baku tembak antara oknum-oknum sipil bersenjata dengan aparat kepolisian pekan lalu. "Mereka sudah operasi di sana di bawah kendali Kapolda Sulteng sejak beberapa hari lalu," kata Pangdam VII/Wirabuana, Mayjen TNI Arief Budi Sampurno di Makassar, Senin (29/1).
Setibanya dari Jakarta usai mengikuti Rapim TNI, Mayjen Arief kepada pers di VIP Room Bandara Hasanuddin Makassar mengatakan, personil yang di-BKO-kan itu diambil dari Batalyon 714/Sintuwu Maroso yang bermarkas di Maliwuko, sekitar enam kilometer dari Poso. "Tugas mereka semuanya diatur oleh Kapolda," ujar Pangdam yang mengatakan bahwa penyerahan pasukan itu dilakukan atas permintaan Kapolda Sulsel pekan lalu.
Saat ditanya sampai kapan personel TNI itu di BKO-kan ke Polda Sulsel, Mayjen Arief mengatakan tergantung pada Polda Sulteng sampai kapan mereka membutuhkannya. Ia juga mengatakan bahwa situasi keamanan di Poso sudah terkendali dan aktivitas masyarakat sudah kembali normal, namun aparat keamanan masih terus bersiaga dan tetap melakukan razia senjata yang dimiliki masyarakat.
Sementara mengenai keberadaan senjata di tangan warga sipil itu, Pangdam mengatakan bahwa dirinya sudah lama menerima informasi itu namun sulit sekali untuk menemukannya. "Nanti ada razia seperti ini barulah senjata-senjata itu tertangkap semuanya," tambahnya.
Ia juga mengaku mengetahui bahwa senjata-senjata itu dipasok dari luar Poso, termasuk dari Philipina namun sulit untuk mendapatkan bukti-bukti di lapangan.Sumber: Antara

KCM, Senin, 29 Januari 2007 - 21:11 wib
TPM Desak Tarik Densus 88 dari Poso
Laporan Wartawan Kompas M Zaid Wahyudi

JAKARTA, KOMPAS--Keberadaan Detasemen Khusus 88/Antiteror dalam menyelesaikan konflik Poso justru membuat masyarakat takut dengan aparat keamanan. Tim Pengacara Muslim mendesak Pemerintah dan Polri untuk segera menarik Densus 88/Antioteror dari Poso.
Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) M Mahendradatta di Jakarta, Senin (29/1) mendesak pemerintah dan Polri untuk segera menarik keberadaan Detasemen Khusus 88/Antiteror di Poso, Sulawesi Tengah. Keberadaan pasukan tersebut justru memicu kekerasan lain yang menjadikan warga sipil tak berdosa sebagai korban.
Data TPM menyebutkan dari 26 orang yang ditangkap polisi dalam operasi Polri di Gebang Rejo, Poso pada 22 Januari lalu, hanya dua orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Sisanya, adalah masyarakat biasa yang menjadi korban salah tangkap maupun warga biasa yang menjadi korban salah sasaran penyerangan aparat keamanan.

KCM, Selasa, 30 Januari 2007 - 09:27 wib
Polisi Temukan Senpi dan 30 Bom di Poso

JAKARTA, SELASA - Polisi menemukan tujuh senjata api rakitan dan 30 bom dalam penyisiran di perbukitan, Tanah Runtuh, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Senin (29/1) sore. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto di Jakarta, Selasa (30/1) mengatakan, penyisiran oleh anggota Satuan Pelopor Brimob itu juga menemukan ratusan amunisi, sejumlah magazen, puluhan senjata tajam dan aneka asesories yang diduga milik kelompok bersenjata.
Rincian lengkap penemuan barang yang kini diamankan di Mapolres Poso itu adalah tujuh senpi rakitan laras panjang, 30 bom rakitan, dua kantong masing-masing berisi 280 butir amunisi kaliber 5,56 mm, 299 butir amunisi kaliber 3,8 mm dan 10 butir kaliber 7,62 mm. Selain itu ditemukan pula tiga sangkur, dua pedang, empat magazen M16, satu magazen Mk3, dua pipa peluncur, dua KTP, satu topi, satu avometer, dua gulung kabel listrik warna merah, satu botol minyak singer dan satu busur. "Barang-barang itu ditemukan didalam karung dan tas warna hitam," kata Sisno Adiwinoto.
Ia mengatakan, polisi akan terus menyisir sejumlah lokasi di Poso yang diduga menjadi tempat penyimpanan senjata api, bom dan senjata tajam lainnya. Sejak menggelar operasi mulai 11 Januari 2007, polisi telah menyita puluhan senpi, ratusan bom, puluhan senjata tajam dan belasan magazen.
Polisi juga telah menangkap lima orang (11 Januari 2007) dan 26 orang (22 Januari 2007). Dari 26 orang itu, 10 dilepaskan dengan alasan mereka bersikap kooperatif. Dalam penangkapan itu, satu polisi dan 14 orang yang di-DPO-kan serta kelompok bersenjata juga tewas.Sumber: Antara

Widodo AS: Langkah Polri di Poso Tidak Langgar HAM
Laporan Wartawan Kompas Suhartono
Selasa, 30 Januari 2007 - 12:49 wib

JAKARTA, KOMPAS- Langkah penegakkan hukum yang dilakukan Kepolisian Negara RI baru-baru ini di kawasan Tanah Runtuh, Kecamatan Gebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), sudah sesuai dengan prosedur, profesional dan tidak melanggar hukum, apalagi hak asasi manusia (HAM).
Demikian disampaikan Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum dan Keamanan Widodo AS menjawab pers, saat ditanya seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima surat-surat kepercayaan tujuh duta besar dan berkuasa penuh negara-negara Eropa Barat, Eropa Timur, Asia dan Timur Tengah di Istana Negara, Jakarta, Selasa (30/1).
"Saya kira, sejak awal itu bentuk penegakkan hukum yang sesuai dengan tugas, prosedur dan profesional. Polri juga kan punya badan-badan yang mengawasi satuan tugas-tugas mereka di lapangan," ujar Widodo AS.
Menurut Widodo, Polri akan terus melanjutkan langkah-langkah penegakkan hukum yang dilakukan di Poso, agar dapat mewujudkan ketertiban dan keamanan di kawasan yang beberapa kali dilanda konflik horisontal tersebut.
Sebelumnya, langkah Polri di Poso oleh Tim Pengacara Muslim (TPM) dinilai berlebihan dan melanggar hukum dan HAM. Polri diminta lebih melakukan pendekatan persuasif dan non represif. Namun, Polri sendiri berpendapat bahwa selama tiga bulan Polri sudah menempuh upaya persuasif terhadap sejumlah nama yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) akibat tindakan dan perbuatan orag-orang tersebut.
Ditanya tentang Rapat Koordinasi (Rakor) Polkam yang akan dilakukan pada Selasa siang ini di Kantor Menko Polhukam, Widodo menyatakan bahwa topik bukan soal Poso. "Soal lain," tambah Widodo, namun dia tak merinci topik sesungguhnya.

SUARA PEMBARUAN DAILY
Senjata di Poso Teridentifikasi dari Gudang Brimob Ambon

[PALU] Senjata-senjata api (senpi) organik standar TNI/Polri yang disita aparat dari tangan warga Poso, sebagian diketahui berasal dari gudang senjata Brimob di Ambon.
"Senjata-senjata itu diduga berasal dari gudang senjata Brimob di Ambon yang pernah dibobol para perusuh saat terjadi kerusuhan di daerah itu antara tahun 1999-2001," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam dalam jumpa pers, Senin (29/1) malam, di Mapolda Sulteng.
Dari puluhan senjata organik termasuk amunisinya yang berhasil disita aparat dalam serangkaian penggerebekan di Kelurahan Gebang Rejo dan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, baru-baru ini, menurut Anton, tiga di antaranya telah teridentifikasi berasal dari gudang senjata Brimob di Ambon.
Ketiga jenis senpi itu, yakni jenis MK3, SKS, dan Revolver. "Sudah kita cocokkan keberadaan senjata-senjata tersebut, dan benar ketiganya memang berasal dari gudang Brimob di Ambon," tandasnya.
Polisi juga masih menyelidiki kemungkinan sebagian senjata organik yang jatuh ke tangan warga sipil di Poso sebagai hasil selundupan dari Moro dan Mindanao Filipina.
Sementara senjata-senjata rakitan, menurut penyidikan sementara selain dari Ambon sebagian diperoleh dari Papua dan Aceh, dan sebagian lagi dirakit sendiri oleh para perusuh di Poso.
"Para perusuh di Poso sudah sangat pandai merakit senjata dan bahan peledak, bahkan hampir mirip dengan senjata organik," ujar Anton yang didampingi Wakapolda Sulteng Kombes Pol I Nyoman Sindra dan Kabid Humas AKBP Moh Kilat.
Dalam penyisiran di Gebang Rejo, Poso, sejak Minggu-Senin, aparat kembali menyita sejumlah senjata organik dan rakitan serta bahan peledak yang diduga dipakai melakukan aksi-aksi kekerasan di Poso maupun Palu selama ini.
Di antaranya senjata organik M16, MK3, SKS, Revolver (masing-masing satu pucuk), 6 pucuk senpi rakitan laras panjang, 10 GLM (senapan peluncur granat), 5 magazen SS1, 31 bom rakitan aktif, 1.000 butir amunisi berbagai jenis kaliber, rompi antipeluru, sepatu laras dan lain-lain. Senjata-senjata itu kini diamankan di Mapolda Sulteng untuk kepentingan pengusutan dan barang bukti.
Sementara itu, Abd Muis, tersangka utama pelaku penembakan Pdt Irianto Kongkoli, mengaku menembak Kongkoli hanya dari jarak sekitar satu meter. Pelaku menembak dengan senjata laras pendek jenis revolver, mengenai persis belakang telinga korban yang menyebabkan korban meninggal seketika pada Senin, 16 Januari 2006.
Dalam melakukan aksi jahatnya, Abd Muis ditemani Dedi Parsan (sudah tewas tertembak dalam penyergapan para buronan Poso, 11 Januari 2007 di Keluruhan Gebang Rejo, Poso Kota). Dan yang menyuruh keduanya menembak Kongkoli adalah Rian yang juga memberi uang Rp 200.000 kepada pelaku sebagai biaya operasional. Tersangka Rian juga sudah ikut tertembak bersama Dedi Parsan.
Demikian terungkap dalam rekonstruksi kasus penembakan Kongkoli, Senin (29/1), di Palu. Rekonstruksi itu turut disaksikan Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam.
Pelanggaran HAM
Tim Pengacara Muslim (TPM) tengah mempersiapkan gugatan dan tuntutan ganti rugi kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Tuntutan tersebut terkait tindakan polisi yang memaksa warga mengakui terlibat dalam kontak tembak di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah. "Kami berkeyakinan terjadi pelanggaran HAM (hak asasi manusia) di sana," ujar Ketua TPM Mahendradatta dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (29/1).
Menurut Mahendradatta, sesuai Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, seseorang dapat menuntut bila dirugikan atas tindakan aparat yang sewenang-wenang. TPM menyampaikan laporan 20 warga yang mengaku sebagai korban penyiksaan polisi. Mereka adalah tersangka kericuhan di Tanah Runtuh, Poso.
Dikatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Pengacara Muslim terdapat puluhan warga tersebut pekan silam mengadu ke Komisi Nasional HAM di Masjid Raya Kota Poso. Seorang korban menuturkan, bersama warga lain mereka disiksa saat di dalam mobil polisi dan sel tahanan. Bentrok antara polisi dan kelompok bersenjata di Tanah Runtuh terjadi Senin silam. Sebanyak 13 warga tewas dan 25 tersangka lainnya dibekuk lengkap dengan barang bukti.
Pada kesempatan tersebut, keterlibatan JI dalam berbagai aksi teror dan kekerasan serta kontak senjata dibantah tegas oleh tokoh Islam setempat, Adnan Arsal. Menurut Adnan, kelompok kecil yang selama ini dituding polisi sebagai pelaku teror dan masuk DPO adalah kelompok lokal dan bukan internasional. "Apakah Jamaah Islamiyah atau bukan saya tidak memahami. Mereka hanya solider terhadap umat Islam yang waktu itu diperangi," katanya. [128/VL/148/E-5]
Last modified: 29/1/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Muis Mengaku Pelaku Peledakan Pasar Babi, Palu

[PALU] Abdul Muis (21), tersangka utama pelaku penembakan Pdt Irianto Kongkoli, Selasa (31/1) kembali dihadirkan dalam rekonstruksi kasus peledakan di Pasar Daging Babi, Ja- lan Sulawesi, Maesa, Palu, Sabtu, 31 Desember 2005.
Abdul Muis warga asli Palu yang ditangkap aparat dalam penyergapan buronan Poso, Kamis (22/1) lalu di Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota, selain mengaku sebagai pelaku penembakan Pdt Kongkoli, juga mengaku sebagai pelaku peledakan bom di pasar daging babi tersebut yang menewaskan delapan orang dan melukai lebih dari 50 orang.
Saat berita ini diturunkan, proses rekonstruksi sedang berlangsung dengan disaksikan Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Anton Bachrul Alam. Pada Senin (29/1) malam, Anton mengundang wartawan untuk mendengarkan pengakuan Muis (ditayangkan lewat rekaman CD) tentang keterlibatannya da- lam kasus penembakan Pdt Kongkoli maupun peledakan di pasar daging babi.
Dalam pengakuan itu, Muis menyatakan dirinyalah yang menaruh paket bom di bawah sebuah meja penjual di pasar daging babi pada Senin pagi, 31 Desember 2005 hingga meledak. Rencana jahat itu dilakukan Muis bersama Icang (buronan Poso) yang tewas dalam penggerebekan di Gebang Rejo, 22 Januari lalu), tadinya paket bom itu hendak diledakkan Sabtu pagi, 24 Desember 2005 di lokasi yang sama. Tapi sesampai di pasar daging babi sepi dari pembeli, bom yang ditaruh Muis di bawah meja penjual daging babi yang ditutupi sayur-sayuran yang dibelinya dari pasar (sehingga tidak diketahui kalau itu bom) tidak meledak.
Dan atas koordinasi dengan Icang, Muis pergi kembali mengambil paket bom tersebut, dan ironisnya tidak ada seorang pun yang mengetahui tindakan Muis tersebut. "Karena gagal, saya dengan Icang kembali merencanakan meledakkan bom tersebut pada 31 Desember. Kenapa kami memilih pasar daging babi, karena kami tahu pasti lokasi itu luput dari pengamanan aparat. Dan benar bom meledak sesuai rencana, dan kami berhasil," katanya.
Muis mengaku menembak Pdt Kongkoli dan meledakkan bom di pasar daging babi bukan karena motif dendam, tapi lebih sebagai keyakinannya dengan ideologi tertentu. "Pdt Kongkoli adalah pimpinan yang berpengaruh di Poso. Dia juga sering memimpin demo- demo menolak eksekusi Fabianus cs," tandasnya.
Muis mengaku dalam serangkaian kasus kekerasan yang dia lakukan, dia dibiayai oleh salah seorang di Semarang (orang tersebut kini ditahan di LP Cipinang karena terlibat penyimpanan bahan peledak).
Muis yang sebenarnya bukan korban konflik Poso juga mengakui dirinya pernah dilatih/mendapat doktrin dari jaringan tertentu yang menghalalkan membunuh sebagai perbuatan amal.
Introspeksi
Di bagian akhir pengakuannya, Muis meminta rekan-rekannya di Poso, termasuk yang masuk buron agar kembali mengintrospeksi agar perbuatan atau keyakinan yang tengah diikuti sekarang ini sudah benar atau salah. "Kalau perbuatan kita itu salah, tidak ada salahnya jika kita memperbaikinya kembali," katanya.
Sementara itu Anton Bachrul Alam menyatakan, dari pengakuan Muis terungkap bahwa perbuatan membunuh yang dilakukan bukan karena faktor dendam, tapi lebih pada keyakinan pada ideologi tertentu. "Inilah yang menjadi tugas besar polisi di Poso untuk meluruskan semua persoalan ini, karena bagaimana pun keyakinan tersebut bertentangan dengan asas hukum yang berlaku di negara kita. Tugas polisi untuk menegakkan hukum, menindak mereka yang melanggar hukum, siapa pun dia," tegasnya.
Anton mengakui bahwa ideologi yang bertentangan dengan asas dan hukum negara di Poso saat ini sudah demikian besar pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat, dan untuk memulihkankan perlu kerja keras dan kerja sama semua pihak. [128]
Last modified: 30/1/07

Jkt Post, Opinion, January 30, 2007
When Indonesian police can do no right
Asher Tauran, Jakarta

The police have a hard time defending themselves for their actions against "armed civilians" in Poso these days. By the way, I like the expression "armed civilians", because it sounds almost docile, like "politionele aktie" or "civil disobedience". As if they had no choice but to arm themselves, to protect against some bigger evil, like the police.
And as such it certainly fits well in our culture of bargaining when it comes to truth and justice, when top is bottom, killing is naughty but an understandable act of desperation, terrorists are sincerely executing God's will and truth and anarchy is a form of democracy. Oh yes, and in the end we cry "mea culpa" and anticipate absolution and expect to walk free.
So no surprise that the police are under public scrutiny again. After all the public often considers them notoriously corrupt, and therefore their reputation haunts them with every move they make. In other words, they simply can do no right.
So here we are with our police walking on eggshells, stabbed in the back by the very people who are supposed to define their powers. If the police cannot perform their duties because their mandate is being questioned by legislators, who should formulate these duties in the first place, we are definitely in for a sorry state of democracy. But let us be honest, that is no big news, since the rules of engagement have never even been explained.
It is no surprise either that the police gave an ultimatum to the Poso fugitives, only to extend it a few more times while nervously looking at their superiors and their superiors' superiors for protecting guidelines. Starting to look silly and powerless they decided to act. In the end the ultimatum turned against the police themselves when their own sincerity was at stake.
Obviously the police must have been aware of the enormous pressure building up for them to act, as inaction was no longer an option. And surely they must have realized the consequences of their much-awaited battle. And, in fact, their actions did result in some "fascinating" statements from various quarters.
Mr. Abu Bakar Ba'asyir, with his pre-medieval mind-set, lashed out at his usual whipping boys: the U.S., Australia, the West and unbelievers. I wonder if he is not becoming more and more a caricature of himself, just a bitter old man and a "has been", on the verge of checking out.
Din Syamsuddin warned the authorities that the conflict in Poso may not remain a horizontal conflict but could "become vertical". He may not have noticed that we are already there and that it is very much part of our countries' social and political landscape, from Aceh to Papua, ever since the days of independence. What he is saying is in fact "go easy on the militants because you may hurt some peace-abiding civilians" (the obstructing supporters and by definition accomplices without the arms, I suppose).
Sidney Jones of the International Crisis Group, in line with Syamsuddin's vertical conflict scenario, fears a clash between jihadists and the police, which in my view is just an obvious and ever-polarizing antagonism, rather than a point of concern. In fact, it is all about law enforcement and catching plain murderers, including their partners in crime. All the rest is just fancy talk trying to avoid calling a spade a spade, as usual.
Others again have claimed that to find balance and justice in the overall Poso conflict, the 16 names put forward by Tibo and company, the so-called real masterminds of the violence in Poso, should be investigated. A pretty hypocritical approach since Tibo, Da Silva and Riwu were executed after police and prosecutors publicly rejected their "Novum plea", stating that clear evidence could not be found to implicate the 16 people mentioned.
Finding fault now would only put the state apparatus, including the police, in the dock for prematurely and under faulty pretext executing these men.
And let us not forget about the human rights team that was sent early on to monitor the police' moves, primarily in order to assure the rights of the 29 fugitive suspects. If you ask me, a pretty awkward display of concern when considering the lack of "spotlight" for their victims and a huge sign of distrust for our law enforcers.
But the point is not the usual double standard or hypocrisy in this matter. It is our weird culture of not knowing what is right and what is wrong even when truth is staring you in the face. Truth has become an enigma. Constant bargaining over integrity, sincerity, commitment and determination has created an environment of insecurity, where laws or "rules of the game" all have morphed into some "gado-gado" called the Indonesian way.
So, for once I feel sorry for the police, but more so for this country, its leadership, or lack thereof, and above all its victims and their loved ones.
The writer is a graduate of the University of Amsterdam (European Studies). He can be reached at principe@indosat.net.id.

Armed civilians flee Poso to forest, following gunbattle
Jkt Post, January 30, 2007

JAKARTA (Antara): A legislator says there are armed civilians fled Central Sulawesi's town of Poso to mountainous areas, following gunbattles between police and a civilians group.
"Parts of them flee (from Poso) to mountains. It is time to end (the conflict," said, Mulfahri Harahap, a member of the House of Representatives' Commission III for defense and security affairs Monday.
Mulfahri said the flee of those armed militants would help the police to arrest those people without any fear of possible shooting innocent people.
The legislator, however, did not specify the number of people, who fled the town, which has been hit by religious conflicts since late 1990s.
Following the executions of the three Christian militants, who were sentenced to death for attacking a boarding school in Poso in 2000, the police intensify hunting Islamic militants, who wereaccused of involving in religious conflicts in the city.
Last Friday, at least 14 people, including a police officer, were killed during the gunbattle between police officers and the armed militants.
A number of residents said that some of the casualties were innocent residents, but police denied such statement, saying that all those killed during the gunbattle have become police targets for long time. (**)

Komentar, 30 Jan 2007
Tidak berjuang untuk melawan kemungkaran
Lasena Sependapat dengan Ja’far

Tokoh Agama Islam Sulut, Amin Lasena, Senin (29/01) menyatakan sependapat de-ngan pernyataan Mantan Pang-lima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib yang menilai bahwa ajar-an jihad Ba’asyir menyesatkan. Pasalnya menurut Lasena aja-ran jihad Ustad Abu tidak ber-juang untuk melawan suatu ke-mungkaran.“Wajar jika sebagian umat dan tokoh Islam lainnya menolak dan menyatakan tidak setuju dengan ajaran jihad Ba’asyir. Sebab saya juga menilai ajaran jihadnya tidak relevan dengan arti perjuangan yang sesung-guhnya,”tegasnya.Ia mencontohkan perjuangan jihad dalam melawam kemung-karan di antaranya memberan-tas musuh kita seperti kemis-kinan, Korupsi, Kolusi dan Ne-potisme (KKN), kebodohan. “Dan bentuk-bentuk inilah yang se-harusnya perlu kita lawan ber-sama-sama. Bukannya jihad untuk melawan sesama umat sendiri yang malah menim-bulkan kekacauan dan memicu sifat permusuhan serta me-rengangkan hubungan silatu-rahmi antara saudara-saudara kita sendiri,”katanya sembari menambahkan jihad untuk me-lawan kemungkaran yang se-sungguhnya justru akan men-dapat sambutan masyarakat. Meskipun jihad adalah pe-rintah Allah, untuk wajib diper-tahankan dan dipelihara. Tetapi menurut Lasena hendaknya kita berjihad di jalan yang benar dan bermanfaat bagi masya-rakat banyak. “Karena memang ajaran jihad yang sesungguh-nya adalah melawan penyakit di masyarakat. Dan gejala-gejala inilah yang seharusnya kita jihadi agar perjuangan kita diberkati,”ucapnya berulang kali.(aan)

Komentar, 30 Jan 2007
Warga Gereja, Dukung Langkah PGI Soal Poso!

Menyikapi hasil Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI yang mengharapkan pada pemerintah segera menyelesaikan masalah konflik di Poso dan Papua serta masalah sosial lainnya, Ketua Komisi PKB Sinode GMIM, Pnt Ir Roy Roring MSi, Sabtu (27/01) mengatakan hal tersebut sudah seharusnya disikapi secara serius.“Masyarakat Poso dan Papua merupakan salah satu masya-rakat dalam lingkup NKRI, ka-rena itulah sangat pas jika Si-dang MPL PGI meminta pada MPH PGI untuk mengaktifkan Biro Hukum PGI dan meminta pada pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah di daerah konflik dengan arif, bi-jaksana, serta melakukan pe-negakan hukum secara tegas,” katanya.Sebagai warga gereja, menu-rut dia, hendaknya secara bersama mendukung langkah dari PGI, agar turut memban-tu pemerintah berkaitan de-ngan permasalahan di negara kita. Sikap MPL PGI dinilai sudah pas, terlebih lagi dalam memperhatikan kegiatan dan kehidupan beragama yang diserahkan sepenuhnya ke-pada kelompok umat beraga-ma sesuai ajarannya masing-masing, dan negera hanya ber-peran sebagai institusi penga-was dan pengarah, apabila ter-jadi disharmoni.Mengutip hasil sidang terse-but, juga perlu memperha-tikan permasalahan perda-perda yang bernuansa syariat. MPL PGI merekomendasikan MPH PGI melalui biro hukum PGI untuk mengumpulkan, mendata, mencermati dan mensosialisasikan undang-undang dan perda-perda ber-nuansa syrariat Islam kepada gereja-gereja anggota, di sam-ping melakukan uji material dan yudicial review terhadap undang-undang dan perda yang bertentangan dengan konstitusi negara.(lex)

Komentar, 30 Jan 2007
Pembunuh Pdt Kongkoli Dibayar Rp 200 Ribu

Kasus pembunuhan terha-dap Sekum GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah), Pdt Irianto Kongkoli tahun 2006 silam, makin tersibak setelah Polda Sulteng menggelar re-konstruksi kasus penembakan di Jalan Wolter Monginsidi Palu, Senin (29/01) pagi. Informasi yang diperoleh menyebutkan, eksekutor (Ab-dul Musi) dibayar Rp 200 ribu untuk menghabisi nyawa Pdt Kongkoli. Dalam rekonstruksi yang digelar pukul 07.00 hingga 10.10 WITA tersebut, bahwa tersangka Abdul Muis (yang tertangkap dalam penyergap-an polisi pada Kamis (11/1) lalu di Gebang Rejo), dipe-rintah Ustad Ryan (telah te-was dalam kontak senjata de-ngan polisi) untuk menghabisi Pendeta Irianto Kongkoli.Ustadz Ryan ini juga yang memberikan uang Rp 200 ribu kepada tersangka. Ter-ungkap pula dalam melaku-kan aksinya, Abdul Muis dibantu Dedi Parsan, salah seorang tersangka Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus teror Poso. Dedi Pasran sen-diri telah tewas dalam ben-trokan dengan polisi pada Ka-mis (11/1) lalu di Gebang Rejo, Poso Kota.Dalam rekonstruksi dijelas-kan, pelaku telah membuntuti korban sejak dari rumahnya di Jalan Gereja Palu. Pelaku meng-gunakan sepeda motor. Se-waktu baru keluar rumah, Pdt Kongkoli sebenarnya hendak ditembak, tapi tidak berhasil. Mereka pun lantas mengikuti korban, dan persis di depan toko keramik UD Sinar Sakti, pelaku menembak bagian ke-pala belakang korban dari jarak dekat. Pendeta Irianto Kong-koli tewas di depan istrinya.Rencana pembunuhan ter-hadap Pendeta Irianto Kong-koli sendiri disebut-sebut telah direncanakan sejak 2004 lalu. Bahkan, ketika yang ber-sangkutan akan berkhotbah di Gereja Kristen Sulawesi Te-ngah Efata, Palu, pada Minggu, 18 Juli 2004, rencana pembunuhan Pendeta Irianto Kongkoli hampir terwujud. Namun, dalam menit-menit terakhir ternyata Pendeta Irianto Kongkoli tidak bisa ha-dir dan digantikan oleh Pen-deta Susianti Tinulele, se-hingga kemudian yang men-jadi sasaran adalah Pendeta Susianti Tinulele yang tewas diberondong peluru. Sementara istri mendiang Irianto Kongkoli, Rita Aryani Kupa Kongkoli, mengaku lega dengan upaya polisi berhasil mengungkap pembunuh sua-minya pada 16 Oktober 2006 lalu itu. “Polisi telah melakukan penegakan hukum,” ka-tanya.(shc/dtc)

Komentar, 30 Jan 2007
Ba’asyir: Tidak Ada Teroris di Indonesia!

Meski dituding Ja’far Umar Thalib bahwa yang disampai-kannya soal jihad di Poso me-nyesatkan, namun Amir Ma-jelis Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir tidak menyu-rutkan manuvernya menyu-dutkan Densus 88 dan peme-rintah, serta meyakinkan massa bahwa tidak ada yang namanya teroris di Indonesia. “Densus 88 perlu dibu-barkan karena keberada-annya justru diperalat untuk membunuh kaum Muslim. Densus 88 hanya dijadikan alat untuk memperalat dan memperkuat bahwa di Indo-nesia banyak teroris,” kata Amir Majelis Mujahidin Indo-nesia (MMI) Abubakar Ba’asyir, di hadapan ribuan hadirin di Masjid At-Taqwa, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (29/01) tengah malam.Padahal, menurut pimpinan Pondok Pesantren Ngruki Solo itu, di Indonesia sama sekali ti-dak ada teroris. Menurut Ba’asyir yang kini sedang berkeliling Jawa Barat menawarkan negara berdasarkan Syariat Islam, konflik yang saat ini kembali terjadi lagi di Poso, merupakan tanggung jawab pemerintah.Pemerintah pun menurut Ba’asyir diharuskan untuk ber-tindak bijaksana dalam mena-ngani permasalahan di Poso. “Jika penanganannya tidak dilakukan secara bijaksana, maka saya khawatir justru hanya akan membangkitkan kemarahan umat Muslim. Umat Muslim dari berbagai daerah bisa beramai-ramai datang ke Poso jika konflik saat ini tidak kunjung selesai,” ujarnya.Dia juga mengimbau kepada seluruh umat Islam di seluruh Indonesia turut membantu. “Walaupun hanya dengan doa. Saya saja setiap hari mem-bantu dengan doa dan sedikit materi yang saya miliki,” katanya seperti dilansir tempo interaktif online.Selain itu Ba’asyir juga me-minta pemerintah meluruskan peristiwa sebelum terjadinya per-janjian Malino. “Peristiwa sebelum perjanjian Malino tersebut saat ini dikubur rapat oleh pemerin-tah,” ujarnya. Padahal dalam pe-ristiwa sebelum perjanjian Ma-lino dibuat, telah banyak terbu-nuh orang Muslim. “Saya yakin jika peristiwa tersebut ditelu-suri, seluruh penjara di Indo-nesia akan penuh,” katanya.(tmp/*)

Komentar, 30 January 2007
Ditemukan terkapar di pos penjagaan
Anggota Brimob Sulut Tewas Misterius di Poso

Anggota personel Brimob Polda Sulut, Bripda Prapto dari Kompi Brimob Bolmong yang di-BKO-kan (Bawah Kendali Operasi) di Kabupaten Poso, Senin (29/01) sekitar pukul 04.30 WITA subuh, ditemukan tewas secara misterius. Bripda Prapto ditemukan terkapar di pos penjagaan, Ke-lurahan Labuan, Kecamatan Poso Kota.Sebagaimana informasi yang diperoleh Komentar dari sumber resmi di Poso menye-butkan tadi malam, krono-logis hingga Bripda Prapto ditemukan sudah membujur kaku di pos penjagaan, ber-awal ketika salah seorang rekan korban yang juga dari Brimob Polda Sulut mengira korban tengah tertidur pulas.Namun ketika rekannya ini hendak membangunkan kor-ban, ternyata korban tidak bergerak lagi, dan telah terbu-jur kaku tak bernyawa. “Setel-ah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, korban lang-sung dibawa ke Mapolres Poso, Jalan Sumatera untuk diotop-si. Namun sampai saat ini tim penyidik bersama-sama Fo-rensik Polda Sulutteng belum bisa menyimpulkan penyebab kematian Bripda Prapto,” tan-das Sumber yang meminta agar namanya tidak dikorankan.Sedangkan jenazah korban, lanjut sumber, sekitar pukul 16.00 WITA sore kemarin, de-ngan dikawal Kasat Brimob Polda Sulut AKBP Drs Adeni Muhan dan Kepala Satuan Tugas Operasi (Kasatgasops) Poso AKBP Drs Ilham Salah-hudin, langsung diterbangkan dari Bandara Kasiguncu Poso, menuju Bandara Hasanuddin Makassar. Selanjutnya dari Makassar, akan diterbangkan dengan sebuah pesawat ko-mersial menuju tempat kela-hiran korban di Surabaya. Sementara itu, Kapolda Su-lut Brigjen Pol Drs Jacky Uly ketika dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda AKBP Drs Benny Bela membenarkan ada-nya anggota Brimob Polda Su-lut yang tewas di Poso. “Se-jauh ini kami belum menda-patkan informasi soal penye-bab kematian anggota Brimob tersebut, namun yang pasti korban ditemukan tewas saat menjaga pos penjagaan di Poso Kota,” tandas Bela.Sekadar diketahui, kehadir-an Kasat Brimob Polda Sulut AKBP Drs Adeni Muhan di Poso, semata-mata untuk me-ngecek ratusan anggotanya yang sudah cukup lama me-lakukan pengamanan di daerah konflik tersebut. Na-mun karena ada anggotanya yang meninggal dunia, se-hingga Muhan bersama Ka-satgasops Poso AKBP Illham Salahhudin bersama-sama membawa personel ‘Rajawali’ (Sandi Kesatuan Brimob) yang meninggal tersebut ke daerah asalnya, Surabaya.TNIPada bagian lain, Kodam VII/Wirabuana juga telah mem-BKO-kan 200 personel TNI ke Polda Sulawesi Tengah untuk mendukung kepolisian memulihkan keamanan di Kota Poso, pascabaku tembak antara oknum-oknum sipil bersenjata dan aparat kepo-lisian pekan lalu.“Mereka sudah operasi di sa-na di bawah kendali Kapolda Sulteng sejak beberapa hari lalu,” kata Pangdam VII/Wira-buana, Mayjen TNI Arief Budi Sampurno di Makassar, kemarin.Setibanya dari Jakarta usai mengikuti Rapim TNI, Mayjen Arief kepada pers di VIP Room Bandara Hasanuddin Makas-sar mengatakan, personel yang di-BKO-kan itu diambil dari Batalyon 714/Sintuwu Maroso yang bermarkas di Maliwuko, sekitar enam kilo-meter dari Poso.“Tugas mereka semuanya diatur oleh Kapolda,” ujar Pang-dam yang mengatakan bahwa penyerahan pasukan itu dilakukan atas permintaan Kapolda Sulsel pekan lalu. Di-tanya sampai kapan personel TNI itu di-BKO-kan ke Polda Sulsel, Mayjen Arief mengata-kan tergantung pada Kapolda Sulteng sampai kapan mereka membutuhkannya.Ia juga mengatakan bahwa situasi keamanan di Poso sudah terkendali dan aktivitas masyarakat sudah kembali normal, namun aparat kea-manan masih terus bersiaga dan tetap melakukan razia senjata yang dimiliki masya-rakat. Ditanya mengenai ke-beradaan senjata di tangan warga sipil, Pangdam menga-takan bahwa dirinya sudah lama menerima informasi itu, namun sulit sekali untuk menemukannya.Nanti ada razia seperti ini barulah senjata-senjata itu tertangkap semuanya, tam-bahnya.Ia juga mengaku mengeta-hui bahwa senjata-senjata itu dipasok dari luar Poso, terma-suk dari Filipina, namun sulit untuk mendapatkan bukti-bukti di lapangan.(oan/dtc)

Monday, January 29, 2007

Komentar, 29 Jan 2007
JK Minta Bantuan Parpol Islam

Dalam pertemuannya dengan puluhan tokoh dari berbagai ormas Islam, akhir pekan lalu, Wapres Jusuf Kalla (JK) me-minta pemuka agama, aka-demisi Islam, ormas Islam, dan pemimpin partai berasas Islam,membantu pemerintah me-luruskan pemahaman agama yang melenceng akibat penga-ruh kelompok teroris. “Ini penting karena paham yang salah harus diatasi dengan paham yang baik,” ujarnya, Sabtu (27/01).Bila ada ormas maupun partai yang bersedia, peme-rintah bakal menanggung seluruh biaya pendidik agama yang bersedia dikirim ke Poso untuk meluruskan pemaha-man tentang Islam dan me-ngajak masyarakat untuk me-lupakan konflik masa lalu. “Ini saya sampaikan agar sua-tu saat nanti jangan ada yang bilang kita tidak dilibatkan pemerintah. IAIN, misalnya, kalau ada yang mau mengirim-kan mahasiswa KKN ke sana, kita biayai sepenuhnya. Ja-ngan nanti bilang IAIN tidak dilibatkan. Begitu pula kader partai mana pun,” katanya.Sementara itu, ditengarai banyak senjata api masih beredar di Poso. Dikhawatir-kan senjata itu digunakan kembali untuk melakukan aksi kekerasan. Karena itu Komisi III DPR mendesak agar Polri segera mengusut asal senjata di Poso. “Kami me-minta Polri segera melucuti dan menindaklanjuti senjata api di Poso yang ada di masyarakat tanpa pandang bulu, baik itu di kelompok putih maupun merah,” kata anggota Komisi III DPR, Azis Syamsuddin, seperti dilansir detik.com di Jakarta, Minggu (28/01).Azis yang juga Ketua Tim Komisi III saat meninjau Poso, pascabentrok senjata Pada 22 Januari lalu, menilai hal tersebut sangat penting dilakukan agar tidak kembali muncul praktek kekerasan di Poso. “Ini untuk menjaga ketertiban, konflik ini sudah berlangsung lama. Selain itu para pendatang asing yang datang dan mengganggu keamanan harus dicegah,” imbuhnya.Mengenai tindakan Polri pada saat penyerangan, Azis menilai hal tersebut sudah sesuai prosedur, karena sebelumnya upaya persuasif telah dilaku-kan. “Tindakan yang dilakukan harus tegas tapi terukur, agar tidak menimbulkan trauma,” imbuhnya.(dtc/*)

Komentar, 29 Jan 2007
Ja’far: Ajaran Jihad Ba’asyir Menyesatkan

Lama tidak terdengar kabarnya, kini Mantan Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib angkat bicara soal Poso. Menariknya, Ja’far dalam statemennya malah menyerang Abu Bakar Ba’asyir. Menurut Ja’far, ajaran jihad yang digaungkan Ba’asyir (Ustad Abu) menyesatkan. Ja’far malah secara blak-blakan menegaskan, semua ajaran yang selama ini disam-paikan Ustad Abu dan kelom-poknya ke masyarakat Islam Poso, hanyalah sebatas klaim dan pengatasnamaan umat Islam. Hal ini disampai-kannya saat bertemu Wapres Jusuf Kalla, Sabtu (27/01) malam lalu. Ja’far menilai, paham yang telah diajarkan Ustad Abu su-dah melampaui garis ekstrim. Sebab di hadapan kelompok Ustad Abu, pemerintah beri-kut aparat negara adalah kafir dan bekerja sebagai antek atau kaki tangan Pe-merintah AS. “Ekstrim yang diajarkan oleh Kelompok Abu Bakar Ba’asyir adalah, bahwa pe-merintah itu adalah kafir, aparat itu kafir. Dan bekerja menjalankan kepentingan AS,” tukas Ja’far.Menurut dia, selama ini se-ruan jihad yang didengung-kan kelompok Ustad Abu un-tuk melawan aparat adalah sebuah pengacauan suasana. Lebih lanjut dikatakannya, saat ini umat Islam di Poso jangan lagi terpancing untuk mengingat tentang jumlah korban yang tak seimbang. “Ini pemahaman sesat yang lebih mementingkan kelom-poknya (Ustad Abu) daripada mementingkan umat Islam di Poso,’’ ungkap Ja’far seperti dikutip situs online rakyat merdeka. Ja’far juga mengatakan, tidak takut nantinya akan dimasuk-kan ke dalam kelompok mana pun oleh Ustad Abu cs. Malah dia mengimbau kepada Ustad Abu agar jangan lagi mempe-runcing masalah di Poso de-ngan memutarbalikkan fakta. “Terserah saya mau dituduh apa. Cuek aja. Yang jelas, sa-ya menasihatkan kepada Abu Bakar Ba’asyir, jujurlah da-lam bicara tentang umat Is-lam. Hendaklah Kamu (Ustad Abu), lebih banyak berbicara sebagai tokoh agama. Jangan suka memutarbalikkan fakta dan wacana. Menanggapi pernyataan Ja’far Umar Thalib tersebut, anak buah Ba’asyir, Fauzan Al Anshori yang menjabat Ke-tua Informasi dan Data Majelis Mujahidin Indonesia menantang agar diadakan debat terbuka soal apa yang terjadi di Poso. “Kami minta kepada Ja’far Umar Thalib melakukan de-bat terbuka, di mana waktu-nya, kami bersedia. Saya juga heran, kok Ja’far ngomongnya nggak karu-karuan gitu?” tukas Fauzan. Pada bagian lain, Fauzan juga turut me-nanggapi pernyataan Waka-polri Makbul Padmanegara, yang menyatakan dirinya memberikan perintah agar jihad di Poso jangan sampai redup. Sebelumnya, Makbul mengatakan Fauzan telah memerintahkan agar jihad di Poso jangan sampai redup, harus dipertahankan, dan jihad itu harus menakutkan. Mengklarifikasi pernyata-annya, Fauzan mengatakan, jihad memang perintah Allah, dan wajib dipertahankan dan dipelihara. Dalam jihad, katanya, bila diserang maka harus melakukan perla-wanan. Namun demikian, lan-jut Fauzan, konteks jihad yang disampaikannya bu-kanlah menyuruh untuk melakukan perbuatan jelek, seperti mutilasi, pengeboman, namun jihad dalam rangka menegakkan ibadah. Pesan jihad yang disampai-kannya, lanjut Fauzan, ada-lah pesan dari Ustad Abu Ba-kar Ba’asyir, disampaikannya di depan masyarakat Islam Poso pada Juli 2006 lalu. Sesaat setelah itu, Fauzan ditelepon dan di-SMS Makbul. Dalam pesan singkatnya, lanjut Fau-zan, Makbul bertanya, “kok begitu keras sekali yang Anda sampaikan kepada masyara-kat Islam di Poso?” “Keras yang mana? Apakah saya menyu-ruh mengebom,” balas Fau-zan waktu itu.(rmc/*)

SUARA PEMBARUAN DAILY
PGI Minta Pemerintah Selesaikan Kasus Poso Tanpa Kekerasan

[MANADO] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta pemerintah menyelesaikan kasus Poso tanpa kekerasan dan diungkap sampai ke akar-akarnya.
Hal itu ditegaskan Ketua Umum PGI Pdt Dr Andreas Yewangoe pada penutupan Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI (MPL) PGI tahun 2007 di Kalasey, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), Jumat (26/1). Turut hadir dalam acara penutupan Sidang MPL, Wakil Gubernur Sulut, Freddy Harry Sualang.
Sidang tahunan PGI ini diikuti sebanyak 200 orang peserta yang berasal dari perwakilan 83 sinode gereja anggota, PGI Wilayah/Sinode Gereja-gereja Am Sulawesi Utara dan Tengah, mitra perempuan dan pemuda gereja-gereja, mitra PGI dari dalam dan luar negeri.
Selain menyoroti penuntasan masalah Poso, Sidang MPL membahas secara khusus peraturan daerah (perda) bernuansa agama, permasalahan masyarakat di Papua, dan mendoakan bangsa dan negara Indonesia yang terus-menerus dilanda bencana alam dan kecelakaan. Sidang MPL PGI yang berlangsung selama enam hari ini juga mengevaluasi program kerja PGI tahun 2006 dan menyusun program tahun 2007 dengan pikiran pokok "Meneguhkan ulang komitmen kebangsaan demi mempertahankan keutuhan NKRI".
Yewangoe mengatakan, penyelesaian masalah Poso dengan kekerasan dapat menimbulkan masalah baru sehingga akan terus menyengsarakan masyarakat. Oleh karena itu, aparat keamanan di Poso semestinya lebih persuasif agar tidak menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
Ditegaskan, permasalahan Poso sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan telah menelan korban jiwa dan material yang sangat banyak. Permasalahan ini terus menyisakan ketidaknyamanan, teror, penembakan, dan pembunuhan. Oleh karena itu, pemerintah mesti menuntaskannya secara mendasar agar warga masyarakat dapat terlindungi.
Masalah Papua
Sementara itu, mengenai Papua, Sidang MPL merekomendasikan dukungan terhadap gerakan bersama pemimpin lintas agama di Papua untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Damai. "Gereja harus berperan maksimal untuk menjadikan Papua sebagai tanah damai bagi kesejahteraan masyarakat Papua," kata Sekretaris Umum PGI, Pdt Dr Richard Daulay.
Menurutnya, permasalahan di Papua harus ditangani secara komprehensif dengan kesungguhan hati dan tanpa curiga sebab masyarakat Papua adalah bagian integral dari Indonesia. "Tanah Papua sangat kaya, sudah selayaknya mereka hidup sejahtera," kata Richard.
Peserta Sidang MPL sepakat untuk memberikan dukungan kepada masyarakat Papua melalui jaring gereja dengan mengedepankan penegakan hak asasi manusia (HAM), keadilan, peningkatan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. "Kita akan memberikan pendampingan yang selayaknya kepada saudara-saudara kami di Papua. Kami sudah siap dengan program pelatihan credit union," kata Ketua Sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pdt Dr Jadiaman Perangin-angin.
Senada dengan itu, anggota MPL dari Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Pdt J.D.Sihete, MTh mendorong gereja-gereja anggota PGI agar serius memprogramkan beasiswa program doktor bagi sejumlah pemuda berprestasi di Papua.
Sidang MPL PGI tahun 2007 merekomendasikan pelaksanaan Sidang MPL tahun 2008 di Papua. Diharapkan, perhatian gereja-gereja di Indonesia terhadap Papua semakin intensif menjelang pelaksanaan sidang tahun mendatang.
Revitalisasi Kebangsaan
Pemilihan pikiran pokok Sidang MPL PGI tahun 2007, "Meneguhkan kembali komitmen kebangsaan" atau revitalisasi kebangsaan, menurut Yewangoe , bertolak dari situasi kebangsaan akhir-akhir ini yang melemah. Kepentingan-kepentingan kedaerahan dan kelompok menjadi sangat menonjol. Gereja-gereja di Indonesia mesti ikut mencegah jangan sampai hal itu keterusan dan menyebabkan negara dan bangsa ini pecah. Gereja-gereja terpanggil untuk mengingatkan bangsa ini agar tidak terjerumus ke dalam cara berpikir dan bertindak sektarian.
Menurut Yewangoe, sebagai konsekuensi pada komitmen kebangsaan, PGI mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk menyusun program kerja yang memberikan tempat yang signifikan bagi revitalisasi kebangsaan. Sehubungan dengan itu, gereja-gereja perlu membuat program-program yang menyentuh kebutuhan warga gereja antara lain, pendidikan politik kewarganegaraan.
Pendidikan politik ini tidaklah dimaksudkan agar semua orang berlomba-lomba menjadi anggota legislatif atau pejabat negara. Tetapi dimaksudkan agar warga gereja memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara di dalam NKRI. "Hanya pemahaman yang benar seperti inilah memungkinkan warga gereja hidup berdampingan secara harmonis dengan saudara-saudara sebangsanya," tambahnya. [136/144]
Last modified: 29/1/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polda Sulteng Lepas 10 Tersangka Poso
Jafar Umar Thalib: Densus 88 Sangat Diperlukan


[PALU] Polda Sulawesi Tengah melepas 10 dari 26 tersangka melawan aparat yang ditangkap dalam penyergapan para tersangka teroris di Kelurahan Gebang Rejo dan Kayamaya, Kecamatan Poso Kota, Senin (22/1) lalu.
Ke-10 orang tersebut yakni Hafid, Mansur, Suhardi, Arman, Ahmad Saman, Suhartono, Sobirin, M Baharudin, H Alim Muis dan Abd Wahab, dilepas kembali karena hasil pemeriksaan menyatakan mereka bukan pelaku utama tapi hanya ikut-ikutan melawan petugas.
"Namun walaupun mereka dilepas, statusnya tetap wajib lapor pada polisi," ungkap Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Moh Kilat dalam jumpa pers Minggu (28/1) di Mapolda Sulteng.
Sebelumnya Ketua Tim Pembela Muslim (TPM) Poso, Hasuluddin Hatjani SH secara resmi meminta ke Polda Sulteng untuk menangguhkan penahanan pada 26 tersangka.
"Tapi dari 26 yang kita minta ditangguhkan penahanannya, hanya 10 orang dilepas. Kami akan terus mendampingi klien kami selama proses pemeriksaan hingga pengadilan," ujar Hasuluddin.
Sementara Kilat mengatakan, sesuai hasil penyidikan ke-10 orang yang dijadikan wajib lapor tersebut tidak menjadi pelaku utama tapi hanya ikut-ikutan melawan aparat karena kalau tidak ikut akan diancam dibunuh kelompok Basri.
Basri adalah pemimpin/penggerak para perusuh di Poso yang sampai kini masih dalam pengejaran aparat.
Dengan demikian dari 26 tersangka yang ditangkap dalam penggerebekan tersebut (termasuk 7 DPO), masih 16 tersangka lagi yang ditahan polisi.
"Ke-16 tersangka tetap akan ditahan karena ada bukti yang cukup mereka tidak hanya melawan petugas tapi juga memiliki, menguasai, menyimpan, menyembunyikan dan menggunakan senjata api, amunisi, bahan peledak bom yang dipakai melindungi para DPO," tandas Kilat.
Polisi sedang mendalami keterlibatan ke-16 tersangka dalam sejumlah aksi kekerasan dan teror di Palu.
Sejauh ini kata Kilat, para tersangka sudah mengakui keterlibatan mereka dalam 20 kasus kekerasan di Poso dan Palu yang berhasil diungkap Polda Sulteng setelah ditangkapnya 9 DPO dalam serangkaian pengerebekan di Gebang Rejo dan Kayamanya.
Sementara itu pada Minggu siang (28/1) polisi kembali menemukan satu pucuk senjata api organik jenis M16, 1 pistol rakitan, 6 magazen dan ratusan butir amunisi serta bom masih aktif di kawasan Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso.
Bahan-bahan peledak berbahaya itu ditemukan polisi yang masih terus menyisir wilayah itu untuk mencari dan menemukan lebih banyak bahan peledak serta memberantas kelompok-kelompok bersenjata yang sempat menguasai wilayah itu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.
Densus 88 Diperlukan
Sementara itu, Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib menegaskan bahwa sebagian besar ormas Islam saat ini justru menilai Densus 88 sangat diperlukan dalam membasmi masalah terorisme dan gangguan keamanan ditengah masyarakat.
Sebab, saat ini kondisi bangsa masih membutuhkan keberadaan guna menumpas para teroris. Pihak yang ingin kesatuan itu dibubarkan hendaknya mempertimbangkan strategis keamanan negaraan ini. Kalau memang belum aman, tentu dipertahankan.
"Kita jangan gadaikan kepentingan umum dengan tuntutan itu," ujar Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib dalam diskusi mengenai konflik Poso di Jakarta, Minggu (28/7).
Justru tandas Jafar, konflik Poso dipicu oleh kelompok-kelompok Islam tertentu yang telah menanamkan doktrin jihad yang salah kepada umat Islam di Poso. "Yang bikin keruh situasi di Poso ini ya gerombolannya kelompok Islam tertentu. Mereka memberikan pemahanan Islam yang salah sehingga menggadaikan darah umat Islam," kecam Jafar.[128/E-5]
Last modified: 28/1/07

Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Opini
Perlu Darurat Sipil di Poso


Konflik di Poso sulit dihentikan jika senjata tidak dilucuti dari tangan rakyat. Pemberlakuan darurat sipil mungkin diperlukan.
Yang terjadi di Poso bukan lagi perlawanan, melainkan sudah merupakan pemberontakan. Polisi berusaha menangkap 26 orang tersangka aksi kekerasan. Aparat penegak hukum itu tidak hanya dihalang-halangi sekelompok orang, tapi juga diserang balik dengan kekuatan bersenjata berat. Jatuhnya korban tewas dalam bentrokan 22 Januari lalu—seorang polisi dan 13 warga sipil—menunjukkan konflik Poso yang sudah delapan tahun usianya belum juga selesai.
Pertikaian antarkelompok, yang dimulai dari persoalan sepele antara dua anak muda berbeda agama pada akhir tahun 1998, membuat Poso seperti menderita penyakit kambuhan. Begitu banyak persoalan lokal yang tidak selesai tuntas, akibatnya seperti api dalam sekam kering. Setelah persoalan makin bertumpuk, campur tangan pemerintah pusat pun tidak efektif lagi. Deklarasi Perdamaian Malino pada tahun 2001, yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla, ternyata tidak bertahan lama. Peledakan bom dan pembunuhan terjadi lagi. Ketegangan Islam dan Kristen meningkat tensinya.
Konflik semakin berkembang dengan datangnya milisi yang membela agama mereka masing-masing. Dengan senjata berat di tangan sipil, aturan hukum seakan runtuh, suasana ”gagal negara” sangat terasa ketika kekuasaan seperti ditentukan kelompok milisi. Sulit untuk mengatakan sebagian polisi dan militer tidak terlibat, mengingat senjata di tangan sipil itu adalah senjata yang biasa dipakai polisi atau tentara seperti M-16 atau AK-47. Konflik makin berbahaya dengan senjata di tangan.
Eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo dan dua rekannya, tiga orang yang dianggap sebagai pentolan kelompok Kristen, ternyata bukan meredam keadaan melainkan memicu konflik lanjutan. Seusai eksekusi terhadap Tibo, dua warga muslim tewas. Polisi yang datang menyelidiki kematian itu malah mendapat perlawanan keras. Bentrokan pecah, sejumlah warga muslim ditahan. Seperti mengirim tantangan, bom meledak di sejumlah gereja dan puncaknya Pendeta Irianto Kongkoli tewas ditembak seseorang di Palu, Oktober 2006. Maka, operasi polisi pun digelar untuk mengejar tersangka pembunuh, termasuk melakukan razia di kawasan Tanah Runtuh—yang diduga sebagai basis persembunyian pelaku kekerasan.
Di Tanah Runtuh itulah polisi disambut pelor dengan gencar, 11 Januari lalu. Dua warga sipil yang tewas bukan membuat perlawanan usai, malah mengobarkan pemberontakan lebih besar. Serangan polisi pada 22 Januari tadi merupakan puncak dari tembak-menembak setelah kelompok Tanah Runtuh bertahan 11 hari dan menolak menyerahkan orang-orang yang dicari polisi. Serangan besar sekitar 700-an anggota polisi yang disokong tentara sudah reda, tapi orang yang dicari polisi sudah lari dari Tanah Runtuh. Artinya, masalah belum beres, perlu ada solusi.
Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan, polisi dan pemerintah daerah perlu meyakinkan tokoh-tokoh Tanah Runtuh bahwa yang dicari hanya pelaku kejahatan dan bukan memerangi seluruh warga Tanah Runtuh. Mayoritas warga Islam dan Kristen, yang mengaku sudah bosan berada dalam kondisi perang yang mencekam, perlu dibantu membangun budaya taat hukum. Kedua kelompok agama perlu disokong untuk menyerahkan senjata dan melaporkan bila ada anggota kelompoknya yang suka bertindak ekstrem dengan menyakiti warga kelompok lain.
Kalau solusi jangka pendek tak memberi hasil, presiden bisa mengumumkan keadaan darurat sipil secara terbatas, di kabupaten yang paling bergolak. Pelucutan senjata bisa terus diteruskan, seraya memastikan agar kelompok milisi tidak berdiam di Poso dengan alasan jihad atau apa pun. Mungkin langkah itu bisa membuat Poso lebih tenang.

Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Perang dari Pintu ke Pintu

Poso Kota sudah terang tanah ketika tujuh ratusan polisi bersenjata lengkap berkumpul di markas Polres Poso. Senin pagi pekan lalu, mereka akan menggelar operasi bersandi “Operasi Raid” ke Tanah Runtuh. Laporan intelijen menyebutkan, mereka bakal dihadang warga bersenjata.
Benar saja. Operasi untuk memburu 16 dari 26 tersangka (sebelumnya 29 buron, tapi tiga di antaranya belakangan dinyatakan tak terlibat) kasus kekerasan di Poso itu berlangsung di bawah siraman peluru dan letupan bom yang dilepaskan warga. Perang berlangsung dari pintu ke pintu.
Budi Setyarso
Pukul 07.00 waktu setempat (06.00 Waktu Indonesia Barat). Sekitar tujuh ratus polisi dari Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar Polri, Brimob, dan Polda Sulawesi Tengah sudah bersiaga di Markas Polres Poso untuk menggelar “Operasi Raid”.
Pukul 08.00, helikopter polisi berputar-putar di atas Tanah Runtuh. Melalui pengeras suara, polisi meminta penduduk tak keluar rumah.
Pada saat yang bersamaan, polisi mulai menyerbu Tanah Runtuh. Sasaran pertama rumah di Jalan Pulau Irian yang diduga sebagai tempat persembunyian tersangka paling dicari, Basri. Tapi buron tak ditemukan.
Warga melawan dengan senjata serbu M-16 dan AK-47, bom molotov, dan memasang barikade. Polisi mengklaim dihadang 100 warga bersenjata, tapi warga menyebut jumlahnya tak lebih dari 30 orang.
Pukul 08.30 WITA, polisi melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah di tengah hujan peluru dan bom.
Pukul 12.00 WITA, baku tembak menghebat. Polisi mulai menyerang dari helikopter.
Warga bersenjata terdesak dan lari ke bukit.
Baku tembak berakhir ketika azan magrib berkumandang. Polisi menyatakan satu polisi dan 13 warga tewas. Mereka dinyatakan sebagai anggota jaringan Mujahidin Kayamanya, Tanah Runtuh, namun kemudian diketahui dua di antaranya tukang bakso dan pengojek. 13 warga ditangkap.
Perbandingan KekuatanPOLISI
Lebih dari 3.000 personel, terdiri dari:
Polda Sulawesi Tengah: 2.000 personel
Brigade Mobil: 1.100 personel (12 satuan setingkat kompi)
Detasemen Khusus 88 Antiteror: 36 personel (3 regu)
TNI ANGKATAN DARAT1.362 personel, termasuk 12 personel Sandi Yudha Kopassus
INTELIJEN Jumlah tidak diketahui
WARGA BERSENJATA300 orang (versi polisi), 130 versi sumber Tempo.

Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Kampung Para Mujahidin

Tanah Runtuh memainkan peran kunci dalam konflik Poso. Ada jejak gerakan teroris.
SUNGAI Poso meliuk tajam ketika memasuki perbukitan di sudut Desa Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Hantaman arus sungai terus-menerus itu membuat lantai tebing yang menopang Lorong Cendrawasih, nama jalan di kaki bukit itu, keropos.
Pada November 1998, Lorong Cendrawasih ambrol. Sekitar 20 meter jalan dan tebing longsor menimbun badan sungai. ”Saya ingat sekali karena itu satu bulan sebelum kerusuhan pertama di Poso pada 1998,” kata Ustad Syarifullah Djafar, yang sudah 17 tahun tinggal di sana. Sejak saat itulah, kawasan perbukitan yang berbatasan langsung dengan hutan lebat ini lebih dikenal dengan nama Tanah Runtuh.
Nama kampung ini lekat di hati para mujahidin, veteran konflik komunal antara warga muslim dan umat Nasrani yang pasang-surut sejak sembilan tahun lalu. Lokasinya yang di ujung barat daya Desa Gebang Rejo, terpencil dan sulit dimasuki karena longsornya Lorong Cendrawasih, membuatnya ideal sebagai basis pertahanan.
Sebelum Jalan Trans Sulawesi dibangun pada 1992, sebagian besar penduduk Poso beragama Kristen. Komposisi penduduk berubah gradual dengan mengalirnya pendatang muslim dari Jawa dan Sulawesi Selatan. Desa Gebang Rejo, yang semula merupakan kawasan perkebunan cengkeh, dibuka pendatang pertama asal Jawa pada awal 1960-an. Sampai sekarang warganya masih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
Lemahnya kekuatan politik dan ekonomi warga asli dibandingkan kaum pendatang menjadi salah satu faktor yang memantik konflik. Kerusuhan pertama di Poso meletik karena faktor sepele: perkelahian antara dua pemuda kampung.
Ketika kerusuhan Poso meledak lagi pada Mei 2000, yang berpuncak pada pembantaian di Pesantren Wali Songo, ratusan penduduk mengungsi ke Tanah Runtuh. Ustad Adnan Arsal, pemimpin Pesantren Al-Amanah di Tanah Runtuh, masih ingat betul nestapa kaumnya ketika itu. ”Kami bertahan di sini hampir dua bulan, dengan makanan seadanya karena semua akses masuk diblokir pasukan merah,” kata Adnan. Pasukan merah adalah sebutan untuk kaum Kristen.
Pada saat-saat genting itu, bantuan datang tak disangka-sangka. Dimulai dari Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Laskar Jundullah, sampai Mujahidin Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) yang dipimpin Agus Dwikarna. Kalau masih ingat, Agus sampai kini masih dipenjara di Filipina dengan tuduhan kepemilikan bahan peledak ilegal.
Terakhir, datanglah sekelompok orang yang mengaku utusan Pesantren Ngruki di Solo, Jawa Tengah. Tercatat di antara mereka: Mustafa alias Abu Tholud, Dulmatin, dan Nasir Abbas yang saat itu mengaku bernama Khairudin. Ketiga nama ini adalah pentolan Jamaah Islamiyah yang disebut-sebut kerap menyulut aksi teror di Tanah Air. Belakangan, Mustafa dan Nasir tertangkap, sedangkan Dulmatin lari ke Moro, Filipina.
”Kami tak tahu mereka berasal dari jaringan mana,” kata seorang ustad di Tanah Runtuh yang menolak disebut namanya. ”Yang pasti, kedatangan mereka berniat membantu.” Sambutan warga makin hangat ketika tahu ”orang-orang baru” ini punya akses mendapatkan pasokan senjata dan peluru dari berbagai sumber. Tak hanya peralatan, mereka juga piawai melatih pemuda. Maklum, mereka sendiri rata-rata alumni kamp sejenis di Afganistan dan Mindanao.
Sejak itulah, ikatan antara Jamaah Islamiyah dan Kampung Tanah Runtuh mulai menguat. Pada Februari 2001, Nasir Abbas memperkenalkan seorang pemuda lulusan akademi militer di Filipina Selatan, Hasanuddin, kepada Ustad Adnan. ”Saya minta Hasanuddin menjadikan Poso sebagai basis ekonomi kegiatan Jamaah Islamiyah,” kata Nasir.
Tapi bukannya menanam kakao atau cengkeh, Hasanuddin malah menebar kekerasan. Buntutnya, kini dia diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, didakwa mendalangi kasus mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen di Poso, Oktober 2005. Dari Hasanuddin, polisi mengendus jejak pelaku teror lain di Poso dan Palu. Semuanya mengarah ke Tanah Runtuh.
Wahyu Dhyatmika, Agung Rulianto (Poso)

Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Sepuluh Jam di Tanah Runtuh

Sekitar 700 polisi menyerbu Tanah Runtuh, Poso. Baru sebagian kecil senjata yang dapat dirampas.
HELIKOPTER itu berputar-putar di atas permukiman padat Desa Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Poso, Sulawesi Tengah. Di sela putaran baling-balingnya terdengar suara lantang dari pengeras suara. Penduduk Gebang Rejo diminta berlindung di dalam rumah karena polisi akan melakukan operasi.
Kekacauan menyentak. Anak-anak sekolah berlarian meninggalkan bangku ketika pelajaran pertamanya baru dimulai. Mereka mencari perlindungan di rumah terdekat. Masyarakat yang hendak memulai aktivitasnya pun memutar balik kendaraannya.
Dari arah utara terdengar tembakan. Sesaat kemudian riuh suara tiang listrik yang dipukul berentetan. Tanda itu langsung dikenali masyarakat Poso bahwa sebentar lagi akan terjadi baku tembak karena ”musuh” menyerang. Sebuah kebiasaan lama yang berlaku sejak pecah konflik agama di kota penghasil kakao itu, delapan tahun silam.
Benar saja, suara tembakan terdengar sahut-menyahut dengan sesekali ledakan bom. Suara-suara itu mengurung di segala penjuru desa yang luasnya hanya sekitar enam kilometer persegi. Perang berlangsung sepanjang hari. Polisi yang mengepung dengan senjata api mendapat perlawanan sengit. ”Menembus jarak setengah kilometer saja, kami butuh waktu empat jam,” kata seorang anggota kepolisian menggambarkan ganasnya pertempuran.
Menjelang siang, sebuah peluru menembus kepala anggota Brigade Mobil, Bripda Rony Iskandar. Beberapa anggota polisi juga terluka tembak. Pertempuran berhenti menjelang matahari terbenam, setelah saling baku tembak dari pintu ke pintu sekitar 10 jam. Suara tembakan atau bom tak lagi terdengar. Polisi menguasai setiap sudut desa.
Jumlah korban dari masyarakat yang bersenjata cukup besar. Sebanyak 13 nyawa terenggut, plus 23 orang ditahan polisi. Belasan senjata laras panjang lengkap, jenis M-16, AK-47, dan M-3, plus rakitan, dengan beberapa kardus berisi amunisi dan bom sebesar kepalan tangan, kini ada di tangan polisi. Polisi menilai operasi itu sukses besar. Mereka berhasil mengusir orang-orang bersenjata keluar dari Gebang Rejo. ”Mereka ini meresahkan masyarakat, dan kami berhasil mengusirnya,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi Muhamad Kilat, juru bicara Polda Sulawesi Tengah.
Namun, tak kurang juga yang mencibir. Operasi Senin pekan lalu itu bermaksud menangkap 26 buron (sebelumnya 29 buron, tapi tiga di antaranya dinyatakan tak terlibat) yang sudah setengah tahun diincar polisi. Namun, tak satu pun di antara korban yang jatuh dan tawanan yang ditangkap merupakan buron polisi. Mereka menjadi buron karena dianggap terlibat dalam beberapa kali aksi pembunuhan, kekerasan, dan teror bom.
Daftar nama berikut dosa mereka terungkap setelah polisi membekuk Hasanuddin, Mei tahun lalu. Ia diburu setelah beberapa tersangka pelaku perampokan mengaku mendapat perintah dari Hasanuddin untuk mengumpulkan dana bagi perjuangan kelompok mereka. Mereka menuruti perintah Hasanuddin alias Slamet Raharjo karena ia merupakan ketua wakalah—pimpinan wilayah dalam organisasi Jamaah Islamiyah—wilayah Poso.
Pengakuan sejumlah tersangka mengejutkan. Mereka bilang Hasanuddin-lah yang memberi perintah mutilasi terhadap tiga siswi SMA Kristen Poso, Ida Yarni Sambue (15), Theresia Morangke (15), dan Alfita Poliwo (19), pada Oktober 2005. Setelah ditangkap polisi, Hasanuddin tak hanya mengakui terlibat dalam kasus mutilasi tetapi juga melakukan 13 aksi pembunuhan, perampokan, dan teror bom, termasuk peledakan bom di Kawua, Tangkura, dan Pasar Sentral. Juga penembakan terhadap dua siswi SMU di Poso. Semuanya terjadi dalam dua tahun terakhir.
Para tersangka menyebutkan bahwa Hasanuddin menetap di sekitar Pesantren Al-Amanah, Desa Gebang Rejo. Pesantren yang dipimpin Haji Adnan Arsal yang juga mertua Hasanuddin ini terletak dekat tebing yang longsor atau lebih dikenal masyarakat sebagai kawasan Tanah Runtuh. Ustad Adnan pernah bertindak selaku jembatan penghubung antara polisi dan para tersangka. Kasus Hasanuddin tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Semula polisi berharap para buron ini menyerahkan diri. Beberapa kali polisi melakukan negosiasi dengan ulama setempat agar 26 orang ini segera menyerahkan diri. Namun, mereka menolak.
Situasi memanas usai eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka dihukum mati karena melakukan aksi pembantaian terhadap sejumlah warga muslim di sekitar Pesantren Wali Songo, di Desa Sintuwu Lemba, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, tujuh tahun lalu. Sehari usai eksekusi yang ditentang umat Kristiani itu, dua penduduk muslim tewas.
Polisi yang datang melakukan investigasi malah memicu kemarahan penduduk yang mayoritas muslim. Bentrokan pun terjadi dan berujung 17 warga ditangkap. Hubungan antara polisi dan masyarakat muslim Poso makin renggang.
Sehari berikutnya bom meledak di depan Gereja Kawua, Poso. Lima bom lainnya menyusul dalam beberapa pekan, namun tidak sampai memakan korban. Hingga akhirnya, pada 16 Oktober tahun lalu, seseorang menembak Pendeta Irianto Kongkoli di Palu.
Polisi menuding pelakunya berasal dari kelompok Tanah Runtuh. Upaya negosiasi agar ulama Tanah Runtuh menyerahkan para tersangka tak juga berhasil. Keluarga buron itu mengaku bersedia menyerahkan kerabatnya asalkan polisi memproses 16 nama yang disebut Tibo ikut terlibat penyerangan Pesantren Wali Songo, pada Mei 2000 silam.
Malam hari raya Idul Fitri atau sepekan setelah penembakan Pendeta Kongkoli, polisi melakukan razia di jalan-jalan sekitar Tanah Runtuh. Kedatangan polisi ini menimbulkan kecurigaan masyarakat hingga terjadi bentrokan. Dalam bentrokan itu, Saifudin, siswa Pesantren Al-Amanah, mati tertembak polisi.
Kematian Saifudin memicu amarah penduduk Tanah Runtuh. Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudy Sufahriadi, memerintahkan anak buahnya memblokade kawasan Tanah Runtuh agar kerusuhan tak menyebar. Masyarakat Tanah Runtuh kemudian menjadikan pos polisi di sana sebagai sasaran amuk. Sebanyak 16 polisi yang bertugas di sana terjebak dalam berondongan peluru dan batu.
Menurut laporan resmi polisi, dalam upaya evakuasi mereka mendapat perlawanan, tembakan, dan bom molotov. Mereka terpaksa membalas. Tembakan itu menewaskan Mislan Aminuddin dan anaknya yang berusia empat tahun. Esok harinya saat pemakaman, rombongan pengantar jenazah yang melewati kantor polisi selalu memberikan perlawanan dengan melempar batu ke arah polisi.
Suasana kembali memanas, Kamis dua pekan lalu. Detasemen Khusus Antiteror menyergap dua rumah di Gebang Rejo yang diduga ditempati Basri dan Dedi Parsan, dua di antara 26 buron. Penyergapan di rumah Basri tak memberikan hasil. Namun, di rumah Dedi Parsan, mereka menangkap Anang Mayetadu dan Paiman. Dedi Parsan tewas dalam penyergapan itu. Selain itu, Ustad Rian, pengajar di Pesantren Al-Amanah, juga menjadi korban.
Menurut Jamil, pemuda setempat, saat itu Rian berniat mencari tahu asal suara ribut-ribut di rumah Basri. Ternyata dia malah menjadi sasaran tembak. Sedangkan menurut versi polisi, Rian saat itu tampak melemparkan bom ke arah polisi yang sedang melakukan operasi.
Siang hari, rombongan pengantar jenazah Ustad Rian berpapasan dengan anggota polisi Bripda Dedi Hendra. Melihat polisi, rombongan itu mengeroyok dan menembak Dedi hingga tewas.
Ketegangan memuncak. Penduduk Tanah Runtuh kemudian memblokir semua akses masuk ke wilayah mereka. Selama sebelas hari polisi dan penduduk Tanah Runtuh saling berhadapan.
Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti, kembali mengupayakan negosiasi. Tuntutan penduduk Tanah Runtuh tak berubah. Mereka bersedia menyerahkan para buron asalkan polisi memproses 16 nama yang disebut-sebut Tibo.
Gagal negosiasi, akhirnya polisi melakukan penggerebekan besar-besaran, Senin pekan lalu. ”Terpaksa kami sapu, kami bersihkan,” kata seorang polisi. Saat itu sekitar 3.000 aparat kepolisian dibantu lebih dari 1.300 anggota TNI berada di Poso. ”Semua kita siapkan, tapi tidak perlu semuanya turun,” kata juru bicara polisi setempat, Muhamad Kilat. Sumber Tempo menyebut yang terlibat langsung sekitar 700 personel. Mereka terbagi dalam tiga lapis, termasuk tiga regu (36 orang) dari Detasemen Khusus Antiteror 88 yang melasak di ring pertama.
Hingga pekan lalu, dari 26 buron, masih ada 16 orang yang belum tertangkap. Ketika baku tembak pekan lalu, saat polisi mulai menguasai situasi, mereka lari ke arah perbukitan. Seorang ulama di Poso menyebut jumlah aparat keamanan terlalu berlebihan. ”Mereka (kelompok bersenjata) yang ikut melawan jumlahnya hanya sekitar 50 orang,” katanya.
Memang jumlah keseluruhan ”mujahidin” mantan pasukan perang muslim di Poso cukup besar. Namun mereka kini sudah menarik diri dari terlibat bentrokan karena saat ini bukan lagi situasi perang. ”Kalau kami turun semuanya, perang baru selesai paling tidak seminggu,” kata sumber ini.
Ulama ini yakin bahwa jumlah senjata yang dirampas tak seberapa. Mereka sengaja menyimpan senjata untuk berjaga-jaga. ”Kami hanya pakai untuk membela diri,” katanya.
Bupati Poso, Piet Inkiriwang, menyebut tak ada lagi konflik antaragama. Peristiwa pekan lalu itu hanya melibatkan sekelompok kecil orang yang di antaranya menjadi buron polisi. ”Itu pertikaian antara sekelompok kecil orang dan polisi,” katanya enteng. Sebagai kepala daerah, dia mengaku akan melakukan konsolidasi dengan mendorong terbentuknya forum-forum warga untuk membuka dialog.
Pemimpin Pesantren Al-Amanah, Haji Adnan Arsal, meminta polisi bertindak adil dalam menyelesaikan masalah. Di Tanah Runtuh mereka hanya berniat mengembangkan pendidikan dan mengasuh yatim piatu. Peristiwa adu tembak kemarin itu merupakan upaya masyarakat setempat dalam membela diri. ”Siapa yang bisa lemah lembut kalau kami diserang terus?” katanya. Kalau ingin aman, pemerintah harus menarik pasukan Detasemen Khusus Antiteror. ”Mereka ini yang membuat suasana menjadi keruh.”
Agung Rulianto (Poso), Wahyu Dhyatmika

Sunday, January 28, 2007

January 28, 2007
VP, Muslim leaders discuss Poso
The Jakarta Post, Jakarta

Vice President Jusuf Kalla met with Muslim leaders at his official residence in Jakarta on Saturday evening to discuss the conflict in Poso, Central Sulawesi, particularly Monday's gunbattle in which at least 13 suspected militants were killed.
Kalla said the conflict in Poso was not a religious one, but a struggle for power in the local administration, Antara news agency reported.
He said this was clear as leaders of the conflict were employees of the local administration.
"The government has tried hard to be just without favoring any party," Kalla said. "I have been there since 2001 to solve this problem."
Kalla brokered earlier peace talks between Muslim and Christian groups in Poso, in his capacity as the coordinating minister for the people's welfare. Those talks ended in the 10-point Malino peace declaration.
The second point of the declaration calls for support for all law enforcement operations, while point three says the authorities must be just in maintaining security.
Poso and surrounding areas were the scene of violence between Muslims and Christians that left some 1,000 people dead between 2000 and 2001.
Both Christians and Muslims have accused law enforcers of bias in enforcing the peace deal.
Muslim leaders invited to Kalla's residence included the deputy chairman of Nahdlatul Ulama, Rozy Munir, former Muhammadiyah chairman Ahmad Syafii Maarif, Prosperous Justice Party president Tifatul Sembiring and Crescent Star Party chairman and Forestry Minister MS Ka'ban, Indonesian Ulema Council chairman Ahmad Midan, State Islamic University rector Komarudin Hidayat and the former leader of Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib.
Also attending the meeting were People's Consultative Assembly Speaker Hidayat Nurwahid, Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo Adi Sucipto, Home Minister M. Ma'ruf, Justice and Human Rights Minister Hamid Awaluddin, TNI commander Air Chief Marshall Djoko Suyanto and National Police deputy chief Comr. Gen. Makbul Padmanegara.
During a police raid Monday in Poso on suspected militants, 14 people, including a police officer, were killed.
More than 50 other suspected militants managed to flee to nearby hills and jungles.
The militants -- reportedly still armed with automatic weapons -- are wanted for their alleged involvement in bombings and other acts of violence in Poso.
On Jan. 11, police killed two other suspected militants in a raid.
The International Crisis Group warned Wednesday that regional terrorist group Jamaah Islamiyah has been recruiting and training militants on Sulawesi island.
The group's Jakarta office has urged the government to explain its security approach in Poso to Muslim leaders, to prevent those killed in last week's shoot-out with police from being turned into martyrs.

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polisi Diminta Tidak Tembaki Tempat Ibadah

[JAKARTA] Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin mengingatkan pemerintah untuk tidak menjadikan kasus Poso sebagai konflik antara masyarakat dan pemerintah. Din juga meminta polisi tidak menembaki tempat ibadah dan memperhatikan sensitifitas agama.
Din Syamsuddin menyayangkan penembakan masjid oleh polisi saat operasi penangkapan daftar pencarian orang di Poso, Sulawesi Tengah, Senin silam. Hal itu disampaikan Din usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (26/1).
Din dipanggil secara mendadak oleh Presiden dan Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda terkait kegiatan Forum Islam Indonesia dan Kerajaan Inggris pada 29 Januari mendatang di London. Namun dalam pertemuan itu dibicarakan juga soal penanganan masalah Poso. Pertemuan di luar agenda resmi itu berlangsung setelah rapat kabinet.
Berlarut-larutnya kekerasan di Poso bersumber dari kesalahan aparat penegak hukum dan keamanan menjalankan tugasnya. Pertama, kegagalan memberi perlindungan keamanan kepada warga, terutama ditandai membiarkan pertumbuhan kelompok-kelompok bersenjata non-negara (non-state armed groups) di Poso. Kelompok-kelompok ini terlatih dan tergorganisir menggunakan kekerasan bersenjata sebagai metode. Ironisnya, pemerintah sama sekali tidak memiliki kebijakan keamanan tentang kelompok ini sehingga menyuburkan pertumbuhannya.
Senada dengan itu, Arianto Sangaji, Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka menegaskan kegagalan pemerintah juga terlihat dari luasnya penyebaran gelap senjata api dan amunisi di daerah ini. Sama sekali tidak ada usaha untuk memangkas sumber pasokan senjata api dan amunisi. Juga tidak mencegah penyalahgunaan senjata oleh aktor non-negara. Diketahui, berbagai jenis senjata serbu (assault rifles) seperti M-16, AK-47, SS-1, dan berbagai senjata laras pendek, serta amunisi buatan PT Pindad menyebar di daerah ini.
Padahal, lanjutnya enam tahun terakhir pengiriman pasukan keamanan ke Poso meningkat tajam. Ditandai berulang-ulangnya pengerahan pasukan non organik TNI dan Polri, penempatan pasukan organik baru (TNI AD dan Brimob), hingga pemekaran dan rencana pemekaran komando teritorial (TNI AD) dan institusi setingkat untuk Polri (Kepolisian Resor) yang baru. Artinya, sama sekali tidak ada korelasi antara pengerahan pasukan dan peredaan kekerasan. [E-5/Y-3/E-8]
Last modified: 27/1/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Operasi Militer Pantas Dilaksanakan
Wapres: Buru Teroris di Poso Tugas Polisi


[JAKARTA] Pemerintah harus mengatasi konflik di Poso. Kewajiban pemerintah untuk melindungi, dan menyelamatkan masyarakat Poso dari kubangan teror. Operasi militer pantas dilakukan, untuk menghadapi organisasi kejahatan yang dilengkapi senjata, dan kemampuan perang.
"Organisasi kejahatan yang sudah bersenjata itu, sudah pantas dilakukan operasi militer. Apalagi ternyata kelompok bersenjata ini sudah melakukan rangkaian teror bertahun-tahun," kata Kepala Desk Antiteror Kementerian Polkam Irjenpol Ansyad Mbai, di Jakarta, Jumat (26/1).
Menanggapi pertanyaan, mengenai keberatan sejumlah pihak untuk pengiriman pasukan TNI ke Poso, menurutnya TNI memiliki prosedur yang diatur melalui undang-undang. "Mereka sudah punya prosedur. Kapan mereka akan turun, mereka sudah tahu," ucapnya.
"Senjata di tangah kelompok bersenjata itu, bukan hanya ditangan, tapi sudah terbukti ditembakkan, membantai segala macam, bahkan polisi juga tewas. Itu yang kita lihat di Pakistan bahkan sudah di rudal. Ya, disini sangat soft pendekatan kita," ujarnya.
Meski situasi yang terjadi menuntut adanya tindakan yang lebih tegas, namun rencana operasi militer sendiri sampai sekarang, disebutnya belum ada. "Sampai sekarang belum ada, yang jelas kerangka kita sekarang bahwa TNI membantu polisi. Kapan, itu when situation is beyond police capacity," katanya.
"Itu bukan hanya di kita, begitu prinsip militer di internasional, militer can assist when situation is beyond police capacity. Kapan situasi diluar kemampuan polisi, apabila musuh yang dihadapi itu seperti ke- marin, senjatanya lebih modern dari polisi yang menangkap mereka itu," ujarnya.
Diturunkannya TNI membantu polisi, kata dia, bukan karena polisi tidak mampu. "Polisi didesain bukan untuk menghadapi perang. Nah, ini kita menghadapi orang yang sudah memiliki kemampuan perang. Dua orang yang mati itu, mereka alumni akademi militer Mujahidin di Afganistan," tandasnya.
Tak Perlu Militer
Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla membenarkan tindakan tegas aparat kepolisian di Poso, Sulawesi Tengah, terhadap sekelompok masyarakat sipil bersenjata yang melakukan teror di wilayah itu. Bahkan, bila polisi tidak melakukan itu, polisi bersalah. Apa yang dilakukan polisi adalah memburu masyarakat sipil yang memiliki senjata dan bahan peledak yang digunakan untuk menteror sehingga meresahkan masyarakat di Poso.
Wapres Muhammad Jusuf Kalla menegaskan hal itu kepada wartawan di Jakarta, Jumat (26/1) dalam jumpa pers rutin setiap Jumat. Dia antara lain ditanya tentang gagalnya deklarasi Malino yang dipelporinya untuk menyelesaikan masalah Poso karena ternyata hingga sekarang Poso belum keluar dari lingkaran konlfik.
Menanggapi itu, Kalla buru-buru membantah. Menurutnya, perundingian Malino sudah berhasil seratus persen. Sejak perundingan tesebut, tidak ada lagi konflik antara kelompok Islam dan Kristen di Poso. Bahkan sekarang, Bupati yang berasal dari kalangan Kristen dan Wakil Bupati dari Muslim bisa bekerja sama. Ini menunjukkan bahwa kedua kelompok yang dulunya bertikai, kini bisa bekerjasama dan hidup berdampingan. Jadi apa yang terjadi di Poso saat ini bukan konflik antar agama.
Menjawab wartawan Kalla dengan tegas mengatakan bahwa tidak perlu ada operasi militer lagi di Poso. Memburu para pelaku teror itu adalah tugas polisi. Polisi tidak mungkin akan membiarkan orang- orang itu berkeliaran dan bikin kekacauan di tengah masyarakat Poso.
Dia juga membantah apa yang terjadi di Poso itu terkait dengan tidak berjalannya sejumlah program pemulihan ekonomi masyarakat Poso pasca konflik. Menurut dia, semua program yang disepakati dalam perjanjian Malino sudah berjalan, baik dalam bidang pertanian maupun perikanan. Begitupun soal masalah rumah untuk para pengungsi, semuanya sudah dibangun. Pun masalah jatah lauk pauk untuk para pengungsi. "Ratusan miliar dana untuk pengungsi sudah diberikan. Masalahnya, karena masih ada yang mengebom, maka pengungsi yang sudah kembali ke rumahnya lari lagi. Tetapi ini bukan masalah pemerintah lagi," ujar Kalla.
Karena itu Wapres Jusuf Kalla menghimbau untuk jangan memperluas masalah di Poso. Bahkan orang-orang yang tidak tahu masalah Poso dia meminta untuk tidak ikut bicara. Sebab masalah pokok di Poso saat ini bukan konflik antar agama lagi, tetapi aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat sipil yang masih memiliki senjata dan bahan peledak.
Permintaan dari beberapa kalangan untuk menetapkan Poso sebagai Daerah Operasi Militer ( DOM) bukan langkah yang tepat dan pas. Poso jangan dijadikan DOM, sebab keadaan Poso belum segenting di Aceh sebelumnya, apalagi masih banyak strategi yang bisa dilakukan aparat keamanan dalam menangani Poso secara tuntas.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( FPDI-P) Yasonna H Laoly kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (26/1) menanggapi wacana menjadikan Poso sebagai DOM. Dari pada mengusulkan Poso sebagai DOM kata Laoly, pihak Kepolisian lebih baik merubah pelaksanaan produser (protap) dalam menghadapi kelompok sipil bersenjata di Poso, khususnya untuk mengejar orang- orang yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). [B-14/A-21/M-15]
Last modified: 27/1/07