Saturday, September 30, 2006

Kompas, Sabtu, 30 September 2006 - 13:27 wib
Polda Sulsel Kirim 201 Personil ke Poso

MAKASSAR, SABTU- Sebanyak 201 personil Brimob dari Detasemen A Brimob Polda Sulawesi Selatan dikirim ke Poso, Sulawesi Tengah untuk membantu mengeliminasi terjadinya konflik di daerah Poso. Pasukan yang terdiri atas dua kompi itu dilepas Kasat Brimob Polda Sulsel, Kombes Pol. Sarbini, Jumat (29/9) malam pukul 23.30 Wita dengan menggunakan pesawat Hercules TNI AU.
Pasukan tersebut dipimpin Kepala Detasemen Satuan Tugas (Kaden Satgas) A Kompol Setio. Mereka dibekali persenjataan lengkap termasuk pelontar granat asap.
Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Djoko Subroto mengatakan Sabtu (30/9), pengiriman personil ini dilakukan secara mendadak atas perintah Mabes Polri guna mendukung pengamanan di wilayah Polda Sulteng. Mabes Polri meminta 300 personil dari Polda Sulsel, sedangkan Brimobda Sulsel sendiri memiliki 1.200 personil.
Sebanyak 100 personil lainnya yang belum diberangkatkan.Pasukan ini rencananya akan dikirim melalui darat ke Kabupaten Luwu Timur untuk bertugas di perbatasan Sulsel-Sulteng. Pemberangkatan mereka masih menunggu perintah mabes Polri.
Menurut Djoko, situasi keamanan di Poso dilaporkan masih kondusif, karena itu, pengiriman pasukan tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan situasi kondusif yang ada saat ini.Sumber: AntaraPenulis: Glo

Unjuk Rasa Tuntut Pengusutan 16 Aktor Intelektual Kerusuhan Poso
Sabtu, 30 September 2006 - 15:13 wib

KUPANG, SABTU- Pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Keadilan Rakyat (Foker) Nusa Tenggara Timur (NTT), di Kupang, Sabtu (30/9)menggelar unjuk rasa di DPRD NTT menuntut pengusutan 16 aktor intelektual di balik kerusuhan Poso sesuai penuturan tiga terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.
Foker NTT adalah gabungan dari sejumlah elemen organisasi pemuda yang terdiri atas Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang, Gerakan Mahasiswa Atadei (Gema) Kupang, Perhimpunan Mahasiswa Lembata (Permata) Kupang dan Ammapai Kupang. Unjuk rasa itu merupakan aksi yang keempat Foker NTT semenjak eksekusi mati bagi tiga terpidana asal NTT itu dilansir.
Dalam aksi di DPRD, Foker NTT selalu mendesak aparat berwenang mengusut 16 nama yang telah disebutkan Tibo Cs dan sembilan saksi lainnya yang sudah memberi kesaksian pada sidang terdahulu. Eksekusi mati terhadap Tibo Cs mencerminkan hukum di Tanah Air yang hanya mengedepankan prosedur hukum tanpa memperhatikan substansi hukum yang sebenarnya.
Karena itu, mereka mendesak Kejati Sulteng melalui DPRD NTT dan Kejati NTT agar menindaklanjuti materi hukum yang telah disampaikan kuasa hukum Tibo Cs yakni Padma Indonesia tentang 16 nama yang diduga kuat sebagai pelaku utama atau aktor intelektual kasus kerusuhan Poso III (terjadi sejak 23 Mei hingga 21 Juni 2000).
Ke-16 nama yang pernah diungkapkan Tibo cs itu yakni PT (purnawirawan TNI), Ir La (purnawirawan TNI), Li (pensiunan PNS), Ld (purnawirawan TNI), ER (PNS Kehutanan), TM(purnawirawan TNI), EB(PNS Pemda Poso), YP (PNS Pemda Poso), SHXOT(Pegawai Perhubungan LLAJR), RS (PNS guru SD), YS, An, AT, HB, S alias G dan GT.
Pada unjukrasa hari ini Siprianus Seru Making dari PMKRI Cabang Kupang meminta Ketua DPRD NTT, Melkianus Adoe untuk memperjuangkan aspirasi simpatisan Tibo Cs yang selalu menuntut keadilan hukum. "Pimpinan DPRD NTT harus memperjuangkan aspirasi kami, yakni mendesak pemerintah pusat agar memproses-hukumkan 16 nama aktor intelektual dibalik kerusuhan Poso," ujarnya.
Menanggapi berbagai tuntutan itu, Melkianus Adoe mengatakan, DPRD NTT sudah berkali-kali memperjuangkan aspirasi rakyat NTT terkait hukuman mati bagi Tibo Cs, namun pada akhirnya semua pihak dihadapkan pada keharusan menghormati aturan dan ketentuan hukum.
"Kami sudah surati Presiden dan sudah ada balasannya. Intinya semua pihak diharuskan menghormati proses hukum. Saya juga setuju pelaku kerusuhan yang ditahan polisi dilepas tapi setelah diperiksa untuk membuktikan kebenaran tuduhan itu," ujar Adoe.Sumber: AntaraPenulis: Glo

Tiga Ledakan Warnai Suasana Sahur di Poso
Sabtu, 30 September 2006 - 12:36 wib

PALU, SABTU- Tiga ledakan yang diduga bersumber dari bom rakitan mewarnai suasana sahur di kota Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Sabtu (30/9). Ledakan pertama terjadi pukul 01.20 Wita di Jalan Pulau Seram Kelurahan Gebangrejo.
Titik ledakan tepat di depan pagar Gereja Eklesia Poso. Tidak ada korban jiwa dan kerusakan bangunan kecuali suara ledakan yang terdengar hingga radius satu kilometer itu, sempat mengagetkan warga setempat. Sejumlah warga bahkan berusaha keluar rumah guna mencari tahu penyebab dan lokasi ledakan. "Di bekas ledakan, terdapat lubang berdiameter 60 centimeter serta serpihan logam dan sisa belerang," ujar Subhan, warga setempat.
Sekitar pukul 02.45 Wita kembali terjadi ledakan kedua dan ketiga yang waktunya hampir bersamaan, namun lokasi ledakan di Jalan Tambotoki Kelurahan Sayo, kota Poso. Titik ledakan yang juga diduga bersumber dari bom rakitan itu hanya berjarak sekitar 50 meter dari Terminal Poso, tepatnya di depan pasar ikan tradisional. Tidak ada korban jiwa dan kerusakan bangunan dalam ketiga peristiwa ledakan beruntun tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng, AKBP M. Kilat, membenarkan telah terjadi tiga ledakan di beberapa lokasi di kota Poso pada Sabtu dini hari. "Sumber ledakan berasal bom rakitan biasa dan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut," katanya.
Kilat mengatakan, situasi kamtibmas di wilayah Kabupaten Poso dalam kendali aparat keamanan, pascaamuk massa Jumat (29/9) di Taripa, ibukota kecamatan Pamona Timur, yang menyerang Mapolsek setempat. "Situasi keamanan secara umum di wilayah Poso sudah kondusif," katanya.Sumber: AntaraPenulis: Glo

Lawmakers call Poso executions illegal
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
30 Sept 2006

A group of legislators and human rights activists lodged a protest Friday against last week's executions of three Christian men in Central Sulawesi, saying they were against the law.
The joint statement was signed by at least 28 lawmakers from the Golkar Party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the Prosperous Peace Party (PDS). In it, they demanded that the government form a fact-finding team to thoroughly probe the sectarian conflict that gripped Poso, Central Sulawesi, around the turn of the millennium.
The three men were convicted of masterminding brutal attacks against Muslims during the conflict in 2000, leaving some 200 dead.
The signatories said the way in which the executions were carried out violated the 2002 law on amnesty, as well as the constitutionally guaranteed human rights of the three men, Fabianus Tibo, Marinus Riwu and Dominggus da Silva.
Gayus Lumbuun of the PDI-P, speaking for the legislators, said by law the men should have been allowed to live until Nov. 10, 2007, or two years after their first request for presidential clemency was rejected.
Authorities dismissed a second clemency request from the men because it came less than two years after their initial refusal.
"We know the reasons behind the early executions, but they were in fact against the law, because the three were not given a chance to seek clemency for a second time," Gayus said.
Another lawmaker, Retna Rosmanita Situmorang of the PDS, accused officials of treating the three "like animals" by refusing their last requests.
"The three asked to be accompanied by their lawyers and pastors and to have a funeral service in accordance with Catholic traditions but all the requests were rejected.
"The authorities also refused to do autopsies on the bodies of the three, which according to a public health center were covered with bruises and evidence of torture," she said.
There were suspicions that the men were beaten and tortured before being executed by firing squad.
The lawmakers said the executions should have been delayed until 16 men accused by Tibo and friends of actually masterminding the attacks faced justice.
The lawmakers said the proposed fact-finding team should include representatives of the police, military and civil society.
Noted human rights lawyers Todung Mulya Lubis and Hendardi gave their full support to the legislators' demands and said the executions would make it difficult for authorities to find the real instigators of the conflict.
"The three were key witnesses to other suspects in other cases involving the conflict. How can they testify when they have already been executed?," said Todung.
The families of the trio said they would report the alleged violations to the International Court of Justice.
Tibo's son, Robertus Tibo, was quoted by Antara as saying Friday in Jakarta that his family was disappointed with the way his father was executed.
Robertus too argued the executions were illegal because they failed to respect the trio's constitutional right to seek a second clemency.
Todung reiterated a call for the government to phase out the death penalty, which he said was against the Constitution and UN covenants on human rights.
"The death penalty based on the Criminal Code is no longer effective and applicable since it is against Chapter 29 on human rights in the Constitution as well as UN Covenants against Torture, cruel, inhumane and degrading treatment, and on civil and political rights, all of which Indonesia has ratified," he said.
Hendardi and Todung said they would file a request to the Constitutional Court to review the Criminal Code with an eye to abolishing the death penalty.
"All human beings have the fundamental right to live, which all sides, including the government, must respect, and no-one is authorized to kill other people," said Todung.

Families of Poso three follow men's last wishes
Ruslan Sangadji and Yemris Fointuna, The Jakarta Post, Palu, Kupang
30 Sept 2006

Relatives of executed Poso convicts Fabianus Tibo and Marinus Riwu fulfilled the last wishes of the two Friday while the family of Dominggus da Silva has decided to postpone its plan to exhume his body for an autopsy until the end of the 40-day mourning period.
Relatives of Fabianus Tibo and Marinus Riwu, who were executed last Friday along with Dominggus da Silva for inciting violence against Muslims in Central Sulawesi in 2000, returned the coffins provided by the Central Sulawesi Prosecutor's Office.
The coffins were returned in compliance with Tibo and Marinus' last wish, to reject all facilities provided by the state following their execution in Palu despite appeals for clemency and criticism from human rights groups.
An entourage of three cars, including two ambulances carrying the coffins, arrived at the office at 1 p.m. after a 10-hour trip from Beteleme, Morowali regency, led by Rev. Renaldy Damanik.
But since the office's entrance was closed, they dropped the two coffins right in front of it.
Damanik said he could not take the executions last Friday and was only following the Poso three's dying wish.
The family also returned two suits, two pairs of shoes and ties.
After waiting for half an hour and it was clear the prosecutor's office was not going to receive them, the entourage left the open coffins, which emitted a foul odor, right at the entrance.
Meanwhile, in Sikka regency's capital Maumere in East Nusa Tenggara, da Silva's family has decided to postpone the plan to exhume his body for a second autopsy until the 40-day mourning period is over.
The change in plans was approved by the leader of the family, H.E. da Silva, and da Silva's adoptive father Anselmus da Silva.
"The family stands by its earlier decision to uphold justice. But since we have to perform rituals and pray for Dominggus, the family is postponing the plan until the 40 days of prayers for Dominggus is completed," family spokesman Patrik da Silva said from Maumere when contacted Friday.
He said the decision would allow the family to pray without any disruption.
"Everything that relates to our customs is in the hands of the leader so the family has decided to postpone the plan which was scheduled for the end of this week," Patrik said.
National Police spokesman Insp. Gen. Paulus Purwoko said Thursday the family of da Silva had dropped a plan to exhume his body for an autopsy to determine whether he was tortured before his execution.
"I heard a report from East Nusa Tenggara Police that da Silva's family has canceled the plan to exhume his body," Paulus said as quoted by Antara news agency.
He said he did not know why the family had dropped the plan but assumed it was because religious figures had convinced the family that da Silva was not tortured before the execution.
Da Silva was originally buried in Palu, Central Sulawesi, after an autopsy was performed by local officials. His body was then exhumed upon the request of his lawyers and church members. A wake was held at the local Catholic church and the body was sent back to da Silva's hometown of Maumere for burial.

'Convicts probably deserved death'
September 30, 2006

The recent execution of three Christian men convicted for leading several attacks on Muslims in Poso, Central Sulawesi, in 2000 has caused controversy, with some people saying the punishment was politically motivated. The Jakarta Post asked two residents their opinions on the issue.
Sukih, is a native of Cirebon, West Java and drives a taxi:
People need to move on from the Poso executions. There is no need to make the matter bigger as the men have already passed away.
As for the real masterminds of the violence, we can't really be sure about that, so it's better to leave that matter to the government.
However, the government also needs to be serious and strict when it comes to judging people guilty of corruption.
Those criminals can get away easily -- four or five years in prison; these are lenient punishments. It's an imbalanced system when you think about it.
Herwindo Iskandar works for PT Nestle Indonesia. He lives in Rawamangun, East Jakarta:
Indonesia rarely hands down the death penalty so when it does, I think the convicts probably deserve it.
Basically, I agree with capital punishment because a massacre, such as the one in Poso, cannot be justified.
Moreover, having capital punishment as a deterrent helps run the nation and meet certain objectives.
-- The Jakarta Post

Komentar, 30 Sept 2006
Kaki dan Tangan Tibo Cs Diborgol Saat Eksekusi

Fabianus Tibo cs terikat bor-gol tangan dan kaki ketika di-eksekusi regu tembak. Se-dangkan para eksekutor dari Polda Sulteng menembak de-ngan posisi tiarap terhadap Ti-bo cs yang duduk di kursi. De-mikian penjelasan penasihat rohani Tibo cs, Pastor Jimmy Tumbelaka dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (29/09) kemarin. Penjelasan ini diperoleh Tum-belaka dari seorang saksi A1. Saksi ini menceritakan, Tibo dan kawan-kawan saat keluar dari LP melewati tembok dengan tangga untuk menghindari kejaran wartawan, dan sudah ada mobil Brimob Palu yang me-nunggu. Ketiganya lalu dibawa ke lapangan tembak Ngatabaru, di sebelah utara Kota Palu.Sebelum didudukkan di kursi, Tibo ditanya oleh seorang ekse-kutor, bagian tubuh mana yang ditembak. “Tibo menjawab, ter-serah mana baiknyalah,” kata Jimmy menirukan keterangan saksi. Tibo, Marinus dan Do-minggus kemudian didudukkan di kursi, tangan diborgol di be-lakang dan kaki juga diborgol. Mata Tibo dan Dominggus ditu-tup kain, kecuali Marinus Riwu.“Saya ingin melihat siapa yang menembak saya,” kata Riwu se-perti dikutip saksi. Nah, dari jarak 6 meter, regu tembak yang terdiri dari 8 orang untuk ma-sing-masing terpidana dengan posisi tiarap menembakkan sen-jatanya pada pukul 01.50 WITA dini hari (Jumat 22 September).“Masing-masing orang kena 5 peluru. Padahal menurut UU cukup dua peluru. Setelah itu tim dokter datang pukul 02.00 dan memastikan ketiganya meninggal,” ujar Pastur Tumbe-laka. Apakah melihat adanya penganiayaan sebelum ekseku-si? “Tidak. Dari saksi mata tidak melihat langsung,” ujarnya. Pada bagian lain, hasil visum yang dilakukan 22 September oleh salah satu instansi keseha-tan di Morowali, NTT, menunjuk-kan Tibo dan Marinus Riwu me-ngalami penganiayaan. “Hasil visum menunjukkan Tibo dan Riwu dianiaya sebelum diekse-kusi. Ini pelanggaran HAM. Kami akan menuntut ke Mahkamah Internasional,” ucap Koordinator Lembaga Advokasi Hukum dan HAM Posma Rajagukguk di Gedung Landmark, Jakarta, Kamis (28/09) sepeerti dilansir detik.comPosma menuturkan dalam surat visum Tibo No 97/PKM-BTL/IX/2006 disebutkan terca-tat 3 luka lecet pada pelipis ka-nan. Pada bagian dada ada 4 luka bekas peluru yang telah dijahit. Patah tulang rusuk kiri bagian belakang dan 5 luka di punggung sebelah kiri yang juga sudah dijahit pihak eksekutor. “Luka itu yang 5 jahitan ke-mungkinan luka peluru. Itu kan menyalahi prosedur. Harusnya cukup 2 tembakan,” jelasnya.Sedangkan kondisi jenazah Riwu tidak jauh berbeda. Dari surat visum No 98/PKM-BTL/IX/2006, Posma menerangkan di bagian dada ada 4 buah luka yang telah dijahit. Lalu 1 jahitan di dada kanan dan 1 buah luka memanjang dengan 10 jahitan di dada atas “Ini kan mustahil kalau hanya eksekusi mati dengan menem-bak sehingga terjadi luka robek panjang 10 jahitan seperti itu,” imbuh Posma.Selain itu, pada jenazah Riwu juga terdapat luka di dagu bagian bawah tembus ke dagu bagian atas atau bawah bibir dan tam-pak serpihan logam. Sementara itu pada punggung Riwu ter-dapat 2 luka di punggung kiri yang masing-masing 3 jahitan. Namun begitu, Kapolri yang di-temui terpisah tetap membantah adanya penganiayaan dan menyatakan eksekusi Tibo cs sudah sesuai prosedur. “Saya kira sudah dijelaskan berkali-kali bahwa itu sesuai prosedur,” kata Kapolri usai sertijab Kapolda Kaltim dan Kapolda Kalteng di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (29/09).Kapolri meminta semua pihak menghormati proses hukum. “Ini sudah dilaksanakan proses hukum, apa yang dilakukan itu ya eksekusi. Marilah kita taati sistem hukum di negeri ini,” ujarnya. Sedangkan Kadiv Hu-mas Mabes Polri, Irjen Pol Paulus Purwoko menambahkan, bahwa polisi tidak melihat ada sesuatu yang aneh pada kondisi jenazah Tibo cs. Dia juga meminta kon-troversi hasil visum terhadap mereka sebaiknya dihentikan.“Berdasarkan visum dari Puskesmas Beteleme, luka di da-da kiri yang tembus ke kanan dan dagu hingga tembus ke atas itu bisa terjadi karena proyektil melesat cepat sekali,” kata Pur-woko. Purwoko juga menjelas-kan soal temuan serpihan logam pada tubuh korban. Serpihan logam itu berasal dari serpihan rosario yang dikantongi terpi-dana. “Tentang jahitan di punggung itu karena peluru bisa tembus sampai ke belakang. Jadi sama sekali tidak ada penganiayaan. Anda bisa cek sendiri ke Pus-kesmas di Beteleme. Tidak ada instansi lain yang memberikan visum kecuali puskesmas ini,” cetus Purwoko.(dtc/zal)

Komentar, 30 Sept 2006
Pamona Timur Poso rusuh
Heli Kapolda Sulteng Dilempari, Mobil Dibakar

Kerusuhan melanda Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, Sulteng, Jumat kemarin (29/09). Informasi yang diperoleh di lapangan, amuk massa terjadi ketika Kapolda Sulteng, Kombes Pol Badrodin Haiti berkunjung ke daerah tersebut. Kapolda yang turun dengan menggunakan helikopter, langsung dilempari massa dengan batu. Untunglah Kapolda Badro-din luput dari ‘peluru pongoh’ dan berhasil turun di lapan-gan depan kantor Polsek Pa-mona Timur (sekitar 320 Km da-ri Palu), dan kemudian dilari-kan dengan sebuah mobil ke arah Pendolo, Pamona Sela-tan. Saat kedatangan Kapolda, warga Pamona Timur diketahui sedang melaksanakan upacara adat Padungku—upacara ucap-an syukur setelah musim pa-nen. Seusai melempar heli yang ditumpangi kapolda, ratusan massa selanjutnya mendatangi dan melempari Kantor Polsek Pamona Timur. Sebuah mobil kijang dan se-buah truk milik polisi yang te-ngah parkir dibakar massa. Massa juga membakar bebe-rapa sepeda motor milik polisi. Ade, Pendeta Gereja Kristen Su-lawesi Tengah di Pamona Timur yang dihubungi dari Palu se-bagaimana dilansir Kompas online mengatakan, pada saat kejadian, ia berupaya me-nangkan massa, namun tidak berhasil. Ia bahkan terkena lemparan batu. “Saya tidak ta-hu apa yang menyebabkan massa mengamuk,” katanya. Sementara Pendeta Rinaldy Damanik, mantan Ketua Umum Majelis Sinode GKST yang ditemui di Palu, menyatakan penyesalannya atas kejadian itu. “Kami belum tahu apa yang menyebabkan warga menga-muk. Namun, saya memper-kirakan warga tidak dapat menerima kedatangan Kapolda Sulteng karena masih kecewa dengan eksekusi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Apalagi saat itu sedang berlangsung upacara adat,” katanya. Rinaldy menambahkan, se-belum melakukan kunjungan ke daerah, Kapolda Sulteng sebaiknya berkoordinasi de-ngan tokoh-tokoh masyarakat setempat, seperti yang dilaku-kan Kapolda Sulteng sebelum-nya, untuk mengetahui bagai-mana kondisi masyarakat. Sampai seminggu setelah ek-sekusi Tibo cs, mayoritas war-ga Kabupaten Poso masih sen-sitif jika melihat aparat keama-nan dan kejaksaan.(kcm/*)

Friday, September 29, 2006

Police say family of executed man drops demand
The Jakarta Post, Jakarta, Kupang, September 29, 2006

The National Police said Thursday the family of Dominggus da Silva has dropped a plan to exhume his body for an autopsy to determine whether he was tortured before his execution last Friday.
The family of Dominggus da Silva, who was executed along with Fabianus Tibo and Marinus Riwu in the Central Sulawesi capital city of Palu for inciting violence against Muslims, sent an official letter to the police Wednesday about their plan to exhume the body.
"I heard a report from East Nusa Tenggara Police that da Silva's family has canceled the plan to exhume his body," National Police spokesman Insp. Gen. Paulus Purwoko was quoted by Antara news agency as saying Thursday in Jakarta.
Da Silva was originally buried in Palu, Central Sulawesi, where the three men were executed, after an autopsy was performed by local officials. His body was then exhumed upon the request of his lawyers and church members. A wake was held at the local Catholic church and the body was sent back to da Silva's hometown of Maumere, the capital city of Sikka regency, West Nusa Tenggara, for burial.
Paulus said he was not aware of the reason why the family dropped the plan but assumed it was because religious figures had convinced the family that da Silva was not tortured before the execution.
"Even Bishop Yoseph Suwatan from Manado (North Sulawesi) has asserted that the rumors that da Silva was tortured and stabbed are not true," he said.
Religious figures present at the execution have also stated that there were no signs of torture, he said.
Bishop Melky Taroreh, who led a Mass at the penitentiary before taking da Silva outside to face the firing squad also said a similar thing.
"Tibo even told his family not to harbor revenge after the execution," Paulus said.
However, a lawyer who represented all three executed men, Roy Rening, said Thursday that the plan to bring the torture allegations to the International Court of Justice, the Office of the UN High Commissioner for Human Rights and other international institutions had received the blessings of the Poso three two days before the executions took place.
"We received an official mandate, signed by Tibo, da Silva and Riwu on Sept. 20, 2006, two days before the executions," Roy said.
With the mandate, he said there should be no reason for the government or the police to block the family's plan to exhume da Silva's body for a second autopsy.
He deplored Sikka Police chief Sr. Comr. Endang Syafruddin for refusing to meet da Silva's family when they came to deliver the letter to notify the police of the plan Wednesday.
"If there's no response from Sikka Police by Saturday, the family has decided to exhume the body on its own. The letter to the police was intended to notify the police of the plan, not to request permission," Roy said.
He said that after the planned second autopsy was done, the Poso three's families and lawyers would file a case with the International Court of Justice and report the matter to other international institutions.
The International Court of Justice, however, does not accept reports and complaints from individuals. It only considers legal disputes submitted by states.

SUARA PEMBARUAN DAILY
Alumni PMKRI: Kerusuhan Dimanfaatkan Kelompok Tertentu

[JAKARTA] Para alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menyangsikan aksi anarkis terkait eksekusi Tibo cs yang selama ini telah berjalan lancar di beberapa kota di Indonesia. Patut diduga bahwa kerusuhan yang terjadi di Atambua dan Maumere (NTT) telah dimanfaatkan kelompok tertentu dengan membonceng amarah masyarakat. Untuk itu, aparat keamanan perlu mencari otak kerusuhan dan tidak mengkambinghitamkan para demonstran yang selama ini terbukti berjalan damai.
Hal itu disampaikan Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI (Forkoma PMKRI) Hermawi Taslim di Jakarta, Kamis (28/9).
Dikatakan, protes yang dilakukan masyarakat harus dilihat sebagai respon atas ketidakadilan proses hukum, tetapi bukan berarti menyempitkan persoalan hanya pada menangkap pelaku kerusuhan. Apa yang terjadi sebenarnya sebuah protes terhadap negara yang telah memperlakukan secara tidak adil terhadap warga yang seharusnya diberikan perlindungan dan menjaga hak hidupnya.
"Sudah teruji dalam ratusan aksi protes di Jakarta, Makassar, Maumere dan Atambua serta Kupang tidak ada kerusuhan. Polisi harus mencari pihak yang membonceng aksi ini agar tidak terjadi lagi gejolak protes yang lebih besar," kata Taslim.
Sementara itu, langkah kepolisian yang menangkap tiga pelaku kerusuhan dinilai masih sangat minim karena belum menjawab keadilan yang dicari masyarakat.
Di sisi lain, pihak Kepolisian Resor (Polres) Sikka juga tidak menghargai prinsip praduga tak bersalah dengan menyebut nama tersangka secara jelas tanpa inisial. Keterkaitan salah satu tersangka (Ad) sebagai aktivis PMKRI seharusnya dikonfrontir secara resmi oleh kepolisian kepada pengurus PMKRI atau cabang yang menjadi keanggotaan yang bersangkutan.
Untuk itu, Forkoma PMKRI Pusat bersama Forkoma PMKRI NTT dan Forkoma PMKRI Kab. Sikka akan membentuk Tim Pencari Fakta guna mencari fakta dan bukti kerusuhan yang akan disampaikan langsung kepada Komisi III DPR-RI serta institusi lain. [H-12]
Last modified: 28/9/06

SUARA PEMBARUAN DAILY
Jangan Terburu-buru Minta Autopsi Ulang Jenazah Dominggus

[JAKARTA] Pihak keluarga hendaknya jangan terburu-buru meminta dilakukan autopsi ulang atas jenazah terpidana mati kerusuhan Poso, Dominggus da Silva. Sebelum ada bukti yang kuat, jenazah jangan keburu diautopsi. Demikian dikatakan Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Paulus Purwoko, di Jakarta, Rabu (27/9).
Keluarga terpidana dan masyarakat diharapkan jangan percaya adanya rumor yang membuat menyusahkan. "Kalau hanya berdasarkan rumor, dugaan dan analisa, maka sebaiknya tidak ada autopsi sebab jenazah itu sudah diautopsi dokter setelah dieksekusi," katanya.
Diminta pihak keluarga terpidana mati untuk menanyakan langsung soal eksekusi ke kepolisian, dokter, jaksa, dan para saksi. Eksekusi telah dilaksanakan sesuai petunjuk teknis dari Mabes Polri dengan jumlah penembak 12 orang untuk satu terpidana. "Enam pakai peluru hampa dan enam pakai peluru tajam.
Jadi tidak masalah kalau ada enam peluru masuk semua ke sasaran. Kenapa sampai enam peluru, ya biar cepat matinya. Kalau hanya satu peluru tapi tembakan meleset kan jadi susah matinya," ujarnya.
Adanya lubang yang lebar seperti ditusuk benda tajam bisa terjadi jika ada dua peluru masuk berdekatan, atau mungkin pecahan dari peluru yang kena salib rosario yang dipakai terpidana.
"Pecahan proyektil peluru atau pecahan rosario bisa menyebabkan luka memar atau luka mirip sayatan, sebab laju peluru memiliki kecepatan tinggi. Jangankan rosario yang terbuat dari kayu, pecahan karet pun bisa melukai," katanya. Tulang yang patah bisa terjadi karena ada peluru mengenai tulang. "Jadi tidak ada regu tembak yang membawa sangkur," katanya.
Empat Luka Tembakan
Sebelumnya, Anselmus da Silva, ayah angkat Dominggus da Silva, mengatakan, pihaknya mendapat informasi, di tubuh Dominggus da Silva ditemukan empat luka tembakan yang seharusnya hanya satu luka tembakan sesuai prosedur tetap (protap) dalam proses eksekusi terhadap terpidana mati.
Pihak keluarga Dominggus da Silva juga menemukan adanya tindakan kekerasan terhadap Dominggus da Silva sehingga memandang penting membongkar kembali kuburan almarhum untuk proses autopsi. Keluarga besar Dominggus da Silva menduga ada indikasi kuat Dominggus dianiaya terlebih dahulu sebelum dieksekusi mati.
Secara terpisah kuasa hukum Tibo Cs, Petrus Selestinus mengatakan, keluarga tiga terpidana kasus Poso III, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva yang telah dieksekusi mati di Palu, Jumat (22/9), mendesak Polri agar jenazah tiga terpidana itu diautopsi lagi.
Hal itu untuk menjawab kejanggalan yang terdapat pada jenazah tiga terpidana, seperti luka memar, tulang patah, dan darah keluar dari mulut.
"Banyak kejanggalan yang terdapat jenazah mereka. Kalau Polri melarang mengautopsi, itu berarti Polri mau menutupi kesalahan yang dibuat Polri sendiri," katanya. Dia mengaku, Rabu (27/9) sore baru pulang dari Maumere untuk berdiskusi dengan keluarga Tibo Cs mengenai banyak kejanggalan yang ditemukan di jenazah Tibo Cs.
Kejanggalan-kejanggalan lain yang harus dijawab Polri dan Kejaksaan, adalah mengapa ketika Dominggus da Silva sesaat setelah dieksekusi mayatnya tidak langsung diserahkan ke pihak keluarga atau gereja yang menunggu di Palu. Mayat Dominggus dikuburkan secara sembunyi-sembunyi. Keanehan lain yang ditemukan adalah peti jenazah Dominggus yang seharusnya ditutup kaca, namun kacanya hanya dipakai plastik, sehingga muka Dominggus tertutup tanah.
Kejanggalan lain adalah sampai sekarang eksekusi terhadap Dominggus belum dibuat berita acaranya. "Kami hanya menerima berita acara eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo dan Marinus Riwu. Kami menduga mayat Dominggus belum diautopsi oleh Polri seusai dieksekusi," katanya.
Diminta Komnas HAM mendesak Kejaksaan Agung dan Polri menjelaskan secara terbuka, mengapa permintaan terakhir para terpidana tidak dipenuhi. Selain itu, mengapa setelah dieksekusi mati mayat Tibo Cs tidak langsung diserahkan ke keluarga mereka yang sedang menunggu di Palu. [E-8]
Last modified: 28/9/06

Komentar, 29 September 2006
Dari dialog ‘’Tibo Cs Pasca Eksekusi’’ Hormati Pancasila, Hapuskan Hukuman Mati

PERLU dilakukan peruba-han mendasar dalam hukum yang diberlakukan di Indone-sia, salah satunya yakni meng-hapus hukuman mati. Huku-man di Indonesia adalah pe-ninggalan Belanda, namun pi-hak Belanda sendiri telah menghapuskan hukuman ma-ti yang ada. Hal ini disampai-kan Dr Bert Supit dalam dia-log ‘’Tibo Cs Pasca Eksekusi’’ yang digelar di Gedung Fisip Unsrat, Kamis Sore (289/09) kemarin. Menurut Supit, masalah hu-kuman mati harus disikapi se-cara menyeluruh dan tak ha-nya kasus per kasus saja. “Ka-rena sudah terjadi keresahan bahkan dunia internasional sudah terlibat,” tukasnya. Apalagi menurut Supit, dalam hukum Belanda pun huku-man mati sudah dihapuskan. “Hukum kita kan sebagaian besar diadaptasi dari hukum Belanda. Sementara saat ini Be-landa sudah tidak memberla-kukan hukuman mati,” katanya.Selain tidak manusiawi, hu-kuman mati juga tidak men-cerminkan jati diri bangsa Indonesia yang termuat dalam Pancasila. “Hidup dan mati itu sepenuhnya di tangan Tuhan, dan manusia sama sekali tidak mempunyai hak. Itu pun sudah diterima oleh banyak negara dan Indonesia pun harus memberlakukan hal itu, kalau ingin menghargai Pan-casila,” tandasnya.Mengenai kasus eksekusi Tibo cs, menurut Supit men-jadi pelajaran berharga bagi kita semua. “Kita semua sedih dengan peristiwa ini. Mereka sudah menjadi tumbal. Meski-pun dari segi kemanusiaan, hal ini menjadi tanda tanya be-sar, kenapa mereka yang ha-nya petani biasa justru yang menjadi korban,” urainya.Untuk itulah lanjutnya, hal ini harus dijadikan pelajaran untuk kemudian melakukan perubahan mendasar dalam hukum yang tidak mencer-minkan Pancasila. Pada bagian lain, Supit mengemu-kakan bahwa terdakwa lain yang sudah divonis hukuman mati pun harus mendapat pe-ngampunan. “Kalaupun menu-rut mereka tindakan mereka atas nama Tuhan, biarlah nan-ti mereka yang mempertang-gungjawabkannya langsung dengan Tuhan,” pungkasnya.Diskusi yang digelar ini ada-lah salah satu acara dalam rangka pelindung malaikat agung St Mikael Keluarga besar Mahasiswa Katolik Fisip Uns-rat, yang mengusung tema ke-manusiaan dan keadilan (sua-tu kajian hukum pasca ekseku-si Tibo cs). Kegiatan ini diikuti oleh puluhan mahasiswa dan menghadirkan pembicara an-tara lain Iwan Setiawan man-tan Ketua Senat Mahasiswa Fisip, Ketua PMKRI Manado Mexi Watung dan Ketua Stusi Mitra Seminari Pineleng, Aris Alwamangge. Awalnya, diskusi yang digelar di salah satu ruang kuliah ini sempat diwarnai ketegangan. Pasalnya pihak fakultas meng-klaim bahwa kegiatan ini tidak mengantongi izin dan ilegal. Sehinga PD III Drs Michael Man-tiri sempat memotong jalannya diskusi. Bahkan aliran listrik di ruangan tersebut pun sempat dimatikan. Sehingga diskusi dilakukan tanpa bantuan pengeras suara. Namun hal ini tidak mengendurkan semangat para peserta yang terus me-lanjutkan diskusi.Hal ini membuat Mantiri be-rang, dan untuk kedua kalinya ‘menghentikan’ jalannya diskusi. “Ini gedung milik fakultas dan kami tiadk menerima pembe-ritahuan untuk penggunaan ruangan yang sedianya akan di-gunakan untuk kegiatan perku-liahan ini,” ujar Mantiri dengan nada tinggi. Untunnya setelah beberapa menit terjadu adu argumentasi, Mantiri akhirnya mengizinkan peserta melan-jutkan diskusi di salah satu ruang sidang yang berada di lan-tai dua gedung Fisip dan diskusi pun dilanjutkan.(vic)

Komentar, 29 September 2006
Rening: Ini semakin perkuat adanya kesalahan prosedur
Polisi Takut Tibo Cs Diotopsi Independen

Koordinator Penasehat Hu-kum Fabianus Tibo cs, Roy Re-ning menuding polisi takut de-ngan otopsi independen terha-dap jasad 3 tereksekusi mati ka-sus Poso tersebut. Ketakutan ini dinilai memperkuat dugaan kesalahan prosedur eksekusi.“Semakin polisi ketakutan adanya otopsi Dominggus, semakin memperkuat adanya kesalahan prosedur dalam eksekusi Tibo cs. Jika memang sesuai prosedur, tentu saja tidak takut,” cetus Koordinator Penasihat Hukum Tibo cs Roy Rening, Kamis (28/09).Seperti diberitakan, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Paulus Purwoko meminta keluarga Dominggus tidak tergesa-gesa mengotopsi. Mereka diminta berkonsultasi dengan Kapolda NTT Brigjen Pol Robertus Sa-darum.Permintaan terakhir ini di-tanggapi Roy Rening tak rele-van. “Otopsi tidak ada kaitan-nya dengan Polda NTT, karena ini betul-betul permintaan ke-luarga,” ujar Roy seperti dian-sir detik.com. Otopsi ini diper-lukan untuk mendapatkan bukti-bukti pelanggaran pro-sedur yang dilakukan pihak ke-polisian dan kejaksaan. Bukti-bukti ini nanti dibawa ke dunia internasional.“Kita akan menemui Uni Ero-pa, Komisi HAM PBB, dan Mah-kamah Internasional melapor-kan keadaan baik sebelum, saat dan sesudah eksekusi. Ki-ta akan buat laporan lengkap se-telah visum ketiganya selesai,” jelas Roy. Seperti diketahui, sampai ke-marin, pihak keluarga dan pe-ngacara belum mendapatkan hasil visum dan berita acara resmi eksekusi ketiga terpidana tersebut. Itu sebabnya pihak keluarga melakukan visum sendiri yang dilakukan oleh dokter-dokter independen.“Tidak ada satu pun penga-cara dan keluarga yang menda-pat visum. Ini skenario yang disusun sehingga meyakinkan adanya kesalahan prosedur,” ucap Roy. Pihak keluarga, penasehat hukum dan pembimbing rohani tidak diperbolehkan mendam-pingi Tibo cs sebelum, saat dan sesudah eksekusi. Padahal menurut Penetapan Presiden No 2/1964 tentang Tata Cara Hukuman Mati, ke-beradaan pembimbing rohani mutlak ada mendampingi ter-eksekusi.MAKAM DOMINGGUS Sementara itu dipeorleh kabar, keluarga Dominggus da Silva, salah seorang dari tiga ter-pidana vonis mati dalam kasus kerusuhan Poso, telah memba-talkan rencana membongkar makam Dominggus yang se-mula dicurigai dianiaya sebe-lum dieksekusi. Hal ini disam-paikan Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Paulus Purwoko di Ja-karta, Kamis (28/09)“Saya baru dapat kabar dari Polda NTT bahwa keluarga Do-minggus membatalkan niatnya untuk membongkar makam,” kata Purwoko. Saat ditanyai, Purwoko mengaku tidak tahu pasti penyebab batalnya niat tersebut. Namun dia memper-kirakan, telah ada upaya dari pemuka agama yang bisa meya-kinkan pihak keluarga bahwa Dominggus tidak dianiaya sebe-lum dieksekusi.“Bahkan, Uskup Mgr. Yo-seph Suwatan dari Manado juga telah menjelaskan bahwa isu Dominggus dianiaya dan ditusuk dengan sangkur tidak benar,” katanya. Rohaniwan yang mendampingi eksekusi Dominggus pun juga telah menjelaskan bahwa tidak ada penganiayaan terhadap Do-minggus sebelum dieksekusi. Uskup Melky Taroreh, yang memimpin misa di lembaga pemasyarakatan (lapas) saat mengantar Dominggus ke-luar lapas untuk menghadapi eksekusi, juga menyatakan hal yang sama, yakni mereka baik-baik saja. “Bahkan, Tibo sempat ber-pesan kepada keluarganya untuk tidak ada dendam pasca-eksekusi,” katanya. (dtc/zal)

Family of executed man demand new autopsy
Yemris Fointuna, The Jakarta Post, Kupang, 28 Sept 2006

The family and lawyers of Dominggus da Silva have presented a letter to police requesting his body be exhumed and an autopsy performed to determine whether he was tortured before being executed last Friday.
The family of da Silva, who was executed along with Fabinaus Tibo and Marinus Riwu for inciting violence against Muslims in Poso, Central Sulawesi in 2000, wants the body exhumed for a second time to check for evidence of torture.
Da Silva was originally buried in Palu, Central Sulawesi, where the three men were executed, after an autopsy was performed by local officials. His body was then exhumed on the order of his lawyers and church members. A wake was held at the local Catholic church and the body was sent back to da Silva's hometown of Maumere, the capital city of Sikka regency, West Nusa Tenggara, for burial.
A lawyer who represented all three executed men, Roy Rening, said by phone Wednesday that police in Sikka has been officially notified of the plan to exhume da Silva's body for a second time.
"We've informed (the police) that the family will exhume the body of Dominggus and an autopsy will be performed this week," he said.
He said the results of this second autopsy would be included with the results of autopsies performed on the two other executed men, which he said would be sent to the International Court of Justice in The Hague.
"Similar reports will also be delivered to the UN High Commission on Human Rights, the European Union, international institutions and the National Commission on Human Rights," he said.
However, the International Court of Justice does not accept reports and complaints from individuals. It only considers legal disputes submitted by states.
The National Police denied Tuesday that da Silva was tortured before being executed last week.
National Police spokesman Insp. Gen. Paulus Purwoko said claims of torture by the family were made based on incorrect information from people claiming to have seen the body. "The execution was conducted in line with technical instructions from National Police Headquarters," Purwoko said as quoted by Detik.com news agency.
There have been claims that four bullet wounds were found on the left side of Tibo's chest, another on the right side, in addition to three scars on his forehead and 15 stab wounds to his back. Also, four bullet wounds were said to be found on Marinus Riwu's chest, another on his chin and two on his back.
"Meanwhile, based on information gathered by (da Silva's) family, there were four bullet wounds to his chest and bruising to his face. But all the facts will be gathered after the family orders a second autopsy," Roy said.
Da Silva's adoptive father Anselmus da Silva said the marks on his son's body convinced the family to order a second autopsy. He hoped the results of the autopsy would back the family's claims of torture at an international court.

Thursday, September 28, 2006

Polri Sarankan Jenazah Dominggus Tak Diautopsi
KOmpas, Rabu, 27 September 2006 - 23:09 wib

JAKARTA, RABU - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Paulus Purwoko menyarankan agar pihak keluarga tidak terburu-buru untuk melakukan autopsi ulang atas jenazah terpidana mati kerusuhan Poso, Dominggus da Silva. "Sebelum ada bukti yang kuat, jenazah jangan keburu diautopsi. Jangan keburu membongkar jenazah tanpa ada bukti yang kuat," kata Purwoko di Jakarta, Rabu (27/9).
Sebelumnya, pihak keluarga Dominggus menengarai jenazah terpidana mati ini tidak dieksekusi dengan cara ditembak tapi dengan sangkur. Mereka juga menanyakan adanya sayatan di wajah dan bekas luka memar.
Untuk itu, keluarga Dominggus meminta agar jenazah itu diautopsi ulang untuk memastikan sebab kematian dan ada tidaknya penganiayaan sebelum dieksekusi. "Kalau hanya berdasarkan rumor, dugaan dan analisa, maka sebaiknya tidak ada autopsi sebab jenazah itu sudah diautopsi dokter setelah dieksekusi," katanya.
Untuk itu, Purwoko meminta agar pihak keluarga terpidana mati untuk menanyakan langsung soal eksekusi ke kepolisian, dokter, jaksa dan para saksi. "Jangan percaya rumor, kabar dan analisa yang belum tentu benar," ujarnya.
Purwoko menegaskan bahwa eksekusi telah dilaksanakan sesuai petunjuk teknis dari Mabes Polri dengan jumlah penembak 12 orang untuk satu terpidana. "Enam pakai peluru hampa dan enam pakai peluru tajam. Jadi tidak masalah kalau ada enam peluru masuk semua ke sasaran. Kenapa sampai enam peluru, ya biar cepat matinya. Kalau hanya satu peluru tapi tembakan meleset kan jadi susah matinya," ungkapnya.
Adanya lubang yang lebar seperti ditusuk benda tajam bisa terjadi jika ada dua peluru masuk berdekatan, atau mungkin pecahan dari peluru yang kena salib rosario yang dipakai terpidana. "Pecahan proyektil peluru atau pecahan rosario salib bisa menyebabkan luka memar atau luka mirip sayatan sebab laju peluru memiliki kecepatan tinggi. Jangankan rosario yang terbuat dari kayu, pecahan karet pun bisa melukai," katanya.
Ia mengatakan, tulang yang patah bisa terjadi karena ada peluru mengenai tulang. "Jadi tidak ada regu tembak yang membawa sangkur," tambah Purwoko.Sumber: AntaraPenulis: Ima


Mabes Keberatan Otopsi Dominggus
http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=nusantara/index.php?q=news&id=2713

Wednesday, September 27, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Eksekusi Mati Tibo Cs Sesuai Petunjuk Mabes Polri

[JAKARTA] Eksekusi mati terhadap tiga terpidana mati kasus Poso III, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis dari Mabes Polri. "Menurut Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) eksekusi mati dilaksanakan sesuai penunjuk teknis pelaksanaan eksekusi dari Mabes Polri. Jumlah penembak 12 orang untuk satu target (terpidana), enam pakai peluru hampa, enam pakai peluru tajam," kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Paulus Purwoko melalui pesan pendek kepada Pembaruan, Selasa (26/9).
Purwoko mengatakan seperti itu untuk menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan jumlah tembakan dan dugaan adanya luka tusuk terhadap Tibo Cs. Sesuai petunjuk teknis tersebut, kata Purwoko, tidak ada masalah jika enam peluru masuk semua ke sasaran.
Lubang yang lebar seperti ditusuk benda tajam bisa terjadi jika dua peluru masuk berdekatan, atau mungkin meleset terkena salib rosario yang dipakai terpidana. "Pecahan proyektil yang mungkin terkena salib rosario yang dipakai terpidana, secara teknis bisa mengakibatkan luka seperti memar. Tulang yang patah bisa terjadi karena peluru mengenai tulang," kata Purwoko.
Menurut Purwoko, regu tembak tidak ada yang membawa sangkur. "Ini disaksikan oleh dokter-dokter, jaksa eksekutor dan saksi-saksi yang ada di lokasi ketika eksekusi dilaksanakan," kata dia.
Menurut Anselmus da Silva, ayah angkat (alm) Dominggus da Silva, pihaknya mendapat informasi, di tubuh Dominggus ditemukan empat luka tembakan yang seharusnya hanya satu luka tembakan sesuai prosedur tetap (protap) dalam proses eksekusi terhadap terpida- na mati.
Sesuai prosedur, seorang terpidana mati hanya dua kali ditembak oleh eksekutor jika pada tembakan pertama tidak langsung menghabisi nyawa bersangkutan. Dan tembakan kedua itu, biasanya disarangkan di sekitar pelipis korban.
Pihak keluarga Dominggus da Silva juga menemukan adanya tindakan kekerasan terhadap Dominggus da Silva sehingga memandang penting untuk membongkar kembali kuburan almarhum untuk proses otopsi. Keluarga besar Dominggus da Silva menduga ada indikasi kuat Dominggus dianiaya terlebih dahulu sebelum dieksekusi mati bersama Fabianus Tibo dan Marinus Riwu pada Jumat dini hari di Palu, Sulawesi Tengah.
Kepala Bidang Humas Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), Komisaris Polisi Marthen Radja mengatakan kepada wartawan di Kupang, Selasa (26/9), keluarga besar Dominggus da Silva berhak menuntut Polri jika menemukan adanya ketidak-beresan dalam proses eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu yang telah dilakukan di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (22/9) dini hari.
"Proses eksekusi mati terhadap Tibo Cs itu telah melalui suatu proses hukum yang sahih, jika keluarga merasa ada pelanggaran hukum dalam proses tersebut, silakan menempuh jalur hukum untuk melakukan penuntutan," kata Marthen.
Jenazah Dominggus da Silva sebelumnya dimakamkan di TPU Kristen Poboya, Palu Timur, beberapa saat setelah menjalani eksekusi mati bersama Fabianus Tibo dan Marinus Riwu, namun pada Jum- at malam digali kembali oleh sejumlah orang dari Umat Gereja Santa Maria Palu.
Pada Minggu (24/9), jenazah Dominggus diterbangkan ke Maumere dari Palu untuk dimakamkan di samping pusara ayahnya sesuai pesannya yang terakhir pada saat itu karena almarhum tidak memiliki sanak keluarga di Palu.
4 Tersangka
Penasihat hukum dari Padma, Petrus Selestinus saat dihubungi per telepon selularnya di Maumere mengatakan, pihaknya sudah menerima surat kuasa dari keluarga dan segera menyerahkan surat permohonan pembongkaran kuburan Dominggus agar jasadnya bisa diotopsi. Untuk itu, diharapkan pihak kepolisian cepat merespon sehingga upaya tersebut cepat berjalan.
Dijelaskan, Padma Indonesia telah menyiapkan tim dokter dan tukang bongkar kubur. Sesuai kesepakatan dengan keluarga, diupayakan pembongkaran kubur itu dapat di-lakukan sebelum upacara adat 40 malam kematian tereksekusi
Sementara itu, empat orang tersangka pelaku kerusuhan Atambua, berhasil dibekuk petugas Polres Belu dibantu aparat TNI, Selasa (6/9). Dengan demikian, sebanyak 9 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, masing-masing ML, AY, PF, YIL, KML, IB, RK, AMB dan F. Para tersangka diamankan di sel Mapolres Belu menunggu proses penyidikan lebih lanjut.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Belu, AKBP Heb Dehen, saat dihubungi per telepon selularnya di Atambua, Rabu pagi mengatakan, petugas Polres Belu bersama TNI dan Densus 88 terus mengembangkan penyelidikan untuk mencari warga yang melakukan perusakan dalam kerusuhan tersebut. Empat tersangka yang baru dibekuk, terlibat dalam aksi perusakan dan penjarahan di Pasar Baru. [E-8/120]
Last modified: 27/9/06

'Trials should be non-political'
Jakarta Post, September 27, 2006

Capital punishment under Indonesia's legal system has been questioned by human rights watchdogs who assert it violates the Constitution and international conventions on human rights. The Jakarta Post asked residents what they thought of the recent execution of three convicts for leading a deadly attack in Poso, Central Sulawesi, back in 2000.
Febrianty Madyansari, 22, works as an architect for a consulting company in Bintaro, South Jakarta. She lives with her parents in Ciledug, Tangerang:
I'm not against capital punishment as long as the trial is free from political interests.
I think the case of the three convicts was political because the authorities did not investigate people the convicts said were the masterminds of the deadly attack.
I believe the three men were only scapegoats.
The government should be really careful in handing down such a sentence. The judges have to be really sure that the convicts deserve the death penalty because, otherwise, it would only spark public protests.
I believe that the trial must be free, not only of political interests, but also economic and religious issues.
Abimanyu Santoso, 27, is a client service officer in a private company on Jl. Jend. Sudirman, South Jakarta. He lives with his family in Jatinegara, East Jakarta:
I support capital punishment for criminals involved in bomb attacks or genocide.
We must make sure that the execution itself does not cause them undue suffering. We should remember that death itself horrifies most people.
I think the government must guarantee that the death penalty is free of political interests, so it does not result in public protests, as happened in the recent case.
-- The Jakarta Post

Police deny torturing executed Poso convict
Yemris Fointuna, The Jakarta Post, Maumere, September 27, 2006

The National Police denied Tuesday accusations that one of three Catholic convicts, Dominggus da Silva, was tortured before being executed last week.
The family of da Silva, who was executed for inciting violence against Muslims in Central Sulawesi in 2000, insisted that his body be exhumed for a second time to check for evidence of torture.
Da Silva's adoptive father Anselmus da Silva said that the autopsy report would be used by the family and his lawyers to file a lawsuit over the execution with the International Court of Justice.
"We're convinced that the execution was not done in accordance with procedures, which explains why the executors buried the body immediately without informing his family members," Anselmus said.
However, the International Court of Justice does not accept reports and complaints from individuals.
However, National Police spokesman Insp. Gen. Paulus Purwoko said that the family's remarks were made based on information from people claiming to have seen the body, who told them that it appeared to have four bullet wounds, a stab wound and some bruises and broken bones.
Da Silva was originally buried in Palu, Central Sulawesi, where the three convicts were executed, before his body was exhumed by his lawyers and church members. The body was bathed, a wake was held at the local Catholic Church and the body was then sent back to da Silva's hometown in Maumere, West Nusa Tenggara, for a proper burial.
"The execution was conducted in line with technical instructions from the National Police Headquarters," Purwoko said as quoted by Detikcom online news agency.
He said that there were a dozen shooters for each of the three condemned men, half of whom were given blanks without their knowledge.
Anselmus said that the decision to exhume da Silva's body had been made in consultation with da Silva's lawyer Roy Rening and Petrus Salestinus.
"The two lawyers have given their approval for exhuming the body," he said.
The autopsy was originally scheduled to be held upon the arrival of the da Silva's body in Maumere on Sunday, but was not conducted due to a number of considerations, Anselmus said.
He further said that before exhuming the body, his family would sent a letter to Sikka Police for the sake of security.
Indications of torture were reportedly found on the bodies of the two other executed convicts. Rening said that there were five bullet wounds on the bodies of both Fabianus Tibo and Marinus Riwu.
"An autopsy had been conducted on the bodies of both da Silva and Riwu," Rening said without commenting on the plan of da Silva's family to exhume the body again for another autopsy.
Palu Police reported that an autopsy had already been conducted before da Silva was buried in Palu, however, the family say it was conducted without their knowledge.
Rening said that in line with a 1964 law on executions, the firing squad was only allowed to fire one shot at the heart.
"If the first shot is done and an examination shows that the convict is still alive, the firing squad will be allowed to aim their rifle at the head above the ear.
"The fact is that the executed trio were shot several times," Rening said.

Komentar, 27 September 2006
Keluarga Minta Jasad Dominggus da Silva Diotopsi

Guna memastikan soal isu penganiayaan sebelum ek-sekusi, pihak keluarga Do-minggus da Silva meminta pihak kepolisian membong-kar kembali kuburan dan mengotopsi jenazah Do-minggus. Keinginan ini di-sampaikan keluarga dekat Dominggus, Anzel da Silva, kemarin (26/09).“Keluarga mendapat infor-masi bila di tubuh Dominggus terdapat empat bekas luka tembak yang mencurigakan. Kami ingin jenazah diotopsi,” kata Anzel da Silva. Oleh sebab itu, keluarga katanya melayangkan surat ke ke-polisian untuk minta izin pembongkaran jenazah untuk keperluan otopsi. Sebenarnya otopsi dilaku-kan keluarga saat jenazah tiba. Namun situasi pada hari Minggu lalu tidak memung-kinkan untuk melakukan otopsi, sehingga ditunda. Ke-luarga menduga, karena ber-bagai kesalahan prosedur, maka jenazah Dominggus langsung dikubur di Palu tan-pa diserahkan ke keluarga.Dominggus da Silva meru-pakan salah satu dari 3 ter-pidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak pada Jumat dini hari 22 September lalu. Penggalian kembali mayat Dominggus direncanakan akan dilakukan Rabu (27/09) ini. Sementara Ahli hukum Pidana Dr Albert Hasibuan menjelaskan, sesuai keten-tuan yang ada, tidak memper-soalkan jumlah peluru yang ditembak kepada terpidana mati Tibo cs. “Sesuai keten-tuan, eksekusi dilakukan sampai mati,” katanya kepa-da Komentar di Jakarta, ke-marin(26/09)Dia mengakui, masih ada, yang belum memahami persoal-an eksekusi mati, terlebih jumlah peluru yang harus di-tembakkan. “Sesuai UU, ek-sekusi tersebut dilakukan sampai mati,” tukasnya dan tidak ada yang mengatur jum-lah peluru yang ditembakkan.Secara terpisah, anggota DPR RI Akil Muhtar membenarkan eksekusi yang dilakukan Tibo cs tidak mempersoalan jumlah peluru yang bersarang. “Sesuai ketentuan yang berlaku, ek-sekusi dilakukan sampai mati,” katanya.(zal/*)

Kompas, Minggu, 24 September 2006
Requiem
Suka Hardjana

Requiem adalah bagian dari misa suci Ordinarium dan Proporium yang disatukan sebagai ujud ungkapan ibadah doa kematian umat gereja Katolik Roman untuk seseorang yang telah meninggal dunia agar arwahnya diterima dalam heneng-heningnya ketenangan abadi rasa damai di sisi Tuhan yang Maha Pengampun. "Requiem aetenam dona eis, Domine", demikian kepanjangan asli mantra suci itu berbunyi. "Tuhan, limpahkanlah kepada mereka keheningan abadimu".
Mantra suci ini telah berumur ratusan tahun. Teks aslinya dilafalkan sebagai bagian dari doa arwah kematian oleh mullah tertinggi gereja Katolik Roman, Paus Pius V, pada pertengahan abad ke 16 (1570). Ibadah doa requiem diteruskan sebagai misa arwah oleh umat Kristen Katolik di seluruh dunia hingga hari ini. Hanya Allah yang bisa dan punya wewenang menganugerahi ketenangan abadi bagi arwah manusia yang dengan berkah dan pengampunannya akan kembali ke haribaannya. Wolfgang Amadeus Mozart menciptakan sendiri doa akhir ibadah kematiannya dalam bentuk karya terakhirnya yang sangat indah, Misa Requiem (1791), hanya beberapa saat sebelum komponis besar itu meninggal dunia. Sebagai taqwa kepada Tuhan Allah mereka, doa misa requiem bagi umat Katolik yang meninggal dunia adalah wajib hukumnya. Ibadah manusia kepada Allah yang Maha Kuasa tak boleh dan tak bisa dilarang.
Hari-hari ini saya (saya tak berhak menggunakan kata "kita"!) menundukkan kepala dan meneteskan sebutir dua air mata bagi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu yang telah harus menjalani vonis kematian oleh keputusan tangan dan hukum manusia. Tibo, da Silva, dan Riwu bukan Mozart. Mereka tak bisa menciptakan karya akhir dalam bentuk misa requiem buat diri mereka sendiri. Permohonan ibadah doa requiem mereka bahkan ditolak oleh Pengadilan Negeri Palu. Sebagai eksekutor hukum manusia, manusia telah melompati wewenang batas hukum kuasa Allah atas para hambanya—dalam hal hidup dan mati—dengan mencabut nyawa (mematikan!) seseorang.
Suatu bentuk lain dari "pembunuhan" yang diresmikan. Sebagian manusia juga telah (berani-beraninya) melampaui tuah kemuliaan adat leluhur yang telah dianut dan dipujikan ritusnya oleh banyak suku-suku bangsa di dunia, ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.
Adat yang bersandi kepercayaan mengabulkan permintaan terakhir yang berhubungan dengan kearifan hidup di alam fana dan baka bagi orang yang akan meninggal dunia. Epik besar Bharata Yuda menceritakan kearifan ini. Permintaan akhir panglima perang kerajaan Hastinapura, Resi Bhisma, yang menghendaki onggokan anak panah ditancap di punggungnya sebagai bantalan layon (jasad) menjelang ajal dikabulkan. Dengan penuh takzim dan rasa hormat Arjuna memenuhi permintaan ’lawan’ sekaligus leluhurnya itu. Sejuta anak panah dihujamkan Arjuna ke punggung sang Begawan sebagai bantal kematian!
Di negara Amerika Serikat yang super sekular pun ritus permintaan akhir kematian masih tetap dihormati. Bahkan juga untuk eksekusi mati bagi penjahat atau pembunuh sekeji apa pun! Tidak demikian halnya dengan Rumah Pengadilan Negeri Palu di Indonesia atas penerima keputusan eksekusi hukuman mati yang dihalalkan oleh ’ketokan palu negara’. Padahal ketiga penerima eksekusi hukuman mati di Palu itu konon adalah orang-orang percaya yang beriman.
Saya (sekali lagi, saya tak berhak menggunakan kata "kita"!) tak hendak mencampuri masalah hukum yang tidak saya mengerti. Dunia pengadilan (bukan keadilan?) hukum yang labirin kawasan ruang-ruang dalamnya bagaikan rimba hutan belantara hanya bisa dimasuki oleh mereka yang mengerti dan memiliki penguasaan kekuatan siluman yang penuh trik dan lika-liku retorika yura. Yang hendak saya katakan dalam pojok kolom sederhana ini hanyalah sebuah lantunan kecil sebagai tanda empati terhadap fatalitas kematian anak manusia yang harus ditanggung—juga oleh para sanak saudara, kerabat, anak, dan orangtua mereka—sebagai akibat dari dalih-dalih dalil hukum manusia yang harus dimenang-kalahkan-mewakili begitu banyak pihak dalam kesumat dendam dan kepentingan.
Agaknya ada dilema hukum dan pengadilan-atau hukum dan keadilan, yang untuk banyak orang di banyak negara (yang pernah saya dengar) sebenarnya tak lain hanyalah involusia dalih-dalih artifisialisasi (peng)aturan kekuasaan yang diteguhkan. Gerbang dalih utamanya—tentu saja—adalah peradaban. Manusia adalah makhluk hukum, katanya. Hukum? Siapa pembuatnya? Siapa pelaksananya? Siapa terkena hukum? Bagaimana cara hukum bermain? Bagaimana nasib korban terkena hukum? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu semua ada jawabnya. Tertulis pada buku-buku dan aturan-aturan kitab yuridis dalam formulasi hukum negara. Komplet dan resmi-sebagai infolusia dalih-dalih (peng)aturan artifisialisasi kekuasaan!
Di Indonesia dan di seluruh dunia masih banyak orang celaka, menderita—bahkan mati—di luar maupun di dalam kuasa hukum, yang dibuat oleh manusia juga. Peradaban manusia memang telah menghasilkan hukum, tetapi hukum tak selalu mencerminkan peradaban. Sebagai manusia kecil yang kurang beriman dan kurang taqwa, hari-hari ini saya menundukkan kepala dan menitikkan satu dua butir air mata bagi mereka yang harus menderita dan sengsara karena permainan hukum manusia. Bukan karena kuasa hukum Allah! Sebentuk empati naif paling kuno dan primitif yang —puji Tuhan—masih saya miliki. Requiem aetenam dona eis, Domine. Berkatilah mereka ya Tuhan, dalam keheningan abadimu!

Selasa, 26 September 2006 - 18:10 wib
Tibo dkk Ditembak Dengan 15 Peluru
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N

PALU, KOMPAS - Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia menyatakan bahwa teknis eksekusi Fanianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu telah melanggar tata cara pelaksanaan pidana mati. “Tibo, Dominggus, dan Marinus, masing-masing ditembak lima kali. Padahal, menurut tata cara pelaksanaan pidana mati, seharusnya hanya satu kali,” kata Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo dkk dari Padma Indonesia, Selasa (26/9).
Bila terpidana menunjukkan tanda-tanda belum mati, kata Roy, salah seorang dari regu tembak melepaskan tembakan terakhir dengan menekankan ujung laras senjata pada bagian kepala terpidana. “Tapi, yang terjadi pada Tibo dkk, mereka ditembak sampai lima kali,” katanya.
Sebelum dikebumikan, jenazah Tibo dan Marinus divisum atas permintaan keluarga. Hasil visum menunjukkan, pada bagian dada masing-masing jenazah ditemukan lima luka bekas tembakan. Dua tulang rusuk belakang sebelah kiri Tibo juga patah dan pada wajahnya terdapat tiga luka lecet. Selain itu, pada bagian jantung Marinus terlihat luka irisan sepanjang 3-4 centimeter. Luka itu tembus sampai punggung Marinus. “Luka ini jelas bukan luka tembakan,” kata Pastor Jimmy Tumbelaka, rohaniwan yang selama ini mendampingi Tibo dkk.
Sedangkan pada jenazah Dominggus, ketika dimandikan di Rumah Sakit Bala Keselamatan, Palu, tampak ada lima bekas luka tembak di bagian dada.
Berdasarkan kondisi jenazah Tibo dkk itu, Padma menyatakan tim eksekutor yang terdiri dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Kejaksaan Negeri Palu, dan Kepolisian Daerah Sulteng, telah melakukan eksekusi dengan sadis dan melanggar tata cara pelaksanaan pidana mati yang diatur dalam Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964. Padma akan melaporkan pelanggaran itu ke sejumlah lembaga internasional yang bergerak dalam bidang hukum dan HAM, seperti Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mahkamah Internasional, dan Uni Eropa.
Selain soal pelanggaran teknis eksekusi, Padma juga akan melaporkan bahwa eksekusi terhadap Tibo dkk adalah ilegal karena merupakan keputusan dari peradilan sesat. “Semua orang tahu bahwa peradilan Tibo dkk adalah peradilan sesat yang putusannya tidak independen, dibawah tekanan massa, dan tanpa bukti-bukti yang kuat,” kata Roy. Pengajuan perkara Tibo dkk ini ke lembaga-lembaga internasional juga dilakukan oleh Solidaritas Masyarakat Anti Hukuman Mati (SMAHT)—sebuah Organisasi Non Pemerintahan yang menentang hukuman mati.

Tuesday, September 26, 2006

KOMENTAR, 26 September 2006
Deklarasikan ‘Minahasa Merdeka’, Maringka Diinterogasi BIN-Korem

Usai mendeklarasi ‘Gerakan Kemerdekaan Minahasa’ di Minahasa Law Center, Jalan Sam Ratulangi kemarin (25/09), Dolfie Maringka diinterogasi pihak Korem dan BIN (Badan Intelijen Negara) Sulut, termasuk di dalamnya unsur dari Polda. Maringka dipanggil terkait deklarasi yang baru saja dilakukannya itu. Hal ini diakui Maringka ketika diwawancarai koran ini, tadi malam.

‘’Saya dipanggil untuk dimintai penjelasan terkait Gerakan Kemerdekaan Minahasa (GKM) yang baru saja saya deklarasikan,’’ akunya. Pihak BIN dan Korem sendiri, menurut Maringka, menanyainya apakah GKM bermaksud mendirikan sebuah negara. ‘’Saya katakan belum, nanti lihat saja bagaimana,’’ tandasnya.

Maringka menjelaskan, tujuan dari deklarasi GKM ini terkait tiga poin penting. Pertama merdeka dari diskriminasi politik, ketidakadilan ekonomi dan merdeka dari ketidakbebasan menjalankan ibadah. ‘’Jadi GKM ini dideklarasi dengan tujuan tersebut, dan ini untuk rakyat Indonesia yang merasa terdiskriminasi,’’ kata pria ini berapi-api.

Dari tujuan deklarasi ini, salah seorang direktur Kapet dan fungsionaris sebuah parpol ini meyakini, bahwa warga Sulut pasti sependapat. ‘’Saya yakin jika dilakukan referendum sesuai hati nurani, pasti masyarakat akan setuju. Kalau saya kalah, saya akan mundur dan insaf,’’ kata Maringka seraya meminta agar tidak langsung alergi dengan kata merdeka.

Pasalnya, GKM yang diusungnya tetap berdasarkan Pancasila. ‘’Tidak ada satu pun kata mendirikan negara yang saya sebutkan dalam deklarasi GKM ini. GKM juga memahami sedalam-dalamnya bahkan meyakini seyakin-yakinnya, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang telah tercitrakan di dalam pandangan hidup maupun ideologi negara Pancasila, merupakan roh kebangsaan Indonesia, yang kesemuanya bermuara kepada keberadaban, keutuhan serta kebesaran negara anugerah Tuhan ini demi kemanusiaan.’’

Pada bagian lain, Maringka menyayangkan adanya oknum yang mencoba ‘meredam’ pers untuk memberitakan kegiatan yang baru saja dilakukannya.

Pada bagian lain, menyikapi Deklarasi GKM, Ketua Barisan Indonesia (Barindo) Sulut, Teddy Kumaat SE angkat bicara. Ditegaskan mantan Wakil Walikota Manado ini, pihaknya sangat mendukung sepenuhnya Deklarasi ‘Minahasa Merdeka’ yang prakarsai Dolfie Maringka. "Kami mendukung penuh Deklarasi ‘Minahasa Merdeka’ yang diprakarsai Maringka," tegasnya via ponsel tadi malam.

Bahkan, lanjut Kumaat, seluruh masyarakat Sulut dan Umat Kristen di Indonesia harus mendukung sepenuhnya deklarasi ini. "Saya pikir ini perjuangan untuk kepentingan kita semua. Jadi seluruh masyarakat Sulut dan umat Kristen di Indonesia harus mendukung deklarasi ini," ajaknya. Hanya saja, dirinya menegaskan kata merdeka di sini bukan dimaksudkan Maringka untuk berpisah dari NKRI, melainkan lebih pada kemerdekaan dari belenggu penjajahan di negeri ini. "Upaya deklarasi ini bukan dimaksudkan Minahasa berpisah dari NKRI, tapi dimaksudkan agar kita terbebas dari belenggu yang selama ini terjadi di berbagai bidang kehidupan. Itu substansinya sehinga dideklarasikannya Minahasa Merdeka," paparnya.

Dijelaskan Kumaat, tuntutan merdeka didasari oleh kekuatiran akan diperdakannya Syariat Islam di Indonesia. Selain itu menyangkut ketidak-adilan di bidang ekonomi, politik dan sebagainya. "Di bidang ekonomi misalnya deklarasi ini dimaksudkan untuk meminta agar pemerintah dapat melakukan pemerataan dalam pembangunan. Juga di bidang politik menyangkut pemaksaan kehendak dalam kebebasan beragama yang harus segera dihentikan. Dan masih banyak ketidakadilan lainnya," jelasnya.

Mantan Walikota Manado pun ini menambahkan, jika substansi deklarasi ini adalah menyangkut persoalan-persoalan di atas maka pihaknya dengan senang hati akan mendukungnya. "Kami mendukung sepenuhnya jika substansi kemerdekaan yang digaungkan adalah menyangkut ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Dan bukan hanya Barindo Sulut, tapi semua warga Sulut dan umat Kristen di Indonesia turut mendukungnya," tandas-nya. (imo/rik)

Komentar, 26 September 2006
Kapolda Akui Tibo Cs Didor 6 Peluru Tajam

Menurut Badruddin, ekse-kusi yang dilakukan terhadap Tibo cs sudah sesuai protap. Katanya, berdasarkan UU No 2 Tahun 1964 yaitu mengenai “tata cara pelaksanaan huku-man mati’’, disebutkan ter-eksekusi dilakukan dengan cara tembak hingga mati. Tidak disebutkan berapa jumlah pelurunya. “Kita su-dah melakukan sesuai per-aturan,” kata Badruddin kepada Komentar via telepon selularnya. Kapolda mengurai, eksekusi itu dilakukan oleh satu regu tembak yang terdiri dari 12 orang, dan dari 12 orang berisi 6 peluru tajam. “Jadi seharusnya 6 peluru yang mengenai dadanya,” ungkap kapolda. Sedangkan soal tu-dingan penganiayaan, diban-tahnya. “Itu tidak betul. Itu hanya isu saja, sebab terpida-na tidak berontak, bahkan matanya ditutup pun tidak mau,” jelas kapolda. Secara terpisah pihak Mabes Polri melalui Kabid Penum, Kombes Bambang Kuncoko mengamini prosedur yang dilakukan eksekutor terhadap Tibo cs. “Eksekusi yang dila-kukan sesuai prosedur yang ada,” katanya saat ditemui koran ini di Mabes Polri. Dia juga menepis adanya penyik-saan. “Itu tidak ada.”Seperti diketahui Poso Watch Network (PWN) melalui Henoch Saerang kepada me-ngatakan, sesuai prosedur pelaksanaan hukuman mati/tembak, hanya ada satu pe-luru yang menembusi korban terpidana mati. ‘’Tetapi saat jenazah Dominggus digali kembali, ternyata ada lima lubang peluru di tubuhnya, tangannya juga patah,’’ ung-kap Saerang. Berikut, PWN juga meng-ungkapkan, di Beteleme, pada jazad Tibo terdapat 6 lubang, dan Marinus 5 lubang peluru. ‘’ Marinus, wajahnya remuk,’’ kata PWN, sehingga mereka menduga terpidana mati dite-ngara disiksa terlebih dahulu di suatu tempat. PWN juga menilai, pemaksaan eksekusi Tibo cs adalah hasil dari se-buah peradilan sesat. ‘’Kami punya bukti-bukti fisik terhadap jazad korban dan foto,’’ tukasnya. USKUP SUWATANUskup Manado Mgr Yoseph Suwatan MSC turut angkat bi-cara soal dugaan penyiksaan Tibo cs. Suwatan mengata-kan, sejauh ini dirinya tidak pernah mendapat laporan resmi bahwa Tibo cs disiksa sebelum dieksekusi.“Saya mendapat laporan dari pengacara Tibo cs, me-reka mengatakan bahwa tiga terpidana mati ini tidak di-siksa. Memang di tubuh me-reka terdapat beberapa lo-bang peluru, tapi soal disiksa itu hanya isu belaka,” tegas-nya. Menurut keyakinan Uskup Suwatan, pihak kejaksaan dan kepolisian tidak mungkin melakukan penyiksaan ter-hadap Tibo cs. Dan hal ini dibuktikan dengan penga-kuan pengacara tiga terpida-na mati yang telah dieksekusi tersebut. “Yang saya tahu dan hal ini benar bahwa pihak Kejaksaan tidak mengizinkan dilakukannya misa requiem (misa arwah) dan beberapa permintaan Tobo cs lainnya. Jadi tidak mungkin ada pe-nyiksaan sebelum eksekusi,” ujarnya.Karena itu, dirinya meminta semua pihak untuk tidak memberikan pernyataan-per-nyatan yang justru berdam-pak pada terciptanya konflik yang lebih jauh. Pasalnya, se-kalipun Tibo cs sudah diekse-kusi mati, namun perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum terha-dap kasus ini dan kasus-ka-sus lainnya akan tetap ber-lanjut.“Mari kita ciptakan kondisi yang mendukung perjuangan kita menegakkan keadilan di daerah ini. Jangan ada yang memancing di air keruh dengan mengeluarkan statemen yang bisa merunyamkan persoalan. Dan kepada masyarakat saya imbau untuk tidak terpancing dengan isu-isu seperti ini, tapi kita tetap berdoa dan berjuang demi tegaknya keadilan di negeri ini,” ajaknya.(imo/zal)


Tibo Cs Dieksekusi, Parpol Italia Bereaksi

EKSEKUSI mati atas Fa-bianus Tibo cs tak hanya me-micu aksi di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. “Kami mempertanyakan eksekusi mati itu,” ujar pemimpin par-tai sayap kanan Pier Fer-dinando Casini.Seruan aksi ini telah dibawa ke media Italia, dan mendapat dukungan dari beberapa partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan kanan tengah.Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Martinus Riwu dieksekusi pada Jumat 22 September lalu. Setelah ekse-kusi, Juru Bicara Pemerintah Italia, Federico Lombardi, mengungkapkan kesedi-hannya. Eksekusi itu me-nurutnya adalah berita yang sangat menyedihkan. Huku-man itu pun dinilai Lombardi sebagai penaklukan kemanu-siaan. Kedutaan Besar RI di Roma, Italia, dilaporkan bakal didatangi orang-orang ber-unjuk rasa dalam waktu dekat ini.(dtc/*)

Monday, September 25, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Ribuan Warga Sikka Sambut Jenazah Dominggus

[MAUMERE] Ribuan warga Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyambut kedatangan jenazah Dominggus da Silva, salah satu dari tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, yang tiba di Bandara Wai Oti - Maumere dengan pesawat Merpati Fokker 100, Minggu (24/9) siang.
Di antara para penjemput, tampak Wakil Gubernur NTT, Drs Frans Lebu Raya, Kapolda NTT, Brigjen RB Sadarum, Danrem 161/Wirasakti, Kolonel (Inf) Arif Rahman dan Bupati Sikka, Drs Alexander Longginus serta tokoh masyarakat Sikka, Drs Frans Seda dan pejabat lainnya.
Petugas kepolisian dibantu aparat keamanan melakukan penjagaan ketat di sepanjang jalan dari bandara hingga ke dalam kota Maumere. Ketika peti jenazah diturunkan dari perut pesawat, langsung diusung enam orang berpakaian adat dan disusul upacara penyambutan secara adat, hulir wair yang dipimpin Simplisius Yuvenalis, lalu dibawa dengan mobil jenazah ke rumah Anselmus da Silva, ayah angkat Dominggus.
Hanya sekitar 10 menit di rumah Anselmus, je- nazah kemudian diangkut ke Gereja Katedral-Maumere. Meski suhu udara cukup panas akibat teriknya matahari, ribuan umat sudah menunggu di dalam gereja, halaman gereja, dan lapangan di depan gereja. Selain umat, para biarawan dan biarawati juga mengikuti misa requiem (misa arwah) tersebut.
Misa requiem bagi Dominggus dimulai sekitar pukul 13.10 Wita dipimpin Vikjen Maumere, Romo Frans Fao Pr, sementara kotbah oleh Pater Dr Yoseph Suban Hayon SVD.
Sesuai permintaan terakhir Dominggus kepada keluarga khususnya kepada Ansel da Silva, jenazahnya dimakamkan di samping makam ayahnya di Waidoko, Kelurahan Wolomarang.
Bupati Sikka Alex Longginus, dalam sambutannya mengatakan, apa yang dicemaskan saat je- nazah Dominggus tiba di Maumere akan terjadi sesuatu yang mengganggu situasi, ternyata tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan itu. Meski demikian, Longginus mengaku kecolongan pasca eksekusi Tibo cs karena ada orang-orang tertentu yang ingin merusak suasana kondusif di Maumere.
Acara pemakaman jenazah Dominggus, berjalan lancar, aman dan terkendali. Situasi keamanan di Kota Maumere cukup kondusif. Meskipun demikian, ada tambahan 125 personil Brimob Polda Bali untuk pengamanan. Dengan demikian, bantuan personel keamanan dari luar NTT sebanyak 250 personel.
Kepala Polda NTT, Brigjen RB Sadarum menegaskan, sejauh ini aparat belum menemukan adanya penyusup di Maumere dalam kasus perusakan gedung DPRD Sikka, gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Maumere dan pembakaran gedung Pengadilan Negeri Maumere pada Jumat (22/9) sebagai akibat dari eksekusi mati Tibo, Cs di Palu. Meski situasi di Maumere cukup aman, tetapi statusnya masih siaga satu.
Sementara itu, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Atambua, Burhanudin mengatakan, sebanyak 122 dari 205 orang narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Atambua, Kabupaten Belu telah menyerahkan diri.
Dari 122 orang napi tersebut, 119 orang napi menyerahkan diri di Lapas Atambua dan tiga napi menyerahkan diri di Rutan Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Sedangkan 83 orang napi masih buron. [120]
Last modified: 25/9/06

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pemerintah Harus Jelaskan Secara Terbuka Soal Eksekusi Tibo Cs

[JAKARTA] Pemerintah harus memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik atas eksekusi mati terhadap tiga terpidana kasus Poso III, tahun 2000, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Hal itu harus dilakukan pemerintah mengingat, para terpidana merupakan saksi kunci kerusuhan Poso dan memiliki hak untuk mengajukan grasi untuk kedua kalinya.
Demikian seruan tertulis sejumlah aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Suara Hak Asas Manusia Indonesia (SHMI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS - Institut untuk Studi Pertahanan, Keamanan dan Perdamaian), yang diterima Pembaruan, Senin (25/9).
Para aktivis dari sejumlah LSM tersebut menyatakan prihatin dengan tetap dijatuhkannya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, Jumat (22/9) dini hari. Hukuman mati tersebut mengabaikan beberapa pertimbangan penundaan dan penghapusan hukuman mati dari berbagai kalangan dan fakta-fakta, yang menyatakan, proses hukum terhadap ketiganya juga sarat dengan kepentingan dan tekanan politik.
Hukuman mati terhadap ketiganya juga jelas bertentangan dengan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun."
Rafendi Djamin dari HRWG, mengatakan, jaminan hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun, juga dikuatkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Selain ketiga terpidana mati yang telah dieksekusi mati tersebut di atas, tercatat 31 orang terpidana mati yang proses hukumnya telah final dan tinggal menunggu eksekusi, termasuk tiga tersangka pelaku Bom Bali, 12 Oktober 2002, yakni Imam Samudra, Amrozi dan Ali Gufron. Sejak Januari-Maret 2006, tercatat 13 orang dalam proses hukum yang dituntut dengan hukuman mati.
Usman Hamid dari Kontras mengatakan, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu merupakan saksi-saksi penting dalam konflik Poso, sehingga jatuhnya hukuman mati terhadap ketiganya menyebabkan "gelap"-nya upaya memaksimalkan proses hukum, termasuk mengungkap keterlibatan negara dalam konflik Poso.
Menjelang dan pasca jatuhnya hukuman mati terhadap tiga terpidana tersebut, pemerintah juga telah mengabaikan beberapa hak-hak terpidana mati dan keluarganya yang meliputi, pertama, hak terpidana untuk mengajukan grasi untuk kedua kalinya pada 10 November 2007, terhitung dua tahun sejak ditolaknya grasi pertama pada 10 November 2005 lalu. Hak ini diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
Kedua, sejumlah permintaan terakhir para terpidana mati dan keluarganya untuk melakukan prosesi penguburan jenazah, dimana negara dapat menyerahkan prosesi tersebut kepada keluarga. Jatuhnya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu telah memicu beberapa reaksi di Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Tentena) dan Nusa Tenggara Timur (Atambua dan Kupang).
Sinyal akan terjadinya reaksi masyarakat tersebut sudah muncul sejak beberapa bulan lalu ketika pemerintah memutuskan tetap akan melakukan eksekusi terhadap ketiganya. Namun pemerintah memandang remeh aspirasi publik tersebut, sehingga meledak pasca eksekusi. [E-8]
Last modified: 25/9/06

Executions give RI law a bad name: Activists
Ary Hermawan, The Jakarta Post, Jakarta, September 25, 2006

The executions of three Catholics convicted of leading a deadly attack on Muslims during sectarian strife in 2000 has further undermined public trust in the legal system, an expert says.
Indonesian Legal Aid Institute Association coordinator Hendardi told The Jakarta Post on Sunday he believed the executions of the three were politically motivated.
"The government has used the law for its political interests and this will have a considerable impact. The law will get a bad name because of this," Hendardi said.
Fabianus Tibo, 61, Marinus Riwu, 49 and Dominggus da Silva, 41, were shot dead by firing squad early on Friday for their role in the killing of between 70 and 191 Muslims in Poso, Central Sulawesi, in 2000.
Human rights activists and Catholics had protested the executions and asked President Susilo Bambang Yudhoyono to intervene in the affair.
"This is how we serve justice. If they were already convicted and all other legal avenues had been taken; they had to be executed," Vice President Jusuf Kalla told Antara in Washington DC.
"This is totally a legal matter, not a religious or ethnic one."
Hendardi said while the government could reject accusations the executions were politically motivated many people believed the opposite.
"The government can say anything about (the executions) it likes, but the facts show that they were politicized," he said.
While both Muslims and Christians have been arrested and tried for the sectarian violence, no Muslims were given death penalty sentences, causing some observers to accuse the courts of playing favorites.
Since the executions, human rights watchdogs have renewed calls for the abolition of capital punishment in the country on the grounds that it is in violation of the Constitution and international conventions.
The Constitution guarantees the lives of Indonesian citizens and promises to protect them from forms of oppression.
The rights to live is also stated in the 1999 Human Rights Law and the 2005 Law on Civil and Political Rights.
A coalition of seven human rights NGOs urged the government to grant more clemency requests filed by death row convicts and establish a moratorium on the death penalty.
They also called for the government explain to the public the reason for the execution of Fabianus, Marinus and Dominggus.
The government should not have pressed ahead with the executions because the three had one more request for clemency, the coalition said.

RS, Sabtu, 23 September 2006
Gubernur Imbau Umat Kristiani Tak Turun ke Jalan

PALU- Beberapa jam pasca eksekusi Tibo jajaran Muspida Sulteng langsung menggelar pertemuan dengan jajaran pemuka agama di antaranya, pemuka agama Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindu dan Buddha minus Konghucu. Pertemuan yang diberi nama harmonisasi kehidupan umat beragama menuju Sulteng yang aman, damai, adil dan sejahtera dirangkai dengan menyongsong Ramadan 1427 Hijriah.
Dua anggota Muspida yang secara langsung terlibat secara teknis dalam eksekusi mati Fabianus Tibo dan kawan-kawan, yakni Kejati Sulteng dan Kapolda Sulteng Kombes Badrodin Haiti justru tak terlihat. Dalam pertemuan yang berlangsung di Wisma Haji Jalan WR Supratman, Palu Barat itu, Gubernur Paliudju mengimbau kepada umat Kristiani yang berdoa untuk Tibo serta dua rekannya cukup dengan melakukannya di rumah masing-masing atau di tempat-tempat peribadatan atau gereja.
''Saya mengharapkan saudara-saudara warga Kristen menunjukkan simpatinya kepada Tibo cs cukup berdoa di rumah atau di gereja saja. Tidak perlulah turun ke jalan,'' ajak Paliudju.
Eksekusi Tibo dan dua rekannya, menurutnya tidak perlu direspons secara berlebihan. Semua pihak harus menahan diri. Apa yang sudah terjadi pada Tibo cs yang divonis sebagai pelaku utama kerusuhan Poso Mei 2000 silam adalah sebuah ketetapan hukum yang harus tetap dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam lebih itu Gubernur Paliudju juga menyinggung kondisi keamanan di Sulawesi Tengah beberapa jam pasca eksekusi mati Tibo cs. Secara umum, kata dia, kondisi keamanan di Sulteng sangat kondusif. Demikian pula Kota Poso, Tentena maupun Morowali tempat tiga terpidana mati itu berasal, kondisi keamanan sangat kondusif.
Ketua DPRD Sulteng Drs H Murad U Nasir dan Danrem 132/Tadulako Kolonel Inf Husen Malik dalam sambutan singkatnya mengimbau kepada masyarakat Sulteng untuk tetap menjaga keamanan di wilayahnya masing-masing. Kakanwil Depag Drs H Aziz M Godal yang bertindak selaku moderator dalam pertemuan yang diikuti seratusan tokoh agama dan tokoh masyarakat itu, mengemukakan pertemuan dengan pemuka agama bukan untuk merespons tertembaknya tiga terpidana mati dalam kerusuhan Poso.
Melainkan pertemuan biasa dalam rangka menyongsong datangnya bulan suci ramadan. Bantahan yang sama juga dikemukakan Humas Kanwi Departemen Agama Muhammad Ramli. ''Ini hanya pertemuan biasa tidak ada kaitannya dengan eksekusi,'' bantahnya. (yar)

RS, Sabtu, 23 September 2006
Peti Mati dan Jas Diganti
Tibo-Marinus Akan Dikubur Berdampingan

MOROWALI- Jenazah almarhum Fabianus Tibo (60) dan Marinus Riwu (48) tiba di Soroako, Sultra, sekitar pukul 10.00 wita setelah dibawa dengan dua pesawat khusus Polri dari Bandara Mutiara Palu pukul 06.30 wita, kemarin (22/9). Dari Soroako, kedua jenazah kemudian dibawa ke Beteleme, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali melalui perjalanan darat.
Jenazah baru tiba di Beteleme sekitar pukul 12.30 wita dan dibawa ke Gereja Santa Maria Beteleme Tua, untuk disemayamkan. Beteleme Tua berjarak sekitar 35 km dari kota Kolonodale.
Sempat terjadi keributan saat iringan mobil jenazah melintas di depan Puskesmas Beteleme. Keluarga Tibo dan Marinus serta massa tampak kesal kaena iringan kendaraan yang mengantar mobil jenazah tidak melintas di depan rumah duka Tibo di Beteleme Tua.
Jalan utama ini memang sedianya akan melewati rumah duka keluarga Fabianus Tibo. Karena tidak lewat di situ, massa yang sudah berkumpul di jalan berusaha menahan mobil jenazah. Namun kendaraan itu tetap mengarah ke Gereja Santa Maria, tepatnya di belakang Mapolsek Lembo.
Setibanya di Gereja Santa Maria, keluarga almarhum Tibo dan Marinus serta warga lainnya yang datang dari berbagai penjuru itu, tampak menangis mengelilingi Gereja Santa Maria yang sudah dijaga ketat puluhan aparat.
Sampai tadi malam, belum ada kepastian kapan Tibo dan Marinus dimakamkan. Menurut Yan Kasiala, keluarga Fabianus Tibo, yang ditemui Radar Sulteng di rumah duka menyebutkan, pihaknya masih menunggu kedatangan istri Tibo, Nurlin Kasiala dan dua anaknya Robertus dan Boby.
Yan juga mengatakan, pemakaman belum dilakukan karena kuburan untuk kedua jenazah belum digali. Ini karena belum adanya kepastian apakah kuburan akan digali di tanah keluarga Tibo atau di pekuburan umum. ''Kami belum tahu, menunggu Nurlin, istri Tibo yang diperkirakan malam ini (kemarin malam) tiba dari Palu,'' kata Yan Kasiala.
Sementara itu, keluarga Marinus Riwu yang selama ini tinggal di wilayah transmigrasi Desa Malores, Kecamatan Petasia, baru tiba di Beteleme Tua sekitar pukul 17.00 wita. Sekitar pukul 18.00 wita keluarga Tibo dan Marinus meminta untuk mengganti peti mati serta jas yang dipakaikan kepada Tibo dan Marinus. Petugas medis dari Puskesmas Beteleme kemudian mengganti jas Tibo dan Marinus. Sementara di luar gereja pelayat melakukan ibadah puji-pujian.
Keterangan yang diperoleh menyebutkan, jenazah Marinus tidak akan dimakamkan di Malores tetapi dimakamkan bersama-sama dengan Fabianus Tibo. ''Istri dari Pak Marinus sudah setuju kalau suaminya dikuburkan berdekatan dengan Pak Tibo,'' kata Anton yang ditunjuk keluarga Marinus sebagai juru bicara.
Diperloleh keterangan bahwa misa dalam rangka pemakaman Tibo dan Marinus akan dipimpin pastur dari Palu. Menurut rencana Pendeta Renaldy Damanik dari GKST akan hadir pada misa itu sekaligus memberikan sambutan.
Sekadar diketahui, Fabianus Tibo masuk ke Beteleme pada tahun 1993. Sebelumnya Tibo yang menjadi warga trans asal NTT bermukim di Luwuk, Kabupaten Banggai. Selama di Beteleme, Tibo bekerja di Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sampai tahun 1999.
Tibo memiliki tiga anak hasil pernikahannya dengan Nurlin Kasiala. Ketiga anaknya masing-masing Robert, Boby dan Hengky. Rumah Fabianus Tibo di Beteleme Tia dibakar massa pada kerusuhan pada 10 Oktober 2003 lalu. Sementara Marinus Riwu yang juga bekerja di perkebunan sawit di Malores mempunyai dua putra dan satu putri.
Sementara itu, kemarin umat Katolik melakukan misa Misa Requim (misa arwah) di Gereja Santa Maria, Jalan Tangkasi, Palu Selatan. Misa yang dimulakan pukul 09.00 wita Jumat (22/9) dipimpin langsung Uskup dari Manado Mgr Yosef Suwatan MSc.
Prosesi misa berjalan khidmad yang ditandai dengan penyampaian doa bagi Tibo cs dan khsususnya bagi keluarga yang telah ditinggalkan agar tetap diberi ketabahan dan kekuatan iman. Selanjutnya pada misa puncak dilaksanakan pembagian hosti kepada anak dan keluarga Tibo Cs oleh Mgr Yosef Suwatan.
Turut pula mendampingi uskup dalam misa requim tersebut adalah pastur Melky Toreh, pastur Benny, pastur Alex Palino, pastur Nober dan pastur Jemmy Tumbelaka. Melky Toreh menyampaikan pesan-pesan terkait dengan eksekusi mati Tibo Cs. Dia mengatakan, dengan kejadian tersebut jangan sampai ada yang terpancing sehingga memperkeruh suasana.
Dia mengajak jemaatnya untuk menciptakan damai di daerah dengan tetap saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. "Kita sebagai warga jemaat, janganlah permasalahan ini semakin diperkeruh oleh ulah yang tidak bertanggung jawab, akan tetapi marilah kita saling mengampuni dan jangan sampai terpancing. Mari kita buktikan dalam kehidupan kita sehari-hari mulai saat ini," katanya.
Di antara jemaat yang hadir terdapat siswa dari sekolah yang dinaungi Yayasan Pendidikan Katolik. Mereka memang diliburkan sehari untuk mengikuti misa reqium untuk Tibo cs.(ttn/suf)

RS, Sabtu, 23 September 2006
Makam Dominggus Dibongkar
Disemayamkan di Gereja Santa Maria

PALU- Makam Dominggus da Silva yang terletak di pekuburan umum Poboya, tadi malam sekitar pukul 20.30 wita dibongkar kembali. Pembongkaran makam terpidana mati kasus kerusuhan Poso disaksikan penasehat hukum S Roy Rening dan pastur Jemmy Tumbelaka.
Usai dibongkar, jenazah Dominggus da Silva langsung dibawa ke RS Bala Keselamatan untuk dibersihkan dan diberi formalin. ''Usai dibersihkan janazahnya disemayamkan di Gereja Santa Maria, Palu,'' jelas Penasehat Hukum Tibo Cs, S Roy Rening ditemui di sela-sela pembongkaran makam Dominggus di TPU Poboya, Palu Timur.
Diperoleh keterangan, pembongkaran makam Dominggus dilakukan karena permintaan keluarga untuk keperluan adat dan ritual. Iringan mobil dari aparat kepolisian dan PADMA menyertai mobil jenazah yang membawa dari pekuburan umum Poboya menuju RS Bala Keselamatan, Palu. Usai dibersihkan dan diberi pengawet di rumah sakit, jenazah Dominggus dibawa ke jalan Tangkasi, Palu Selatan untuk disemayamkan di Gereja Santa Maria.
Dijadwalkan hari ini (Sabtu, 23/9)) keluarga Dominggus dari Sikka, Kabupaten Flores tiba di Palu. Apakah jenazah akan dibawa ke Flores atau tempat lain masih menunggu keputusan pertemuan pihak keluarga setibanya di Palu.
Keterangan yang diperoleh dari penasehat hukum Tibo cs, Roy Rening SH MH menyebutkan, ada tiga alternatif pemakaman Dominggus. Yakni dimakamkan kembali di Palu, dibawa ke Beteleme dan alternatif terakhir dimakamkan di kampung halamannya di Kabupaten Sikka Flores. Namun alternatif mana yang diambil, masih menunggu hasil rapat.
Diperoleh informasi, Bupati Sikka Alex Longrina akan berangkat ke Palu bersama dengan rombongan guna menggelar pembicaraan terkait dengan tempat pemakaman Dominggus da Silva. "Kami belum bisa putuskan dimana Dominggus akan dimakamkan. Nantilah setelah hasil rapat yang akan menentukan. Andaikan nantinya jadi diberangkatkan ke Sikka, maka diharapkan bisa meredakan ketegangan yang terjadi di sana," kata Roy. Dia berharap pemakaman Dominggus nanti bisa dilakukan menurut tata cara gereja dan adat.
Pengamanan terhadap jenazah Dominggus sangat ketat dipimpin langsung Kapolresta Palu AKBP Drs Atrial. Sejak dari pembongkaran hingga dibawa ke Jalan Tangkasi, Palu Selatan aparat terus melakukan pengamanan melekat. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan aparat memeriksa semua pengunjung termasuk para wartawan yang meliput proses misa di Gereja Santa Maria, Palu.(hnf/suf/cr1/cr6)

Radar Sulteng, Sabtu, 23 September 2006
Massa Mengamuk, Kapolsek Lage Luka
Pasca Eksekusi Tibo Cs

POSO- Pasca eksekusi mati terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Dominggus Dasilva berdampak pada munculnya sejumlah aksi massa. Aksi massa tersebut dilakukan oleh orang-orang yang menolak dilaksanakannya eksekusi.
Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi dalam keterangan persnya kepada sejumlah wartawan, tadi malam (22/9) menceritakan kronologis sejumlah peristiwa menyambut detik-detik eksekusi termasuk pasca eksekusi. Dia mengatakan, sebelum dilaksanakan eksekusi ada empat titik konsentrasi massa yang menolak eksekusi.
Yakni, di kota Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Desa Watuawu dan Desa Silanca, Kecamatan Lage, serta di Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota Selatan. Di setiap titik kosentrasi tersebut jumlah massanya bervariasi, antara 100 sampai 200-an orang. Hanya di Desa Watuawu yang terlihat jumlah massanya lebih banyak, yakni mencapai 300 orang lebih.
Massa yang kecewa semakin beringas setelah eksekusi jadi dilakukan. Di Desa Watuawu, aksi 300-an massa ini menyebabkan jatuhnya korban luka-luka. Bahkan yang menjadi korban serius aksi massa yang terjadi pada hari Jumat pukul 02.00 Wita dinihari di Watuawu ini adalah Kapolsek Lage Iptu F Tarigan.
Menurut Kapolres Poso Rudi Sufahriadi, Kapolsek Tarigan mengalami luka parah akibat lemparan batu oleh massa. "Pelipis kapolsek robek 13 jahitan,'' kata Rudi.
Aksi massa di Desa Watuawu tidak hanya sampai di situ saja. Mereka juga merusak Pos Polmas yang ada di desa tersebut. Massa juga meminta Kapolres untuk menarik pasukan Brimob BKO yang bertugas di desanya.
Aksi massa di Desa Silanca sekitar pukul 03.00 Jumat dinihari, dengan melakukan pengusiran terhadap pasukan Brimob BKO yang berjumlah satu regu. Mereka meminta Kapolres menarik pasukan BKO yang ada di desanya dan hanya mau dijaga dengan anggota Polmas yang ada.
Hal yang sama juga terjadi di Kelurahan Kawua. Massa juga menolak masuknya aparat keamanan BKO di wilayahnya.
Masih menurut Rudi, khusus di Kota Tentena, aksi massa jauh lebih lama. Massa yang mulai turun kejalan di sepanjang jalan Kota Tentena (termasuk jalur trans Sulawesi) pada pukul 09.00 wita. Mereka memulai aksinya dengan membakar ban-ban bekas. Di wilayah Tentena, puncak aksi massa ini terjadi pada pukul 10.00 Wita.
Menurut Rudi, massa dalam jumlah besar ini mulai bergerak berjalan menuju ke Mapolsek Tentena. Di depan Kantor Polsek, massa kemudian melakukan orasinya. Di samping menyuarakan penolakan terhadap pelaksanaan eksekusi, massa juga mendesak Kapolres untuk menarik semua pasukan BKO yang ada di wilayah Tentena.
"Mereka meminta saya menarik BKO. Dan mereka hanya mau dijaga dengan pasukan yang ada di Polsek,'' sebut Rudi. Di Kantor Polsek ini, massa sempat tak terkendali hingga merusak kantor Polsek dan melempari semua kaca jendela kantor tersebut.
Menaggapi permintaan masyarakat yang menginginkan penarikan pasukan BKO, Rudi Sufahriadi akhirnya mengiyakannya. "Saat ini tidak ada lagi pasukan BKO di empat wilayah yakni Tentena, Watuawu, Silanca, dan di Kawua,'' terangnya.
Kapolres Poso mengatakan, hingga tadi malam atau sehari pasca eksekusi kondisi keamanan di Kabupaten Poso tetap aman dan terkendali. Dia mengimbau masyarakat Poso agar tetap menjaga kondisi keamanan di Poso. "Jangan kotori keamanan yang sudah tercipta ini dengan perbuatan-perbuatan yang justru merugikan masyarakat banyak,''ajak Rudi. "jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu yang dihembuskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab,'' imbuhnya.
Walaupun secara umum kondisi Poso aman dan terkendali, namun sejumlah warga yang masih enggan melaksanakan aktivitasnya. Tampak di sejumlah instansi dan dinas, para pegawainya enggan masuk kerja.(cr5)

Radar Sulteng, Sabtu, 23 September 2006
Tegar, Tak Sedikit Pun Terdengar Tangis
Keluarga Tibo Cs Menjelang Detik-Detik Eksekusi Mati

Setelah berbagai upaya dilakukan pihak keluarga mengalami kegagalan, eksekusi terpidana mati kasus Poso Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva akhirnya dilaksanakan Jumat dinihari (22/9). Keluarga Tibo Cs hanya bisa menghadapinya dengan tegar dan tabah.
Laporan: Nur Soima Ulfa
SUASANA di kawasan Gereja Katolik Santa Maria tidak seperti biasanya. Di situ puluhan aparat berpakaian brimob dan bersenjata lengkap melakukan penjagaan. Maklum, gereja itu tidak luput dari perhatian aparat keamanan menjelang pelaksanaan eksekusi mati Tibo Cs. Di kawasan itu pula tempat tinggal keluarga Tibo yang datang dari Beteleme, Kabupaten Morowali.
Setiap orang yang hanya sekadar lewat ataupun akan masuk ke kawasan gereja yang terletak di Jalan Tangkasi, Palu Selatan tersebut, tak luput dari perhatian puluhan aparat keamanan. Mulai dari hanya sekadar ditanyai, sampai pada diharuskannya menanggalkan kartu identitas diri di pos penjagaan.
Pos penjagaan ada sekitar empat buah termasuk di lokasi gereja. Untuk masuk pun harus melalui proses pemeriksaan. Setelah dinyatakan steril, baru diperbolehkan masuk.
Ketika meninggalkan gerbang utama dan memasuki halaman gedung Pastoran, aktivitas aparat keamanan tidak begitu mencolok. Hanya tampak ratusan jemaat yang memenuhi halaman gedung yang terletak persis di sisi kiri gereja tersebut. Sebagian besar dari mereka hanya berdiam diri. Kesan hening dan senyap amat terasa. Semuanya larut dalam kebisuan.
Begitu juga dengan kehadiran puluhan anak muda perantauan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terlihat cukup menarik perhatian. Dengan membentuk kelompok kecil, mereka terus berbincang dengan menggunakan bahasa daerah. Tidak ada yang tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Namun dari gerak-gerik dan nada bicara, dengan mudah dipastikan topik pembicaran tak jauh dari kepastian akan eksekusi Tibo Cs.
Saat itu, Kamis malam (21/9), waktu telah menunjukkan pukul 23.30 Wita. Setengah jam lagi, hari akan berganti Jumat (22/9) dan berarti pelaksanaan eksekusi hanya tinggal hitungan jam bahkan menit. Kenyataan ini hanya menambah kegusaran jemaat yang hadir. Atmosfir ketegangan makin terasa. Apalagi ditambah temperatur Kota Palu yang terus anjlok. Akibat hujan deras yang mengguyur kota sejak sore hari.
Dinginnya cuaca tersebut, tampaknya berhasil memaksa beberapa orang untuk masuk ke dalam gedung Pastoran. Sekadar hanya untuk menghangatkan diri, atau ingin melihat secara langsung kondisi keluarga Tibo Cs menjelang detik-detik pelaksanaan eksekusi.
Masuk ke dalam ruangan yang berukuran 8x5 meter tersebut, tidaklah sulit. Hanya diperlukan kesabaran ketika menerobos kerumunan orang, yang bergerombol di pintu masuk. Pusat perhatian saat itu adalah keenam orang yang tengah duduk di sofa merah. Dapat dipastikan mereka adalah keluarga dari ketiga terpidana mati. Mereka antara lain Robertus Tibo dan istrinya, Bernadus Bifo (anak kedua Fabianus Tibo), dan Yasinta Bo’o (istri Marinus Riwu).
Istri Fabianus Tibo, Nurlin Kasia tidak berada di ruang tersebut. Menurut informasi, Nurlin berada di ruang khusus gedung Pastoran.
Sebab selama di ruangan tersebut, mereka terus didampingi oleh pengacara Roy Rening SH MH dari Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Kemanusiaan (Padma). Selain itu juga hadir Uskup dari Manado Mgr Yosef Suwatan Msc. Semula, dia direncanakan akan memimpin misa requim (misa arwah, red) malam itu, jika eksekusi telah dilakukan. Namun hal ini tidak dikabulkan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Sulteng.
Akibatnya para pendamping spritual tersebut, menolak mendampingi secara langsung proses eksekusi. Sebagai gantinya, Yosef bersama Pastur Jemmy Tumbelaka dan Pastur Melky Toreh, serta pengacara Roy Rening SH MH mendampingi keluarga di saat-saat menjelang eksekusi.
Roy sendiri saat itu terlihat sibuk menerima telepon dari hand phone-nya. Ia menjelaskan bahwa pihaknya tidak tahu-menahu sudah sejauh mana pelaksanaan eksekusi telah berjalan. Kesibukannya ini sangat kontras dengan kondisi keluarga, yang terlihat terus berdiam diri.
Robertus Tibo, yang saat itu mengenakan kaos berwarna biru muda, tampak tegar. Tak sedikitpun terdengar isakan tangis. Namun dari perangainya, sangat jelas tergambar kegundahan hatinya. Sebab sesekali dirinya terlihat memandang sejenak hamparan plafon putih. Sering kali ia menyilangkan kedua tangan di dada dan melihat kosong lurus ke depan. Dirinya terus membisu.
Berbeda dengan kakaknya, Bernadus Bifo (anak kedua Fabianus Tibo, red) sejak awal terlihat menundukkan kepala. Ia tidak kuasa untuk menggangkat kepalanya. Kesedihannya teramat dalam ketika harus dihadapkan pada kenyataan bahwa beberapa jam lagi, ia akan kehilangan sosok ayah yang dikaguminya.
Selain dari pihak Tibo, Yasinta Bo'o istri Marinus Riwu juga tampak hadir. Wanita separuh baya tersebut terlihat begitu bersahaja. Yasinta hanya menggunakan sendal jepit dan berkain sarung khas NTT yang dipadukan dengan blus unggu sederhana. Sering kali Yasinta terlihat menghela nafas, sembari mengeratkan genggaman tangannya. Tak jarang ia menyeka air mata dengan ujung sarungnya.
Walaupun demikian tak terdengar sedikit pun isakkan tangis dan raung kesedihan dari keluarga ketiga terpidana. Mereka hanya membisu sampai akhirnya pukul 01.43 WITA, Roy Rening mengumpulkan semua keluarga, kerabat, dan para jemaat untuk mendengar penyampaian resmi dari dirinya. Pemberitahuan ini berselang sedikitnya satu jam dari pelaksanaan eksekusi. Dimana menurut informasi eksekusi dilakukan pukul 00.30.
Kontan suasana menjadi hening. Para jemaat yang sembari tadi terus berbicara mengenai spekulasi ada tidaknya eksekusi, lantas terdiam. Dan fokus pada setiap patah kata yang diucapkan oleh Roy. "Sekitar setengah jam yang lalu pelaksanaan eksekusi telah dilakukan. Dan ini adalah informasi resmi. Saya berharap kepada kalian untuk tegarkan hati. Karena saya bersama Padma akan terus memperjuangkan hal ini (eksekusi, red) sampai ke Jakarta. Kami akan diskusikan dan menempuh jalur hukum. Kami tidak akan berhenti hingga kebenaran dan keadilan ditegakkan," tegas Roy.
Dirinya juga tetap mengingatkan permintaan terakhir ketiga terpidana, khususnya kepada anak dan menantu Fabianus Tibo. Dimana menurut surat pernyataan permintaan terakhir Tibo, ia meminta agar tidak menggunakan fasilitas negara dalam pengurusan jenazahnya nanti. "Ingat yang dikatakan bapak (Tibo, red). Untuk jas, peti jenazah, dan fasilitas pemakaman lainnya, bapak tidak ingin pakai uang rakyat. Lebih baik dikasih sama rakyat kecil. Bapak lebih senang jika semuanya pakai uang hasil kamu, anak-anaknya," ujarnya.
Mendengar hal ini, Robertus terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Bernadus Bifo, terus menundukkan kepala. Dirinya sangat terlihat begitu shock. Sama halnya dengan Yasinta, yang langsung menutup wajahnya dengan sarung setelah mendengar pemberitahuan Roy.
Setelah mendengar pengakuan resmi atas eksekusi, Pastur Melky Toreh bersama Uskup Mgr Yosef Suwatan Msc memimpin doa bersama bagi keselamatan perjalanan almarhum. Setelah prosesi ibadah yang memakan waktu sekitar 15 menit tersebut, puluhan jemaat langsung menghampiri keluarga Tibo Cs. Mereka menyampaikan rasa duka yang mendalam. Sampai doa bersama selesai, Nurlin Kasia tidak tampak.
Yasinta yang sedari tadi terlihat tegar, tidak dapat menahan kesedihannya. Tangisnya mendadak pecah. Dan membuat keluarga yang lain terbawa emosi. Suasana duka bertambah mengharukan. Hingga para keluarga tidak kuasa lagi untuk berbicara.
Sekitar pukul 02.20, Jumat (22/9) dini hari, para jemaat berangsung-angsur pulang ke kediaman masing-masing. Pihak keluarga sendiri bersama pihak gereja tengah bersiap-siap untuk melakukan misa requim (misa arwah, red), pada pagi harinya. Walaupun tidak dapat menghadirkan ketiga jenazah, keluarga tetap menginginkan diadakannya misa requim. Begitu juga dengan pelaksanaan upacara adat bagi mereka.(**)