Thursday, August 31, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
LSM Tolak Penggantian Kapolda Sulteng

[PALU] Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern terhadap penyelesaian konflik Poso sampai ke akar-akarnya, menolak keras penggantian Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng), Brigjen Pol Oegroseno. Beberapa LSM itu seperti Kontras Sulawesi, Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi HAM Sulteng, Serikat Pengacara Indonesia-Sulteng serta Poso Center.
Mereka menilai pergantian Oegroseno sama dengan pola-pola pergantian pejabat di zaman Orde Baru, di mana pejabat yang tidak sesuai dengan atasan akan dicopot.
Koordinator Kontras Sulawesi, Edmond L Siahaan, di Palu, Rabu (30/8) mengatakan, seharusnya Mabes Polri menghargai komitmen Oegroseno untuk mengungkap kasus Poso dan Tibo secara komprehensif dan tuntas.
"Baru dalam kepemimpinan Oegroseno, kasus korupsi dana kemanusiaan Poso yang melibatkan mantan Bupati Poso dan mantan Gubernur Sulteng terkuak," katanya.
Sekretaris Poso Center, Mahfud Masuara mengatakan, baru di bawah kepemimpinan Oegroseno-lah Polda Sulteng berhasil mengungkap sejumlah kasus teror di Sulteng, antara lain bom Tentena, bom GKST Immanuel dan GKST Anugerah, Palu, serta pemenggalan kepala tiga siswa SMA Poso.
"Kami mengkhawatirkan pergantian Oegroseno merupakan titik-balik dari suramnya masa depan penanganan keamanan di Poso dan Sulawesi Tengah secara umum," katanya.
Oegroseno menjabat Kapolda Sulteng belum genap setahun. Kamis ini dia resmi dimutasi ke Mabes Polri dengan jabatan baru sebagai Kepala Pusat Informasi Pengolahan Data Polri.
Sedangkan penggantinya Komisaris Besar Badaruddin Haiti yang sebelumnya menjabat Sekretaris Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri. Serah terima jabatan dijadwalkan Kamis pagi ini di Mabes Polri.
Pergantian Oegroseno ini cukup mengejutkan anggota Polda Sulteng maupun berbagai kalangan lain. Masalahnya pada 24 pada Agustus, Mabes Polri baru saja meningkatkan status Polda Sulteng dari Kelas II B menjadi II A dan bersamaan dengan itu Oegroseno kembali dikukuhkan sebagai Kapolda Sulteng.
Namun, 29 Agustus lalu, Oegroseno tiba-tiba mendapat pemberitahuan mutasi ke Mabes Polri.
Pergantian itu diduga kuat karena adanya komitmen Oegroseno untuk menunda eksekusi sambil mengusut kembali kasus Poso sesuai fakta yang sebenarnya.
Pertimbangan
Menurut Pastor Jimmy Tumbelaka, rohaniwan yang selama ini mendampingi Tibo Cs, dalam pertemuan dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng, Kepala Kejaksaan Negeri Palu, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Palu, jajaran Pemerintah Provinsi Sulteng dan Pemerintah Kota Palu, Oegroseno menyatakan empat pertimbangan mengenai pro-kontra eksekusi Tibo Cs.
Pertama, Tibo Cs masih mempunyai hak untuk mengajukan grasi kedua, sesuai dengan UU No 22/2002 tentang Grasi.
"Pak Oegroseno mengatakan, kalau memang Tibo Cs tidak mempunyai hak untuk mengajukan grasi kedua, Kepala Kejati Sulteng dan Kejari Palu harus menunjukkan bukti-bukti tertulis agar polisi punya dasar kuat melaksanakan eksekusi. Namun, Kepala Kejati Sulteng dan Kepala Kejari Palu diam saja," katanya.
Kedua, banyak hal yang dinilai Oegroseno, inkonstitusional dalam kasus Tibo Cs. Mulai dari penangkapan Tibo Cs oleh TNI sampai peradilan yang di bawah tekanan massa.
Ketiga, perintah eksekusi Tibo Cs dari Kejaksaan Agung harus disampaikan secara tertulis, bukan secara lisan seperti ketika Tibo CS akan dieksekusi pada 12 Agustus lalu.
Keempat, berdasarkan penyidikan yang dilakukan Polda Sulteng, Oegroseno tidak yakin jika Tibo Cs adalah dalang kerusuhan Poso sebagaimana dituduhkan hakim dan jaksa dalam persidangan.
"Karena pertimbangan itulah saya tidak sanggup melakukan eksekusi. Saya harus menuruti hati nurani daripada sekedar melaksanakan tugas," kata Jimmy menirukan ucapan Oegroseno.
Oegroseno sendiri kepada wartawan mengaku bahwa ia benar menyampaikan empat pertimbangan tersebut dalam pertemuan yang membahas jadwal eksekusi Tibo Cs tersebut.
"Saya sadar betul konsekuensi dari pernyataan saya. Tapi saya tidak bisa membohongi hati nurani saya," katanya. [128]
Last modified: 31/8/06

Wednesday, August 30, 2006

Radar Sulteng, Rabu, 30 Agustus 2006
Ormas Islam Poso Surati Kejati dan Polda Sulteng

POSO - Sejumlah 16 organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang ada di kabupaten Poso, Selasa (29/8) siang kemarin, mendatangi kantor Polres Poso guna menyerahkan surat pernyataan sikap agar diteruskan ke Kejati Sulteng dan Polda Sulteng di Palu. Dalam surat itu, tertera beberapa item tuntutan mereka yang intinya meminta kepada kedua institusi yudikatif tingkat provinsi Sulteng itu untuk segera melaksanakan eksekusi terhadap tiga terpidana mati kerusuhan Poso masing-masing Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu.
Kedatangan perwakilan dari 16 Ormas Islam itu, diterima langsung Wakapolres Poso Kompol Minarto SIK di ruang kerjanya. Tidak hanya menuntut agar proses eksekusi dipercepat, karena dalam surat pernyataan sikap itu, mereka juga meminta agar Kejati dan Polda Sulteng segera memproses sejumlah 16 nama yang sempat disebut Tibo Cs sebagai aktor intelektual dari kerusuhan Poso tahun 2000 silam. "Kami berharap ke enambelas nama yang pernah disebut Tibo juga segera diproses secara hukum oleh Kejati dan Polda Sulteng," pinta Sugianto Kaimudin mewakili dari Ormas Front Pembela Islam (FPI) Poso di hadapan Minarto.
Dalam item ketiga pernyataan sikap mereka, dengan tegas disebutkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini bereaksi di beberapa daerah untuk menentang proses eksekusi Tibo Cs adalah provokator yang melanggar hukum dan harus diproses secara hukum pula. "Eksekusi adalah keputusan hukum tertinggi yang telah dilalui. Olehnya, siapapun dia yang menolak keputusan hukum itu sama saja dengan menentang hukum, dan mereka harus diproses secara hukum pula," tegas Sugianto.
Pada point empat dari pernyataan sikap, ke enambelas Ormas Islam itu memberikan batas waktu (deadline) kepada kedua lembaga yudikatif, masing-masing Kejati Sulteng dan Polda Sulteng, untuk segera menggelar eksekusi terhadap Tibo Cs hingga akhir Agustus bulan ini. Jikapun batas waktu itu tidak terpenuhi, maka seluruh komponen ummat Islam yang ada di beberapa daerah di luar kota Poso, telah siap untuk menggelar aksi besar-besaran di kota Palu. "Dan jika dalam aksi itu juga tidak mendapatkan jawaban pasti soal eksekusi, maka kami akan tetap berada di Palu hingga ada kepastian soal eksekusi," ungkap Adnan Arsal saat ditemui wartawan sebelumnya.
Sementara itu, Wakapolres Poso Kompol Minarto SIK dalam kesempatan yang sama menyatakan akan menyiapkan personilnya untuk mengawal rombongan massa dari Poso jika seandainya mereka jadi untuk berdemonstrasi di Palu. (nsr)

Radar Sulteng, Rabu, 30 Agustus 2006
Jangan Bodohi Masyarakat

PALU- Diajukannya kembali grasi oleh Penasehat Hukum (PH) Tibo Cs, menurut praktisi hukum Harun Nyak Itam Abu SH, adalah upaya pengaburan fakta hukum, serta proses pembodohan masyarakat. Menurutnya dalam sejarah hukum di Indonesia, tidak ada yang dikenal dengan istilah pengajuan grasi ketiga, apalagi pengajuan grasi oleh keluarga, seperti yang disampaikan oleh PH Tibo dari Padma Indonesia.
"Sedangkan grasi kedua, ada ketentuannya, bahwa jangka waktunya adalah dua tahun, berdasarkan UU no 2 tahun 2002 yang mengatur tentang grasi. Tidak serta merta, setelah grasi pertamanya ditolak presiden, lantas langsung bisa mengajukan grasi. Harus ada tenggat waktu dua tahun, setelah ditolaknya grasi pertama, lantas terpidananya belum dieksekusi, barulah boleh mengajukan grasi lagi kepada presiden,"tandas Harun yang juga anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) kemarin (29/8).
Mengenai pengajuan grasi oleh keluarga, menurutnya juga merupakan proses pembodohan. Karena, dalam dunia hukum tidak ada yang dikenal dengan istilah grasi keluarga. Berbeda dengan Peninjauan Kembali (PK), yang boleh diajukan oleh pihak keluarga. Menurut Harun, grasi adalah pengajuan pengampunan dan pengakuan dosa oleh pelaku kejahatan, kepada presiden, serta berharap presiden bisa memberikan putusan bijak dan mengampuninya. Olehnya, sangat tidak rasional, jika orang lain yang harus mengakui kesalahan yang dilakukan orang lain, walaupun itu adalah keluarganya sendiri.
"Kalau ada pernyataan bahwa walaupun mengajukan grasi, tapi tidak mau mengakui kesalahan, itu juga di luar rasional saya. Kalau memang merasa tidak bersalah, jangan minta ampun dan ajukan grasi. Contohnya Amrozi Cs yang berkukuh, tidak mau ajukan grasi, karena memang mereka merasa tidak pernah berbuat, seperti yang dituduhkan," katanya lagi.(hnf)

Radar Sulteng, Rabu, 30 Agustus 2006
Tibo Sudah Bisa Terima Kunjungan
Ormas Islam Bakal Gugat Negara

PALU– Tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu kini bisa bernafas lega. Mereka sudah dibolehkan menerima kunjungan.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ketiganya tidak diperbolehkan menemui siapapun, walaupun PH atau keluarganya. Namun sejak Senin (27/8), Tibo Cs sudah diperbolehkan oleh pihak Kejati Sulawesi Tengah, menemui keluarga, rohaniawan dan penasehat hukumnya. Walaupun ketiganya, masih mendekam di ruang tahanan khusus.
Pastor Jemy Tumbelaka, yang menjadi rohaniawan Tibo Cs, mengaku senang, karena akhirnya diperbolehkan menemui tiga terpidana mati yang hingga kini eksekusinya terus mengalami penundaan. Namun demikian, Jemy berharap, agar ketiganya dikeluarkan dari ruang tahanan khusus, agar mereka kembali bisa berkomunikasi dengan dunia luar, baik dengan sesama warga binaan Lapas, maupun dengan keluarganya, yang setiap saat datang membesuk.
"Selama mendekam di ruang isolasi, mereka bertiga (Tibo Cs, red), mengalami tekanan psikologis. Makanya kita minta, agar Pak Tibo dan teman-temannya, dikeluarkan dari ruang isolasi," tandasnya.
Sementara itu, pelaksana tugas Kalapas Palu Amir Syamsuddin, membenarkan kalau ketiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso tersebut, sudah bisa bertemu dengan keluarganya, namun tetap menempati ruang isolasi. Menurutnya, perubahan status tahanan ketiga terpidana mati tersebut, berdasarkan kebijakan pihak kejaksaan, sehingga siapapun bisa membesuknya dengan catatan mengantongi izin jaksa.
"Mengenai permintaan untuk mengeluarkan Tibo dari ruang tahanan khusus, itu adalah kewenangan Jaksa, bukan Lapas," tandas Syamsuddin, seraya menegaskan, meski tidak diisolasi, namun Tibo cs tetap menghuni ruang tahanan khusus dan tetap ditahan di ruangan terpisah.
GUGAT NEGARA
Tiga ormas Islam akan menggugat negara, terkait dengan molornya eksekusi terpidana mati kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Domingus da Silva.
Tiga Ormas itu, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Palu, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Persudaraan Muslim Indonesia (GPMI). Ketiganya akan memberikan kuasa kepada TPM (Tim Pengacara Muslim) untuk mengajukan gugatan tersebut.
Abd Haris juru bicara HMI Palu, kepada wartawan kemarin (29/8), mengatakan, gugatan itu akan dilayangkan pada pekan kedua September mendatang. Mereka yang digugat, yakni: Kapolda Sulteng, Kejati Sulteng serta Presiden RI. Ketiganya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap molornya pelaksanaan eksekusi.
"Materi gugatannya, masih tengah dimatangkan oleh tim. Insya Allah, jika tidak dimasukkan di Pengadilan Negeri Palu, gugatannya akan kita daftarkan di pengadilan negeri Jakarta Selatan," tandas Abd Haris saat konferensi pers di Hotel Wisata Palu.
Walaupun di sisi lain tandas Haris, umat Islam saat ini sudah pesimistis dengan, aparat penegak hukum di Indonesia, namun diharapkan gugatan terhadap negara itu, akan menjadi pembelajaran dan proses pencerahan.
"Soal menang dan kalah, kita sudah siap menghadapi apapun konsekuensi dari gugatan yang kita sampaikan ini. Namun paling tidak, dari upaya ini, akan memberikan bukti, bahwa kami Umat Islam, tidak akan pernah diam melihat ketimpangan. Insya Allah ini merupakan bagian dari jihad bagi kami, dalam mencari keadilan dan menegakkan kebenaran," tegas Haris yang juga komandan Laskar Mahasiswa.
Sementara itu, dalam pernyataan sikap bersama HMI, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Persudaraan Muslim Indonesia (GPMI) kemarin, ketiga Ormas Islam itu, mengeluarkan beberapa statemen, terkait melempemnya sikap aparat penegak hukum. Dalam penilaian ketiga Ormas Islam tersebut, tandas Awaluddin ketua umum GPMI Kota Palu, bahwa segala sikap dan upaya menolak putusan hukuman mati terhadap Tibo Cs, adalah sikap yang bertentangan dengan upaya penegakan hukum di Indonesia. Olehnya, lanjut Awaluddin, aksi-aksi penolakan, merupakan bentuk pelecehan, penghinaan terhadap institusi negara.
"Bahwa aksi-aksi yang dilakukan dalam upaya menolak eksekusi mati terhadap Tibo Cs, dapat digolongkan dengan tindakan makar terhadap negara. Termasuk aksi pengibaran setengah tiang pada peringatan HUT RI di Tentena. Lalu dimana aparat hukum, kenapa hanya diam saja melihat tindakan makar tersebut," katanya.
Menurut Awaludin, batalnya eksekusi terhadap Tibo Cs, akan menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, dampak psikologisnya, tidak menutup kemungkinan, lahirnya kembali 'Tibo' baru, yang bakal melakukan penjagalan, karena melihat lemahnya penegakan hukum, terhadap pelaku pembantaian.
"Jangan kita bicara hak azazi manusia. Dimana HAM-nya Tibo saat menjagal, kenapa bukan itu yang kita perdebatkan. Sesungguhnya, dalam prosesi eksekusi mati, merupakan salahsatu bentuk upaya kita mempertahankan peradaban di bumi ini," tambahnya.
Hariman Podungge, ketua HMI Cabang Palu, menambahkan bahwa surat dari Paus Benedictus VI, merupakan bukti adanya intervensi asing terhadap kedaulatan NKRI. Selain itu, adanya surat dari Paus, serta upaya sebagian kalangan yang berusaha mengaburkan persoalan hukum terhadap Tibo Cs, dikhawatirkan akan menyulut konflik theologis serta merusak tatanan hubungan antar umat beragama.
"Berkaitan dengan segala pertimbangan di atas, kami menyatakan sikap. Ekesekusi mati terhadap Tibo Cs, merupakan wujud dari penegakan supremasi hukum di Indonesia, serta meminta kepada semua pihak, agar menghormati putusan hukum dan menghentikan segala upaya provokatif, yang dapat menyulut konflik theologis dan merusak tatanan kehidupan beragama di Sulteng," pungkas Indar Ismail ketua umum PW PII Sulteng.
BANTAH PENUNDAAN
Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sulteng, Hasman AH SH, yang dikonfirmasi terkait dengan penundaan eksekusi Tibo Cs tanpa batas, mengatakan bahwa pada dasarnya eksekusi Tibo Cs tidak ditunda. “Tidak ada penundaan. Pada tanggal 12 Agustus lalu memang sudah dijadwalkan, tetapi karena keburu ketahuan, maka tidak jadi,” kata Hasman.
Ditanya soal rapat tim yang berlangsung di Kejati Sulteng pada Senin malam lalu, Hasman membenarkan bahwa rapat itu membahas soal eksekusi Tibo. Namun katanya, rapat itu tidak membahas soal penundaan eksekusi.
Meski menegaskan tidak ada penundaan, namun plh Asintel Kejati itu juga tidak memberikan gambaran soal jadwal maupun kepastian pelaksanaan eksekusi. “Kalau soal itu saya tidak tahu, bukan kewenangan saya untuk menjelaskannya,” jawab Hasman.
Saat ini katanya, Plt Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng, Mahfud Manan dan Kapolda Sulteng Brigjen Oegroseno melakukan koordinasi kembali soal teknis pelaksanaan eksekusi terhadap ketiga terpidana mati tersebut.
Sementara itu, sumber Radar Sulteng menyebutkan, rapat tim eksekusi yang berlangsung di Kejati semalam, selain menyimpulkan penundaan eksekusi Tibo Cs tanpa batas, tim eksekusi yang terdiri dari eksekutor, medis dan rohaniawan itu, juga sudah dibubarkan.
Namun Hasman membantah soal adanya pembubaran tim. “Tidak benar itu. Tim belum dibubarkan. Malah Pak Plh Kajati dan pak Kapolda akan mengkoordinasikan lagi soal teknis pelaksanaan eksekusinya,” katanya. (hnf/lib)

Komentar, 30 August 2006
Kapolda Sulteng bakal diganti
Tibo Cs Dibebaskan dari Ruangan Isolasi

Tiga terpidana mati kasus Kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Do-minggus da Silva dibebaskan dari ruangan isolasi, Selasa (29/08) kemarin. Sebelumnya, ketiga terpidana menjalani isolasi di Lembaga Pemasyara-katan Kelas 2-A Petobo, Palu, Sulawesi Tengah sejak 10 Agustus silam.Tibo cs sempat ditemui ro-haniwan pendamping ketiga terpidana mati, Pastor Jimmy Tumbelaka, selama dua jam. Usai itu, Jimmy mengatakan permintaan pihak keluarga dan pengacara agar ketiga terpidana tidak diisolasi, sudah dikabulkan pihak kejaksaan. Ia mengakui Tibo dan ka-wan-kawannya, masih dalam kondisi sehat kendati sempat mengalami stres akibat terlalu lama ditempatkan di ruangan isolasi. Jimmy juga mengung-kapkan pengawasan terhadap Tibo cs tidak lagi seketat se-perti menjelang rencana ek-sekusi 12 Agustus silam.Pelaksana Harian Lepala La-pas Kelas 2-A Petobo, Andi Samsudin dalam penjelasan-nya di televisi kemarin, mem-benarkan penurunan status isolasi kepada ketiga terpi-dana. Dia mengaku sudah me-nerima pemberitahuan dari pihak kejaksaan terkait hal tersebut. Namun, Samsudin mengungkapkan Tibo cs saat ini masih berada di blok isolasi. Hanya pengawasan terhadap mereka sudah mulai longgar.Sementara itu, beredar in-formasi Kapolda Sulteng, Brigjen Oegroseno bakal di-mutasi. Sebelumnya juga Ka-jati Sulteng diganti. Kapolda Oegroseno dalam pembica-raannya dengan Pdt Damanik dkk pernah menyatakan, pe-radilan terhadap Tibo cs sesat. ‘’Pak Kapolda telah menelepon saya, bahwa beliau akan segera dimutasi. Malah sudah ada print dari Mabes Polri,’’ kata Didi S, salah satu tokoh asal Poso yang menilai, mutasi ini ada dugaan terkait ekse-kusi Tibo.(mtv/rik)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Kapolda Sulteng Diganti
Pemerintah Dinilai Tidak Ingin Kasus Poso Diungkap Tuntas


[JAKARTA] Pergantian Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng), Brigjen Polisi Oegroseno, sungguh tidak beralasan. Pergantian tersebut dinilai hanya untuk kepentingan kekuasaan dan rupanya pemerintah tidak ingin kasus kerusuhan Poso yang terjadi hingga sekarang, diungkap tuntas.
Demikian dikatakan anggota Komisi III DPR Benny K Harman, S Roy Rening SH dan Petrus Selestinus SH secara terpisah kepada Pembaruan, Rabu (30/8). Roy dan Petrus merupakan kuasa hukum tiga terpidana kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva dari Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia.
Pergantian Brigjen Polisi Oegroseno dibenarkan oleh Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Anton Bachrul Alam. "Benar, beliau diganti dan besok dilakukan serah terima di Mabes Polri," kata Anton ketika dihubungi, Rabu (30/8) pagi.
Sumber Pembaruan di Mabes Polri menyebutkan pengganti Oegroseno ialah Birgjen Pol Timur Pradoko, kini sebagai Kapolda Banten. Namun Anton mengaku belum mengetahui siapa pengganti Oegroseno. Menurut Anton, pergantian tersebut merupakan hal biasa, sebagai rotasi dan regenerasi di tubuh Polri.
Konsentrasi
Roy Rening mengatakan, selama ini Oegroseno sangat berkonsentrasi dalam mengusut kasus kerusuhan Poso, terutama kasus yang menimpa tiga terpidana tersebut di atas. Menurut Roy, Oegroseno sangat optimis kasus Poso III dapat diungkap tuntas, termasuk menangkap 16 nama yang dilaporkan Tibo Cs sebagai pelaku dan dalang kasus Poso III.
Menurut Benny, seharusnya pemerintah jangan mengganti dulu Oegroseno sampai kasus Poso terungkap tuntas. Benny, yakin dengan pergantian seperti kasus Poso tidak akan reda, bahkan terus terjadi.
Benny mengharapkan, Kapolda Sulteng yang baru, yang menggantikan Oegroseno, harus meneruskan agenda Oegroseno, yakni mengungkap tuntas kasus Poso, terutama menunda eksekusi Tibo Cs.
Sementara tiga terpidana mati tersebut, hari sejak beberapa hari lalu, masuk ruang isolasi, Rabu (30/8), pagi telah dikeluarkan dari ruangan isolasi dan masuk ke ruang tahanan biasa. "Saya sedang mendampingi mereka pindah dari ruang isolasi," kata Roy dari Palu. [E-8/G-5/128]
Last modified: 30/8/06

Tuesday, August 29, 2006

Radar Sulteng, Selasa, 29 Agustus 2006
Hasil Rapat Tim, Eksekusi Tibo Cs Ditunda Tanpa Batas
Warga Poso Kota Bakal Demo di Palu

PALU – Aparat gabungan yang tergabung dalam tim eksekusi Tibo Cs kembali menggelar rapat di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng, tadi malam. Rapat tertutup dan dijaga ketat aparat gabungan pada intinya membahas pelaksanaan eksekusi tiga terpidana mati kasus kerusuhan di Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Hanya saja, apa hasil dari rapat tertutup itu tidak diketahui pasti dan sangat dirahasiakan karena hanya tim yang masuk dalam pelaksanaan eksekusi Tibo Cs yang tahu.
Pemantauan Radar Sulteng tadi malam, rapat dimulakan sekitar pukul, 20.00 wita bertempat di gedung bagian belakang Kejati Sulteng. Hanya deretan mobil yang tampak memadati halaman gedung berlantai dua itu. Sejumlah aparat keamanan disiagakan di sekitarnya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Sekitar pukul, 23.00 wita rapat tertutup itu berakhir dan tidak seorang pun tim yang tergabung dalam eksekusi mau memberikan keterangan.
Namun sumber Radar Sulteng menyebutkan, aparat gabungan yang hadir dalam rapat tertutup menyepakati pelaksanaan eksekusi Tibo Cs ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Ada dugaan kata sumber itu, penundaan eksekusi berkaitan dengan pergantian Kajati Sulteng dan pertemuan terakhir Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno dengan ketiga terpidana mati pada, Minggu sore (27/8).
Sumber itu mengatakan, pada pertemuan terakhir dengan Kapolda Oegroseno, Tibo Cs masih berkukuh dengan pernyataannya bahwa 16 nama yang pernah disebutkan minta diproses dan diadili seperti dirinya.
Sementara itu dari Poso dilaporkan, warga kota Poso akan melakukan demo ke Palu. Ini terkait dengan penundaan eksekusi Tibo pada 12 Agustus lalu.
Demo itu sendiri adalah hasil rapat seluruh komponen umat Islam yang ada di Kabupaten Poso beberapa waktu lalu. Rapat itu menyepakati untuk memberikan batas waktu (deadline) kepada Kejati dan Polda Sulteng untuk segera mengeksekusi Tibo Cs hingga akhir Agustus bulan ini.
Dalam rapat itu juga berhasil disepakati bahwa jika deadline itu tidak dipenuhi, maka seluruh komponen umat Islam yang ada di Kabupaten Poso, Tojo Unauna, dan beberapa elemen lain di kota Palu, akan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di kantor Kejati dan Polda Sulteng di Palu.
Ketua Forum Silaturahim dan Persaudaraan Umat Islam (FSPUI) Poso, H Adnan Arsal yang ditemui wartawan, Senin (28/8) mengatakan, demonstrasi yang akan melibatkan seluruh komponen ummat Islam akan bertahan di Palu sampai ada ketetapan jelas soal eksekusi. "Eksekusi mati terhadap Tibo Cs lahir dari keputusan hukum tertinggi. Olehnya, sebagai negara yang selalu menjunjung tinggi hukum, jangan malah meremehkan hukum itu sendiri. Alasan yang mengatakan bahwa jika eksekusi dilakukan akan mengganggu stabilitas keamanan di kabupaten Poso, adalah alasan yang sangat tidak logis. Sebab, ribuan personel pengamanan di Poso harus dapat mengamankan segala dampak yang timbul dari proses eksekusi," tegas Adnan.
Disinggung soal beberapa elemen lain yang menuntut untuk pembatalan eksekusi terhadap Tibo dalam bentuk aksi massa menurut Adnan adalah hal yang wajar dalam dunia demokrasi. "Namun ketika mereka memaksakan kehendak dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis maka Polisi harus bersikap tegas dong. Sama halnya ketika eksekusi dilakukan lantas mereka mau berbuat anarkis, maka itu adalah tanggungjawab Polisi untuk bersikap tegas dalam mengawal penerapan hukum," ujarnya.
Hal yang sama juga dikemukakan Ketua Bela Negara dan Jihad DPW Front Pembela Islam (FPI) Poso, Sugianto Kaimudin.
Dia meminta aparat agar segera menerapkan hukum kepada siapapun tanpa pandang bulu, termasuk untuk segera mengeksekusi Tibo Cs. "Eksekusi terhadap Tibo itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena telah lahir dari proses hukum tertinggi yakni peninjauan kembali (PK) dan permohonan grasi ke presiden. Maka tidak ada alasan lagi untuk meminta proses eksekusi dibatalkan. Jika ada yang menginginkan pembatalan eksekusi dapat dikategorikan sebagai pelanggar hukum, karena justeru menentang keputusan hukum dan tidak mau mematuhinya," ujar Anto, sapaan akrab Sugianto, saat ditemui Radar Sulteng di kediamannya, Minggu (27/8) lalu.
Lalu, bagaimana tanggapan dari Pdt Reynaldi Damanik? Ditemui wartawan di kediamannya di kota Tentena kecamatan Pamona Utara beberapa waktu lalu, ia dengan tegas meminta agar proses hukum terhadap Tibo Cs dapat ditinjau kembali. Karena pelaku atau otak dari kerusuhan Poso bukanlah mereka bertiga.
HARUS TEGAS
Penundaan hukuman mati terhadap terpidana mati kasus kerusuhan Fabianus Tibo Cs dikecam oleh ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Seharusnya hukum yang sudah berkekuatan tetap tidak bisa dipengaruhi oleh pihak manapun," kata ketua MPR, Hidayat Nurwahid kepada wartawan kemarin.
Dia mengatakan sebagai ketua MPR memang dirinya tidak bisa mengajukan desakan, tetapi sebagai anggota DPR dirinya mendesak agar pemerintah menjalankan putusan hukum kepada terpidana Tibo Cs.
Kalau di negara kita, lanjutnya, ketetapan hukum tidak dijalani dengan serius dan dapat dipengaruhi oleh pihak lain. Maka penegakan hukum di Indonesia menjadi sangat sulit. "Bagaimana mungkin menegakkan hukum, jika masih bisa dipengaruhi oleh pihak lain," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, setelah Presiden SBY menerima surat dari Paus Benedictus XVI, pemuka agama Katolik tertinggi di Vatikan yang isinya memprotes soal hukuman mati terhadap Tibo Cs. Hukuman mati yang sudah diputuskan pengadilan dan Mahkamah Agung diperintahkan secara diam-diam oleh Presiden untuk ditunda.(lib/nsr/uky/jpnn)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Jangan Tergesa-gesa Mengeksekusi Tibo Cs!
Franz Magnis Suseno SJ

asus Tibo cs. menjadi semakin rumit, tercecer, bahkan eksplosif. Semula masalahnya masih agak sederhana: Keadilan terhadap kurban pembantaian di km 9 dekat Poso. Dan keadilan, yah, kebenaran, terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu yang di semua tingkat pengadilan diputuskan menjadi penanggungjawab pembantaian tersebut.
Kalau putusan pengadilan-sesudah permohonan grasi ditolak oleh Presiden-kemudian mulai dipersoalkan maka demikian karena muncul beberapa alasan serius untuk meragukan bahwa Tibo cs memang melakukan apa yang mendasari putusan hukum mati itu.
Tetapi kemudian masalahnya merebak ke mana-mana. Para kurban khawatir bahwa pembantaian tidak ditebus. Sebaliknya ada yang meyakini bahwa Tibo cs tidak terlibat sama sekali dan hanya dija- dikan tumbal. Masalah menjadi "SARA": Kalau tiga terhukum mati Katolik tidak dieksekusi, menjadi masalah kalau Amrozi cs yang Muslim dieksekusi.
Tuntutan untuk menunda eksekusi Tibo cs. menjadi tuntutan untuk menghapus hukuman mati an sich. Para uskup Indonesia mengambil posisi ini. Mereka tidak hanya minta agar Tibo cs. tidak dieksekusi, melainkan juga agar semua ekskusi hukuman mati lain, termasuk terhadap Amrozi cs, dibekukan. Pemerintah sebaliknya khawatir akan kepastian hukum apabila putusan pengadilan yang sudah sah lalu tidak dieksekusi.
Akhirnya telegram Paus Benedikt XV, kepada Bapak Presiden, betapa pun baik maksudnya, bisa mempertajam konfrontasi primordialistik (Katolik membela Tibo cs karena mereka Katolik, Islam membela Amrozi cs karena mereka Islam).
Dalam situasi cukup kacau ini sebaiknya kita coba mengangkat beberapa pertimbangan mendasar, meskipun tetap pimpinan negara akan harus mengambil sikap yang tidak gampang.
Pertama, Paus Benedikt. Apakah Beliau bi-sa menolak permintaan bantuan moral dari orang-orang umatnya yang khawatir bahwa bisa terjadi kejahatan hukum terhadap tiga orang terpidana itu? Dan apakah tepat seandai-nya Beliau juga minta penundaan eksekusi Amrozi cs?
Bukankah Amrozi cs-itulah perbedaan cukup mendasar dengan Tibo cs -mengakui mengakui sendiri perbuatan yang dituduhkan kepada mereka dan tidak minta bantuan siapa pun agar hukuman mati?
Permintaan Implisif
Padahal Paus-yang pasti tahu tentang Amrozi cs-dalam telegramnya menambah bahwa, Gereja Katolik sudah pada banyak kesempatan bicara menentang hukuman mati". Bukankah itu sebuah permintaan implisit agar Amrozi cs pun tidak dihukum mati?
Apalagi Paus, beda dengan sementara pendukung Tibo cs, menghindar sama sekali dari memper- soalkan keputusan hukum terhadap Tibo cs. Jadi ia justru tidak mencampuri proses hukum di Indonesia.
Tetapi barangkali pertimbangan paling dasar adalah: Apa pun implikasinya, dan betapa pun penundaan hukuman mati Tibo cs bisa menimbulkan macam-macam kesulitan, kita orang Indonesia, sebagai bangsa yang beradab, tidak mengeksekusi orang yang belum pasti bersalah!
Tetapi bukankah semua jalur hukum sudah dilalui? Bagaimana kalau setiap keputusan "final" pengadilan kemudian bisa ditunda eksekusinya hanya karena ada yang meragukannya kemungkinan kecil yang bersangkutan tidak melakukan apa yang dituduhkan?
Tetapi di sini kita harus konsekuen. Sangkalan yang wajar ini kandas dalam hal hukuman mati! Karena semua hukuman lain masih dapat direvisi, tetapi hukuman mati tidak.
Itulah konsekuensi bagi negara yang mempertahankan hukuman mati: Proses pengadilan tidak boleh menjadi kata akhir selama masih ada secuil kemungkinan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Kalau itu mengganggu kepastian hukum maka hapuslah hukuman mati!
Tetapi membunuh orang meskipun ada keragu-raguan tentang kebersalahannya, hanya karena "jalan hukum sudah selesai dilewati" adalah tindakan barbar. Negara- negara yang mempertahankan hukuman mati perlu menyadari hal itu kalau harkat kemanusiaan yang adil dan beradab mau mereka klaim.
Kesempatan Baik
Sesudah pertimbangan prinsipil ini, saya mau menarik perhatian pada satu segi serius dalam pelaksanaan pengadilan terhadap Tibo cs. Di tengah-tengah konflik yang masih merajalela, di tahun 2001, mereka diadili di kota Poso yang waktu itu merupakan teritori satu dari dua pihak yang berperang.
Apakah mungkin dalam tekanan massa yang sangat emosional (hal mana bisa dimengerti) para hakim melakukan pengadilan yang betul-betul objektif?
Dan bagaimana keadilan dalam perkara Tibo cs, tiga orang transmigran dari Flores itu, dapat men-jadi transparen bagi mereka yang sesuku dan segama dengan mereka, kalau kita ingat bahwa selama seluruh konflik di Maluku dan Poso, selama tiga tahun lebih, dengan sekitar delapan ribu kurban, hanya tiga orang itulah yang dijatuhi hukuman mati?
Kalau secara politis pembatalan eksekusi hukuman mati terhadap Tibo cs dianggap sulit, maka itulah kesempatan baik untuk membekukan untuk sementara segala pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, termasuk terhadap Amrozi cs.
Maka amat tepat kalau pelaksanaan eksekusi Tibo cs-dan silahkan juga terhadap Amrozi cs-ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Rasanya tak ada jalan ke luar lain yang wajar.
Penulis adalah Rohaniwan,
guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Last modified: 29/8/06

MA Tolak, tidak bersedia memproses
Tibo Cs Ajukan Grasi II Lewat Jubir Presiden
Komentar, 29 August 2006

Meski Mahkamah Agung se-cara tegas telah menolak un-tuk memprosesnya, namun Fabianus Tibo cs tetap meng-ajukan grasi II (kedua) kepada Presiden RI. Hanya saja kali ini, grasi itu tidak disampai-kan melalui pengadilan, me-lainkan via jubir presiden, Andi Malarangeng. Hal ini dikemukan Roy Re-ning, Koordinator Penasihat Hukum Tibo dkk dari Pelaya-nan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) In-donesia, di Lembaga Perma-syarakatan Kelas II A Palu, Senin (28/08). “Karena MA tidak bersedia memproses, permohonan grasi kedua Tibo dkk kami sampaikan langsung kepada Sekretaris Andi Mala-rangeng pada hari Sabtu lalu,” kata Roy seperti dikutip kom-pas online. Roy mengatakan, permoho-nan grasi kedua Tibo dkk ini diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang dalam pasal 2 disebutkan permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana untuk kedua kalinya setelah permohonan grasi pertama ditolak dan telah melewati batas waktu 2 tahun sejak tanggal penolakan grasi pertama oleh presiden. “Memang penolakan grasi per-tama Tibo dkk belum sampai dua tahun. Tapi UU telah mem-berikan hak kepada terpidana untuk mengajukan grasi kedua. Karena itu, Presiden harus memproses dan mempertim-bangkan permohonan grasi kedua itu walaupun harus menunggu sampai waktu penolakan grasi pertama telah dua tahun,” katanya. Roy menambahkan, karena yang mengajukan permohonan grasi adalah terpidana mati, berdasarkan ketentuan pasal 13 UU Grasi, pidana mati tidak da-pat dilaksanakan sebelum kepu-tusan Presiden tentang penola-kan permohonan grasi kedua di-terima oleh terpidana. Jika pe-ngajuan grasi II ini diterima, oto-matis pelaksanaan hukuman mati belum bisa dilaksanakan, sebelum adanya putusan pre-siden apakah menolak atau menerima grasi II ini.(kcm/*)

Tibo Dkk Kembali Ajukan Grasi
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N, Senin, 28 Agustus 2006 - 12:22 wib

PALU, KOMPAS - Walaupun Mahkamah Agung telah menolak untuk memproses, Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48), terpidana mati kasus kerusuhan Poso, mengajukan grasi kedua kepada Presiden RI. Kali ini, permohonan grasi itu tidak disampaikan melalui pengadilan, tetapi langsung kepada Juru Bicara Presiden Andi Malarangeng.
Hal itu disampaikan Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo dkk dari Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu, Senin (28/8). “Karena MA tidak bersedia memproses, permohonan grasi kedua Tibo dkk kami sampaikan langsung kepada Sekretaris Andi Malarangeng pada hari Sabtu lalu,” kata Roy.
Roy mengatakan, permohonan grasi kedua Tibo dkk ini diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang dalam pasal 2 disebutkan permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana untuk kedua kalinya setelah permohonan grasi pertama ditolak dan telah melewati batas waktu 2 tahun sejak tanggal penolakan grasi pertama oleh Presiden.
“Memang penolakan grasi pertama Tibo dkk belum sampai dua tahun. Tapi UU telah memberikan hak kepada terpidana untuk mengajukan grasi kedua. Karena itu, Presiden harus memproses dan mempertimbangkan permohonan grasi kedua itu walaupun harus menunggu sampai waktu penolakan grasi pertama telah dua tahun,” katanya.
Roy menambahkan, karena yang mengajukan permohonan grasi adalah terpidana mati, berdasarkan ketentuan pasal 13 UU Grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi kedua diterima oleh terpidana.

Jadwal Eksekusi Tidak Jelas
Padma dan Rohaniawan Minta Tibo Dkk Tidak Diisolasi
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N, Selasa, 29 Agustus 2006 - 15:43 wib

PALU, KOMPAS--Walaupun pemerintah telah menunda pelaksanaan eksekusi Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48) sejak 11 Agustus lalu, sampai Selasa (29/8) kemarin tiga terpidana mati kasus Poso itu masih diisolasi di sel khusus Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu. Penasehat Hukum dan rohaniawan yang selama ini mendampingi Tibo dkk menilai kebijakan itu tidak manusiawi dan melanggar hak-hak terpidana.
Roy Rening, Koordinator Penasehat Hukum Tibo dkk dari Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia mengatakan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah harus segera mencabut perintah isolasi terhadap Tibo dkk. “Ketika pelaksanaan eksekusi ditunda, seharusnya Tibo dkk segera dikeluarkan dari ruang isolasi. Apa alasannya sampai sekarang mereka diisolasi. Isolasi hanya untuk orang yang tiga hari kemudian akan dieksekusi,” kata Roy.
Seperti narapidana lainnya, lanjut Roy, Tibo dkk mempunyai hak yang sama untuk ditahan di sel umum, bukan di sel khusus. Apalagi, selama dalam tahanan, Tibo dkk selalu berkelakuan baik, tidak pernah melanggar peraturan di LP Palu.
Hal senada disampaikan Pastor Jimmy Tumbelaka, rohaniawan yang selama ini mendampingi Tibo dkk beserta keluarga. Menurutnya, kebijakan mengisolasi Tibo dkk dalam waktu yang cukup lama tanpa ada kepastian kapan dieksekusi adalah kebijakan yang tidak manusiawi. Karena terlalu lama diisolasi, Jimmy mengatakan, saat ini kondisi Tibo dkk sangat tertekan. “Dalam ruang isolasi, mereka merasa selalu dihantui pelaksanaan eksekusi,” katanya.
Jimmy menambahkan, selain Tibo dkk harus dipindahkan ke sel umum, mereka juga harus diberi kebebasan menerima kunjungan penasehat hukum, rohaniawan, keluarga, wartawan, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan Tibo dkk. “Kebebasan itu tentu sesuai dengan jadwal kunjungan di LP, sama seperti narapidana lainnya,” kata Jimmy.
Sabtu lalu, keluarga Tibo yang datang dari Kabupaten Morowali—sekitar 500 kilometer dari Palu—terpaksa meninggalkan LP Palu dengan sia-sia karena tidak diizinkan menjenguk Tibo. Demikian pula, Senin lalu, Roy Rening tidak mendapat izin menjenguk Tibo dkk.

Poso trio renews clemency request
The Jakarta Post, Jakarta, Palu, August 29, 2006

Three Christian militants facing execution in Central Sulawesi for leading a mob that killed Muslims have made a fresh appeal for presidential clemency, their lawyers and a presidential spokesman said Monday.
The office of President Susilo Bambang Yudhoyono received a letter from the trio -- Fabianus Tibo, Marianus Riwu and Dominggus Silva -- presidential spokesman Andi Mallarangeng was quoted by Reuters as saying.
One of the men's lawyers, Roy Rening, said the men had submitted their second clemency request "because their trials were full of fabrications".
Roy was speaking while visiting the Palu prison, where the three were being held in isolation.
The law allows death-row convicts to seek a second clemency a minimum of two years after the first request is rejected by the president.
Yudhoyono rejected the men's appeals for a pardon last year. There has been no indication that he will intervene this time.
The three men had been due to face a firing squad on Aug. 12 at a secret location in Palu, the capital of Central Sulawesi province.
They were given an eleventh-hour reprieve. Officials said they wanted to concentrate on preparations for the Aug. 17 Independence Day celebrations.
The delay came after demonstrations against the planned executions by thousands of Indonesians, and a plea by Pope Benedict XVI for President Yudhoyono to spare the trio's lives.
No new date for the execution has been made public, but officials have said the death sentence will be carried out.
The lawyers demanded that the trio be allowed to see visitors. "The isolation is killing them because the three are not permitted to meet their families, lawyers and spiritual leaders," Roy said.
Fierce battles between Christians and Muslims in 2000 and 2001 left some 1,000 people of both religions dead, mostly in Poso. Few people have been brought to justice from either side.
Three Muslim militants were also scheduled for execution earlier this month for their roles in the 2002 Bali bombings, but their sentence was not carried out because lawyers said they were filing a final appeal.
Some analysts have said the government of this predominantly Muslim nation is wavering because it does not want to risk public anger by executing the Bali bombers -- Amrozi bin Nurhasyim, Ali Gufron and Imam Samudra -- before the Christians.
"People were asking, 'Why Amrozi first, and not Tibo?'," Muhammad Mahendratta, an attorney for the Muslim militants, said as quoted by AP.
"For me, it is a simple matter: just follow the death row queue," he said. "Tibo and his friends got convicted first, and they should be executed first."

Monday, August 28, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Demo di Depan Istana Tolak Tibo Dihukum Mati

Massa Gerakan Indonesia Satu berunjuk rasa di Jakarta, Sabtu (26/8). Mereka menuntut agar terpidana kasus kerusuhan Poso Fabianus Tibo, Domininggus Da Silva, dan Marianus Riwu segera dibebaskan dari hukuman mati, karena menurutnya tidak bersalah. [Pembaruan/YC Kurniantoro]
[JAKARTA] Sekitar 300 orang yang bergabung dalam Solidaritas Masyarakat Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur, Sabtu (26/8), melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta untuk menolak hukuman mati bagi Fabianus Tibo dan kawan-kawannya.
Penolakan tersebut didasarkan atas penilaian mereka bahwa proses persidangan para terpidana kasus kerusuhan Poso tersebut tidak transparan.
"Selain menolak hukuman mati (bagi Tibo dan kawan-kawan), kami juga mempersoalkan peradilan kasus Poso yang prosesnya kami nilai tidak adil," kata Boni, salah seorang yang berunjuk rasa itu seperti dilansir Antara.
Boni yang mengaku mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara tersebut menjelaskan proses tidak transparan yang mereka maksud adalah persidangan kasus kerusuhan Poso terkesan tertutup pada tahap awal dan baru terbuka pada akhir persidangan menjelang vonis.
"Proses hukum juga tidak adil karena Tibo dan kawan-kawan didampingi pengacara yang disediakan oleh pemerintah," kata Boni.
Massa yang berjumlah 300 orang tersebut berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia sekitar pukul 10.00 WIB dan bergerak menuju Istana Merdeka. Selain berjalan kaki mereka juga diiringi sejumlah kendaraan, sementara aparat keamanan dari Kepolisian tampak mengawasi dan berjaga-jaga.
Selama perjalanan menuju ke Istana Merdeka, massa berorasi sejenak setiap kali melintasi gedung pemerintahan, seperti Bank Indonesia, Departemen Pertahanan dan Kantor Menko Polkam. Dalam orasinya, mereka meminta pemerintah mengubah putusannya dan kembali membuka pengusutan kasus Poso secara transparan dan adil.
Massa juga membawa sejumlah spanduk yang isinya antara lain, bertuliskan "Tolak Peradilan Sesat" dan "Solidaritas Masyarakat Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur untuk Keadilan dan Kemanusiaan Menolak Eksekusi Mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Dasilva". Hingga pukul 12.30 WIB massa masih melakukan orasi di depan Istana Merdeka Jakarta.
Tibo, Dominggus dan Marinus seharusnya telah menjalani eksekusi di hadapan regu tembak pada 12 Agustus 2006 pukul 00.15 Wita, namun 30 menit sebelum batas waktu penetapan dinyatakan ditunda setelah presiden memimpin rapat Polhukam.
Kajati Sulteng, M. Jahja Sibe SH, MH pekan lalu mengatakan hingga kini belum ada pertemuan khusus dengan Kapolda Brigjen Pol Oegroseno membahas penetapan kembali jadwal eksekusi ketiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso tersebut
Sejumlah rohaniawan Katolik yang belajar dan bekerja di luar negeri mengirim petisi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya menentang hukuman mati terhadap Tibo cs.
Para pastor yang bekerja di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Austria, Irlandia, Brasil, Argentina, Ghana, Hong Kong dan Taiwan itu mengatakan, setelah mempelajari berbagai pemberitaan, data, dan fakta dan bukti-bukti baru, termasuk dari PADMA Indonesia, ternyata tiga warga sipil itu bukanlah dalang konflik di Poso, Sulawesi Tengah, mulai 23 Mei-1 Juni 2000.
Karena itu, mereka mengirim petisi kepada Presiden Yudhoyono meminta mempertimbangkan kembali keputusan hukuman mati terhadap Tibo cs. "Kami meminta Bapak Presiden untuk menghapuskan hukuman mati atas dasar kemanusiaan dan hukum internasional yang sudah diadopsi oleh Indonesia. Kami juga mendukung seruan banyak pihak untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia," kata Pastor Paulus Rahmat, SVD, koordinator kelompok misionaris internasional yang kini bekerja di AS
Masih Diperlukan
Di lain pihak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menilai pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dinilai masih diperlukan dalam sistem hukum di Indonesia. Karena itu, PBNU dengan tegas menolak penghapusan hukuman mati dalam sistem nasional.
Pimpinan tertinggi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini menilai hukuman itu harus tetap ada dalam sistem hukum Indonesia, karena pada hakekatnya keberadaan hukuman mati menjamin adanya kehidupan yang lebih luas.
"Dalam filsafat hukum, hukuman mati tidak perlu dihilangkan, karena keberadaannya justru untuk melindungi kehidupan yang lebih luas, yakni masyarakat," kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Mu-zadi dalam keterangan dalam situs resmi PBNU di Jakarta, akhir pekan lalu.
Hal itu diungkapkannya menanggapi munculnya pro dan kontra dari sejumlah pihak yang meminta agar hukuman mati dihilangkan dari sistem hukum Indonesia, karena dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) lantaran menghilangkan hak seseorang untuk hidup.
Hasyim, demikian panggilan akrab Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang, Jawa Timur ini menjelaskan, di beberapa negara yang menerapkan hukuman mati justru kasus pembunuhan terbilang jarang atau sedikit jumlahnya, seperti yang terjadi di Malaysia.
"Namun, kita jangan hanya memperhatikan hak asasi manusia si pembunuh saja. Bagaimana dengan hak asasi manusia korban yang telah terbunuh, mengapa itu tidak kita perhatikan?" tegas mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini. Hakikat dari hukuman mati itu sendiri, menurut Hasyim, sebetulnya ada pada penegakan keadilan dan bukan pada eksekusinya itu sendiri.
"Salah satu contoh masih terjadinya kasus carok di Madura. Itu masih terjadi, karena pelaku carok yang membunuh orang, ada yang hanya dihukum beberapa tahun, makanya kasus serupa masih juga terjadi hingga saat ini," imbuhnya. Carok adalah duel menggunakan senjata tajam khas Madura, celurit, yang sering diidentikan menjadi budaya membela harga diri. [E-5/L-8]
Last modified: 28/8/06

Saturday, August 26, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945

[JAKARTA] Dipaksakannya eksekusi hukuman mati terhadap Tibo Cs, meski secara jelas terdapat kejanggalan dalam proses pengadilan, adalah demi melanggengkan kekuasaan. Hal itu terkait adanya tekanan pihak luar negeri, untuk menjalankan eksekusi pada para pelaku bom Bali.
Eksekusi mati Amrozi, yang mulai bergeser ke isu agama, dianggap bisa berpotensi memunculkan tekanan pada pemerintah. Menurut Cyprianus Aoer, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P), Jumat (25/8), eksekusi terhadap Tibo dipaksakan dengan harapan bisa meredam kemungkinan terjadinya tekanan yang bisa mengganggu kelanggengan kepemimpinan nasional.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Muhaimin Iskandar mengatakan, klarifikasi perlu diberikan baik pada Tibo, serta terpidana mati lainnya, sebelum dilakukan eksekusi. Dia menilai keputusan ditundanya eksekusi Tibo sudah tepat, untuk memberi waktu melakukan klarifikasi.
Menolak
Sebaliknya Zaenal Ma'arif, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (FPBR) menolak adanya penundaan, dan keinginan dihapuskannya hukuman mati. "Kenapa harus memelihara penyakit, kenapa harus meniadakan hukuman mati," ujarnya.
Keinginan agar pemerintah meninjau kembali klausul tentang hukuman mati, disampaikan Todung Mulya Lubis, di DPR. Menurutnya, hukuman mati bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945. "Bukan hanya Tibo Cs, tapi terpidana lainnya," katanya.
Malaysia, tengah mengkaji penghapusan hukuman mati. Moratorium perlu dilakukan, untuk mengganti hukuman mati dengan hukuman seumur hidup. "Kita tidak menolak hukuman maksimal seumur hidup, asalkan jangan hukuman mati," ucapnya. [B-14]
Last modified: 26/8/06

Christian party wants Poso executions stayed
The Jakarta Post, Jakarta, August 26, 2006

The Prosperous Peace Party (PDS) called on the government Friday to delay the execution of three Catholics in Palu, Central Sulawesi, convicted of mass murder in a sectarian conflict.
The Christian-based political party said that the execution by firing squad of Fabianus Tibo, 68, Marianus Riwu, 48, and Dominggus da Silva, 38, would only bring renewed violence in the volatile region, on a larger scale.
It said the only way to prevent a conflict is to find what it called the real perpetrators.
"Instead of expediting the execution, the government should reopen the cases that implicated the three people, as the legal proceedings have been marred by irregularities," lawmaker Ratna Situmorang of the PDS faction told a press conference.
Ratna said there was a series of violations of proper legal procedure leading up to the prosecution of the three convicts.
She pointed to the fact that Tibo, Riwu and da Silva were arrested by an Army unit instead of the police, and that three Muslims were barred from testifying in their favor.
"All indications are that it was a rogue trial and the verdict it produced was illegal. We demand a retrial," Ratna said.
The police in Palu have set a date for the executions of the three convicts. They said they would be carried out sometime after the Aug. 17 Independence Day celebrations.
Various groups have protested against the planned executions of the three Catholics, saying the men were only pawns used by outside parties to sow the seeds of violence in Poso.
Pope Benedict XVI has also appealed to President Susilo Bambang Yudhoyono to spare the lives of the men. The appeal was sent via telegram by Cardinal Angelo Sodano, the Vatican's secretary of state.
Thus far, political factions at the House have been quiet about the planned execution. The PDS was the first to break the silence.
Joining the chorus demanding a delay in the execution of the three convicts was a politician from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), Gayus Lumbuun.
He said given the international pressure against executing the men, it would be better for the government to delay the execution and reopen the case to determine whether other people orchestrated the violence.
"We are just reiterating the demands of some members of the American Congress and European Parliament about resolving the mastermind in the case," Gayus said.
Lawyer Todung Mulya Lubis, who joined the PDS press briefing, went further by suggesting Indonesia abolish capital punishment. He said the death penalty contradicted the people's basic right to live, as guaranteed by the state constitution.
He said Indonesia should follow in the footsteps of countries such as Malaysia that have started moving to phase out the death penalty.
"We are not against life sentences, but please don't apply the death sentence," he said.
In Palu, hundreds of members of the Association of Islamic Students staged a street demonstration Wednesday, demanding the speedy execution of the three convicts since all legal avenues had been exhausted.
They also demanded that authorities investigate the convicts' claim they had acted on the order of 16 people they called the "masterminds" of the sectarian conflict.

Friday, August 25, 2006

Radar Sulteng, Jumat, 25 Agustus 2006
Eksekusi Tibo Cs Ditangan Kapolda

PALU - Pelaksanaan prosesi hukuman mati terhadap Tibo Cs, ternyata kuncinya berada di tangan Kapolda. Karena berdasarkan, aturan dalam UU no 2 PNPS tahun 1964, disebutkan bahwa kewenangan untuk menentukan tempat dan waktu pelaksanaan pidana mati, berada di tangan kepala polisi.
"Dalam pasal 3 UU no 2 PNPS tahun 1964, disebutkan bahwa, kepala polisi komisariat daerah tempat kedudukan pengadilan tingkat pertama yang memutuskan pidana mati, setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati," urai Harun Nyak Itam Abu SH, salahseorang praktisi hukum kemarin (24/8).
Berdasarkan bunyi aturan dalam UU tersebut tandas Harun, maka tidak ada alasan bagi aparat kepolisian, untuk selalu melemparkan kewenangan kepada pihak kejaksaan tentang waktu pelaksanaan prosesi eksekusi kepada Tibo Cs. Jika kepolisian ingin benar-benar bertindak atas nama hukum, maka jangan lagi mencari-cari alasan yang tidak logis, hanya untuk sekadar berkelit menghindari melaksanakan putusan mati terhadap tiga terpidana mati, karena terbukti melakukan penjagalan pada saat terjadinya kerusuhan di Kabupaten Poso, medio tahun 2000 yang lalu. Polda, tandas Harun lagi, tidak punya kewenangan untuk melakukan penilaian atas putusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Polisi sebagai alat negara, hanya melaksanakan setiap putusan undang-undang dan aturan yang telah digariskan.
"Kita sudah bosan dan muak, dengan alasan yang kadang sudah tidak masuk akal. Sebaiknya pemerintah umumkan saja, bahwa Tibo memang tidak akan dieksekusi, karena mereka bertiga adalah warga negara kelas satu, karena ada dukungan dari dunia internasional karena factor theologies, supaya jadi jelas,"katanya.
Harun menduga, bahwa ada scenario besar yang sedang dilakoni oleh pemerintah, untuk melepas jeratan hukuman mati yang sudah diputuskan kepada Tibo Cs. Scenario ini, didukung dengan fakta, melempemnya sikap pemerintah, yang hingga saat ini belum berani batasan waktu, pelaksanaan hukuman mati kepada Tibo Cs. Selain itu, kasus penaikan bendera setengah tiang di Kota Tentena, tepat pada perayaan HUT RI 17 Agustus yang lalu, untuk memprotes rencana pelaksanaan hukuman mati kepada Tibo Cs.
"Ini sudah tindakan makar, lalu kenapa aparat yang telah dibekali dengan senjata super canggih, hanya mampu melongo dan tidak mampu berbuat apa-apa. Makanya saat ini, kami sudah tidak percaya lagi dengan hukum, karena telah bertindak diskriminasi. Makanya sekali lagi saya ingin katakan, lebih baik pemerintah umumkan saja, mereka tidak berani mengeksekusi Tibo Cs,"tandasnya.
Humas Kejaksaan Tinggi Sulteng, Hasman AH SH yang ditemui di ruang kerjanya, enggan menjawab soal kewenangan pelaksanaan eksekusi mati. Juru bicara Kejati Sulteng ini, hanya menyarankan untuk bertemu langsung dengan Plh Kejati, jika ingin bertanya hal-hal yang bersifat teknis dan menyangkut kebijakan, termasuk kebijakan kewenangan pelaksanaan eksekusi, apakah berada di pihak kejaksaan atau kepolisian.
Sementara dari pihak Polda Sulteng, Kombes Pol Dadang Muharam Karo Bina Mitra yang menerima pengunjuk rasa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu, yang mendatangi Mapolda dan Kejati Sulteng kemarin (24/8), kembali mempertegas komitmennya, bahwa pihak kepolisian, sejak awal sudah siap jika sewaktu-waktu, pihak kejaksaan meminta untuk segera melaksanakan prosesi eksekusi.
"Kita yang menyiapkan eksekutornya, sedangkan kewenangannya ada di Kejaksaan. Pokoknya kita sudah siap,"tandas Dadang menjawab pertanyaan para pengunjuk rasa.
Sementara itu, Mapolda Sulteng dan Kejati Sulteng, siang kemarin kembali menjadi sasaran unjukrasa dari aktivis HMI. Dalam aksinya, para pendemo mengusung beberapa tuntutan. Diantarnya, mendesak eksekusi Tibo Cs harus segera dilaksanakan, mengingat Indonesia adalah negara hukum, sedangkan penundaan eksekusi adalah merupakan penghianatan, percelaan dan penistaan terhadap hukum dan martabat bangsa. HMI juga mendesak Kapolda untuk turun dari jabatannya, jika tidak mampu mengemban tugasnya dalam menegakkan hukum di Sulteng.(hnf)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Franky Sahilatua dan Ivan Nestorman Ciptakan Lagu untuk Tibo

Penyanyi sekaligus budayawan Franky Sahilatua, Ivan Nestorman, serta sejumlah musisi dan aktivis kebangsaan meluncurkan sebuah lagu khusus untuk Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu. Peluncuran lagu berjudul Tibo ...... Suara dalam Sunyi yang dihadiri sejumlah tokoh masyarakat dan simpatisan pembela Tibo Cs tersebut difasilitasi oleh Institut Indonesia Muda di Jakarta, Kamis (24/8).
Menurut Franky, lagu yang dipersembahkan untuk Tibo dan kawan-kawannya itu merupakan ungkapan keprihatinan terhadap proses peradilan selama ini. Untuk itu, penghormatan terhadap keadilan justru harus dibuktikan dengan proses peradilan yang bersih dan fair.
Dikatakan, lagu tersebut juga menunjukkan keprihatinan atas hak dan suara rakyat kecil dalam menghadapi ketidakadilan di negeri ini yang selalu menjadi korban dan dikalahkan. "Lagu ini mencerminkan suara dan hak rakyat kecil yang tidak terdengar dan dikorbankan, tetapi mereka mempunyai jiwa yang sangat besar. Pengorbanan dari mereka dan Tibo beserta kawan-kawannya adalah contoh yang sangat nyata," kata Franky yang juga baru menciptakan lagu Pancasila Rumah Kita.
Lagu yang masih disebar dalam edisi terbatas itu akan diperbanyak dalam waktu dekat dan akan ditambah lagi dengan sejumlah lagu-lagu lain dengan tema keadilan dan perdamaian. "Kami berharap ada tambahan ciptaan lagu yang lain sehingga bisa menjadi sebuah album," kata Ivan, yang sudah bebe-rapa kali mencipta lagu bersama Franky Sahilatua. [H-12]
Last modified: 25/8/06

Eksekusi Tibo Terganjal Koordinasi
Jum'at, 25 Agustus 2006 19:59 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso: Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus Da Silva, terganjal masalah koordinasi antara kepolisian, kejaksaan serta kementerian politik dan keamanan. “Itu bukan tugas saya saja. Tapi tertunda karena belum bisa jalan koordinasinya,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sebelum rapat kabinet di Istana Negara, Jumat (25/8). Dia menegaskan, kejaksaan bukan hendak menunda-nunda pelaksanaan eksekusi itu. Kepastian pelaksanaan eksekusi terhadap Tibo dan kawan-kawan belum diketahui. Eksekusi terhadap mereka sebelumnya direncanakan pada 12 Agustus lalu. Tapi, eksekusi itu ditunda karena adanya perayaan hari kemerdekaan HUT RI ke- 61. BADRIAH

Thursday, August 24, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tibo Cs Korban Sebuah Sistem
Oleh Antonius Sujata dan RM Surachman

Di Eropa, Amerika, dan Afrika ada pengadilan regional yang dapat mengkaji kembali (review) perkara-perkara pengadilan nasional. Di Asia pengadilan regional semacam itu belum ada bahkan mungkin hanya segelintir pakar hukum saja yang pernah memimpikan pembentukannya. Terlebih lagi Indonesia yang masih memberlakukan pemidanaan mati. Siapakah paling akhir yang dapat meninjau mereka yang dipidana mati seperti Tibo Cs, setelah segala upaya hukum yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia habis digunakan? Jawabnya: tidak ada!
Padahal ini menyangkut nyawa manusia. Jika ditemukan miscariage of justice atau putusan yang keliru di kemudian hari seperti dalam kasus Sengkon dan Karta, memang dapat diluruskan dan direhabilitasi. Tetapi dalam kasus pidana mati yang sudah terlanjur dieksekusi jelas tidak mungkin dikoreksi.
Satu-satunya cara, hanya dengan melakukan pengekangan diri di pihak eksekutor (Kejaksaan). Dalam hal ini, Jaksa Agung seharusnya mendengarkan segala pihak dan mempertimbangkan semua aspek secara saksama. Dalam perkara Tibo Cs, menurut laporan terdapat "pelaku-pelaku" lain yang dapat meringankan atau pun bahkan membebaskan mereka. Mengapa eksekusi tidak ditangguhkan sehingga pengadilan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kerusuhan Poso tersebut dapat dituntut dan diadili?
Jangan lupa, bahwa di bidang eksekusi pun Kejaksaan memiliki diskresi untuk menangguhkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap. Perluasan diskresi eksekusi Kejaksaan pernah diterapkan oleh Jaksa Agung Ismail Saleh dalam perkara Hariman Siregar.
Kami berharap tulisan ini tidak terlambat, dan Tibo Cs belum al- marhum, mudah-mudahan dapat menjadi bahan pertimbangan.Untuk waktu yang akan datang, Kejaksaan hendaknya jangan terburu nafsu melakukan eksekusi pidana mati. Bahkan di beberapa negara, Kejaksaan dapat menerapkan diskresi untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan dengan alasan yang benar-benar kuat, sekalipun bukan dalam hal eksekusi pidana mati.
Seperti diketahui dalam sistem hukum acara pidana dikenal adversary system/accusatoir sebagai lawan dari non-adversary system/ inquisitoir.
Menurut sistem pertama, pihak jaksa penuntut umum dan pihak terdakwa (didampingi penasihat hukumnya) bertarung di muka hakim. Sang hakim bersifat pasif, tidak aktif mengintervensi kedua belah pihak yang sedang saling melemahkan pembuktian yang diajukan, dan saling melemahkan kesaksian dari masing-masing pihak melalui cross-examination atau pemeriksaan silang.
Sedangkan sistem yang kedua, kedudukan tersangka (dibantu penasihat hukumnya) kurang sejajar dengan pihak jaksa penuntut umum. Lagi pula di persidangan, kedua belah pihak hanya dapat mengajukan pertanyaan melalui Hakim. Bahkan Hakim dapat bertindak sangat aktif untuk memeriksa, menegur, maupun menekan terdakwa dan saksi-saksi yang dianggapnya bicara berbelit-belit. Hukum acara pidana di Indonesia sebelum 1981 bersifat inquisitoir.
Aktif
Dalam pada itu, bukan rahasia umum lagi bahwa Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana hanya lahirnya saja bersifat adversary. Hal ini terlihat, di mana meja Jaksa Penuntut Umum dijauhkan dari hakim dan dihadapkan serta sejajar dengan meja Penasihat Hukum. Akan tetapi semangatnya sudah musnah entah ke mana. Para penyelenggara peradilan pidana (penyelidik/penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim), dengan tanpa disadari, jalan pikirannya sudah kembali ke sistem inquisitoir.
Apalagi memang menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, hakim masih aktif melakukan pemeriksaan seperti di jaman Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR). Padahal apabila benar-benar memang sistem adversary diterapkan, hakim Indonesia seharusnya pasif dalam melakukan pemeriksaan selama persidangan. Yang bertarung (to contest) adalah pihak penuntut umum dan pihak terdakwa/penasehat hukumnya saja. Benar bahwa di dunia sekarang ini tidak ada yang betul-betul sepenuhnya bersifat adversary (accusatoir) maupun inquisitoir.
Hal yang paling tidak seimbang dalam praktik adalah dari sejak penyidikan/penuntutan, hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan sering ditolak. Penolakan ini bahkan sampai di tahap persidangan. Pada sistem inquisitoir saja, yang umumnya masih berlaku dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Eropa Kontinental antara lain: Prancis, Belgia, Belanda, dan Jerman, diutamakan sekali keseimbangan antara pihak jaksa penuntut umum dengan tersangka/terdakwa/penasihat hukumnya, dikenal sebagai equal arms. Maka selalu pihak yang disangka/didakwa melakukan tindak pidana boleh mengajukan saksi-saksi yang meringankan dirinya.
Dalam kasus Tibo Cs, sejak persidangan di Pengadilan Negeri telah menyangkal keras atas dakwaan jaksa dan bahkan mengajukan 19 nama-nama yang diperkirakan pelaku kerusuhan sesungguhnya namun tidak pernah dikabulkan. Bila peran 19 nama pelaku tersebut dapat terungkap maka hal itu bukan saja meringankan para terpidana mati, bahkan akan dapat mengungkap kebenaran dan keadilan sejati dengan membebaskan mereka.
Belum lagi praktik yang sudah lama berkembang, baik penyidik kepolisian maupun penyidik kejaksaan (termasuk penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi), sering memeriksa seseorang sebagai sak- si, kemudian ditetapkan sebagai terdakwa. Bukankah sebenarnya orang tersebut berisiko mengalami self-incrimination, yaitu memberikan keterangan yang akan memberatkan dirinya? Padahal prinsip self-incrimination dilarang, baik oleh Ketentuan Hak Asasi Manusia Internasional maupun oleh Undang-undang Domestik yang berlaku di Indonesia (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Sekalipun banyak keluhan ketidakpuasan, terutama dari pihak terdakwa, sampai usianya seperempat abad, ketentuan-ketentuan yang menjadi sasaran kritik tersebut tidak pernah diamendemen.
Kekeliruan
Terkadang sering merenung dan merasa ngeri. Seandainya ada suatu sistem eksaminasi dari pihak independen, jangan-jangan putusan pengadilan di Indonesia yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), secara mayoritas merupakan miscariage of justice, yaitu putusan akibat suatu kekeliruan besar (great error) dalam peradilan pidana, terutama vonis pemidanaan terhadap seorang yang tidak bersalah yang dalam istilah lebih populer adalah peradilan sesat.
Padahal dalam adversary system menganut suatu asas bahwa lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah dari pada meng- hukum seorang saja yang tidak bersalah.
Berdasar penelitian para pakar Sistem Peradilan Pidana, persidangan perkara di pengadilan yang bersifat adversary, sulit untuk membuktikan terdakwa bersalah. Akibatnya banyak terdakwa yang bebas. Sebaliknya, melalui persidangan pengadilan yang bersifat inquisitoir, membuktikan terdakwa bersalah tidak terlalu sulit, sehingga hampir semua terdakwa yang diajukan ke persidangan pengadilan dijatuhi pidana.
Dengan kata lain, semua terpidana mati baik yang belum dieksekusi, seperti Tibo Cs, maupun yang sudah dieksekusi, potensi untuk keliru sungguh tidak kecil oleh karena sistem, aturan serta praktik peradilan yang mendukung potensi tersebut amat kondusif.
Semua yang uraian di muka adalah mengenai hukum acara pidana (adjective criminal law). Di bidang hukum pidana materiil (substantive criminal law) pun perlu diperbaiki. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang sekarang masih berlaku (sejak 1918) secara subtansial tidak jauh berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda (yang berlaku sejak 1860), dasar filsafatnya adalah ultimum remedium atau digunakan sebagai upaya akhir. Tetapi di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sudah lebih dari 60 tahun merdeka, menjadi bersifat premium remedium. Contoh konkret, Bung Hatta diadili di Belanda diputus bebas, sedangkan Bung Karno diadili di Indonesia dihukum pidana penjara, bahkan dibuang ke luar Jawa.
Mudah-mudahan pada masa yang akan datang, hasil persidangan perkara-perkara berat, tidak lagi seperti dalam perkara subversif zaman Orde Baru. Pada masa itu setiap tersangka yang sudah diajukan sebagai terdakwa ke pengadilan hampir pasti terbukti bersalah dan dijatuhi pidana. Padahal dalam pengadilan perang Nürenberg sekalipun, yang mengadili penjahat-penjahat perang Nazi, ada beberapa yang mendapat putusan bebas.
Dilihat dari sistem hukum kita yang demikian itu, maka penangguhan eksekusi pidana mati, khususnya menyangkut Tibo Cs sungguh amat bijaksana serta manusiawi. Lebih dari itu, tentu kami per-caya bahwa hati nurani masih menjadi landasan para penanggung jawab eksekusi, meski peringatan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus baru saja berlalu.
Penulis adalah Ketua/Anggota Komisi Ombudsman Nasional
Last modified: 23/8/06

Court wrong to reject plea: Lawyers for death row convicts
Yemris Fointuna and Ruslan Sangaji, The Jakarta Post, Palu/Kupang, August 24, 2006

Lawyers for three Christians on death row said Wednesday the Supreme Court had exceeded its authority by refusing to process their second request for clemency.
Lawyer Roy Rening said that the local district court in Palu, Central Sulawesi, had informed the team of lawyers that the Supreme Court declined to forward a second request for clemency.
"The Supreme Court has certainly overstepped its authority and we will prepare legal moves against this," Rening told AFP.
He did not give further details, but said that the Supreme Court's duty was only to give recommendations to the President on a request for clemency, not to hinder it.
"The court should only forward the demand along with its recommendation. Only the President has the authority to decide whether or not to grant clemency," Rening said.
The three -- Fabianus Tibo, Dominggus da Silva and Marianus Riwu -- were convicted in 2001 of inciting violence against Muslims in religiously divided Central Sulawesi, but their case has been widely criticized for being unfair.
The President had already rejected their plea for clemency and they were due to face the firing squad on Aug. 12 before they were given a last minute reprieve. Officials have said their executions could now take place any time.
In a related development, dozens of protesters from several Muslim groups staged a protest Wednesday urging officials in Palu to execute the trio immediately.
The protesters also urged the authorities to arrest Reverend Reynaldi Damanik, head of the Protestant church synod in Central Sulawesi, for allegedly making statements that could fuel further unrest in the region.
They blasted both the police chief and local prosecutor's office for the delay in the implementation of the execution.
Central Sulawesi Police chief Brig. Gen. Oegroseno said that many factors had to be taken into consideration in relation to the execution of the trio. He admitted he was still coordinating with representatives of the prosecutor's office on the implementation of the execution.
Meanwhile in Kupang, East Nusa Tenggara, dozens of students, human rights activists and religious figures have staged rallies over the last week, opposing the planned execution.
The peaceful rallies were marked with the closure of major roads in front of the East Nusa Tenggara Legislative Council and Prosecutor's Office.
The protesters urged the institutions to consider new evidence disclosed by the three convicts and not to rely merely on legal procedures.
"The new evidence shows that the trio were not the main players in the conflicts. They are just the casualties of a political contest," Ambros, one of the protesters, said.
A similar reaction was aired by Maumere Bishop Mgr. Vincentius Sensi Potokoa, who said that Catholic leaders would raise their objection to the execution at a meeting of Nusa Tenggara bishops to be held in Denpasar, Bali, this week.
In Ende over 100 religious figures, representatives of non-governmental organizations and human rights activists wrote a letter to President Susilo Bambang Yudhoyono, urging him to commute the sentence to life.

Religious heads differ on death penalty
Ary Hermawan, The Jakarta Post, Jakarta, August 24, 2006

Religious leaders disagree on Indonesia's embrace of the death penalty, with one saying it is allowed by God and another reaching the opposite conclusion.
"Life and death are in the hands of God, the creator of life. No institution has the right to kill others for whatever reason," Catholic priest Mudji Sutrisno told The Jakarta Post on the sidelines of the first Indonesian Religious Leaders Congress here Wednesday.
He said the government should abolish capital punishment, as many modern countries have rejected it. "They believe there are other alternatives," he said, explaining that the central issue of the death penalty actually lay in the question of whether human beings were capable of doing good.
"As a country that believes in the death penalty, Indonesia should be extremely careful before deciding to impose the death penalty," he said, citing the example of Fabianus Tibo, Dominggus da Silva and Marianus Riwu, who have been sentenced to death for inciting religious riots in Poso, Central Sulawesi. The violence on May 23, 2000 claimed the lives of 191 people, mostly Muslims.
Mudji said Tibo's case was different from that of Imam Samudra, Amrozi and his elder brother Ali Gufron, alias Mukhlas, who received the death penalty for their involvement in the 2002 nightclub bombing in Bali. "Tibo has not yet been proven guilty of masterminding the murders. If he's executed, people will wonder about the 16 people Tibo has reported to be the actual masterminds," he said.
He said the executions of Tibo and those of the three Bali bombers had become too politicized. The Bali bombing killed 202 people, mostly foreign tourists.
"The executions have nothing to do with the law and the effort to enforce it. The government is simply trying to be fair. Muslim and Christian convicts are to be executed simultaneously," he said, adding that the decision to postpone the execution of those convicts had left the people with legal uncertainty.
National Police spokesman Sr. Comr. Bambang Kuncoko said Wednesday that the National Police had been informed of the time and place for the execution of Tibo, Riwu and Da Silva. "I cannot reveal the information, though. I'm sorry," he told reporters.
Former religious affairs minister Tolchah Hasan said Islam recognized the death penalty. "We have no problem with capital punishment," he said. "But it must go through due legal process first. We can't just kill anybody," he said.
He believed the postponement of Tibo's execution had nothing to do with the politicization of religion. "It's just a matter of time," he said.
Since Indonesia gained independence in 1945, authorities have executed 71 people for criminal offenses. Under the current laws, the death penalty is only handed down for those convicted of drug trafficking, premeditated murder or terrorism. (07)

Polri akui sudah kantongi tanggal
Tibo Cs Dieksekusi Mati 29 Agustus?

Komentar, 24 August 2006

Menegaskan pernyataan Ke-jagung, Mabes Polri juga me-mastikan Fabianus Tibo cs tetap akan dieksekusi. Namun sampai saat ini, belum ada informasi jadwal pelaksanaan vonis mati terhadap tiga warga Katolik di Palu tersebut.
Tapi informasi terbaru yang diperoleh Komentar dari se-buah sumber terpercaya tadi malam menyebutkan, Keja-gung telah memerintahkan Kejati Sulawesi Tengah agar melaksanakan eksekusi ter-hadap Tibo cs 29 Agustus nanti.
Hal ini juga diperkuat per-nyataan seorang tokoh agama kepada koran ini via SMS. ‘’Saya baru terima info dari Pastor Jimmy bahwa tanggal 29 Agustus Kejagung perintah Kejati,’’ ungkap sumber dalam pesannya itu.
Polri sendiri sampai tadi malam bungkam soal tanggal pelaksanaan eksekusi. Yang pasti jadwalnya sudah dikan-tongi. “Polri dan penuntut umum sudah menerima pem-beritahuan tempat dan waktu di mana eksekusi akan dilak-sanakan. Namun hal itu be-lum bisa dikatakan, maaf ya,” ujar Kabid Penerangan Umum (Penum) Mabes Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko.
Hal itu disampaikan dia ke-pada wartawan di Mabes Polri, Jl Trunojoyo III, Jakarta Sela-tan, Rabu (23/08). Eksekusi tersebut, lanjut Bambang, se-suai dengan keputusan pe-ngadilan. “Tempat dan waktu penembakan ada di pihak pe-nuntut umum, sedangkan Pol-ri mempersiapkan tim ekse-kutor, selain itu juga kualitas eksekutornya,” imbuhnya.
Sebelumnya eksekusi Fabia-nus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu yang sedianya dilaksanakan 12 Agustus lalu, ditunda atas kesepakatan Polda Sulteng dan muspida.(dtc/rik)

Wednesday, August 23, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Ditolak, Grasi II Fabianus Tibo Cs

[PALU] Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) menolak untuk memproses permohonan grasi kedua yang diajukan keluarga terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Alasan penolakan karena permohonan grasi II itu tersebut bertentangan dengan UU No 22/ 2002 tentang Grasi.
Penolakan disampaikan PN Palu melalui surat No W26.Db.H.01.10.55 tentang Pemberitahuan Permohonan Grasi atas nama terpidana Fabianus Tibo Cs tanggal 15 Agustus 2006 ditujukan kepada tim pembela Tibo Cs di Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia di Jakarta.
Dalam surat yang ditandangani Ketua PN Palu B Fathurrahman SH disebutkan menunjuk surat Ph. Kepala Direktorat Pidana tanggal 23 Juni 2006 No. 156/TU/ VI/06/12/AMA/2006 perihal permohonan grasi atas nama terpidana Fabianus Tibo Dkk, maka disampaikan bahwa permohonan grasi tersebut tidak dapat diteruskan prosesnya mengingat ketentuan pasal 2 ayat (3) huruf a dan b UU Grasi.
Dijelaskan sesuai pasal tersebut di atas permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali kecuali dalam hal terpidana pernah ditolak permohonan grasinya dan telah waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi atau ter- pidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi di- terima.
Sedangkan menurut pihak PN Palu, keputusan presiden (Kepres) Grasi ketiga terpidana baru diberikan tanggal 10 November 2005.
Keluarga Tibo Cs mengajukan grasi kedua tanggal 3 April 2006, dan grasi pertama diajukan ketiga terpidana tahun 2004 saat Megawati Soekarno Puteri menjabat presiden namun juga ditolak presiden.
Protes Keras
Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia memprotes keras Ketua Mahkamah Agung (MA). Sebab, selain bukan wewenangnya, juga telah melampaui kewenangan Presiden karena yang berhak dan memiliki hak prerogatif untuk grasi hanyalah Presiden dan Presiden tidak pernah mendelegasikan kewenangan untuk menjawab grasi itu kepada seorang Ketua Pengadilan Negeri.
Demikian seruan Padma Indonesia melalui kuasa hukum tiga terpidana mati dari Padma Indonesia, Petrus Selestinus SH kepada Pembaruan, Rabu (23/8).
Padma Indonesia, kata Petrus, mendesak Ketua PN Palu untuk segera meneruskan permohonan grasi dari tiga keluarga terpidana mati tersebut kepada Presiden melalui Ketua MA sesuai dengan undang-undang.
"Ini merupakan pelecehan terhadap hak konstitusional berupa hak prerogatif Presiden dan hak konstitusional pencari keadilan oleh sebuah kekuasaan yudikatif yang paling bawah yaitu seorang Ketua Pengadilan Negeri tanpa mengindahkan prosedur hukum yang berlaku," kata Petrus.
Menurut Petrus, tindakan Ketua Palu telah melecehkan hak-hak hukum terdakwa. Ketua PN Palu tanpa dasar wewenang sedikit pun telah menolak permohonan grasi yang disampaikan oleh keluarga pada terdakwa kepada Presiden karena mekanisme permohonan grasi memberi porsi wewenang hanya kepada Ketua MA itu pun hanya sekedar untuk memberi pendapat atau pertimbangan hukum kepada Presiden.
Ia mengatakan, dalam merespons tuntutan akan adanya sebuah peradilan yang lebih terbuka, jujur dan tidak diskriminatif, nampaknya pemerintah telah kehilangan akal sehat, hati nurani dan tidak lagi pada rasa keadilan dan azas-azas hukum yang berlaku dan secara serampangan menyikapi dengan cara seakan-akan negeri ini telah kehilangan jati diri sebagai negara yang memiliki dasar negara Pancasila.
Petrus mengatakan, Padma Indonesia juga mendesak Jaksa Agung untuk segera mencabut status isolasi atas ketiga terpidana mati terkait pengumuman resmi pemerintah tentang ditundanya eksekusi tanggal 12 Agustus 2002.
Terpidana mati kasus kerusuhan Poso Tibo Cs sampai saat ini masih di- isolasi di ruang sel khusus lembaga pemasyarakatan (Lapas) Palu.
Tidak seorang pun diizinkan menjenguk ketiga terpidana, termasuk rohaniawan maupun keluarganya. [128/E-8]
Last modified: 23/8/06

Komentar, 23 August 2006
Utusan Katolik Manado ‘di-warning’ di Jakarta
Kejagung: Tibo Cs Tetap Dieksekusi!

Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan, eksekusi mati terhadap tiga terpidana yaitu Tibo cs tetap dilaksanakan. Namun mengenai waktu dan tempat pelaksanaan ter-gantung dari Kapolda dan Kajati Sulawesi Tengah.“Pokoknya pakai istilah Ka-polri ditunda setelah tanggal 17 Agustus. Apa kalimat ka-polri itu yang kita pakai,” kata Pelaksana Harian (Plh) Jam-pidum Abdul Hakim Ritonga di Kejaksaan Agung RI, Jln Sul-tan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Selasa (22/08).Ritonga mengaku hingga kini Kejaksaan Agung belum me-nerima laporan dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat, mengenai waktu pelaksanaan eksekusi terhadap Tibo cs. “Sampai sekarang kita belum terima laporan. Kalau dapat laporan dari daerah kita umumkan,” ujar Ritonga se-perti dilansir detik.Seperti diketahui ketiga ter-pidana mati, yaitu Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu pada awalnya direncanakan dieksekusi pada 12 Agustus 2006 pukul 00.15 Wita. Namun ditunda karena masalah teknis pada tingkat pelaksanaan. Salah satu per-timbangannya yaitu daerah sedang konsentrasi berbagai kegiatan peringatan prokla-masi. Keputusan penundaan eksekusi merupakan kesepa-katan Polda Sulawesi Tengah dengan Muspida setempat.Pada bagian lain, Warga Ka-bupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyu-rati Presiden SBY. Mereka me-minta penundaan eksekusi mati Tico cs. Surat pernyataan sikap masyarakat Ende ini di-sampaikan tiga perwakilannya, anggota DPRD Kabupaten Ende Hendrikus Parera, Ketua MUI Kabupaten Ende Abdul Wahab Daud, dan Kepala Kesbang Linmas Ende Gabriel.“Kami meminta SBY, agar hukuman mati Tibo ditunda sampai 16 orang yang disebut Tibo diproses juga,” kata Hen-drikus di Gedung Depdagri, Jakarta, Selasa (22/08.) Se-dangkan Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Ke-uskupan Manado yang telah berada di Jakarta kemarin, di-isukan mendapat ancaman dari kelompok tertentu. Salah satu tim FMKI, Dino Gobel’s kepada koran ini lewat SMS tadi malam menyebutkan, me-mang ada ancaman terhadap utusan Katolik yang ke Ja-karta memperjuangkan Tibo dkk. “Torang ekstra hati-hati karena ada warning dari ke-lompok tertentu, tolong do-akan,’’ kata Gobel’s. Sedangkan Ketua MPR RI Hi-dayat Nurwahid yang diharap-kan bisa dilobi untuk me-nguatkan penundaan ekseku-si terhadap Tibo cs, tampak-nya sulit. Pasalnya, Nurwahid kepada wartawan kemarin te-lah menegaskan, agar ekse-kusi Tibo cs tetap dilaksana-kan. Dia malah menilai, pe-nundaan eksekusi Tibo cs se-bagai bentuk keraguan dari pemerintah untuk menegak-kan hukum. Padahal jika hal itu terus terjadi maka akan berdampak buruk bagi proses penegakan hukum. “Secara prinsip saya berpen-dapat bahwa Indonesia ini se-suai dengan perubahan UUD 1945 adalah negara yang ber-dasarkan hukum. Jadi kare-nanya hukum di Indonesia ini memang harus dilaksanakan setegak-tegaknya, seadil-adil-nya, apa adanya, sesuai de-ngan keputusan dari hukum itu,” ujar Hidayat berargu-men.(rik/zal/dtc)

Poso 3 defense slams court
Jakarta Post, August 23, 2006

JAKARTA: Lawyers for three men on death row are criticizing the Palu District Court for halting the convicts' pleas for presidential clemency.
The defense team said Tuesday it would send a letter of protest to the court on behalf of their clients, who were convicted for their roles in the deadly religious violence in Poso, Central Sulawesi, in 2000.
The lawyers said the Supreme Court, represented by the Palu District Court, did not have the authority to halt the clemency process. The Supreme Court could only give its legal opinion, they argued.
"We think that the district court has acted beyond its presidential authority," the team said in a statement.
In its Aug. 15 decision, the district court informed the defense team that the second round of clemency pleas from their clients, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva and Marinus Riwu, could not be processed because they violated the 2002 law on presidential pardons.
The law states that a convict can submit a second clemency request two years after the president's refusal of the first plea for clemency.
President Susilo Bambang Yudhoyono turned down the trio's first requests for clemency on Nov. 10, 2005. --JP

Tuesday, August 22, 2006

Komentar, 22 August 2006
FMKI Keuskupan Manado temui Ketua MPR
Eksekusi Tibo Cs Ditentukan Hari Ini

Setelah ditunda 12 Agustus lalu, hari (22/08) ini Kapolda dan Kajati Sulteng dikabarkan akan membahas lagi tanggal eksekusi atas Fabianus Tibo cs. ”Mereka yang akan me-nentukan,’’ ungkap Kapuspenkum Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suarta di Jakarta, Minggu (20/08). Suartha menyatakan, sete-lah koordinasi Kapolda dan Kajati ini, akan dilakukan pemberitahuan kepada keluarga paling lambat tiga hari sebelum eksekusi. “Sela-sa itu rapat untuk menen-tukan waktunya (eksekusi). Kita hanya tunggu laporan mereka,” cetus Suartha.Mengomentari usulan se-jumlah kalangan yang menya-takan jika eksekusi Tibo cs dilakukan bersamaan dengan eksekusi terhadap Amrozi cs, Suartha menegaskan jika hal itu tidak mungkin dilakukan. “Tidak bisa bersama, karena kasusnya berbeda. Wilayah hukumnya pun berbeda,” cetusnya seperti dilansir detik.Suartha kembali menegas-kan jika persoalan eksekusi terhadap Tibo cs sepenuhnya kewenangan daerah. “Kita tidak bisa mengambil alih, sesuai Penpres 2/1964 itu sepenuhnya kewenangan daerah. Kita hanya memberi masukan saja,” tandasnya. FMKI Sementara itu, dari Manado, Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Keuskupan Manado bakal menemui Ketua MPR hari (22/08) ini di Ja-karta terkait Tibo cs. Delegasi tim FMKI Keuskupan Manado ini adalah Ketua FMKI Lucky Senduk disertai Yanni Kopalit, Ny Itje Kandou, Dino Gobel’s, Ny Henny Praktinyo dan Ru-ben Kalalo. Tim ini turut di-dampingi Pastor Frets Tawa-luyan.Senduk yang didampingi Gobel’s menjelaskan, kebe-rangkan tim FMKI Keuskupan Manado ini dimaksudkan un-tuk menemui sekaligus me-nyampaikan aspirasi masya-rakat Katolik kepada Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. “Besok (hari ini, red) kami dari FMKI Keuskupan Manado akan ke Jakarta menemui Ke-tua MPR RI. Acara pertemuan-nya sudah dijadwalkan. Selain Ketua MPR RI, kami juga akan bertatap muka dengan Wakil Ketua MPR RI AM Fatwa dan Kapolri Jenderal Sutanto,” ungkap Senduk.Ia menjelaskan, tim ini be-rangkat ke Jakarta dengan sa-tu tujuan yakni memintakan kepada pihak yang terkait agar menghentikan eksekusi mati terhadap Tibo cs. “Kebe-rangkan kami ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Katolik yang ada di Propinsi Sulut, Sulawesi Te-ngah dan Gorontalo. Aspirasi masyarakat Katolik Keusku-pan Manado ini adalah me-minta agar pemerintah segera menghentikan eksekusi Tibo cs,” jelasnya. Ia menambahkan, dalam menyampaikan aspirasi ini pihaknya akan memberikan sejumlah argumen mendasar terkait tuntutan tersebut. “Tentunya kami berharap upaya yang kami lakukan ini tidak berakhir dengan sia-sia,” paparnya. Tim ini dilepas dengan ber-kat perutusan oleh Uskup Manado Mgr Yoseph Suwatan MSC. Uskup Suwatan berha-rap agar tim FMKI ini dapat bekerja secara maksimal de-ngan cara-cara yang baik dan terpuji untuk mendatangkan hasil yang diharapkan seluruh masyarakat Katolik Ke-uskupan Manado dan masya-rakat Sulut pada umum-nya.(imo/zal/dtc)

Monday, August 21, 2006

Tempo, Edisi. 26/XXXV/21 - 27 Agustus 2006
Seruan dari Takhta Suci

Sepucuk surat dari pemimpin umat Katolik di dunia diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan hanya untuk Tibo dan kawan-kawan.
..... Di dalam nama suci Paus Benedik-tus XVI, kembali saya mengatakan kepada yang mulia, untuk meninjau kasus, dalam kaitan pengampunan kepada tiga warga Katolik di ne-gara Anda, itu amat berharga. Kami percaya seruan ini akan menemukan hasil positif.
Bunyi penggalan surat telegram itu datang nun jauh dari Vatikan. Surat diteken Kardinal A-ngelo Sodano, sekretaris negara itu, bertanggal 11 Agustus 2006. Isi-nya, Paus Benediktus XVI meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengampuni tiga terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu.
Inilah kedua kalinya Tibo dan kawan-kawan mendapat dukungan kemanusia-an dari Vatikan. Maret lalu, Paus meng-utus Uskup Agung Manado Mon-sinyur Josef Suwatan me-nemui ketiga terpidana itu di Lembaga Pema-syarakatan Petobo, Sulawesi Tengah. Paus mengirim salib dan rosario buat mereka- se-bagai penguatan menghadapi kasus ini.
Pesan dari Vatikan itu menimbulkan riak pada sebagian masyarakat. Mereka menganggap pesan itu campur tangan politik. ”Surat Paus itu memberi tekanan,” kata Mahendradatta di Jakarta, pekan lalu. Juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia Fauzan Al-Anshori, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan sejumlah anggota Dewan di Senayan turut mempertanyakan motif surat tersebut.
Maklum bila membuhulkan reaksi-. -Sehari seusai surat Paus tiba adalah jadwal eksekusi mati Tibo dan kawan-kawan. Pemerintah ternyata menunda tiga hari hingga selesai Hari Kemerdekaan RI ke-61. Menteri Poli-tik, Hu-kum, dan Keamanan Widodo A.S.- membe-ri alasan agar masyarakat bisa tenang memperingati hari kemerdekaan.
Menteri Luar Negeri Hassan Wira-juda menyangkal surat itu alasan penundaan eksekusi. Surat senada dari Vatikan banyak diterima Presi-den. Ada dari berba-gai negara, organisasi ma-syarakat maupun perorang-an. ”Kami sudah menjawab sebelumnya, dan siap menjelaskan kapan pun,” kata Hassan.
Bagi pemerintah, surat itu tak bisa mengubah keputusan hukum bagi Tibo dan kawan-kawan. Peme-rintah tetap menerapkan hukum positif negeri ini dan menye-rahkan keputusan pada kepolisian dan kejaksaan di Sulawesi Tengah.
Sekretaris Eksekutif Hubungan Antar-Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia, Romo Antonius Benny Susetyo, menjelaskan surat itu lazim dilayangkan oleh Paus bila memberi seruan kemanusiaan. ”Surat itu tidak pernah punya pikiran politik, murni dari seorang rohaniwan,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Sumber Tempo di lingkungan rohaniwan Katolik mengatakan surat itu inisiatif langsung dari Vatikan. Tidak ada upaya Keuskupan Agung Jakarta meminta pemimpin Katolik di dunia itu turun tangan. ”Tidak pernah ada permintaan itu,” kata si sumber.
Seruan senada dengan itu bukan per-tama kali untuk Tibo dan kawan-kawan. Pendahulu Benediktus, Paus Yohanes Paulus II, pernah memprotes keras Amerika Serikat saat menyerang Irak. Paus juga menyurati Gubernur Texas, George Bush Junior, pada Agustus 1999 agar mengampuni Larry Keith Robinson, 42 tahun, dari hukuman mati. Ro-bin-son dipidana membunuh lima orang, ter-masuk bocah laki-laki 11 tahun.
Pada Maret 1998, Paus minta pimpin-an militer Nigeria, Jenderal Sani Abacha, meringankan hukuman 60 politisi. Di antaranya calon presiden yang ”se-harusnya” menang pemilu 1993, Moshood Abiola, dan sejumlah pimpinan partai. Di Nigeria ini, 50 persen penduduknya Islam dan hanya 11 per-sen Katolik. Setahun berikutnya, Paus meminta keringanan bagi Ali Agca, pe-nembak dia pada 13 Mei 1981.
Benny Susetyo tak ingin surat Paus memicu konflik SARA. Surat itu tak be-da dengan seruan kemanusiaan berbagai elemen masyarakat, menolak eksekusi Tibo cs. Satu di antaranya surat kepada Presiden dari lima pemimpin agama: KH Abdurrahman Wahid (Islam), Pendeta Andreas A. Ye-wangoe (Kristen), W.S. Budi S. Tanuwibowo (Hindu), Kardinal Julius Darmaatma-dja (Katolik), dan Bhiku Dharmavimala (Buddha), pada April silam. ”Saya percaya ada keputusan bijaksana dari Pre-siden,” kata Benny.
Eduardus Karel Dewanto dan Oktamanjaya Wiguna

Tempo, Edisi. 26/XXXV/21 - 27 Agustus 2006
Ada Burung Menjemput Tibo

Tibo meminta keluarganya menjaga kebunnya. Ada kecemasan menjelang eksekusi itu, tapi eksekusi akhirnya batal.
SUARA cicit burung mengagetkan Fabianus Tibo, terpidana mati konflik Poso. Ia segera bergegas menuju pintu selnya di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. Ia kaget melihat seekor anak burung tergolek tak berdaya di depan selnya. Ia heran burung itu bisa masuk ke kamarnya. Apalagi, di sekeliling kamarnya tak ada pohon tempat burung berkumpul atau membuat sarang. Tibo memungut anak burung itu.
Sehari sebelumnya, Tibo juga dikejutkan dengan munculnya seekor burung berwarna cokelat. Juga di depan selnya. Selama beberapa detik, burung itu menatap ke arahnya sebelum akhirnya terbang. Peristiwa dua burung di depan selnya itu membekas di pikiran Tibo. ”Anak burung itu sampai sekarang dirawat Pak Tibo di selnya,” kata Roy Rening, pengacara Tibo, kepada Tempo.
Cerita soal burung itu disampaikan Tibo saat ibadah misa pada Jumat pagi, dua pekan lalu. Ketika itu, bersama Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva, ia tengah menunggu detik-detik eksekusi yang akan dilaksanakan pada Sabtu pukul 00.15. Ketiganya dijatuhi hukum-an mati karena terbukti membunuh puluhan orang dan merusak sejumlah rumah, termasuk rumah ibadah, saat konflik Poso meletus pada 2000 lalu.
Menurut Roy, ketika itu Tibo sangat serius menceritakan tentang burung yang mampir di selnya. Semua yang hadir pada misa itu menyimak cerita Tibo. Di ujung ceritanya, petani asal Desa Beteleme, Kabupaten Morowali, itu lantas berkelakar. ”Burung ini pertanda, bisa saja untuk menjemput saya, bisa juga membebaskan saya.”
Seusai ibadah, Nurlin Kasiala, i-stri Tibo, tak mampu menyembunyikan ke-sedihannya. Perempuan pendiam ini menatap suaminya lekat-lekat de-ngan air mata tertahan. Begitu pu-la Robert Tibo. Anak Tibo ini tak mampu membendung air matanya. ”Saya terharu, bapak berkali-kali mencium anak saya, cucu satu-satunya,” ujar Robert.
Mata Tibo memang terlihat me-rah, tapi ia tak menangis. ”Jaga ibumu dan istrimu. Pelihara k-ebun karena hanya itu yang saya titipkan,” ujarnya kepada Robert. Sedangkan Marinus menitipkan pe-san kepada Henrikus, sahabatnya. ”Lihat-lihat anakku nanti,” ujarnya.
Dominggus, yang masih lajang, juga tampak tenang. Padahal selama ini ia dikenal paling emosio-nal. Sehari sebelumnya, ia bahkan marah kepada pegawai Kejaksaan Negeri Palu. Bahkan segelas air kopi sempat ia lemparkan ke sang pegawai.
Tapi, hingga matahari tergelincir dan langit Palu menjadi gelap, persiapan eksekusi Tibo tak terlihat. Roy mencoba menghubungi telepon genggam Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Te-ngah, Jahja Sibe. Tak aktif. Begitu pula telepon genggam Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah Brigjen Oegroseno.
Saat jam menunjuk pukul 10 malam, tanda-tanda persiapan eksekusi masih tak terlihat. Penjagaan di sekitar penjara Petobo juga biasa-biasa saja. Mobil milik kejaksaan untuk membawa Tibo, Marinus, dan Dominggus ke tempat eksekusi juga tak muncul.
Ketika jam tepat menunjuk angka 11 malam, Roy semakin yakin eksekusi akan ditunda. Tapi, Robert masih terlihat khawatir. Telepon genggamnya yang terus berdering tak ia hiraukan. Sejam kemudian, pukul 00.15, Roy ber-anjak dari duduknya dan bergegas masuk ke penjara. Ia menanyakan kepastian eksekusi kepada seorang petugas. Petugas menggelengkan kepala. Tak ada perintah eksekusi malam itu.
Pecahlah tangis gembira dan ucapan syukur keluarga ketiga terpidana mati yang sejak pagi menunggu di penjara Petobo. Untuk sementara, mereka masih bisa bercengkerama, menghibur, dan menemani ketiga terpidana mati itu. Entah sampai kapan.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad

Tempo, Edisi. 26/XXXV/21 - 27 Agustus 2006
Di Tengah Eksekusi yang Tertunda

Eksekusi tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso ditunda. Pejabat daerah takut kerusuhan meletup.
KEMARAU terasa makin ”p-anas” di Tentena. Sejak awal pekan lalu, bendera setengah tiang berkibar di seluruh penjuru ibu ko-ta Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu. Lapangan bola di kota itu juga dipenuhi massa, yang tiap hari menggelar protes atas rencana eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, pada Sabtu pukul 00.15 waktu setempat di Palu, ibu kota provinsi itu.
Ketiga terpidana yang tersangkut kasus pembunuhan dan kekerasan dalam kerusuhan Poso jilid tiga, atau kerusuh-an tahun 2000, diputuskan dieksekusi mati, setelah upaya peninjauan kembali (PK) mereka yang kedua ditolak Mahkamah Agung pada Mei lalu. Sebelumnya, permohonan grasi ketiganya juga ditolak Presiden, dan permohonan PK yang pertama tidak diterima Mahkamah Agung, April 2006.
Makin dekat saat eksekusi, makin emo-sional pula demonstrasi di Tentena. Para pengunjuk rasa tidak terima ketiga pria itu dihukum sebagai ”pengge-rak” kerusuh-an Poso. Gelagat ancaman ke-rusuhan ini membuat Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigjen Oegroseno, ”merapat” ke Tentena dari Palu, Rabu pekan lalu. Ia memilih memantau keamanan langsung di lapangan.
Kepada Tempo, kalangan gereja di Tentena menyatakan Oegroseno gagal meyakinkan Pendeta Rinaldy Dama-nik untuk membantu ”menjaga” massa bila eksekusi dilaksanakan. Ketua Gereja- Kristen Sulawesi Tengah (GKST) itu meng-aku enggan bertanggung jawab atas reaksi warga di Tentena. ”Saya tak bisa membayangkan jika jenazah Tibo lewat di Tentena ketika dibawa ke kampungnya di Morowali,” kata Pendeta Damanik.
Dua hari menjelang eksekusi, ratus-an warga Kristen dari Pendolo, wilayah di perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, ikut bergabung. Mereka melempari kantor polisi di Tentena, juga menggembok pintu keluar di Kantor Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena, sekalian menyandera Mathius, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri di Tentena. Malam harinya, sejumlah pohon di daerah Pamona Utara dan Selatan ditebang untuk merintangi jalan.
Lain di Tentena, lain pula di Palu. Menjelang jam eksekusi, tiga peti mati dan satu tim tenaga medis diangkut ke kejaksaan tinggi, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Lembaga Pemasyarakatan Petobo, tempat ketiga terpidana diisolasi tiga hari sebelumnya. Jaksa penuntut kasus Tibo, La Anatara dan Iskandar Sukirman, tampak lelah di kantor jaksa tinggi. ”Saya belum pulang sejak pagi, ini masih pakai seragam,” kata Anatara. Kepala Kejaksaan Negeri Palu, Basri Akib, juga terlihat gelisah. Mereka cuma menanti jemputan regu penembak Brimob dari Polda Sulawesi Tengah.
Satu jam sebelum eksekusi, seorang wartawan mendapat pesan pendek pe-nun-daan eksekusi dari kantornya di Jakarta. ”Siapa bilang eksekusi ditunda?” kata Basri ragu, ketika diberi tahu. Ia lalu mengontak Jaksa Tinggi Yahya Sibe, yang sedang berada di Jakarta. Sepuluh menit kemudian, ia terlihat turun dari lantai dua. ”Benar, eksekusi ditunda, begitu kata Jaksa Tinggi kepada saya,” kata Basri sambil berlalu pulang.
l l l
KEPADA Maria Hasugian dari Tempo, Brigjen Oegroseno menyatakan, ”Se-bagai Kapolda, saya yang menentukan standar keamanan.” Putra seorang polisi itu mengaku meminta pembatalan eksekusi setelah berkonsultasi dengan Jaksa Tinggi Sibe, Jumat petang pekan lalu. ”Ada informasi yang saya dapat soal Tibo. Jadi, saya laporkan situasi keamanan kurang menguntungkan,” ia menambahkan.
Oegroseno juga mengaku langsung melaporkan hal yang sama ke Kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Pembicaraan itu dilakukannya di tengah perjalanan dari Tentena ke Desa Taripar, di dekat Kecamatan Bateleme, Kabupaten Morowali, kampung asal Tibo. Malam itu, massa yang berkumpul di Tentena dilaporkan sudah mencapai hampir seribu orang.
Menurut aturan, penentu dan penanggung jawab eksekusi adalah jaksa tinggi dan Kepala Polda setempat. Jaksa bertugas menyiapkan terpidana, sedangkan polisi mencari tempat dan waktu eksekusi yang ”aman”, serta regu tembak.
Malam itu, perkembangan pelaksana-an eksekusi Tibo dkk. dilaporkan dalam rapat kabinet oleh Jenderal Polisi Su-tanto. Rapat juga ”menyinggung” surat terbaru dari Vatikan yang diterima kantor Presiden siang harinya, tatkala Pre-siden Susilo Bambang Yudhoyono sedang meninjau lokasi lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.
Jenderal Polisi Sutanto kemudian menyatakan, ”Eksekusi ditunda setelah 17 Agustus.” Alasannya, untuk memberi waktu kepada masyarakat dan pejabat di daerah merayakan hari kemerdekaan. ”Eksekusi akan tetap dilakukan,” Sutanto menambahkan. ”Selambat-lambatnya akan ditentukan tiga hari setelah 17 Agustus.” Wewenang menentukan waktu yang baru berada di tangan jaksa tinggi dan Kapolda setempat.
l l l
PENUNDAAN eksekusi atas trio terpidana ini sudah keenam kalinya. Eksekusi seharusnya dilakukan segera setelah Maret 2004, setelah permohonan PK para terpidana kelahiran Nusa Tenggara Timur itu ditolak Mahkamah Agung. Hukuman ditunda karena mereka meng-ajukan grasi ke Presiden. Ketika grasi ditolak, September 2005, mereka meng-ajukan lagi permohonan PK kedua.
Ketika semua upaya hukum dipastikan kandas, pada April 2006, ketiga-nya tak juga dieksekusi. Brigjen Oegro-seno memutuskan mengkonfrontasi ketiga terpidana dengan 16 nama yang disebut- Tibo sebagai ”dalang sebenarnya” kerusuhan Poso.
Daftar nama itu ternyata ”diterima”- po-lisi. ”Dari 16 nama itu, kini ka-mi fokus ke sepuluh nama saja,” kata Oe-gro-seno, pekan lalu. Tiga bulan lalu, polisi me-rekonstruksi penyerangan di Pondok Pesantren Walisongo di Desa Sintuwu- Lemba, Kecamatan Lage, Poso, Mei 2000, dengan membongkar kuburan mas-sal di Kilo Sembilan—lokasi penguburan korban.
Menurut polisi asal Semarang ini, se-karang situasi Poso relatif tenang untuk ”membongkar” misteri kerusuhan se-lama 1999-2000 itu. ”Orang berta-nya siapa pelaku sebenarnya. Saya tidak ingin ada orang memutarbalikkan fakta. Kasus ini harus diungkap,” kata pria yang pernah menjadi Kepala Polsek Menteng, Jakarta itu.
Selain polisi, kejaksaan juga mengaku ”berhati-hati” dalam kasus Tibo. ”Jaksa Agung sengaja membiarkan PK kedua, yang sebenarnya tak punya dasar hukum,” kata Bambang Widjojanto, staf ahli Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, kepada Tempo. ”Barangkali ada keputusan baru dari Mahkamah Agung. Ternyata tidak ada.” Ketika upaya hukum habis, menjadi kewajiban jaksa untuk mengeksekusinya. ”Posisi kejaksaan memang jadi terjepit,” kata mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia itu.
Dengan kata lain, MA membenarkan putusan hakim Pengadilan Negeri Palu, yang menyatakan Tibo dkk. bersalah atas sangkaan pembunuhan, pengania-yaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru. Majelis Pengadil-an Negeri Palu, yang dipimpin hakim Sudarmo, meyakini sejumlah saksi yang mengaku melihat ketiganya memimpin dalam penyerangan itu. Hukuman diperberat karena Tibo, 61 tahun, pernah dihukum empat tahun dalam kasus pembunuhan seorang transmigran asal Bali, pada 1994.
Di luar pengadilan, Tibo disebut-sebut punya andil dalam kerusuhan Poso. Warga lokal kerap menyebutnya sebagai Panglima Pasukan Kelelawar, salah satu pasukan kelompok ”Merah”. Sebutan ini ditolak Tibo di persidangan. Petani ini ditangkap Satuan Tugas TNI Cinta Damai di Desa Jamur Jaya, Beteleme, Kabupaten Morowali, pada akhir Juli 2000. Lima hari kemudian Dominggus da Silva (42 tahun) dan Marinus Riwu (48 tahun) menyerahkan diri di Polsek Bateleme.
Akankah eksekusi ditunda lagi me-nunggu pelaku kerusuhan Poso ter-ung-kap? ”Tanya saja kepada Ka-polri,” jawab Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, ber-kelit.
Arif A. Kuswardono, Darlis Muhammad (Poso)