Thursday, November 30, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Dua Pelaku Kekerasan di Poso Dijerat dengan UU Terorisme

[JAKARTA] Dua buronan kasus kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, yang menyerahkan diri ke polisi, beberapa hari lalu, yakni Nasir dan Ateng, diperiksa Polri dengan memakai UU No 12/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal itu dilakukan, sebab sejak awal, 29 buronan kekerasan di Poso termasuk dua tersangka tersebut menjadi buronan kasus terorisme.
Demikian dikatakan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Sisno Adi Winoto kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/11).
Nasir dan Ateng merupakan dua dari 29 buronan Polda Sulawesi Tengah atas berbagai tindak kekerasan tahun 2000 hingga 2006. Satu buron lain yakni Andi Bocor yang menyerahkan diri dua pekan lalu dibebaskan polisi setelah mendapatkan jaminan tidak akan mempersulit pemeriksaan.
Nasir dan Ateng menyerahkan diri, Selasa (28/11) dengan diantar sejumlah keluarga dan tim penasehat hukumnya. "Kendati kedua buron yang menyerahkan diri ini terlibat perampokan namun perampokan ini bukan kejahatan biasa tapi perampokan untuk kegiatan terorisme," katanya.
Walaupun Polri memiliki wewenang tujuh hari untuk memeriksa keduanya namun hal itu bukan patokan sebab bisa jadi hanya tiga atau dua hari saja. "Dua orang ini kan lain. Mereka kan menyerahkan diri. Ini yang harus jadi pertimbangan polisi," katanya.
Ketika ditanya mengenai keberadaan ke 26 buronan lainnya, Sisno mengatakan, polisi akan tetap mencari mereka, namun Polri tetap memberikan kesempatan buronan itu untuk menyerahkan diri. [E-8]
Last modified: 30/11/06

DPO Poso Diperiksa Pakai UU Terorisme
Komentar, 30 November 2006

DPO Poso yang baru saja menyerahkan diri, yakni Nasir dan Ateng, kini diperiksa. Kedua tersangka perusuh Poso ini langsung diperiksa dengan memakai UU No 12 Tahun 2002 tentang Pembe-rantasan Tindak Pidana Te-rorisme. “UU yang dipakai ya terorisme sebab sejak awal, 29 buronan kekerasan di Poso ini menjadi buronan kasus tero-risme,” kata Kepala Divisi Hu-mas Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto, di Jakarta, Rabu (29/11).Seperti diketahui, Nasir dan Ateng menyerahkan diri Se-lasa (28/11) lalu dengan di-antar sejumlah keluarga dan tim penasehat hukumnya. “Kendati kedua buron yang menyerahkan diri ini terlibat perampokan namun peram-pokan ini bukan kejahatan biasa tapi perampokan untuk kegiatan terorisme,” kata Sisno.Ia mengatakan, kendati po-lisi memiliki wewenang tujuh hari untuk memeriksa kedua-nya namun hal itu bukan patokan sebab bisa jadi hanya tiga atau dua hari saja.“Dua orang ini kan lain. Me-reka kan menyerahkan diri. Ini yang harus jadi pertim-bangan polisi. Bisa jadi polisi hanya butuh waktu dua hari karena ia bercerita panjang le-bar soal tuduhan yang ditim-pakan kepadanya,” katanya.Ia mengatakan, kendati di-jerat dengan UU terorisme na-mun bisa jadi ia terlibat keja-hatan biasa atau malah tidak terlibat pidana sama sekali. “Kan waktu pemeriksaan ma-sih beberapa hari. Kita tunggu aja nanti,” katanya. Ditanya soal ke 26 buronan lain, Sisno mengatakan, polisi akan tetap mencarinya namun tetap memberikan kesempatan untuk menyerahkan diri. “Nanti akan ada yang me-nyerahkan diri lagi,” kata-nya.(ihc)

Wednesday, November 29, 2006

Two more suspects in Poso attacks surrender
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, Central Sulawesi
29 Nov 2006

Two men suspected of being involved in a series of attacks on Christians in the Central Sulawesi cities of Poso and Palu have surrendered to local police.
The men identified as Ateng and Nasir were flown to Palu from Poso for further questioning. Police would not say when the men gave themselves up.
Another suspected militant, Andi Bocor, surrendered to the police two weeks ago but was later released after being interrogated for three days.
Central Sulawesi Police spokesman Adj. Sr. Comr. Muhammad Kilat would not comment about the men's surrender.
"In line with the requests by the interrogators, I cannot give any official statement yet," he said.
Kilat said a full statement would be made after the two men were questioned.
National Police deputy chief Insp. Gen. Anton Bahrul Alam said police had approached the families of the six men to find information about their whereabouts.
The families promised to give police the information on three conditions, he said.
These were that the police were not allowed to beat the suspects, the suspects had to be accompanied by lawyers, and their families were to be allowed to visit the detained suspects at any time, Anton said.
"We agreed with the requirement ... that's why we asked the families to help us find the wanted suspects," he said.
In a related development, six men found guilty of involvement in an Oct. 7, 2003, attack on Christians at Beteleme village in Morowali regency were freed from a Palu penitentiary Thursday after serving four-year prison terms.
Aco Gajahmada, Hendra, Suhardi, Hamdan, Andang and Abdul Khair were found guilty of involvement in attacks on the village where a Christian was killed and three others were seriously wounded.
A church, 35 houses, 30 motorcycles, a van and a truck were also destroyed in the violence.
Muhammadong alias Madong, who was believed to be the leader of the gang, was shot dead by Police Mobile Brigade officers. The six others were arrested on Nov. 28 of that year.
Anton greeted the six former convicts at the jail and gave them agricultural equipment.
He urged the men to live peacefully in their villages.
"I ask you to implement the lessons you have learned during correctional activities at the penitentiary," Anton said.
Aco said he would return to his village to manage his shrimp ponds, while Abdul promised to work on his neglected farm.
Meanwhile, the head of the Central Sulawesi branch of the Prosperous Peace Party, Sawerigading Pelima, said the police had to do more to capture militants suspected of violence in Sulawesi.
Failing to do so would only erode public trust in the force, he said.

Dua DPO Poso Menyerahkan Diri
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N
Selasa, 28 November 2006 - 20:16 wib

PALU, KOMPAS - Iskandar alias Ateng dan Nasir, dua warga Poso yang masuk dalam 29 daftar pencarian orang (DPO) Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Selasa (28/11), menyerahkan diri ke Kepolisan Resor Poso. Ateng dan Nasir diduga terlibat perampokan dan peledakan bom di Poso.
Dari Poso, Ateng dan Nasir yang didampingi keluarga langsung dibawa ke Palu menggunakan pesawat terbang milik Polri dan dalam penjagaan ketat. Sebelum tiba di Bandara Mutiara Palu, puluhan polisi berjaga-jaga di depan pintu gerbang ruang VIP Bandara Mutiara. Wartawan dilarang masuk ke halaman ruang VIP Bandara Mutiara.
Setibanya di Bandara Mutiara Palu, Ateng dan Nasir langsung dibawa ke Markas Polda Sulteng dan masuk ke ruangan Direktur Reserse Kriminal Polda Sulteng Komisaris Besar I Nyoman Suryasta. Disana, wartawan juga tidak diperkenankan mewawancarai Ateng dan Nasir.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar M Kliat juga menolak memberikan keterangan tentang penyerahan diri dua DPO itu. “Saya belum dapat informasi lengkap,” katanya.
Radi Jeba, keluarga Ateng yang ikut ke Palu mengatakan, Ateng dan Nasir menyerahkan diri Selasa siang di Polres Poso. Menurut Radi, Ateng dan Nasir dituduh terlibat dalam kasus perampokan dan peledakan bom di Poso. “Tapi saya tidak tahu persis kasus ledakan bom yang mana,” katanya.
Dengan penyerahan diri Ateng dan Nasir, DPO Poso yang telah menyerahkan diri menjadi tiga orang. Selasa (14/11) lalu, Andi Lalu alias Andi Bocor juga telah menyerahkan diri.
Setelah menjalani pemeriksaan di Markas Polda Sulteng selama tiga hari, Andi dilepas. Padahal, polisi dapat menahan Ateng sampai tujuh hari, sesuai dengan Undang-Undang terorisme.
Saat itu, Wakil Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Brigjen (Pol) Anton Bachrul Alam menolak dugaan bahwa polisi tidak memiliki cukup bukti dalam memeriksa Andi. “Kalau polisi sudah menetapkan seseorang sebagai DPO, pasti sudah ada bukti-bukti yang kuat,” katanya.

Tuesday, November 28, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
6 Napi Terkait Konflik Poso Dibebaskan

[PALU] Enam terpidana kasus penyerangan ke Beteleme, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali pada Oktober 2003, Selasa siang ini (28/11) dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pembebasan tersebut menurut Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Moh Kilat karena masa hukuman keenam terpidana sudah selesai, dan kini mereka tinggal memasuki tahapan pembinaan.
"Ya benar, ada 6 narapidana (napi) terkait penyerangan ke Beteleme dibebaskan Selasa ini. Sebelumnya pada Agustus lalu, beberapa dari terpidana dengan kasus yang sama juga sudah dibebaskan. Pembebasan ini karena memang masa hukuman mereka sudah selesai dan kini memasuki tahapan pembinaan," ujarnya ketika dikonfirmasi Pembaruan Selasa pagi.
Keenam napi yang dibebaskan tersebut ialah Syafri Ambo Bokori alias Aco, Hendrayadi, Endang Budo, Hamdan alias Komar, Suhardi bin Tajudin dan Abdul Haer Bontua.
Sehubungan dengan pembebasan tersebut, pihak Polri melalui Wakil Kepala Divisi (Wakadiv) Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam Selasa siang ini mengundang para wartawan untuk memberikan konferensi pers secara khusus di LP Petobo Palu.
Saat berita ini diturunkan, konfrensi pers belum dimulai. Menurut Kilat, jumpa pers tersebut, bertujuan untuk pembinaan para mantan napi yang akan menghirup udara segar.
Kilat belum bersedia merinci nama-nama napi yang akan dibebaskan namun keenamnya termasuk diantara puluhan terpidana kasus penyerangan ke Beteleme yang divonis Desember 2003 dan dijebloskan ke LP Petobo Palu.
Sejumlah tersangka lainnya yang diduga terlibat dalam kasus penyerangan itu sampai sekarang masih dalam status buron dan masuk dalam 28 daftar pencarian orang (DPO) yang dicar-cari polisi.
Menurut Kilat, total seluruh tersangka dalam kasus penyerangan Beteleme sedikitnya 15 orang.
Dalam kasus penyerangan di Beteleme, para pelaku menyerang subuh hari saat warga sedang tertidur lelap. Mereka membakar kampung dan rumah-rumah warga, dan 5 warga Beteleme saat itu tewas ditembak para pelaku.
Namun berkat kesigapan aparat, dalam tempo satu minggu setelah penyerangan, berhasil ditangkap sekitar 13 tersangka, namun 6 diantaranya tewas ditembak karena mencoba melawan aparat saat dalam pengejaran aparat di kawasan Morowali.
Morowali adalah daerah pecahan Kabupaten Poso yang dimekarkan tahun 1999. Namun ketika konflik Poso memuncak antara tahun 2000-2003, Morowali terkena imbas dari konflik komunal bernuansa agama itu. Selain menjadi tempat pengungsian warga Poso, daerah tersebut juga menjadi basis-basis perlawanan dari dua kelompok yang bertikai.
Mengenai upaya penangkapan 28 DPO di Poso yang diduga sebagai dalang dibalik aksi-aksi kekerasan dan teror di daerah ini, Kilat mengatakan polisi masih terus melakukan langkah-langkah persuasif agar para DPO mau segera menyerahkan diri.
"Terakhir tim pembela muslim (TPM) Poso akan membantu untuk tindakan persuasif kepada para DPO agar mau menyerahkan diri. Sedang kita tunggu hasilnya," kata Kilat. [128]
Last modified: 28/11/06

Kapolri Bantah 4 Pati Kristen Terlibat di Poso
Komentar, 28 Nov 2006

Di tengah makin terdesak-nya para tersangka perusuh Poso, kini berhembus isu yang hendak mencemarkan nama baik institusi Polri, ter-utama kalangan empat per-wira tinggi (pati) beragama Nasrani. Beredar SMS gelap bahwa empat pati dari Mabes Polri ini ikut terlibat aksi penyerangan di Poso. Hal ini langsung dibantah Kapolri Jenderal Sutanto. “Itu tidak benar,” tandas Ka-polri. Ditengarai, upaya fitnah itu dilakukan oleh orang tidak bertanggung jawab untuk melindungi perbuatannya sendiri, dan terdesaknya para pelaku perusuh yang sebenar-nya. Di sisi lain, terkait kasus Poso, Kapolri Sutanto menga-takan, adanya rasa dendam di sekelompok kecil masyarakat Poso menyebabkan polisi ke-sulitkan untuk menyelesai-kannya. Selain itu maraknya pereda-ran senjata api ilegal juga me-macu terjadinya konflik ma-sal di Poso dan sekitarnya. “Masih beredarnya senjata api ilegal, baik standar maupun rakitan, serta kemampuan masyarakat merakit bahan peledak merupakan faktor potensial bagi timbulnya teror dalam bentuk penembakan misterius atau teror bom,” jelas Kapolri. Selain itu, Kapolri juga membeberkan peristiwa pe-nembakan Pendeta Irianto Kongkoli pada 16 Oktober 2006 dan kasus perusakan dan penyerangan Polmas Tanah Runtuh pada 22 Okto-ber 2006 oleh warga. “Dari ha-sil pengembangan yang dila-kukan Polri kepada tersang-ka, terungkap 29 tersangka yang masih DPO. Sampai saat ini, aparat terus melakukan upaya persuasif, meski ada satu tersangka yang menye-rahkan diri, yakni Andi Bo-cor,” beber Sutanto.(rmc)

Berjamaah Bersama Buron
Tempo, Edisi. 40/XXXV/27 November - 03 Desember 2006

Buron tersangka kasus Poso menolak menyerah. Ada yang lenggang-kangkung di tengah kota.
Terik benar matahari siang itu, Jumat dua pekan lalu. Umat muslim baru saja turun dari masjid raya di kota Poso setelah menunaikan salat, di antaranya ratusan polisi bergegas ke markas. Para polisi itu tak sadar seorang buron utama berada di tengah mereka. Dialah Irawanto Asapa, 24 tahun.
Irawanto adalah satu dari 28 nama yang ada di daftar pencarian orang polisi. Dia dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan Pendeta Susianti pada 2004. Dia juga disangka membunuh wartawan Poso Post I Wayan Suryasa tiga tahun sebelum itu.
Pada Jumat itu, Irawanto salat di masjid raya. Ia sempat mengobrol dengan seorang politikus daerah. Dengan sepeda motor, pemuda yang ada di peringkat 10 teratas daftar buron itu melintas di depan Markas Kepolisian Resort Poso di Jalan Pulau Sumatra.
Kepada Tempo, politikus yang sempat berbincang dengan Irawanto mengaku membujuk pemuda itu agar menyerah, tapi tegas-tegas ditolak. ”Lebih baik mati daripada menyerah. Kematian itu rezeki,” aktivis partai Islam itu menirukan ucapan sang buron.
Dua puluh delapan orang dinyatakan sebagai buron pada awal November. Mereka disangka terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan di Poso. Gambar dan nama mereka disebar kepada khalayak dengan helikopter. Mereka disebutkan berasal dari Kelompok Tanah Runtuh dan Mujahidin Kayamanya.
Tokoh utama dua kelompok ini, menurut polisi, adalah Hasanuddin. Ia ki-ni sedang diadili di Jakarta sebagai terdakwa pelaku mutilasi tiga siswi di Poso pada Oktober 2005. Dua kelompok itu juga dituduh bertanggung jawab atas penembakan Ferry Silalahi dan Pendeta Irianto Kongkoli.
Seorang tersangka, Andi Ilalu alias Andi Bocor, menyerahkan diri kepada polisi pada 14 November lalu. Dia kemudian dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Namun, empat hari kemudian ia dilepas dan diterbangkan kembali ke Poso dengan pesawat khusus milik Polri.
Beberapa kali polisi memberi tenggat kepada para buron untuk menyerah. Tenggat itu tak pernah digubris. Toh Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Badrodin Haiti masih optimistis. ”Kami masih mengedepankan sikap persuasif agar mereka mau menyerah.”
Sebagian besar buron diyakini masih ada di Poso. Sisanya lari ke Makassar atau menyeberang ke Jawa. Seorang aktivis Komite Aksi Penanggulangan Akibat Krisis, suatu kelompok yang aktif mengurusi konflik Poso, menuturkan bahwa para buron umum bersembunyi di tempat tinggal keluarga mereka.
Para buron itu juga ”diawasi” oleh anggota lain yang tidak diburu. Para ”pengawas” menjaga dengan cermat agar keluarga buron tidak melapor ke polisi. ”Begitu ada yang mencurigakan, si tersangka diminta pindah ke tempat lain,” kata aktivis yang sempat dihukum dua tahun itu.
Dua pekan lalu, Brigjen Badrodin bertemu dengan sejumlah tokoh muslim Poso. Ia meminta bantuan mereka membujuk para buron agar menyerah. Ustad Ahmad, salah seorang pemuka agama setempat, ganti meminta polisi agar mengusut kasus lain yang memakan korban muslim sebagai syarat menyerahkan buron.
Pemerintah daerah kota itu bergerak. Bupati meminta Amrullah Sia, Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Poso, untuk mendekati keluarga buron, tapi hasilnya tetap nihil. ”Mereka trauma karena ada polisi menyiksa warga yang ditangkap,” tutur Amrullah.
Salah satu cara polisi menjaring para buron adalah dengan menggelar razia di jalan-jalan. Semua akses menuju Poso dijaga ketat. Yang jadi soal, polisi tak mengenal betul 28 orang yang dicari. Maka Irawanto pun bisa salat berjamaah bersama Pak Polisi.
Budi Setyarso, Darlis (Palu)

Monday, November 27, 2006

Rights group slams Poso reconciliation
The Jakarta Post, Jakarta, 27 Nov 2006

The National Commission on Violence Against Women says it deplores the reconciliatory move between three men charged with beheading three Christian school girls Poso, Central Sulawesi and relatives of the victims.
The Commission's chairwoman, Kamala Chandrakirana, said over the weekend that the move could interfere with theongoing trial in Jakarta.
Kamala said the reconciliation, initiated by the National Police, proved perpetrators of violence against women were still able to act with impunity.
"If there was to be any reconciliation, it should have taken place after the trial was completed. We're really worried that the reconciliation will disturb the legal process to find justice for the families of the victims," she told a media conference.
Kamala said the commission would send a letter about its concerns to the head of the Central Jakarta Court and the National Police chief.
Defendants Hasanuddin, Irwanto and Haris are on trial at the Central Jakarta Court for the 2005 killings.
National Police chief Gen. Sutanto said the meeting was a good step in improving the situation in sectarian conflict-ridden Poso.
"There is a communal reconciliation, and there is a legal process to find justice. We cannot mix these two things,not fair for the families of the victims," said Kamala.

Kominda Sulut Sebar Identitas DPO Poso
Komentar, 27 Nov 2006

Untuk mengantisipasi masuknya 29 Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso, Komisi Inteligen Daerah (Kominda) Propinsi Sulut melakukan upaya pengamanan di daerah perbatasan. Salah satu upaya pengamanan yang dilakukan adalah dengan cara menyebarluaskan identitas 29 DPO Poso. Demikian dikatakan Sekre-taris Kominda Sulut Drs JJ Mongkaren kepada harian ini, Jumat (24/11) pekan lalu.Menurut Mongkaren, upaya ini dilakukan karena Sulut me-rupakan salah satu daerah yang paling berpeluang untuk dija-dikan sebagai tempat persem-bunyian DPO Poso. “Kominda akan menyebarluaskan identi-tas baik foto maupun nama ke-29 DPO Poso kepada masya-rakat di daerah perbatasan. Ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki informasi yang jelas tentang ke-29 DPO tersebut,” jelasnya seraya mengatakan, cara ini juga akan memu-dahkan Kominda dan pemerin-tah dalam melakukan penga-wasan.Mongkaren menjelaskan, upaya pengamanan diintensif-kan di Kabupaten Bolmong karena daerah tersebut paling dekat dengan Propinsi Goronta-lo. Sehubungan dengan itu, menurut-nya pihak Kominda propinsi telah me-lakukan koordina-si dengan Kominda Kabupa-ten Bol-mong dan pemerintah setem-pat.“Bisa saja DPO Poso masuk ke Sulut melalui daerah pesisir. Karena itu, saya imbau pihak TNI dan Polri serta seluruh masyarakat juga dapat mela-kukan pengawasan di daerah-daerah pesisir,” imbuh Mong-karen.(imo)

Saturday, November 25, 2006

RS, Jumat, 24 November 2006
Pembangunan RTS Baru 20 Persen

POSO - Pembangunan 1009 unit rumah tinggal sementara (RTS) yang diperuntukan bagi korban konflik Poso belum bisa berjalan mulus. Hingga saat ini, pembangunan RTS yang telah berjalan dua minggu lebih itu baru mencapai 20 %. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kab. Poso Drs. Amirullah Sia saat di temui Radar Sulteng di ruang kerjanya Kamis (23/11) kemarin. Menurut dia, dari 20% rumah yang tengah dikerjakan pihak TNI tersebut, secara fisik rata-rata baru mencapai 70 %. Padahal, sesuai target yang diberikan pemerintah, pembangunan 1009 unit itu harus selesai Desember mendatang (15/12, red).
Apa penyebab keterlambatan pebangunan tersebut..?. " Banyak kendala yang dihadapi dilapangan. Mulai dari lambatnya izin Menhut, hingga kepersoalan tenaga kerja," ujar Amirullah. Kata dia, setelah izin khusus menteri kehutanan keluar minggu lalu (13/11), persoalan kayu sebenarnya sudah tidak begitu serius. Tetapi persoalan tenaga kerja dilapangan, justru yang menjadi kendala sulitnya dicapai target waktu yang diberikan pemerintah pusat. "Masyarakat yang diharapkan akan membantu TNI dalam membangun RTS justru sulit didapatkan," sebut Kadissos Poso ini mencotohkan. "Masyarakat lebih memilih kerja proyek diluar, ketimbang ikut bekerja membangun RTS," imbuhnya. Sesuai rencana kerja, selain delapan anggota TNI dan penerima RTS, dalam setiap pembangunan satu unit rumah juga akan melibatkan sedikitnya 10 anggota masyarakat.
Selain tenaga kerja, keterlambatan tibanya bahan bangunan di lokasi juga menjadi alasan lambatnya pekerjaan. " Sudah seminggu rumah ini berdiri, tapi batako, semen, dan pasirnya belum ada," kilah seorang warga penerima RTS yang enggan dikorankan.
Sulitnya pencapaian target pekerjaan juga diakui salah seorang pengawas proyek bangunan. " Targetnya susah dicapai pak. Bahannya lambat dan belum cukup," tukas tentara berpangkat serka ini. Anggota yang tidak mau disebutkan namanya itu lalu mencontohkan salah satu kendala lambatnya bahan bangunan tiba di lokasi. " Hampir semua bahan bangunan (seng dan semen, red) kami beli di Palu," sebutnya.
Walaupun ada kemungkinan besar target waktu untuk penyelesaian pekerjaan yang diberikan pemerintah pusat tidak tercapai, Amirullah berharap pemerintah pusat akan memaklumi. " Pembangunan RTS akan menyeberang ke 2007. Tapi saya optimis Jakarta bisa memahami kendala yang ada di lapangan," pungasnya. (Cr5)

RS, Jumat, 24 November 2006
Kiki di Pastikan Terkena Tembakan

POSO - Pengungkapan kasus Idul Fitri berdarah Minggu, (22/10) silam terus berjalan. Seiring dengan itu, bukti dan fakta terbaru mulai terkuak. Ini seakan membenarkan adanya indikasi penyerangan Brimob terhadap perkampungan penduduk di tanah runtuh (TR) Kel. Gebangrejo malam itu.
Setelah sebelumnya membantah laporan Mabes Polri, bahwa Saefudin alias Udin (22) korban tewas pada tragedi minggu malam (22/10) karena terkena serpihan bom, pihak RSUD Poso kembali membantah, jikalau korban luka lainnya seperti Muh. Rizki alias Kiki, juga terkena bom. " Bukan serpihan bom. Dari hasil foto radiologi, Kiki terkena amunisi yang berasal dari tembakan senjata api," kata Direktur RSUD Poso dr. Asnah Awad, yang ditemui sejumlah wartawan diruang kerjanya kemarin. Pernyataan Asnah makin dibenarkan, setelah tiem dokter berhasil mengoperasi luka yang tertembus timah panas. " Dari luka Kiki, kami temukan proyektil peluru," Sebut direktur rumah sakit Poso ini, tanpa menyebut jenis proyektil yang dimaksud. Saat ini proyektil tersebut berada di RSUD Poso. Bukan hanya itu, korban luka lain yang terjadi pada malam tersebut juga bersumber dari tembakan senjata api. Walaupun telah dipastikan semua korban luka dan tewas pada peristiwa Minggu malam tersebut karena tertembus timah panas, namun pihak rumah sakit belum bisa menyebut dari senjata milik siapa peluru itu keluar.
Fakta terbaru yang diungkap pihak rumah sakit , juga menguatkan temuan komisi nasional hak asasi manusia (KOMNAS HAM), yang menyebut adanya pelanggaran HAM pada peristiwa minggu malam jelang idul fitri itu. Diketahui, saat tim Komnas Ham yang di ketuai Zumrotin K. Susilo turun melakukan investigasi ke Poso beberapa waktu, menyimpulkan adanya pelanggaran HAM saat terjadinya bentok warga vs masyarakat yang dilakukan aparat Brimob. Kesimpulan komnas HAM tersebut diambil setelah melakukan penelitian di TKP sekaligus melakukan wawancara (testimoni) langsung terhadap salah satu korban penganiayaan aparat Brimob di depan Mapolres Poso, Dany Yusuf.(Cr5)

Friday, November 24, 2006

DPO Poso Segera Menyerah, Wapres Panggil Inkiriwang
Komentar, 24 Nov 2006

Mabes Polri telah memastikan beberapa dari 28 DPO Poso akan menyerah. Mereka dikabarkan siap menyerahkan diri kepada aparat dengan dibantu kalangan tokoh agama. Hal ini disampaikan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto di Jakarta, kemarin (23/11). “Segera akan ada yang me-nyusul. Tunggu saja,” kata Adiwinoto. Namun begitu, dia enggan mengungkapkan siapa dan berapa jumlah buron yang akan menyerahkan diri. “Ada-lah yang segera akan me-nyusul,” jawabnya. Sementara itu, diam-diam Wapres Jusuf Kalla memanggil Bupati Poso Piet Inkiriwang ke istana un-tuk bertemu. Sebelumnya sebuah sumber di Jakarta menyebutkan, pe-kan lalu juga, Inkiriwang telah bertemu dengan wapres, dan mereka sempat terlibat pembi-caraan empat mata di Istana Wapres. Dan kini Bupati Poso itu dipanggil lagi, aku sumber tanpa memberitahukan apa pembicaraan wapres dan Inki-riwang. Sementara Inkiriwang ketika ditelepon koran ini kemarin (23/11) mengakui bahwa diri-nya telah berada di Makassar untuk menuju Jakarta. Diakui-nya juga bahwa keberangka-tannya ke Jakarta atas panggi-lan wapres dan Menkokesra Aburizal Bakrie. Ditanyai soal maksud pang-gilan tersebut, Inkiriwang me-ngatakan, terkait bantuan dana emergency yang diberikan pusat senilai Rp100 miliar un-tuk Poso. ‘’Selain itu ada juga da-na-dana lainnya untuk recovery Poso,’’ ungkap mantan anggota DPRD Minsel ini seraya menye-butkan, bantuan pusat untuk Poso akan mendekati Rp1 tri-liun. Dia sendiri yakin, seiring makin kondusifnya kondisi di wilayahnya, maka pembangu-nan di Poso akan semakin maju berkat kucuran dana yang diberikan pemerintah. Apalagi bagi kalangan warga miskin, akan diberikan bantuan senilai Rp5 sampai Rp10 juta dari dana usaha kecil mikro. Terkait penangkapan para pe-rusuh, Inkiriwang mengatakan, tinggal mencari waktu dan cara yang tepat saja.(rik/*)

Thursday, November 23, 2006

RS, Kamis, 23 November 2006
RSUD Poso Butuh Dokter Spesialis Anak, Pemda Siapkan Insentif 7,5 juta Perbulan

POSO - Hingga saat ini, Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Daerah (BPK-RSUD) Poso belum memiliki dokter spesialis anak. Padahal, keberadaannya sangat dibutuhkan di daerah pasca konflik tersebut. Belum adanya dokter spesialis anak, juga mengindikasikan belum terpenuhinya target dokter spesialis yang harus dipenuhi jenis rumah sakit tipe C seperti RSUD Poso ini. Diketahui, untuk rumah sakit tipe C idealnya harus memiliki 4 (empat) dokter spesialis. " Rumah sakit ini baru memiliki tiga dokter spesialis," kata Direktur BPK-RSUD Poso dr. Asnah awad yang ditemui Radar Sulteng Rabu (22/11).
"Yang ada baru dokter spesialis bedah, spesialis objin/kebidanan, dan spesialis internis/penyakit dalam," rincinya menambahkan. Menurut Asnah, sebagai rumah sakit rujukan dari dua kabupaten tetangganya (Morowali dan Touna, red), dokter spesialis anak menjadi kebutuhan RSUD Poso yang tidak bisa ditawar lagi. Ini mengingat banyaknya kasus penyakit anak yang ada dalam setiap bulannya. " Tiap bulan setidaknya ada 6 sampai 10 kasus penyakit anak," sebutnya. "Karena tidak ada dokter spesialis, semua pasien akhirnya kami rujuk ke Palu (Undata)," tambah Asnah.
Direktur RSUD Poso ini selanjutnya menyebutkan jenis-jenis penyakit anak yang tidak mampu ditangani dokter umum, dan harus dirijuk ke Palu, seperti ispa dan tipes. "Kebanyakan yang kami rujuk, adalah anak yang menderita penyakit jenis ispa, tipes, dan diare akut," beber Asnah Awad.
Apa upaya yang telah dan akan dilakukan..?. Asnah Awad mengatakan, pihaknya telah berupaya mendatangkan dokter spesialis anak sejak tahun 2001. Namun usaha yang telah ditempuhnya baik di tingkat provinsi maupun dipusat (Jakarta) sampai saat ini belum membuahkan hasil. "Saya pernah ke Dinkes provinsi, pernah melobi langsung ke Fak. Kedokteran Unhas, bahkan saya pernah juga meminta langsung kepada Menteri Kesehatan RI di Jakarta. Tapi hasilnya nihil," Akunya. Apa kendalanya..?. "Mereka beralasan Poso belum aman," lanjut Asnah.
Namun demikian, Asnah mengaku, RSUD Poso tidak pernah putus asa untuk tetap mendatangkan dokter langka itu. Bahkan, ada trik baru yang ditempuh Pemkab Poso untuk menarik perhatian dokter spesialis anak agar mau masuk di Poso. "Pemda akan memberi insentif Rp. 7,5 juta perbulan bagi dokter spesialis anak yang mau bertugas di Poso," kata direktur RSUD Poso. Lanjut Asnah, gaji besar itu belum termasuk fasilitas lain yang disediakan Pemkab. " Selain gaji 7,5 juta/bulan, pemda juga menyiapkan rumah dinas serta kendaraan dinas roda empat (mobil, red),"pungkasnya. (Cr5)

RS, Kamis, 23 November 2006
Pembahasan APBD-P Poso Masih Alot

POSO - Sampai Rabu kemarin (22/11), Dekab bersama pemkab Poso masih membahas anggaran pendapatan dan belanja perubahan (APBD-P) tahun 2006. Terinformasi, pembahasan yang tengah berlangsung selama seminggu itu, berjalan alot. Belum diketahui kapan pembahasan APBD-P tersebut berakhir dan di putuskan. Tetapi informasi yang diterima Radar Sulteng, pembahasan akan selesai selambat-lambat minggu depan. " Masih dalam pembahasan. Insya Allah secepatnya (minggu depan, red) dapat diputuskan," ujar H. Abdul Munim Liputo saat ditemui di Kantor Bapeda kemarin, seolah membenarkan informasi yang diperoleh koran ini.
Kata Munim, Dekab memang sedang memprioritaskan soal anggaran perubahan. Mengingat waktu efektif tahun anggaran 2006 tinggal sebulan. " Kami sedang memacu pembahasan. Tetapi kami tetap selektif," sebut ketua Panggar dekab Poso ini. " Artinya, kami hanya akan meloloskan pekerjaan atau hal-hal yang sifatnya sangat emergency, dan bisa dikerja dengan sisa waktu tahun anggaran yang ada," beber Munim menjelaskan kata selektif yang di maksudkan.
Lebih rinci lagi, ketua DPC PPP Kab. Poso ini mengungkap, sangat memungkinkan dekab hanya akan meloloskan usulan-usulan proyek emergensi yang beranggaran kecil. " Melihat waktu, fisik hanya yang beranggaran 100 juta ke bawah," ungkap Munim. Bagaimana jika yang beranggaran lebih..?. " Kami sarankan untuk di masukan di APBD 2007," timpal Munim. Menurutnya, walaupun emergensi, tetapi jika anggaran pekerjaan melebihi nilai 100 juta dengan melihat mepetnya waktu kerja yang tersisa, sangat mustahil akan dapat diselesaikan. "Kita kerja, tapi harus hati-hati," saran ketua II dekab Poso ini.
Sekaitan dengan itu, anggota komisi B (pembangunan, red) Ir. Sony L. Kapito, membenarkannya. Tak jauh dari Munim, Sony juga sangat yakin, kalau anggaran fisik yang akan di sahkan di APBD-P hanya yang bernilai maksimal seratus juta. Ditanya berapa besar jumlah usulan anggaran Perubahan dari pihak eksekutif, politisi PDS Poso ini enggan menjawabnya. "Saya tidak tau persis soal usulan fisik. Yang saya tahu hanya nilai usulan biaya rutin," kata Sony. Berapa..?. "Untuk rutin nilainya sekitar 15 milyar," jawabnya.
Sinyalemen dekab yang hanya akan meng-iya-kan proyek yang beranggaran di bawah seratus juta, ditanggapi dingin alias loyo oleh eksekutif. Terutama mereka (dinas, red) yang bersentuhan langsung dengan proyek. "Kalau hanya itu, saya tidak akan mengusulkan. Karena anggaran proyek saya (emergency, red) semua di atas seratus juta," ungkap pejabat di salah satu dinas yang enggan dikorankan ini. (cr5)

RS, Kamis, 23 November 2006
Siap Hadapi Dakwaan JPU Dalam Sidang Dugaan Korupsi Dana Pengungsi

PALU – Tim kuasa hukum Aminuddin Ponulele dari Kantor Law Firm telah menyiapkan alasan hukum menghadapi dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) kasus dugaan korupsi dana pemulangan pengungsi Poso sebesar Rp1,258 miliar, yang akan segera disidangkan di Pengadilan Negeri Palu.
Koordinator penasehat hukum Aminuddin dari Kantor Law Firm, Idham Chalid SH MH, yang dihubungi Radar Sulteng, kemarin (22/11) menegaskan bahwa pelibatan kliennya dalam kasus ini terlalu jauh dan tidak sepantasnya. "Pelibatan Prof Aminuddin dalam kasus ini, ibaratnya menarik lonceng terlalu jauh," tandasnya.
Idham lantas membeber sejumlah fakta hukum yang menguatkan bahwa Aminuddin dalam kapasitas gubernur dan ketua Satkorlak tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus yang disangkakan kepadanya. Termasuk tidak pernah melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara sebagai unsur utama dalam tindak pidana korupsi.
"Sejak semula, ketika penyidikan, kami telah mendalami dan mengkaji posisi dan kedudukan beliau (Aminuddin,red) yang berkenaan dengan tuduhan tindak pidana korupsi yang disangkakan," ujarnya.
Menurut Idham, kedudukan kliennya sebagai ketua Satkorlak diatur dalam Keppres Nomor 3 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 111 Tahun 2001. Menurut Keppres tersebut, gubernur sebagai ketua Satkorlak mengemban tugas mengoordinasikan upaya penanggulangan bencana dan pemulangan pengungsi di wilayahnya. Mengenai organisasi dan tata kerja Satkorlak di tingkat provinsi diserahkan kepada gubernur. "Keberadaan Satkorlak ini sifatnya tetap tapi tugas-tugasnya insidentil," katanya.
Idham menyebutkan terkait kebijakan nasional penanganan pengungsi di Indonesia, Bakornas Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) pada tanggal 19 Oktober 2001 menyurat kepada gubernur yang isinya menyampaikan tiga pola kebijakan strategi penanganannya. Surat tersebut ditandatangani Menko Kesra M Jusuf Kalla selaku ketua pelaksana harian Bakornas PBP. Pemulangan pengungsi termasuk pola pertama yang mana menurut surat tersebut, Departemen Sosial (di tingkat provinsi Dinas Kesehjateraan Sosial) bertindak sebagai sektor penjuru atau instansi teknis pelaksana.
Pada 4 Desember 2001, Dinkesos mendapatkan alokasi anggaran dari Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos RI melalui Proyek Penanggulangan Bencana Sosial. Mengingat tahun anggaran yang akan segera berakhir, maka dana yang sudah di bawah penguasaan Dinkesos tersebut, tidak bisa dialokasikan. Sementara kebutuhan pengungsi juga sudah sangat mendesak.
Dalam kaitan ini, lanjut Idham, Dinkesos selaku sektor penjuru mengikhtiarkan, dalam rangka penyelamatan keuangan negara serta terlaksananya program memenuhi kebutuhan pengsungsi, maka dana tersebut dititipkan ke rekening Satkorlak. Rekening dimaksud dibuka Dinkesos dengan specimen yang diteken ketua Satkorlak.
Pada tanggal 18 Desember 2001, dana dimaksud secara administrasi melalui BAP penyerahan dan kwitansi penerimaan telah diserahkan Dinkesos dan diterima secara administrasi ketua Satkorlak. Karena Dinkesos akan segera memanfaatkan dana tersebut, maka dana itu diminta kembali disertai dengan dokumen-dokumen tentang penyelenggaraan proyek ke Satkorlak.
Atas dasar itu, pada 14 Januari 2002, secara administrasi uang tersebut diterima melalui BAP penyerahan dan kwitansi penerimaan oleh Dinkesos. Tujuannya untuk menanggulangi pelaksanaan proyek yang telah ditunjukkan dengan bukti-bukti pelaksanaannya.
"Oleh karena itu, tidak benar jika penyerahan dan penerimaan uang oleh Satkorlak ke Dinkesos dikatakan fiktif. Semua berlangsung menurut administrasi keuangan negara yang memang tidak bisa disamakan prosedurnya dengan administrasi keuangan dalam kondisi normal. Maka sangat mengherankan jika klien kami, Prof Aminuddin dimintai pertanggungjawaban sebagai proyek fiktif," tandas Idham.
Ditegaskan lagi bahwa kondisi saat itu diketahui umum (masyarakat luas,red) sebagai kondisi yang darurat sehingga tatacara atau prosedur administrasi penyelenggaraan keuangan negara tidak bisa disamakan dalam kondisi normal. Namun fakta hukumnya, menurut Idham, semua dana yang dititipkan sudah diserahkan dan diterima kembali Dinkesos. "Dan hal ini diakui saudara Drs Andi Azikin Suyuti selaku kepala dinas saat itu," urainya.
Makanya Idham mempertanyakan perbuatan melawan hukum apa yang telah dilanggar kliennya dan di mana letak kerugian negara yang timbul akibat penitipan uang antara 18 Desember 2001 hingga 14 Januari 2002. Menurutnya, jika sekiranya pelaksanaan proyek di lapangan dapat dibuktikan fiktif, hal itu tidak menjadi bagian tugas ketua Satkorlak. Sebab kedudukan ketua Satkorlak hanya sebatas mengetahui dan pelaksanaan di lapangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab sektor penjuru.
"Sekali lagi saya tegaskan, apakah tindakan penyelamatan uang negara dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi yang sangat mendesak saat itu justru dinilai sebuah perbuatan melawan hukum dan menyebabkan terjadinya kerugian negara," pungkas dekan Fakultas Hukum Untad tersebut.(mat)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Hak Keperdataan Korban Poso
Oleh Joko Prabowo

etua Komnas HAM Zumrotin K Susilo meminta Pemprov Sulteng dan Pemkab Poso segera menyelesaikan masalah hak keperdataan para korban konflik Poso. Permintaan ini terkait hasil pertemuannya dengan para korban konflik Poso, yang takut kembali ke kampung halaman karena tanah dan permukiman mereka sudah dikuasai orang lain.
Ketakutan ini beralasan karena kepulangan mereka bisa jadi menimbulkan konflik baru yang lebih parah akibat saling rebut hak tersebut. Alasan ini diperkuat pula dengan fakta hukum dalam persidangan pada 15 November lalu, Hasanudin (34) terdakwa pembunuh tiga siswi SMA di Poso, membacakan eksepsi pribadinya yang mengaku dan meminta maaf kepada keluarga korban atas apa yang dilakukannya.
Ia menuturkan bahwa pembunuhan Alfita Poliwo, Theresia Morangki, dan Yarni Sambue disebabkan adanya akumulasi kekecewaan dan problema hidup yang memuncak serta situasi traumatis yang masih dialami hingga sekarang.
Ia meminta pemerintah secara serius dan tuntas menangkap para pelaku lain dan otak kerusuhan Poso yang sekarang masih berkeliaran, pengembalian hak-hak perdata bagi warga Poso, yang sampai sekarang juga belum jelas. Di saat warga Poso membutuhkan bantuan untuk kembali hidup, berbagai bantuan itu justru dikorupsi dan dikolusi.
Hak Keperdataan
Kelambanan penyelesaian hak keperdataan korban Poso merupakan fakta sejarah yang tidak dapat disangkal. Sejak pemerintahan Presiden Megawati, Menko Kesra Jusuf Kalla telah mencantumkan butir penyelesaian hak keperdataan korban Poso dalam kesepakatan damai Malino Desember 2001. Menurutnya, salah satu pemicu munculnya aksi kekerasan baru di daerah itu khususnya generasi muda yang kehilangan lapangan pekerjaan akibat pertikaian berdarah berkepanjangan yang melanda daerah penghasil kayu hitam (ebony) ini.
Pernyataan itu disampaikannya ketika Safari Ramadhan di Kabupaten Poso dan Morowali tahun 2003 bersama Mensos Bachtiar Syamsyah dan Kapolri. Ketika itu pun Kapolri menegaskan penegakan hukum khususnya berkaitan dengan pengembalian hak keperdataan warga Poso akan diprioritaskan guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Hak keperdataan adalah hak dasar yang dimiliki manusia ketika dilahirkan. Hak selaku subjek hukum ini disebut hak subjektif. Hak-hak subjektif dapat dibedakan antara hak-hak yang diatur oleh hukum publik dengan hak-hak keperdataan. Hak-hak terakhir ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (hukum yang mengatur hubungan kepentingan perorangan yang satu dengan perorangan yang lain).
Selain hak atas kepemilikan terhadap benda (zaak), hak keperdataan seseorang merupakan hak yang sangat luas pengaturannya dalam hukum perdata. Secara luas, hak keperdataan (civil rights) merupakan hak asasi warga negara yang telah dilindungi dalam hukum negara di bidang keperdataan. Oleh sebab itu, negara berkewajiban melindungi setiap warga negara untuk memperoleh hak keperdataannya. Pasal 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menegaskan, tiada suatu hukuman pun dapat mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak keperdataan seseorang.
Komite Rekonsiliasi
Kita perlu segera menangani penyelesaian hak keperdataan korban Poso dengan membentuk semacam komite rekonsiliasi yang dibentuk dan dilengkapi dengan segala kewenangan yang diperlukan.
Berdasarkan pengalaman yang lampau, untuk mengatasi akibat pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM pernah mengusulkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kemudian telah diwujudkan dalam Undang-undang No 27 Tahun 2004.
Tugas komisi ini untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional, juga demi kepentingan korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi.
Latar belakang usulan ini adalah timbulnya ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan dalam masyarakat yang sangat besar terhadap institusi hukum, sehingga negara dianggap memberikan kebebasan dari hukuman (immunity) kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Komisi ini tidak dimaksudkan mengatur proses penuntutan hukum, tetapi lebih terfokus pada pengaturan mengenai proses pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti, dan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, sehingga diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi.
Apabila terjadi pelanggaran HAM berat yang terjadi di suatu negara, PBB akan memastikan bahwa pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dapat memenuhi kewajiban untuk melakukan restitusi atau pemulihan, rehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada korban pelanggaran HAM.
Restitusi harus diberikan untuk menegakkan kembali situasi yang ada pada korban seperti sebelum terjadi pelanggaran atas diri mereka, mengembalikan hak milik korban yang telah diambil paksa, pemulihan kebebasan kewarganegaraan, tempat tinggal, lapangan kerja, penggantian biaya yang timbul akibat jatuhnya korban, dan penyediaan jasa oleh pelaku.
Kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis seperti; kerusakan fisik dan mental, kesakitan, penderitaan dan tekanan batin, kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan, hilangnya mata pencaharian dan kemampuan untuk mencari nafkah, biaya medis, kerugian terhadap hak milik, kerugian terhadap reputasi dan martabat, biaya yang wajar untuk bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh pemulihan. Yang terakhir adalah melakukan rehabilitasi yakni untuk menyediakan pelayanan hukum, psikologis, atau perawatan lainnya yang cukup.
Pemenuhan kewajiban tersebut tentunya disertai dengan jaminan bahwa kejahatan yang sama tidak akan terjadi di waktu lain oleh pelaku maupun yang lain. Serta bertujuan untuk menghentikan pelanggaran yang berkelanjutan, pengungkapan kebenaran, dan keputusan diumumkan bagi kepentingan korban, permintaan maaf kepada korban, pengakuan kepada publik dan penerimaan tanggung jawab, pelaku kejahatan diajukan ke pengadilan, serta mencatat secara akurat kejahatan yang terjadi sebagai bagian dari sejarah umat manusia. Dengan demikian, keadilan bagi korban dan keluarga korban dapat tercapai bila memenuhi unsur-unsur kewajiban.
Bagi masyarakat Indonesia, secara khusus yang berada di pedesaan seperti Poso, tanah dan rumah sebagai tempat mencari nafkah dan tempat berteduh merupakan kebutuhan yang paling pokok setelah sandang dan pangan serta rasa aman, yang semuanya ini merupakan hak keperdataan yang sangat mendasar.
Apabila hak-hak keperdataan ini tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, niscaya pertikaian antara warga Poso tidak kunjung berakhir. Kecurigaan, sakit hati karena sengketa hak milik mengakibatkan dendam yang tersimpan rapi sementara dan sewaktu-waktu akan meledak lagi dengan mudahnya nyawa melayang di Poso.
Kesibukan Pemerintah menangkap 29 orang yang dianggap terlibat dan menjadi dalang dalam kerusuhan Poso memang harus terus dilakukan, bahkan harus lebih serius lagi, karena penangkapan itu penting untuk menjamin rasa aman warga Poso. Namun, kesibukan tersebut tidak boleh mengabaikan usaha pemerintah menyelesaikan hak keperdataan korban Poso yang sekarang pengap dan tidak nyaman di tempat pengungsian serta menderita karena terus menerus dibayang-bayangi kengerian konflik yang mereka telah alami.
Penulis adalah Direktur Advokasi Reformed Center for Religion and Society
Last modified: 22/11/06

SUARA PEMBARUAN DAILY
28 Tersangka Poso Minta Kelonggaran

[PALU] Sebanyak 28 warga Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) masih meminta kelonggaran waktu pada polisi untuk mereka bisa menyerahkan diri.
"Permintaan kelonggaran waktu disampaikan para DPO melalui tokoh-tokoh agama di Poso, dan sebagai langkah persuasif kita menghargai permintaan tersebut," kata Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) AKBP Moh Kilat yang dihubungi Pembaruan, Kamis siang (23/11) di Palu.
Para tokoh agama di Poso lanjut Kilat, ada yang punya komitmen membantu polisi membujuk ke-28 DPO agar segera menyerahkan diri ke polisi sebelum dilakukan upaya paksa.
"Komitmen itu yang sangat kita hargai sehingga langkah persuasif ini masih terus kita pertahankan," katanya.
Sebelumnya Udin alias Andi Bocor, salah satu dari DPO, bersedia menyerahkan diri ke polisi berkat bantuan Dg Raja, salah satu tokoh agama di Poso. Namun karena belum cukup bukti mengenai keterlibatannya maka Bocor untuk sementara dilepas dulu ke masyarakat.
"Jika DPO-DPO yang lain sudah tertangkap, dan ada keterangan yang memperkuat keterlibatan Bocor maka oknum tersebut akan kita tangkap kembali," ujar Kilat.
Para DPO tersebut, sesuai hasil penyelidikan polisi, diduga sebagai dalang pelaku sejumlah aksi kekerasan dan teror baik di Poso maupun Palu yang telah menewaskan banyak orang.
Diantara para DPO diduga ada yang sebagai otak perencana dan eksekutor peledakan bom di pasar Tentena Poso (Desember 2005), pasar daging babi di Palu (Agustus 2004), penembakan Pdt Irianto Kongkoli (Oktober 2006) dan sejumlah teror dan kekerasan lain di daerah itu.
Sampai Jumat
Sesuai komitmen, kata Kilat, polisi memberikan lagi waktu sampai Jumat besok (24/11) bagi para DPO untuk bisa segera menyerahkan diri.
Dengan kelonggaran waktu tersebut maka polisi telah memberikan perpanjangan waktu 3 kali bagi para DPO untuk menyerahkan diri. Batas waktu tanggal 7 November kemudian diperpanjang lagi pada 14 November dan ketiga pada 24 November.
"Ini karena permintaan para tokoh agama dan keluarga para DPO, dan kita harapkan dengan kelonggaran waktu ini para tersangka dapat kooporatif dengan polisi," tandas Kilat lagi.
Ditambahkan, para DPO tidak perlu takut karena selama proses pemeriksaan, polisi tidak akan melakukan tindak kekerasan apalagi penyiksaan.
"Contohnya Andi Bocor, kita perlakukan dia dengan sangat ramah, dan karena dia juga kooporatif maka selama proses pemeriksaan ia tidak ditahan," ujarnya.
Situasi di Poso saat ini relatif aman dan lancar. Warga melakukan aktivitasnya seperti biasa, dan belum terdengar lagi adanya aksi-aksi kekerasan menyusul teridentifikasinya jejak ke-28 DPO.
Sementara sejumlah kalangan di Jakarta menilai langkah polisi yang menunda-nunda penangkapan para tersangka itu sangat disayangkan. Polisi dianggap takut untuk menegakkan hukum.
Padahal konstitusi di negara ini menyatakan semua warga negara mendapat perlakuan yang sama di depan hukum. Bila memang sudah menjadi tersangka harus ditangkap tanpa perlu ada proses tawar-menawar.
Di Poso setiap malam polisi melakukan patroli di dalam maupun hingga ke pinggiran-pinggiran kota dan hampir setiap desa/kelurahan dijaga ketat aparat. [128]
Last modified: 23/11/06

RS, Rabu, 22 November 2006
Deadline 28 DPO Diperpanjang Lagi Sampai Hari Jumat untuk Menyerah

JAKARTA— Untuk ketigakalinya Mabes Polri memperpanjang deadline bagi 28 DPO (daftar pencarian orang) Poso untuk menyerahkan diri. Deadline pertama dikeluarkan pada 1 hingga 7 November 2006 lalu kemudian diperpanjang dengan deadline kedua pada 9 hingga 14 November 2006. Ternyata itu bukan batas akhir bagi para DPO untuk menyerahkan diri karena Mabes Polri memperpanjang kembali hingga Jumat (24/11).
”Itu karena permintaan para tokoh agama setempat dan keluarganya. Sekali lagi, kita harapkan mereka untuk menyerah,” kata Wakadiv Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam di Mabes Polri, kemarin. Kendati sudah dimasukkan dalam DPO, menurut Anton, hingga kini polisi masih mendalami keterlibatan mereka dalam serangkaian kekerasan di Poso.
Anton juga meminta mereka untuk tidak takut jika memang tak bersalah. Polisi berjanji tidak bertindak kasar apalagi sampai menyiksa. Jenderal polisi bintang satu itu mencontohkan perlakuan polisi saat menangani tersangka bernama Andi Ilolu alias Andi Bocor yang ditangkap polisi di wilayah Poso Pesisir Selasa pekan lalu (14/11).
”Setelah memeriksa selama tiga hari kita bahkan menangguhkan penahanan Andi,” lanjut Anton. Andi ini termasuk salah satu nama dari daftar DPO polisi. Sebelumnya buronan yang dicari polisi berjumlah 29 orang.
Saat ditanya apakah jika para tersangka lain menyerah maka mereka juga akan ditanggguhkan penahanannya seperti Andi, Anton menjawab belum tentu. Hal ini tergantung dari peranan mereka dalam kekerasan di Poso.
Polisi sendiri mengidentifikasi ke 28 DPO itu terlibat berbagai kekerasan di Poso seperti pembunuhan I Wayan Sumaryasa yang berprofesi sebagai wartawan Poso Post (tahun 2001), peledakan bom yang menewaskan Pendeta Orange Tadjoja (2001), kasus mutilasi Kades Pinedapa (2003), dan peledakan bom di depan Pasar Sentral Poso yang menewaskan enam orang (2004).
Lainnya adalah kasus penembakan Jaksa Fery Silalahi dan Pendeta Susianti Tinulele di Palu (2004), perampokan uang gaji milik Pemda Poso sebesar Rp489 juta (2004), peledakan bom di Pasar Tentena yang menewaskan 22 orang (2005), kasus mutilasi tiga siswa Poso (2005), serta sejumlah peledakan bom gereja di Palu dan Poso.(naz)

RS, Rabu, 22 November 2006
Lima Hakim Tangani Kasus Aminuddin Kemarin Sudah Dilimpahkan ke PN Palu

PALU- Tidak lama lagi kasus dugaan korupsi dana pemulangan pengungsi Poso segera disidangkan. Kemarin (21/11) berkas perkara dengan tersangka mantan Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Palu oleh tim Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu.
Pelimpahan berkas perkara itu dilakukan langsung oleh salah seorang jaksa bagian tindak pidana khusus Kejari Palu, Rasmudasati Damsik SH dan diterima Kepala Panitera Muda Pidana PN Palu Andi Rusman SH. Perkara korupsi senilai Rp1,258 miliar itu terdaftar di PN Palu dengan nomor register 374/ Pid.B/ 2006.
Andi Rusman yang dihubungi Radar Sulteng usai menerima pelimpahan perkara itu mengatakan, sampai saat ini belum ada penetapan waktu persidangan kasus itu. Meski demikian, katanya, majelis yang akan menangani kasus itu sudah terbentuk. “Majelis hakimnya dipimpin langsung Pak ketua PN Palu Bapak Fathurahman SH,” kata Andi.
Berbeda dengan perkara biasanya, kasus dugaan korupsi dana pemulangan pengungsi ini akan ditangani oleh lima hakim. Empat hakim yang akan mendampingi Fathurahman, adalah Effendi SH, Aris Boko SH, Pranoto SH dan Ibrahim Palino SH. "Jadi majelis hakimnya sudah terbentuk, tinggal jadwal sidangnya saja yang belum ditentukan," papar Andi Rusman.
Sementara itu, Kejari Palu sendiri sudah membentuk tim jaksa yang akan tampil sebagai jaksa penuntut umum. Mereka adalah Rusdia T SH selaku ketua tim, didampingi tiga jaksa yakni Ariati SH, Rasmudasati Damsik SH dan Salma Adnan Deu SH.
Sesuai materi dakwaan tersangka dijerat dengan pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman selama 20 tahun penjara.
Mantan orang nomor satu di Sulteng yang saat ini berstatus tahanan kota itu, diduga kuat terlibat korupsi pertanggungjawaban fiktif atas penggunaan dana pemulangan pengungsi senilai Rp1,258 miliar. Dana sebesar itu sedianya digunakan untuk membiayai transportasi pemulangan pengungsi Poso dari Morowali pasca konflik Poso tahun 2001 lalu.
Kasus dugaan penyelewengan dana pemulangan pengungsi ini terungkap pada akhir 2005 lalu. Dari sejumlah saksi yang diperiksa termasuk Sekprov Gumyadi, terungkap sejumlah bukti kuat keterlibatan tersangka dalam kasus itu sehingga harus diproses secara hukum.
Dana sebesar Rp1,258 miliar itu berasal dari dana APBN tahun 2001. Dana ini teralokasi ke Sulteng pada Desember 2001, sebulan sebelum akhir tahun anggaran. Karena sempitnya waktu tidak memungkinkan Pimpro untuk merealisasikan proyek itu.
Sumber koran ini menyebutkan, karena mepetnya waktu, dana itu kemudian dialihkan ke Satkorlak Sulteng. Satkorlak Sulteng yang kala itu diketuai Aminuddin Ponulele kemudian membuka rekening untuk menampung dana tersebut. Dana itu kemudian diserahkan pimpro ke Satkorlak pada tanggal 18 Desember 2001 sesuai bukti kwitansi pembayaran tanggal 18 Desember 2001 melalui rekening BNI Cabang Palu.
Setelah dana itu masuk ke rekening Satkorlak, dibuatlah administrasi proyek transportasi pemulangan pengungsi yang ditandatangani Direktris CV Ralianti, Dahliana. Atas dasar dokumen proyek itu lah, Ketua Satkorlak Sulteng Aminuddin Ponulele kemudian mengeluarkan cek untuk pencairan dana tersebut.
Sumber koran ini menyebutkan, seakan-akan perusahaan itu telah mengerjakan proyek tersebut. Namun sesungguhnya pertanggungjawaban yang dibuat itu adalah fiktif. “Pekerjaan itu tidak dilakukan. Bahkan Dahliana sendiri mengaku tidak menerima dana tersebut,” kata sumber itu.
Kasus dugaan korupsi dana pemulangan pengungsi ini melibatkan sejumlah tersangka. Selain Aminuddin, ada tiga tersangka lainnya yang berkasnya masih di kepolisian dan sudah dinyatakan lengkap oleh Kejati Sulteng. Tiga tersangka tersebut, yakni Andi Azikin Suyuti (mantan Kadis Kesejahteraan Sosial Sulteng), Irvan Sijaya dan Dahliana (kontraktor). Berkas Andi Azikin dibuat sendiri, sedangkan Irvan dan Dahliana digabung dalam satu berkas.
“Berkasnya masih di Polda, tetapi sudah dinyatakan lengkap,” kata Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sulteng, Hasman AH SH kepada koran ini. (cr2/rez)

Siswi yang Lolos Dipenggal Beri Kesaksian di Pengadilan
Komentar, 23 November 2006

Noviana Malewa, siswi SMU Kristen Poso yang berhasil lolos dari pemenggalan kepala yang dilakukan Hasanuddin dkk, dengan wajah malu-malu, memberikan kesaksian atas terdakwa Lilik Purnomo dan Irwanto Irano, konconya Hasanuddin.“Saya diserang lewat sam-ping. Saat itu saya tidak me-lihat wajah pelaku, karena pe-laku menggunakan penutup wajah,” ujar Novia di Penga-dilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/11), seperti dilansir detik.comDipaparkan gadis berkaos hijau itu, pada saat kejadian, yakni 29 Oktober 2005 pukul 06.45 Wita, dia bersama 3 te-mannya yakni Alvita Poliwo, Theresia Morangki, dan Yarni Sambua, berjalan di jalan setapak daerah Bukit Bambu menuju SMU Kristen Poso.Tiba-tiba 3 orang menyergap mereka. Namun Novia berha-sil melarikan diri, dengan berlari ke arah jurang yang jaraknya 10 meter dari tempat kejadian. Saat itu, wajah Novia sempat tergores parang yang diayunkan ke arahnya.Apakah Novia melihat Lilik dan Irawan di tempat keja-dian? “Tidak. Sejak peristiwa itu, tidak ada lagi yang berani lewat jalan setapak itu,” kata dia. Setelah peristiwa itu, Novia dirawat selama 1 bulan di RS. 3 Hari setelah kejadian, dia baru tahu ketiga teman-nya tewas dengan kepala terpenggal.Saat diperlihatkan bukti berupa parang, celana dalam warna coklat, stelan seragam pramuka, dan tas, dia menga-ku mengenalinya. Sebab selain parang, barang-barang itu dia yakini sebagai milik teman-temannya.Ditambahkan Novia, pada saat peristiwa terjadi, dia membawa pot berisi bunga. “Saya akan menanamnya di sekolah,” kata dia dihadapan majelis hakim yang dipimpin Lilik Mulyadi.Selain Novia, dihadirkan 5 saksi lain, yaitu Harce (kepo-nakan Novia), Yeser Lian (se-pupu Novia), Nice Ningkeka (tante Alvita Poliwo), Harnius Morangki (ayah Theresia Mo-rangki), dan Bara Mogempo (ibu Novia). Sidang akan dilanjutkan Rabu 29 November 2006, masih dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Sementara keluarga korban pemenggalan sekali lagi menya-takan bahwa mereka sudah memafkan pelaku. “Atas dasar keimanan dan kasih, kami memaafkan para pelaku,” ujar juru bicara keluarga korban, Albert Morangki. Namun demi-kian, dia menyerahkan semua proses hukum kepada negara. Sebab keluarga korban percaya negara akan melakukan tugas antara lain untuk menegakkan hukum dengan semaksimal mungkin.(dtc)

Batas Waktu Penyerahan 28 DPO Poso Diperpanjang
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N
Rabu, 22 November 2006 - 19:33 wi

PALU, KOMPAS--Markas Besar Polri kembali memperpanjang batas waktu penyerahan diri 28 warga Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Perpanjangan waktu untuk yang kedua kalinya itu diharapkan dapat membuahkan hasil karena saat ini polisi sedang bernegosiasi dengan sejumlah pihak yang berjanji akan menyerahkan 28 DPO dalam waktu dekat ini.
“Saat ini kami masih bernegosiasi dengan berbagai pihak yang membantu proses penyerahan diri 28 DPO itu. Mereka mengatakan, sejumlah DPO sudah bersedia menyerahkan diri dalam waktu dekat ini. Karena itulah, polisi kembali memberikan kesempatan untuk 28 DPO menyerahkan diri,” kata Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Anton Bachrul Alam, di Palu, Rabu (22/11).
Selain tidak bersedia menyebutkan berapa jumlah pasti DPO yang akan menyerahkan diri, Anton juga tidak bersedia menyebutkan pihak mana saja yang tengah bernegosiasi dengan polisi untuk penyerahan diri 28 DPO itu. Namun, sebelumnya, Anton mengatakan, pihak-pihak yang negosiasi dengan polisi yaitu tokoh-tokoh agama dan masyarakat Poso serta keluarga DPO.
Menurut Anton, perpanjangan waktu penyerahan diri DPO yang kedua ini tidak memiliki batas waktu. Namun, apabila 28 DPO tidak kunjung menyerahkan diri dalam waktu dekat, polisi akan melakukan penangkapan paksa. Polisi sudah mengetahui dan membatasi ruang gerak ke-28 DPO tersebut.
Pascabentrokan aparat Brigadir Mobil dan warga Kelurahan Gebang Rejo, Poso, pada 22 Oktober lalu, polisi mengumumkan 29 warga Poso. Mereka diduga kuat melakukan sejumlah aksi teror di Poso maupun Palu, seperti pemenggalaan kepala tiga siswa SMA Kristen Poso, penembakan Pendeta Susianti Tinulele dan Jaksa Ferry Silalahi, serta pemboman Pasar Tentena dan Gereja Kristen Sulawesi Tengah Immanuel, Palu.
Pada 14 November lalu, Andi Lalu alias Andi Bocor, satu dari 29 DPO, menyerahkan diri di Poso dan langsung dibawa ke Markas Polda Sulteng di Palu. Namun, empat hari kemudian, polisi melepas Andi Bocor, walaupun polisi berhak menahan Andi selama tujuh hari. Anton membantah Andi dilepas karena polisi tidak mempunyai cukup bukti.

Wednesday, November 22, 2006

Police hunt five key Poso terror suspects
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu, 22 Nov 2006

The Central Sulawesi Police are now concentrating on apprehending five key suspects from 28 fugitives wanted for their role in anti-Christian attacks in the towns of Poso and Palu.
The announcement Tuesday was coldly received by Muslim activists, who accused the police of manufacturing the list to shift attention from their recent raid on a village in which one person was shot dead.
Police spokesman Adj. Sr. Comr. Muhammad Kilat told The Jakarta Post on Tuesday the police were now prioritizing finding the five men.
However, he would only name two of them: Basri and Bojel. All were residents of the Gebang Rejo subdistrict in Poso, he said.
"The five come from the same group as Hasanuddin, Irwanto Irano and Haris," Kilat said, referring to three suspects currently on trial for their alleged roles in last year's beheading of three Christian schoolgirls in Poso.
Fifteen other Muslim militants, belonging to the Muslim Tanah Runtuh and Kayamanya groups from Gebang Rejo, were recently arrested. They are considered suspects in a series of attacks, beginning in 2001, that targeted Christians in Central Sulawesi.
The Tanah Runtuh group has been accused of involvement in several murders in Poso since 2001, including the 2005 beheadings and the shooting of a Christian minister in Palu last month. The second group has been accused of robbery and inciting anti-Christian and anti-police mob violence.
The police have already set two deadlines for the suspects on the wanted list to voluntarily surrender but 28 people remain at large. Another, Andi Ilau alias Andi Bocor, surrendered last week but was released after three days of questioning.
Kilat said the five were believed responsible for several violent acts in Poso, including shootings and a robbery of the Poso regency government.
The other people on the list, he said, were not directly involved in the attacks but were supporters like Andi Bocor.
Separately, Harun Nyak Itam Abu from Poso Muslim Lawyers team said Tuesday the police's move to name wanted people on the list was simply a way to divert attention from a botched police raid on a premises in the Tanah Runtuh area on Oct. 22. During the raid, the police claimed residents attacked them first before a man was shot.
"But the truth can't be covered up. All residents have testified the police attacked them. As a diversion, the police then covered up the case by announcing the wanted list of 29 people," Harun said.
One of the initial 29, Andi, surrendered to police but was later released, Harun said. And now the police have narrowed their focus to only five people.
"The police's move makes us wonder whether Andi is being used as a messenger boy," he said.
Responding to the allegations, Kilat said the police had no intention of covering up anything by releasing the list. The names were based on witness testimony and other information gathered in police investigations, he said.

Jenderal Filipina Akui Sulut Jalur Perdagangan Senjata
Komentar, 22 Nov 2006

Berada di daerah perbata-san, menjadikan Sulut seba-gai wilayah strategis untuk melakukan aktivitas ekspor-impor, baik legal maupun ile-gal. Termasuk jalur perda-gangan senjata. Buktinya, tim Mabes Polri sempat mencuri-gai senjata yang dipakai peru-suh Poso disuplai MILF lewat Sulut. Indikasinya senjata yang dimiliki perusuh Poso, mirip dengan senjata pasukan Moro itu. Gubernur Sulut Drs SH Sa-rundajang turut menambah-kan bahwa Sulut kerap dijadi-kan ‘lalu lintas’ para pelaku teror dari Filipina ke Indo-nesia. Hal ini turut diamini petinggi militer dari Filipina, Letjen Rudolfo Obaniana. Dia tidak menampik bahwa Sulut dijadikan jalur penyelundu-pan senjata karena letaknya yang strategis antara Filipina-Indonesia. Terutama persenjataan dari Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang berbasis di Min-danao kepada militan yang bersarang di Poso. “Menurut perkiraan saya, hal itu benar. Tapi jumlahnya tidak signifi-kan. Soalnya MILF juga mem-butuhkan banyak senjata dan amunisi. Jadi MILF bukan ha-nya mengirim senjata. Namun juga menerima suplai dari luar Filipina,” kata Obaniana di sela-sela sidang tingkat Ketua Komite Perbatasan Republik Indonesia-Republik Filipina ke-25 di Hotel Ritzy, Selasa (21/11).Walau MILF ingin menam-bah persenjataan, namun sudah ada proses perdamaian dengan pemerintah Filipina. “Ada perjanjian perdamaian beberapa waktu terakhir ini, termasuk gencatan senjata antara kedua pihak,” jelas Obaniana yang juga Koman-dan Eastern Mindanao Com-mand tersebut.Oleh sebab itu, guna mence-gah penyelundupan senjata dan juga teroris. Filipina dan Indonesia telah mencapai kesepakatan kerjasama mu-tual. Di antaranya saling ber-bagi informasi intelijen, me-lakukan patroli perbatasan, dan menaruh perhatian ter-hadap pelintas batas,” tu-kasnya.Menariknya, ia juga menyata-kan Dulmatin yang dikenal se-bagai salah satu teroris bom Bali 2002, masih berkeliaran di Pu-lau Jolo. “Dan kami tetap melan-carkan operasi untuk menang-kapnya,” tandas Obaniana. Dulmatin sendiri juga diketa-hui sebagai ahli elektronik ke-lahiran Pemalang, Jawa Tengah tahun 1970. Ia disebut-sebut pernah berlatih di beberapa kamp Al-Qaeda di Afganistan dan merupakan tokoh senior Jemaah Islamiyah. Tak heran, AS menyediakan uang 10 juta dolar untuk mereka yang mengetahui keberadaan-nya.(win)

Deadline Penangkapan DPO Poso Diundur Lagi
Komentar, 22 Nov 2006

Polisi tampaknya mulai me-nerapkan ‘teori karet’ dalam upaya menangkap para pela-ku rusuh Poso. Buktinya, deadline penangkapan terha-dap 29 DPO Poso tersebut di-ulur lagi hingga 24 November mendatang. Ini yang ketiga kalinya deadline diutak-atik. Polri sendiri beralasan ini di-lakukan karena adanya per-mintaan tokoh agama. “Wak-tu itu batas waktu dari Polda sudah habis. Begitu kita mau tangkap, mereka meminta per-panjangan ke Mabes, di Mabes dikasih lagi, bukan seminggu, tapi sampai Jumat 24 Novem-ber,” ujar Wakadiv Humas Brig-jen Pol Anton Bachrul Alam di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Selasa (21/11).Dijelaskan dia, dalam negosia-si antara tokoh agama dengan Mabes Polri, mereka meminta waktu yang agak lama karena mengumpulkan 29 tersangka agak sulit. Anton membantah jika ada diskriminasi karena Polri tidak segera menangkap para DPO tersebut. “Itu kan hasil kesepakatan. Kita harus menghormati. Kita menangani kasus Poso harus dengan sejuk tapi penegakan hukum jalan terus. Tidak ada yang diistime-wakan,” tandasnya.Mengenai penangguhan pe-nahanan terhadap salah satu tersangka Andi Lolu alias Andi Bocor, Anton menjelaskan, hal itu dilakukan karena selama 3 hari diperiksa Andi sangat kooperatif dan untuk kepentingan penyelidikan. Sedangkan keterlibatan Andi hingga ini masih diselidiki.Menurut Anton, jumlah ter-sangka di Poso kemungkinan akan bertambah, tidak hanya 29 orang. “Masih bisa berkem-bang lagi kalau ada keterangan saksi,” pungkasnya seperti di-lansir detik.(dtc)

Tuesday, November 21, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Terdakwa dan Keluarga Korban Poso Saling Memaafkan

[JAKARTA] Tiga terdakwa dan keluarga korban kekerasan Poso, Sulawesi Tengah, bertemu di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Minggu (19/11) siang, untuk saling memaafkan atas peristiwa yang terjadi 29 Oktober 2005 lalu.
"Pertemuan untuk minta maaf itu atas niat dari terdakwa kekerasan Poso. Tidak ada rekayasa, sehingga kami memfasilitasi agar keluarga korban dan terdakwa bisa bertemu," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Anton Bachrul Alam, di Jakarta, Minggu.
Ketiga terdakwa yang kini disidang di PN Jakarta Pusat itu adalah Hasanuddin, Irwanto dan Haris. Mereka didakwa membunuh dan memutilasi tiga warga Bukit Bambu, Poso, yakni Alfito Polino, Theresia dan Yarmi Sambua.
"Hasanuddin Cs minta maaf kepada keluarga korban, sedangkan pihak keluarga juga memaafkan karena memaafkan merupakan salah satu ajaran agama mereka," ujar Anton.
Ketiga terdakwa sejak penyidikan hingga kini ditahan di Mabes Polri, Jakarta. "Kebetulan para keluarga korban hari ini ada di Jakarta karena akan datang di persidangan hari Rabu (22/11) besok di PN Jakarta Pusat, sehingga kami memfasilitasinya untuk bertemu dengan ketiga terdakwa di Mabes Polri," kata Anton.
Ia mengatakan pertemuan yang berlangsung mulai pukul 10.00 WIB hingga 11.30 WIB menjadi ajang kedua belah pihak untuk mengungkapkan "uneg uneg" (perasaan yang lama terpendam) antara kedua belah pihak.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Sutanto menyambut baik pertemuan itu, dimana pelaku keke- rasan mau meminta maaf kepada keluarga korban."Mudah-mudahan permintaan maaf itu bisa membuat situasi di Poso semakin kondusif dan aman sesuai dengan kesepakatan Malino II dan pertemuan Wapres Jusuf Kalla dengan tokoh masyarakat dan agama Poso beberapa waktu yang lalu," katanya.
Kendati begitu, Sutanto mengemukakan proses hukum akan tetap berjalan dan permintaan maaf itu akan membuat situasi lebih kondusif. Poso terus dilanda berbagai tindak kekerasan sejak tahun 2000 lalu, yang dimulai dengan penyerangan di sebuah pesantren di daerah itu.
Ketiga pelaku kerusuhan Poso telah dieksekusi mati, yakni Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva atas kerusuhan massal tahun 2000 yang menewaskan ratusan orang.
Setelah itu, Poso terus didera berbagai tindak kekerasan hingga kini, di antaranya adalah penembakan Pendeta Irianto Konkoli 16 Oktober 2006.
Kasus lain adalah penembakan jaksa Ferry Silalahi, Pendeta Susianto Tinulele dan William, pengusaha perhiasan emas. Ferry ditembak tahun 2003 lalu, Susianto ditembak 18 Juli 2004 sedangkan William pada Pebruari 2006.
Pembunuhan I Wayan Sumaryase, 29 Mei 2001 berhasil diungkap polisi dengan menangkap dua orang, yakni Muhammad Yusuf Asafa dan Andi Ipong.
Keduanya telah divonis sembilan tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat dan kini sedang naik banding. Putusan hakim itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut 20 tahun penjara. [Ant/M-6]
Last modified: 20/11/06

Monday, November 20, 2006

Keluarga Korban Mutilasi Maafkan Hasanuddin Dkk
Komentar, 20 November 2006

Tiga terdakwa pelaku muti-lasi atas tiga siswi SMA Kris-ten Poso, masing-masing Ha-sanuddin, Haristo dan Ir-wanto, dipertemukan de-ngan keluarga korban de-ngan difasilitasi Mabes Polri, di Jakarta, Minggu (19/11). Hasanuddin dkk pun me-nyampaikan permohonan maaf kepada keluarga tiga siswi yang dipenggal kepala-nya. “Ini permohonan maaf saya yang kesekian kalinya, dan kali ini saya berhadapan lang-sung dengan keluarga kor-ban. Kami berharap ini men-jadi awal untuk kondisi Poso yang lebih baik, agar semua bisa diselesaikan dengan cara sejuk, sehingga Poso pulih kem-bali,” ungkap Hasanuddin.Dengan permohonan maaf secara langsung ini Hasa-nuddin meminta penyelesaian konflik di Poso kedepannya diselesaikan dengan cara-cara damai. Menyambut permoho-nan maaf itu, Albert Morang-ke yang mewakili para keluar-ga korban memberikan maaf-nya. “Kalau kami mendasar-kan pada kemanusiaan, tentu ini adalah hal yang sulit, bah-kan tidak mungkin, karena ini sesuatu yang berat. Tapi da-lam keyakinan iman melalui ajaran kasih, ini yang menjadi dasar keluarga untuk me-maafkan,” sambut kakak The-resia Morangke, yang meru-pakan salah seorang korban.Ditegaskan Albert, perte-muan ini jauh dari rekayasa. Pihaknya pun memberikan maaf kepada Hasanuddin se-cara tulus. Pertemuan ini tu-rut dihadiri oleh Wakadiv Hu-mas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam, Kasat-gasops Poso Brigjen Pol Mu-hammad Guntur, serta pen-damping rohani keluarga korban Pdt Ernio.Menjelang akhir pertemuan, Hasanuddin diminta untuk memimpin doa untuk berha-rap pulihnya kondisi keama-nan di Poso. Pembacaan doa oleh Hasanuddin dilanjutkan pembacaan doa yang di-pimpin Pdt Ernio. Dalam kesempatan itu, Ha-sanuddin kepada wartawan mengatakan otak kerusuhan Poso bukan Fabianus Tibo dkk. “Mas Tibo bukan aktor di balik itu semua. Polri harus usut ini,” tandasnya.Lalu apa yang melandasi per-buatannya yang sadis? Hasa-nuddin mengaku melakukan mutilasi karena kecewa de-ngan berbagai persoalan yang terjadi di Poso selama 8 ta-hun. Hasanuddin juga me-ngaku perbuatannya itu bu-kan dilakukan atas pesanan atau direncanakan sebelum-nya.“Tidak ada strukturisasi ataupun rencana. Kami nggak punya atasan. Kami anak mu-da yang melihat ini sebuah akumulasi kekecewaan yang menumpuk dan luar biasa,” aku Hasanuddin. Pria berusia 33 tahun ini berpandangan konflik yang terjadi di Poso bukanlah sesuatu yang terja-di secara tiba-tiba. Ada keter-kaitan antara satu persoalan dengan persoalan lain. “Kalau dilihat dari korban, ini siste-matis. Maka perlu dilihat siapa pihak yang menginginkan itu. Kami sendiri ingin tahu apa per-soalan di Poso sebenarnya sam-pai terjadi jilid ketiga,” urainya seperti dilansir detik.(dtc)

Sunday, November 19, 2006

Sidang pemenggalan siswi Poso
Pustaka Lewi, Kamis, 16 November 2006 -

Jaksa Penuntut Umum yang bergantian membacakan berkas dakwaan menyatakan, kedua terdakwa, Lili Purnomo dan Irwanto Wirano sebelumnya telah mengintai korban dan merencanakan pemenggalan mereka.
JAKARTA- Sidang kasus pemenggalan kepala tiga siswi sekolah menengah di Poso, Sulawesi Tengah, tahun 2005 lalu, dimulai hari Rabu di Jakarta.Setelah dakwaan dibacakan, dua terdakwa yang diadili dengan tuduhan berlapis ini memilih untuk tidak mengajukan keberatan.Tiga korban yang tewas dipenggal - Alvita Poleo, Theresia Morangki dan Yarni Sambue bersama dengan satu korban lain yang berhasil lolos namun luka parah, Noviana Malewa - tengah berjalan menuju sekolah mereka SMU Kristen Poso pada tanggal 29 Oktober 2005 ketika serangan terjadi. Jaksa Penuntut Umum yang bergantian membacakan berkas dakwaan menyatakan, kedua terdakwa, Lili Purnomo dan Irwanto Wirano sebelumnya telah mengintai korban dan merencanakan pemenggalan mereka.Dengan bantuan sejumlah terdakwa lainnya yang masih buron, kedua terdakwa membagi tugas mengintai, mencegat dan memenggal korban. Para terdakwa menghadapi tuntutan dari pasal berlapis dengan ancaman maksimal hukuman mati.Namun kedua terdakwa, melalui kuasa hukumnya, menolak kesempatan untuk menyampaikan keberatan atas dakwaan.Dalam kasus yang sama sebelumnya, majelis juga menyidangkan Hasanuddin, terdakwa yang dituduh menjadi otak kejahatan pemenggalan ini.Para terdakwa ditangkap di Poso Maret lalu, sementara 28 tersangka lain dalam berbagai kasus kekerasan di Poso kini masuk Daftar Pencarian Orang.(sumberBBC Indonesia.com 15 November 2006)

Sidang pemenggalan siswi Poso
Kamis, 16 November 2006 -

Jaksa Penuntut Umum yang bergantian membacakan berkas dakwaan menyatakan, kedua terdakwa, Lili Purnomo dan Irwanto Wirano sebelumnya telah mengintai korban dan merencanakan pemenggalan mereka.
JAKARTA- Sidang kasus pemenggalan kepala tiga siswi sekolah menengah di Poso, Sulawesi Tengah, tahun 2005 lalu, dimulai hari Rabu di Jakarta.Setelah dakwaan dibacakan, dua terdakwa yang diadili dengan tuduhan berlapis ini memilih untuk tidak mengajukan keberatan.Tiga korban yang tewas dipenggal - Alvita Poleo, Theresia Morangki dan Yarni Sambue bersama dengan satu korban lain yang berhasil lolos namun luka parah, Noviana Malewa - tengah berjalan menuju sekolah mereka SMU Kristen Poso pada tanggal 29 Oktober 2005 ketika serangan terjadi. Jaksa Penuntut Umum yang bergantian membacakan berkas dakwaan menyatakan, kedua terdakwa, Lili Purnomo dan Irwanto Wirano sebelumnya telah mengintai korban dan merencanakan pemenggalan mereka.Dengan bantuan sejumlah terdakwa lainnya yang masih buron, kedua terdakwa membagi tugas mengintai, mencegat dan memenggal korban. Para terdakwa menghadapi tuntutan dari pasal berlapis dengan ancaman maksimal hukuman mati.Namun kedua terdakwa, melalui kuasa hukumnya, menolak kesempatan untuk menyampaikan keberatan atas dakwaan.Dalam kasus yang sama sebelumnya, majelis juga menyidangkan Hasanuddin, terdakwa yang dituduh menjadi otak kejahatan pemenggalan ini.Para terdakwa ditangkap di Poso Maret lalu, sementara 28 tersangka lain dalam berbagai kasus kekerasan di Poso kini masuk Daftar Pencarian Orang.(sumberBBC Indonesia.com 15 November 2006)

Friday, November 17, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polda Sulteng Bongkar Kasus Uang Palsu

[PALU] Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) berhasil membongkar kasus pencetakan dan pengedaran uang palsu (upal) terbesar di daerah ini. Sedikitnya Rp 68,8 juta upal pecahan Rp 100.000 berhasil disita. Berikut sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Kesembilan tersangka, yakni Moh Ihwan alias Mat (34) sebagai pencetak uang palsu, Amiruddin Nuhuri (45) sebagai pemesan, Kamaruddin (52) sebagai pengedar dan para rekannya, Dakwan (49), Sudirman (45), Zulfikar (31), Zultan Mooduto (31), Lariya Rahman (43) serta Verson (40).
Para tersangka kini tengah diperiksa secara intensif oleh polisi, masing-masing tersangka Ihwan, Lariya dan Verson, diperiksa di Polres Parigi Moutong (Parimo) dan 6 lainnya di Mapolda Sulteng.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulteng AKBP Moh Kilat didampingi Kasat I Direskrim AKBP Irfaizal Nasution dalam jumpa pers Kamis (16/11) di Mapolda Sulteng menyatakan, kasus uang palsu yang berhasil dibongkar tersebut merupakan yang terbesar di Sulteng selama ini, baik dari jumlah upal yang dicetak maupun jumlah tersangka.
Ditanya apakah kemungkinan upal tersebut dipakai untuk membiayai aksi-aksi kekerasan di Poso maupun Palu, Kilat menyatakan belum ada indikasi ke arah itu. "Kita masih mengembangkan penyelidikan," katanya. [128]
Last modified: 17/11/06

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polisi Tidak Berani Tangani Poso

[JAKARTA] Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) DPR menyoroti ketidakberanian polisi menangkap 29 tersangka kasus Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Fraksi ini menilai, ketidak keberanian dan profesionalisme polisi bertindak tersebut, akan menurunkan wibawa polisi sebagai aparat penegak hukum.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) DPR, Constan M Ponggawa kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (17/11) pagi menegaskan, dalam kasus Poso, bola ada di tangan polisi dan masyarakat sudah menunggu apa langkah polisi. "Masyarakat menunggu, apakah polisi bisa menegakan profesionalisme dan wibawa, mereka (polisi.) dites, berani tidak,'' ujarnya.
Constant menyatakan heran dengan sikap polisi yang tidak berani dalam kasus Poso. Sebab, mereka sudah mengantongi nama-nama tersangka, tinggal melakukan penangkapan.
"Anehnya, 29 orang tersangka itu, jalan-jalan di tengah masyarakat, tetapi tidak juga ditangkap. Kalau tidak bertindak tegas dan berani, wibawa polisi akan hilang, sehingga persoalan Poso akan terus berlarut,'' katanya mengingatkan.
Ditegaskan, masyarakat Indonesia maupun internasional yang terus menyorot kasus Poso tersebut, terus menunggu tindakan nyata polisi dan aparat keamanan lainnya yang bertugas di daerah itu. [M-15]
Last modified: 17/11/06

Hasanuddin Akui Terlibat Pemenggalan Tiga Siswi Poso
Komentar, 16 Nov 2006

Terdakwa kasus pemeng-galan kepala tiga siswi Kristen Poso, Hasanuddin, tidak ber-kelit dari tuduhan tersebut. Bahkan Hasanuddin menga-ku salah satu otak tragedi ter-sebut. Hal ini disampaikan-nya dalam pembacaan ek-sepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (15/11).“Saya mengakui dengan jujur ikut terlibat dalam kasus yang didakwakan, tapi ada beberapa hal yang tidak benar,” kata Hasanuddin di hadapan majelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin seperti dilansir detik. Menu-rutnya, hal-hal yang tidak benar antara lain pernyataan dalam dakwaan yang menga-takan bahwa ide untuk men-cari kepala pemeluk agama lain terlontar dari mulutnya. “Ide kepala untuk hadiah Lebaran itu datangnya dari Ustad Sanusi,” ujarnya.Sementara uang yang di-berikannya kepada terdakwa lain, Haris, sebesar Rp 500 ribu untuk membeli parang dan tas plastik, bukan diro-goh dari kantongnya, melain-kan dari Ustad Sanusi. “Ustad memang memberikan saya uang pada saat dia bercerita kalau dia pernah terlibat MILF di Filipina,” katanya.Namun, imbuh Hasanuddin, dia memang pernah menyam-paikan tausiyah kepada be-berapa pelaku pemenggalan. “Saya bilang boleh membu-nuh, tapi yang seimbang dan setara dalam perang. Saya te-kankan dalam perang. Dan perang itu bukan dikare-nakan balas dendam, tapi ka-rena Allah, tidak boleh men-cincang-cincang,” bebernya.Dia juga menyampaikan motif dilakukannya pemeng-galan tersebut antara lain, upaya pembelaan yang belum setimpal karena perlakuan sadis pada umat Muslim di Poso. “Contoh kasus Ponpes Walisongo, banyak orang yang disembelih. Bahkan di tempat lain ada bayi yang di-bantai sampai perutnya ter-burai dan orangtuanya dicin-cang,” kata pria 33 tahun itu dengan suara keras.Alasan lain sebagai shock therapy dan peringatan kepada pihak lawan, serta karena trauma terulangnya lagi kerusuhan Poso Tiga Jilid pada 1998-2001. “Sudah ter-lalu banyak pembantaian di Poso, tapi ke mana aparat? Mana penegak hukum? Baru setelah pemenggalan tiga siswi itu Keppres 14/2005 di-keluarkan, seakan-akan tim-bul imej pembantaian lebih sadis!” tandasnya.Di akhir eksepsinya, Hasa-nuddin mengatakan, dia dan para pelaku lainnya bukan pembunuh bayaran dan tidak mendapatkan keuntungan materi. “Ini memang salah menurut hukum dan agama, saya mengaku khilaf, lalai dan berjanji tidak akan mela-kukannya lagi, semoga ini jadi yang terakhir,” ujarnya.Sementara kuasa hukum-nya, Fahmi Bahmid, mengata-kan, pemindahan sidang dari PN Poso ke PN Jakpus adalah bentuk penindasan terhadap Hasanuddin. Hal itu merupa-kan bentuk diskriminatif serta tidak sesuai dengan asas ce-pat dan biaya murah. “Kasus Andi Ipong dan kawan-kawan juga dipindahkan ke sini, tapi kenapa Tibo cs dan pelaku bom Bali tidak,” tanyanya. Sidang selanjutnya dengan agenda tanggapan dari JPU akan digelar 22 November 2006.(dtc/*)

Komentar, 17 Nov 2006
Inkiriwang: Poso Sudah Membaik

Menyusul perburuan terha-dap para perusuh dan sikap tegas Polri untuk menangkap para tersangka pelaku teror di wilayah itu, membuat situasi Poso kian membaik. Hal ini turut dibenarkan Bupati Poso, Piet Inkiriwang dalam wawan-cara dengan Komentar belum lama ini. ‘’Poso sekarang mem-baik, sudah aman,’’ tukas In-kiriwang. Membaiknya kondisi Poso, turut disambut positif Guber-nur Sulut Drs SH Sarunda-jang. Di hadapan sejumlah war-tawan di Ritzy Hotel Kamis (16/11) kemarin, Sarunda-jang mengatakan, dia telah mendengar bahwa kondisi Poso sudah kondusif. Kenyataan ini disebabkan pe-ran aktif dan kerja keras peme-rintah dan komponen-kom-ponen masyarakat yang meng-hendaki kenyamanan dan kedamaian hidup di negeri ini. “Sungguh suatu hal yang menggembirakan jika Poso mulai menunjukkan kondisi yang kian membaik. Ini semua berkat peran serta dan kerja keras pemerintah dan masya-rakat untuk mengatasi konflik saat ini,” ungkapnya.Gubernur menjelaskan, de-ngan terciptanya kondisi Poso seperti ini maka dirinya juga tak perlu lagi ke daerah tersebut untuk melakukan penangangan secara langsung seperti yang diminta Wapres Jusuf Kalla.“Kalau dulu dikatakan saya akan ke sana, tapi setelah melihat kondisi yang terus membaik di Poso, maka tidak perlu lah saya ke sana (Poso, red). Biarkan saja pemerintah dan komponen masyarakat di daerah tersebut terus berjuang menciptakan kondisi Poso yang benar-benar aman dan damai,” jelasnya. Hanya saja, bukan ber-arti gubernur langsung menya-takan lepas tangan terhadap an-caman konflik di daerah terse-but. Justru sebaliknya, dirinya tetap melakukan upaya koor-dinasi yang terus menerus de-ngan pemerintah dan kompo-nen masyarakat setempat. “Kita setidaknya bisa memberikan bantuan buat Poso dari Sulut. Dan itu akan saya lakukan. Saya akan terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat, termasuk memberikan ma-sukan-masukan yang baik dan benar hingga terciptanya kon-disi Poso yang benar-benar kon-dusif, aman dan tentram. Saya yakin lewat upaya koordinasi ini akan sangat membantu,” tandasnya.(imo/rik)

Satu Tersangka Dibekuk, 28 DPO Poso Kalang-Kabut
Komentar, 17 Nov 2006

Tertangkapnya seorang ter-sangka perusuh Poso yang di-jadikan DPO oleh Polri, mem-buat rekan-rekannya kalang kabut. Pasalnya, polisi berha-sil menarik banyak ketera-ngan dari tersangka (Andi Bo-cor) yang menyerahkan diri tersebut. Seperti diketahui, satu ter-tangkap, kini masih ada 28 DPO yang sementara diburu tim pimpinan Irjen Goris Me-re. Namun informasi yang di-peroleh dari tersangka Andi, sudah ada beberapa tersang-ka lainnya yang lolos keluar da-ri Poso, bahkan ada yang su-dah melarikan diri ke Jakarta. Sebuah sumber mengatakan, bukan tidak mungkin mereka juga menjadikan Sulut sebagai daerah pelariannya, di samping Makassar. Polri sendiri melalui Kepala Bareskrim Komjen Makbul Padmanegara Kamis (16/11) kemarin mengatakan, pihak-nya tidak akan lagi membe-rikan kelonggaran waktu kepa-da 28 tersangka yang belum menyerahkan diri. Masa teng-gang paling terakhir untuk pe-nyerahan diri DPO tersebut sudah habis sejak Rabu (15/11). Karena itu, polisi tidak akan mengulur-ulur waktu lagi bagi mereka. Mulai kemarin, polisi lang-sung bertindak tegas untuk se-gera menangkap ke-28 orang yang diduga menjadi eksekutor teror di Poso selama ini. “Na-mun penangkapan oleh polisi tetap akan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Kami jamin, mereka tidak akan disiksa seperti rumor yang beredar di masyarakat,” papar Padmane-gara kepada wartawan di Mabes Polri, kemarin. Isu adanya tindak kekerasan yang dilakukan aparat polisi terhadap para tersangka teror Poso itu menyesatkan. Dia me-negaskan, pemeriksaan terha-dap mereka tetap berdasarkan prosedur yang baku. “Mereka tetap kami per-lakukan sebagai manusia. Tidak ada kekerasan, tidak ada penyiksaan,” tegasnya seraya menyebut kalau memang ada tindak kekerasan, masyarakat bisa melaporkan itu langsung kepada pimpinan polisi se-tempat ataupun ke Komnas HAM.(zal/dtc)

RS, Kamis, 16 November 2006
Polisi Jamin Tak Siksa DPO, Udin Tidak Ditangkap Tapi Serahkan Diri

POSO- Mabes Polri kembali meminta kepada 28 DPO yang masih buron untuk segera menyerahkan diri. Mereka akan dijamin keselamatannya oleh polisi bila menyerahkan diri. Hal itu kembali disampaikan Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Anton Bahrul Alam kepada wartawan di Poso, kemarin.
Sebagai contoh, ia menceritakan soal penyerahan diri Udin. Katanya, tak satu pun cubitan atau pukulan, bahkan perkataan kasar yang diterima Udin saat menyerahkan diri dan digelandang ke Mapolda Sulteng. "Mabes Polri melarang anggota untuk menyakiti DPO saat proses pemeriksaan," jamin Anton.
Dalam proses pemeriksaan, selain didampingi pengacara, DPO juga berhak didampingi oleh keluarga yang mewakili. "Udin saat ini didampingi kakaknya di Polda Sulteng. Bahkan kakak Udin ikut mengawal adiknya saat dibawa sejak dari rumahnya hingga ke Mapolda, melalui pesawat," papar Anton meyakinkan. Para DPO nantinya juga hanya akan diperikasa di Polda Sulteng. "Tersangka akan diproses di Polda saja," sebut jenderal polisi bintang satu ini.
Pada kesempatan itu Anton membantah bahwa Udin alias Andi Bocor (38) ditangkap polisi. Yang bersangkutan, katanya, menyerahkan diri. Sebelum menyerahkan diri, ada dua permintaan istrinya kepada polisi. Selain meminta suaminya tidak disiksa saat menjalani proses pemeriksaan, istri Udin juga minta suaminya bisa diizinkan mengantarnya saat akan berangkat naik haji. "Melalui kakak Udin, Makmur Bega, istri tersangka meminta polisi mengizinkan suaminya untuk menyaksikan keberangkatan dia (istri, red) naik haji tahun ini," papar Anton.
Dalam jumpa persnya kemarin, Anton banyak menjelaskan soal keberadaan Udin yang saat ini berada di Mapolda Sulteng. Katanya, Udin bukanlah ditangkap polisi atau tim Densus 88 Polri. "Udin tidak ditangkap. Tapi diserahkan oleh keluarganya melalui kakak dan istrinya," jelasnya membantah pemberitaan kalau salah satu DPO itu dibekuk polisi. "Oleh keluarganya, Udin diserahkan di rumah kakaknya, Makmur Bega, di Kelurahan Mapane kepada Kasatgas Pasi 2006 Brigjen Pol. M. Guntur. Tapi, tersangka selama ini berdomisili di Desa Landangan," beber Anton menambahkan.
Menurut Anton, proses penyerahan diri Udin kepada polisi tidak memakan waktu lama. "Mas Guntur (Kasatgas Operasi 2006) melobi ke keluarga tidak lama. Empat hari sebelum menyerahkan diri (kemarin, red), keluarga menelepon Brigjen M. Guntur untuk menjemput Udin di rumah kakaknya," terang Anton.
Dia juga menuturkan, penyerahan diri Udin tak lepas dari bantuan tokoh masyarakat setempat, termasuk Daeng Raja. "Saya ucapkan terima kasih kepada keluarga Udin, dan Bapak Daeng Raja," tambahnya.
Anton menyebutkan, dalam waktu seminggu ke depan polisi akan memerikasa tersangka. Udin diduga sebagai orang yang terlibat dalam kasus penembakan terhadap Hasrin Ladjidin (40), warga Landangan pada tanggal 29 September 2005. Penetapan Udin menjadi tersangka, berdasar kepada laporan yang diterima Polres Poso Nomor: 225/VII/2005/Res Poso. "Soal motif dan peran Udin dalam kasus itu belum diketahui," katanya.(cr5)

RS, Kamis, 16 November 2006
Hasanudin Minta Maaf
Akui Terlibat Mutilasi Siswi, Bantah Sebagai Otak Pelaku

JAKARTA- Terdakwa kasus mutilasi tiga siswi di Poso, Hasanuddin alias Hasan, alias Slamet Rahardjo mengakui keterlibatannya dalam kasus yang didakwakan kepadanya. Meski demikian, dalam pembacaan eksepsinya yang ditulis tangan, Hasan keberatan dinyatakan sebagai otak pelaku seperti yang didakwakan jaksa.
Dengan sikap tenang dan pengucapan yang lirih, dia membaca eksepsi sebanyak delapan lembar yang ditulisnya sendiri. ''Surat dakwaan halaman 2 baris ke 24 tidak benar. Ide 'hadiah lebaran' datang dari Ustad Sanusi,'' ungkapnya dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin.
Tidak hanya ide, biaya operasional sebesar Rp500 ribu dan perintah yang diberikan pada Lilik Purwanto alias Haris dan Iwan Irano sebagai eksekutor juga berasal dari Ustad Sanusi. ''Saya tidak pernah bertanya pada Haris (soal proses eksekusi, Red) pake Bahasa Poso, saya kurang terbiasa pake bahasa Poso,'' tambahnya.
Hasan pun berdalih perannya adalah membiarkan teman-temannya melakukan tindakan keji tersebut, namun bukan sebagai otak pelaku.
Kepada Majelis Hakim yang dipimpin Binsar Siregar, Hasan mengatakan eksepsi yang dilakukannya bukan meminta legalitas atau dasar diperbolehkannya tindakan pembunuhan dan pemenggalan ketiga siswi SMK Poso. ''Keyakinan kami, agama kami pun tidak membenarkan tindakan tersebut,'' ungkapnya.
Selain itu, pria yang berdomisili di Poso tersebut mengaku menyesal atas perbuatannya dan meminta maaf kepada keluarga korban. ''Kami berjanji tidak akan mengulangi lagi dan ini yang terakhir,'' ungkapnya. Padahal sesuai dakwaan jaksa, Hasan diancam hukuman mati.
Terdakwa didakwa dengan dakwaan yakni dakwaan pertama primer pasal 14 jo pasal 7 UU No 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan subsider pasal 15 jo pasal 7 UU Terorisme. Dakwaan jaksa berlapis karena selain itu Hasan didakwa dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat 1 kedua KUHP sebagai dakwaan primer. Dakwaan subsider, dia didakwa dengan pasal 338 KUHP.
Soal motif tindakan, pengajar pesantren tersebut mengaku hal tersebut adalah pembalasan bagi pembantaian umat muslim di Poso. Meski hal itu sudah dilaporkan ke aparat keamanan namun tidak ada tanggapan dan tindak lanjut dari mereka. ''Kemana aparat keamanan, kemana aparat penegak hukum, kemana peran pemerintah waktu itu,'' ungkapnya.
Penerbitan Keppres No 14 Tahun 2005 tentang Penanganan Poso secara komperehensif dinilainya terlambat karena persoalan Poso telah berubah menjadi konflik yang mengakar.
Sementara itu dalam eksepsi penasehat hukum dari Tim Pengacara Muslim (TPM) mengungkapkan kasus mutilasi yang dilakukan terdakwa dan teman-temannya hanya satu dari rangkaian kekerasan di Bumi Sintuwu Maroso.
Pengacara terdakwa mempersoalkan pemindahan kasus terdakwa ke Jakarta yang bukan merupakan locus delicti yang berasal di wilayah hukum Pengadilan Negeri Poso. Itu dinilai tidak sesuai dengan asas pengadilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. ''Mengapa kasus Tibo tidak diadili di Jakarta,'' ungkap pengacara terdakwa Fachmi Bachmid dan Asludin Hatjani dalam persidangan.
Selain itu surat dakwaan jaksa juga dinilai kabur (obscuur libel) karena tidak menguraikan secara cermat dan lengkap mengenai tindak pidana. Selain itu keterangan waktu (tempus delicti) dan keterangan tempat (locus delicti) juga tidak jelas. ''Nama terdakwa yang Slamet Raharjo ditulis sebagai Lilik Purwanto, dakwaan jaksa tidak cermat,'' tambahnya.
Sementara itu dua pelaku lain yang juga disidangkan, Koordinator lapangan Lilik Purwanto dan ketua penyergapan Irwanto Irano didakwa JPU dengan pasal berlapis. Dakwaan pertama, jaksa mempergunakan pasal 15 jo pasal 7 Perpu 1 Tahun 2002 jo pasal 1 UU 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Untuk dakwaan kedua primer, kedua terdakwa didakwa dengan pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Sementara dakwaan kedua subsider, pasal 338 jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Dakwaan ketiga primer, yakni pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP jo pasal 53 ayat 1 KUHP. Dakwaan ketiga subsider, pasal 338 jo pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP jo pasal 53 ayat 1 KUHP. Dengan dakwaan ini kedua terdakwa menghadapi ancaman hukuman mati.
Mendengarkan kronologis dan dakwaan jaksa, kedua terdakwa tampak cengengesan, sikap yang jauh berbeda dengan Hasan yang tenang. Kendati ancaman hukumannya sangat berat kedua terdakwa dan penasehat hukumnya menolak untuk mengajukan eksepsi. "Kami tidak akan mengajukan eksepsi. Hal-hal yang prinsip akan kami sampaikan pada pledoi saja," penasehat hukum terdakwa Abubakar Raside. (ein)

RS, Kamis, 16 November 2006
Brimob Show Force di Poso
Patroli dengan Panser, Sempat Dihadang Massa

POSO– Brimob show force (unjuk kekuatan) di Poso, kemarin (15/11). Satu kompi pasukan gabungan BKO Brimob dan Gegana dilengkapi senjata dan panser menggelar patroli keamanan di sejumlah ruas jalan. Meski berjalan lancar, namun iring-iringan pasukan sempat dihadang massa.
Persiapan patroli kemarin terlihat begitu matang. Sebelum turun berpatroli, pasukan terlebih dahulu diberikan arahan dan petunjuk oleh masing-masing komandannya. Tidak hanya Danru, Danton, dan Danki yang memberi arahan. Kapolres Poso AKBP Rudy Sufahriadi juga ikut memberikan petunjuk patroli kepada ratusan pesonel di lapangan Mapolres Poso.
Salah satu arahan yang disampaikan saat apel, adalah patroli ini bertujuan memberikan rasa aman masyarakat, dan bukan sebaliknya meresahkan warga. "Patroli untuk memberi rasa aman masyarakat. Jangan terpancing jika ada yang memukul tiang listrik atau melempari kita dengan batu. Kalau ada warga yang menembak, balas," pesan Kapolres Rudy kepada pasukannya.
Terlihat, sebelum berangkat melaksanakan patroli, masing-masing komandan diberikan peta wilayah operasi. Dalam melaksanakan patroli keliling, pasukan elit polri itu, bukan hanya menenteng senjata laras panjang saja. Tetapi mereka juga dilengkapi dengan baju dan helm kepala anti peluru (baja).
Tidak cuma itu, dua panser yang selama ini parkir di garasi Mapolres Poso, juga diikutsertakan. Patroli yang dilaksanakan mulai pukul 9.30-11.00 Wita tersebut, hanya dilaksanakan di wilayah Kelurahan Gebangrejo, Kecamatan Poso Kota.
Di kelurahan ini hanya beberapa ruas jalan yang dilalui personel Brimob dan Gegana. Di antaranya, Jalan Pulau Irian Jaya, Jalan Pulau Madura dan Jalan Pulau Jawa II. Mengawali patroli, ratusan pasukan brimob itu masuk melewati Jalan Pulau Irian Jaya. Tiba di pertigaan Jalan Irian Jaya-Madura, sebagian besar pasukan satu per satu turun dari panser dan mobil truk.
Pasukan kemudian dibagi dua, sebagian berjalan kaki menuju ke arah Jalan Pulau Madura dan sebagian masuk melalui Jalan Pulau Kalimantan. Di akhir patrolinya, dua kelompok pasukan tersebut bertemu di pertigaan Jalan Pulau Jawa II dan Jalan Pulau Irian Jaya. Masing-masing pasukan jalan kaki dikawal oleh dua truk pasukan dan dua unit panser.
Di sepanjang jalan yang dilewati, pasukan elit Polri tersebut mengundang perhatian warga Gebangrejo. Banyak masyarakat yang keluar rumah untuk sekadar melihat-lihat.
Ada hal yang menarik saat berlangsungnya patroli. Melihat banyak pasukan bersenjata lengkap dengan dua pansernya berhenti di pertigaan Jalan Pulau Jawa II-Jalan Pulau Irian Jaya, masyarakat di kompleks tanah Runtuh Langsung memukuli tiang listrik.
Tak ayal, puluhan massa langsung turun ke jalan melakukan penghadangan dengan menggunakan ban bekas. Massa sempat panas dan berteriak sambil memanggil pasukan Brimob untuk maju ke lokasi massa. Tetapi, karena memang patroli tidak mengagendakan ke kompleks Tanah Runtuh, pasukan elit Polri itu memilih diam. Selanjutnya, pasukan kembali naik ke mobil dan pansernya kembali menuju ke arah Mapolres Poso. (Cr5)

Suspect admits beheading schoolgirls
Ary Hermawan, The Jakarta Post, Jakarta
16 Nov 2006

A Muslim militant charged with beheading three Christian schoolgirls in Poso, Central Sulawesi, admitted Tuesday to his involvement in the 2005 attack and said he was deeply sorry.
"I apologize," Hasanuddin, 34, told the Central Jakarta District Court.
The suspect, the son-in-law of Poso Muslim leader Adnan Arsal, admitted his actions were wrong.
Prosecutors have accused Hasanuddin, alias Hasan, of masterminding the attack to avenge the killing of Muslims during the religious violence in Central Sulawesi.
He is charged under the anti-terror law and could be sentenced to death if found guilty.
Hasan, however, denied he masterminded the attack, saying the idea came from an Islamic teacher named Sanusi, who is still on the run.
The attack was caused by the chaotic and desperate situation in Poso, said Hasan. "It was to get revenge for Muslims who were brutally slain by Christians," he added.
He said he believed students in the Walisongo Islamic boarding school in Poso were beheaded by Christians, but that police did not arrest any suspects in the case.
"There were many other similar cases, but no action has been taken by authorities to solve them," he said.
The beheading of the three Christian girls was intended to be seen as "shock therapy, a warning and retaliation", Hasan said.
Prosecutors say they have evidence Hasan plotted the attack with two accomplices during a meeting last year at the Gebang Rejo library in Poso.
At the meeting, Hasan allegedly told his accomplices he had attacked security posts and killed soldiers as an "Idul Fitri gift" to Muslims when he trained with the Moro Islamic Liberation Front in the Philippines.
Hasan also allegedly told them: "We should find Kongkoli (Christians) as an Idul Fitri gift (in 2005). Go look around (to find the targets)."
Two other suspects currently being tried in the same case are Lilik Purnomo and Irwanto Irano, while six other suspects are still at large.
The three girls were slain on their way to school on an isolated jungle track near Poso. Another girl was also slashed in the cheek but managed to escape.
The same court began the trial of Lilik and Irwanto on Wednesday. The two suspects are also charged with violating the anti-terrorism law and face a possible death sentence if convicted.
Lilik allegedly acted as field coordinator in the attack, while Irwanto led the ambush on the girls.
The trial has been adjourned until Nov. 22 to hear defense pleas from the suspects.
The beheadings sparked an angry reaction in Indonesia and worldwide. President Susilo Bambang Yudhoyono condemned the incident, while Pope Benedict XVI deplored what he described as "a barbaric murder".
Poso and its surrounding areas have been the scene of sporadic unrest since violence between Muslims and Christians killed some 1,000 people in 2000 and 2001.
Prosecutors have said the trials are being held in Jakarta rather than Central Sulawesi for "security considerations".

Fugitive surrenders in Poso
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu
16 Nov 2006

One of 29 people wanted by police for suspected involvement in anti-Christian attacks in Poso and Palu, Central Sulawesi, has surrendered, a police spokesman said Wednesday.
Andi Ilalu, alias Andi Bocor, 38, voluntarily surrendered to a local leader Tuesday afternoon. The resident of Mapane, Poso Pesisir district, was flown to the provincial capital Palu for questioning by the police anti-terror detachment.
Central Sulawesi Police spokesman Adj. Sr. Comr. Muhammad Kilat confirmed Andi had surrendered. "He went to see a leader in Mapane, who then took him to the Poso Police office," he told The Jakarta Post.
He said preliminary investigations indicated that Andi was possibly connected to the 2003 murder of Kasrin Ladidin in Landangan, Poso Pesisir.
A second deadline for suspects to surrender ended Tuesday, leaving 28 people still at large.
The second deadline was given after the first one, from Nov. 1 to Nov. 7, failed to achieve results. This may have been because the suspects' relatives refused to assist in the police investigation, fearing their relatives would be tortured.
"We will only hand over our family members if the police promise not to harm them," said Yunus Gafur, the grandfather of two suspects.
National Police spokesman Brig. Gen. Anton Bahrul Alam said earlier the 29 suspects, all civilians, were believed to be involved in a range of violent acts.
Meanwhile, 15 other militants, belonging to the Tanah Runtuh and Kayamanya Muslim groups from the town of Gebang Rejo, were recently arrested. They are considered suspects in a series of attacks, beginning in 2001, that targeted Christians in Central Sulawesi, the National Police spokesman said.
The Tanah Runtuh group has been accused of involvement in several murders in Poso since 2001, including the 2005 beheading of three Christian school students and the shooting of a Christian minister in Palu last month, AFP reported.
The second group has been accused of robbery and inciting mob violence by raising religious issues and spreading hatred against the police.
Anton said with the passing of the second deadline, the police were left with two choices; to continue trying to persuade the suspects to turn themselves in voluntarily, or to be more active in searching for them.
If the persuasive method fails again, the police will not be afraid to find and arrest the suspects, but he promised there would no violence or abuse toward them.
"We'll protect their rights. That's why they will be accompanied by their lawyers and the police will be under the supervision of the National Police during any interrogation," Anton said.
He said that based on intelligence reports, the suspects were still in Poso and the police would guard the city's entrances and exits to stop them from leaving. The police would also cooperate with police from neighboring countries to prevent them from escaping abroad.
"But I'm sure they will not be able to get out of Poso, let alone escape to other countries. They're all still in Poso so it's better for them to surrender to the police," Anton reiterated.