Wednesday, February 28, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Bungker Ditemukan di Poso

[PALU] Sebuah lubang perlindungan bawah tanah (bungker) yang diduga selama ini dijadikan tempat merakit bom dan pusat persembunyian para pelaku kekerasan Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri ditemukan aparat kepolisian di Poso. Bungker berukuran 3 x 15 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter itu ditemukan aparat dalam rumah yang ditempati Agus Jenggot alias Boiren, salah satu oknum DPO yang akhirnya menyerahkan diri kepada polisi, Kamis (22/2), di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Kapolda Sulteng, Brigjen Pol Badroddin Haiti yang dikonfirmasi Pembaruan, Rabu (28/2) pagi, membenarkan penemuan bungker tersebut. Dikatakan, penemuan bungker tersebut sebagai salah satu upaya polisi untuk terus mencari seluruh sarang-sarang kejahatan di Poso yang telah menyebabkan daerah itu tidak pernah aman selama ini.
Sesuai penyelidikan, bungker yang ditemukan di rumah yang ditempati Agus Jenggot di Jalan Pulau Irian Jaya, Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota, diduga sebagai tempat mengolah bahan-bahan peledak menjadi bom-bom rakitan dan senjata api (senpi rakitan) yang dipakai melakukan aksi-aksi kekerasan di Poso dan Palu selama ini.
Saat ditemukan, di dalam bungker didapati tersimpan belasan senjata api rakitan, puluhan bom dan ratusan amunisi. Bungker tersebut berdinding dan berlantai tanah dengan mulut bungker berada persis di dapur rumah Agus Jenggot. Rumah itu sendiri adalah rumah yang sangat sederhana, berdinding papan dan beratap rumbia dengan ukuran 5 x 7 meter.
Menurut polisi, rumah itu adalah milik warga yang telah lama mengungsi dari lokasi itu akibat kerusuhan Poso (tahun 2000), dan sampai kini pemiliknya belum mau kembali ke rumah mereka. Menyusul kosongnya rumah tersebut, diduga telah dijadikan sarang para pelaku kekerasan Poso untuk menjadikan tempat itu sebagai markas kejahatan.
Di bungker ini pula, diduga para DPO (29 orang) bersembunyi dari kejaran polisi. Namun, berkat kemauan keras aparat kepolisian untuk menegakkan hukum yang didukung oleh pemerintah pusat dan masyarakat di daerah ini akhirnya lokasi itu bisa dibongkar melalui suatu penggerebekan yang terencana tanggal 11 dan 22 Januari lalu.
Dalam rangkaian penggerebekan tersebut, sedikitnya 15 orang tewas, terdiri 13 warga sipil termasuk beberapa DPO, serta dua polisi yang tertembak dan dihakimi massa. Ratusan senpi organik dan rakitan beserta puluhan ribu amunisi dengan berbagai kaliber ditemukan aparat dalam rangkaian penggerebekan dengan pusat penggeledahan di rumah-rumah warga di Kelurahan Gebang Rejo dan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, berjarak sekitar 1 kilometer dari Markas Polres Poso. Diduga di bungker ini juga sebagai tempat latihan menembak, Di bungker ini ditemukan banyak alat perakit bom seperti gerinda.
Pada Selasa (27/2) petang, polisi di Poso membawa para wartawan untuk meliput secara dekat keberadaan bungker tersebut. Kapolda Badroddin mengatakan, upaya pencarian bungker-bungker lainnya yang kemungkinan diduga masih berada di kawasan tersebut masih terus dilakukan. "Kita masih mencari bungker-bungker yang lain, ya mungkin saja masih ada dengan diduga banyak senjata-senjata ilegal yang masih disembunyikan di lokasi tersebut," tegasnya.
Demikian pula pengejaran terhadap sembilan DPO yang belum menyerahkan diri ke polisi masih terus dilanjutkan, dan diduga sebagian masih berada di Poso dan sebagian sudah melarikan diri ke Jawa. [128]
Last modified: 28/2/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pendatang Baru Poso Didata

[JAKARTA] Para pendatang baru di Poso, Sulawesi Tengah, yang tidak jelas tujuannya akan dikembalikan ke daerah asalnya. Apalagi, mereka yang dengan ciri-ciri tertentu dan hanya memprovokasi masyarakat setempat.
Untuk itu pemerintah daerah setempat melakukan pendataan ulang penduduk dan para pendatang baru di Poso. Demikian Bupati Poso, Piet Inkiriwang kepada wartawan di kantor Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa (27/2).
Dia bertemu wapres untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan terhadap aparat kepolisian dalam menangkap para daftar pencarian orang (DPO) yang melakukan teror selama ini di wilayah Poso. Selain itu, dia juga melaporkan masalah pembagian dana Pemerintah Pusat sebanyak Rp 68 miliar kepada masyarakat kecil korban konflik di Poso.
Lebih lanjut Piet menjelaskan, saat ini pihaknya bekerja sama dengan sejumlah instansi terkait seperti aparat kepolisian melakukan pendataan ulang penduduk di Poso serta melakukan penertiban warga yang tidak jelas dan orang-orang yang baru masuk ke Poso. Tetapi itu tidak berarti wilayah itu tertutup terhadap orang luar. Sebab, orang yang mempunyai keluarga atau memiliki pekerjaan di wilayah Poso, tetap diperbolehkan pergi ke sana.
Menurut dia, penertiban ulang itu dilakukan karena ada warga yang memiliki tiga sampai empat kartu tanda penduduk (KTP). Orang-orang seperti itu juga harus ditertibkan dan akan diberikan KTP dan kartu keluarga baru. Apalagi orang-orang yang datang ke Poso dengan tujuan yang tidak jelas. Misalnya, tidak mempunyai keluarga dan tidak memiliki pekerjaan di sana. [A-21]
Last modified: 28/2/07

Breaking the cycle of conflict in Poso
Mohammad Yazid, Jakarta, February 28, 2007

Parents are normally proud of their offspring. Sadly, however, not all parents are willing to accept their children's shortcomings, particularly if they suffer from a disease or commit acts that bring disgrace on the family.
Experts say accepting bitter realities will help parents cure their ego and at the same time psychologically relieve their children's plight. But instead, denying realities has become prevalent in our society.
This was evident in the public resistance to the crackdown on terror suspects conducted by National Police Special Antiterror Detachment 88 last month in the Tanah Runtuh area of Poso, Central Sulawesi. At least 14 people, including a policeman, were killed in an operation aimed at capturing 26 suspects in ongoing sectarian violence. The operation was launched after negotiations between the police and local ulemas on voluntary submission of the suspects failed.
The tough approach by police sparked protests from various circles. Hard-line Muslim figure Abu Bakar Ba'asyir, the Team of Muslim Attorneys and the Islamic Community Forum demanded the clash be investigated as a breach of human rights. President Susilo Bambang Yudhoyono expressed regret and ordered an inquiry into the case.
These protests, however, look less reasonable when one considers that the people who protected the 26 suspects resisted law enforcement measures and mounted counterattacks against the police using M-16 and AK-47 assault weapons.
As one of the clerics in Poso acknowledged, the possession of firearms, though intended as a precaution and a measure of self defense, has not helped settle the protracted conflict between groups, which was triggered by a trivial conflict between two youths of different religions at the end of 1998.
Armed resistance, besides being categorized as a rebellion, increasingly signals the influence of terrorism that has so often been denied by hard-line Islamic organizations.
It is even more apparent if we examine the confession of Abdul Muis, the main suspect in the Oct. 2006 shooting of minister Irianto Kongkoli and the Dec. 2005 bombing of the Maesa pork market in Palu. Muis, once a forestry student in Palu, dared to kill after adopting strict religious doctrines.
Muis, who is not a victim of the Poso conflict, referred to the chapter of Attaubah, verse 12, of the Koran, which orders the killing of infidel leaders. The verse is actually conditional in nature. The non-believers meant by the Koran are those of Quraish, the enemy of Prophet Muhammad. This is different from the case of Irianto Kongkoli, who was Muis' compatriot.
In a highly-charged atmosphere resulting from a lack of religious tolerance, the antiterror crackdown understandably hurt the feelings of the Islamic community.
Some Christians have an equally hard time accepting the execution of Fabianus Tibo, Dominggus da Silva and Marinus Riwu on Sept. 22, 2006, for their role in the 2000 killing of Muslims in the Wali Singo Islamic boarding school in Poso. Instead of easing the Muslim-Christian tension, the execution triggered further conflicts.
The time has come, however, to respect the apparatus of government and law enforcement. This includes whatever verdict may come out in the Central Jakarta trial of terror suspect Hasanuddin, accused of slaying three Christian high school students in Poso in October 2005.
This respect could have been manifested by handing in the 26 terror suspects instead of demanding that authorities first act against 16 other people Tibo said had been involved in the violence. Insisting on the latter will only prolong solutions to the Poso problems and make the judicial process difficult, since Tibo has already been executed.
Accepting disappointment takes a great deal of courage. But protecting people from law enforcement only because they are of the same religious faith will not help restore peace to Poso.
The Islamic community has played a significant role in peace-building in Poso following the bloodshed that claimed more than 1,000 lives between 2000 and 2001. Attempts by some Muslim figures to protect terror suspects violate Islamic values, which stress the importance of forgiving and fostering brotherhood regardless of differences in faith.
If a religion is correctly and wisely understood, its dissemination does not have to give rise to disputes. The propagation of Islam across Java centuries ago happened peacefully under nine pious propagators (Wali Songo) known to have been highly tolerant of local cultures.
Settling the Poso conflict will also depend on the way the police tackle the issue. There have been accusations that individual law enforcers are helping the conflicting groups. The discovery of the weapons held by the groups in Poso to a great extent indicates the police's inability to uphold professionalism. The police do not need to deny the accusations, but simply to prove them wrong through their actions.
The writer is a staff member of The Jakarta Post. He can be reached at yazid@thejakartapost.com.

Tuesday, February 27, 2007

1.009 Rumah Pengungsi Poso Mulai Dibangun Pekan Ini
KCM, Rabu, 01 November 2006 - 17:36 wib

PALU, KOMPAS - Setelah sempat tertunda beberapa kali, pembangunan 1.009 rumah pengungsi Poso dipastikan akan dimulai Jumat (3/11). Pembangunan akan ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Menteri Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Djoko Santoso. Namun, minimnya persediaan bahan baku kayu masih menjadi kendala kelancaran pembangunan rumah pengungsi itu.
Hal itu disampaikan Panglima Komando Daerah Militer VII/Wirabuana Mayor Jenderal Arief Budi Sampurno dan Kepala Dinas Sosial Poso M Amirullah, Rabu (1/11).
Arief mengatakan, pembangunan 1.009 rumah pengungsi Poso itu merupakan kerja sama TNI dan Departemen Sosial yang melibatkan 450 personel TNI dari Kodam VII/Wirabuana.
Rencananya, 1.009 rumah pengungsi yang akan dibangun di sembilan dari 14 kecamatan yang ada di Poso itu akan selesai dalam waktu empat bulan. Namun, jika pasokan kayu terkendala, maka waktu yang dibutuhkan lebih lama lagi. “Kalau pasokan kayu lancar, kami akan upayakan agar selesai dalam waktu dua bulan,” kata Arief.
Kepala Dinas Sosial Poso, M Amirullah, mengatakan saat ini persediaan kayu untuk membangun 1.009 rumah pengungsi sangat minim, yaitu hanya sekitar 200 meter kubik. Padahal, kayu yang dibutuhkan untuk membangun rumah semi permanen ukuran 6 x 6 meter itu mencapai 5.000 meter kubik.
Walaupun Kabupaten Poso merupakan salah satu penghasil kayu terbesar di Sulawesi Tengah, namun, kata Amirullah, tidak ada pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) di Poso yang mampu menyediakan kayu sebanyak 5.000 meter kubik. “Karena itu, Dinas Kehutanan Poso kembali mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan agar sejumlah pengusaha HPH di Poso dapat mengelola hutan lebih luas. Kalau disetujui, mungkin tidak ada lagi kendala pembangunan rumah pengungsi,” katanya. (REI)

KCM, Selasa, 20 Februari 2007 - 17:14 wib
Rumah Pengungsi Poso Selesai Bulan Ini
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N

PALU, KOMPAS - Setelah sekian lama ditunggu-tunggu, pembangunan 1.009 rumah pengungsi korban konflik Poso dipastikan selesai bulan ini. Hal itu disampaikan Komandan Komando Resor Militer 132/Tadulako Kolonel Husein Malik, Selasa (20/2).
Husein mengatakan, pembangunan 1.009 rumah pengungsi Poso sudah rampung 96 persen. Tinggal penyelesaian akhir yang membutuhkan waktu lebih kurang satu minggu lagi.
Menurutnya, sekitar 40 persen dari rumah yang sudah selesai dibangun telah ditempati pengungsi. Kepada pengungsi lain yang sudah terdata diminta segera menghubungi Dinas Sosial Poso agar segera bisa menempati rumah yang telah selesai dibangun.
Setelah mengalami penundaan beberapa kali, di antaranya karena kasus korupsi Dana Kemanusian Poso, pembangunan 1.009 rumah pengungsi Poso dimulai sejak November 2006 lalu. Pembangunan melibatkan sekitar 600 personil TNI.
Rumah yang dibangun di 12 kecamatan di Poso itu adalah rumah semi permanen yang masing-masing terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dapur, dan satu kamar mandi. Masing-masing rumah yang dibangun dengan biaya Rp 15 juta itu akan menjadi milik pengungsi.

Warga Poso Mulai Mendapat Kucuran Dana
Laporan Wartawan Kompas Suhartono, Selasa, 27 Februari 2007 - 19:19 wib

JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten Poso, mulai mengucurkan dana puluhan miliar kepada warga Poso, untuk dapat memulihkan segera kondisi infrastruktur, perekonomian dan sosial warga Poso, Palu, Sulawesi tengah, Pemberian dana itu akan dan telah dikucurkan dalam periode sejak Februari ini hingga Maret mendatang. Dana yang diberikan mencapai puluhan miliar. Terhadap pengembangan Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UKMK) di Poso, pemerintah pusat segera mengucurkan dana sebesar Rp 58 miliar pada Maret. Untuk perbaikan listrik dan penerangan pemukiman, pemerintah Kabupaten Poso telah mengucurkan dana sekitar Rp 400 juta.
Menurut Bupati Poso Piet Inkiriwang, yang ditanya pers, seusai melaporkan kondisi terakhir Poso kepada Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Selasa (27/2) sore di Istana Wapres, Jakarta, sebanyak 317 kepala juga telah mendapat bantuan sandang dan pangan sebesar Rp 1,2 miliar atau setiap KK mendapat dana sekitar Rp 4 juta per bulan.
Wapres Kalla pernah menyatakan, proses penyelesaian dan perdamaian pasca konflik vertikal di Poso, tidak melulu diselesaikan secara stabilitas dan keamanan, akan tetapi juga secara pendekatan kesejahteraan dan perekonomian.
”Kami juga sudah menyediakan dana sekitar Rp 1,2 miliar bagi perbaikan lingkungan dan fasilitas lainnya seperti mesjid dan lainnya. Dana itu, termasuk juga kepada keluarga berasal dari bantuan Departemen Sosial,” ujar Piet.
Adapun perumahan yang rusak setelah terjadinya konflik, Piet menyatakan atas bantuan Depsos pula, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekarang ini juga sudah membangun rumah sebanyak 1009 unit rumah. ”Kita masih kekurangan sekitar 1.000 unit rumah. Rencananya, kita juga akan menambah lagi sampai 500 unit rumah lagi,” tambah Piet.

House backs 'de-radicalization'
February 27, 2007, Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta

The House of Representatives on Monday threw its weight behind a government "de-radicalization campaign" aimed at stopping the establishment of hard-line religious groups and countering terrorism.
In a hearing with Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo A.S. here, members of the House's defense, political and foreign affairs commission also said the government should make a concerted effort to deal with poverty, unemployment and underdevelopment, which they said contributed to terrorism and violence in the name of religion.
Also attending the hearing were Home Minister M. Ma'ruf, Defense Minister Juwono Sudarsono, Maritime Affairs and Fisheries Minister Freddy Numberi, Indonesian Military Commander Air Chief Marshall Djoko Suyanto, National Police chief Gen. Sutanto and National Intelligence Agency head Syamsir Siregar.
"De-radicalization is urgently needed to improve the people's awareness of terrorism and ensure an understanding of religion and their teachings. The problem is not religions themselves but some of the people who claim to be adherents. Such a move will help the government win full support from the people to counter terrorism," the chairman of the House commission, Theo Sambuaga, said at the conclusion of the rare meeting with the ministers and security authorities.
During the hearing, the commission questioned what it called the "repressive approach" employed by the police in the pursuit of 29 wanted radicals in Poso, Central Sulawesi. It also asked about the progress in the hunt for fugitive Malaysian bombmaker Noordin M. Top, the prosecution of terrorist suspects and the possible execution of five terrorists sentenced to death for their involvement in the 2002 Bali bombings.
Many legislators also expressed their concern over a recent rise in air and sea accidents, and questioned whether it was possible terrorist attacks were behind any of the accidents. They said many people were now afraid to take planes, ferries or trains.
"From a recent tour of several provinces, we found many people have suspicions that terrorism is behind the increasing number of sea and air accidents. We got the impression that the government is seen as less than professional in managing the transportation sector and investigating accidents," Andreas Parera of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) said.
Other legislators asked the government to take concrete measures to lift more people out of poverty and give them jobs, saying the poor and disenfranchised were more at risk of being exploited by terrorists. They pointed out that most of the young people recruited by Noordin M. Top and slain terrorist mastermind Azahari were from poor families.
"Poverty, unemployment, underdevelopment, injustice and the skyrocketing prices of basic commodities are real threats to our internal security," Happy Bone Zulkarnain of the Golkar Party said.
The antiterror desk chief at the Coordinating Ministry for Political, Legal and Security Affairs, Ansyaad Mbai, said the government has enhanced cooperation with religious leaders, clerics and communal leaders to prevent the misuse of religious teaching to justify terrorist attacks.
He said the government has won support for the campaign from the two largest Muslim organizations in the country, Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah.
Meanwhile, National Police chief Gen. Sutanto defended the police's handling of terrorist suspects, including the wanted radicals in Poso. He said the police had procedures in place to ensure the protection of human rights.

Hasanuddin not to blame, say Lawyers
The Jakarta Post, Jakarta, February 27, 2007

Defense lawyers said Monday that the main defendant in the 2005 beheading of three Christian schoolgirls in Poso had neither organized nor committed the crime.
"The plotter and the one who provided the money was Ustad (cleric) Sanusi. Hasanuddin only carried the money from Sanusi to the executors," chief lawyer Asluddin told the Central Jakarta District Court.
He cited the televised statement of Basri, another militant, who has confessed to taking part in the murders, that he was given money from Sanusi by Hasanuddin to kill "infidels".
Last week, prosecutors sought a 20-year prison term for Hasanuddin, saying he had plotted and funded the crime along with selecting the killers.
They did not demand the maximum sentence, death, because Hasanuddin has expressed remorse during the trial and the families of the victims say they have forgiven him.
The prosecutors say that Hasanuddin masterminded the 2005 beheadings in revenge for the killings of Muslims during the three years of communal violence that shook Central Sulawesi's Poso region from 1998 to 2001 and that his actions increased the tension and terror in the area.
But the defense said that Sanusi decided where the remains of the girls were to be dumped and that fingerprints found on the plastic bag containing the girls' heads belonged to Lilik Purnomo, another defendant being tried separately.
Asluddin also questioned the legal basis for the charges laid against Hasanuddin.
"No exodus ever occurred among residents after the beheadings. Therefore, the prosecutors cannot use the 2003 Antiterrorism Law to try this case," he said.
He asked the court to only use the Criminal Code in the case, arguing that the country had never used the antiterrorism law for massacres involving non-Muslim defendants.
The 34-year-old Hasanuddin is alleged to have come up with the idea of beheading Christians as "presents for Idul Fitri" on Oct. 29, 2005.
Yarni Sambue, Interesia Morangke, Alifita Paulina and Noviana Malewa were attacked on their way to school. Noviana survived and reported the murders, although she was unable to identify the killers because they were wearing masks.
Hasanuddin was arrested in Palu on May 8, 2006, while Taufik was caught on the same day in Poso, after what police described as "seven months of intensive investigation".
Their arrests were announced at the same times as those of Jendra, alias Rahmat or Asrudin, Irwanto Irano, alias Iwan, Lilik Purnomo, alias Haris, Nano Maryono and Abdul Muis.
Along with Hasanuddin, Lilik Purnomo, 28, and Irwanto Irano, 29, are also being tried under the antiterrorism law in separate trials. Meanwhile, the four other militants believed to have been involved in the beheadings are still at large.(06)

Monday, February 26, 2007

Poso surrenders to Army seen as 'face-saving'
Alvin Darlanika Soedarjo, The Jakarta Post, Jakarta, 26 Feb 2007

The two alleged Poso militants who surrendered to the Army's special forces last week did so to "save face" and avoid being tortured, says a criminologist.

Agus Jenggot and Riza, alia Icang, wanted for their involvement in sectarian violence in Poso, Central Sulawesi, surrendered last Thursday to Kopassus, the Army's elite special forces unit, instead of the police, who had placed them on a wanted list.

"The people on the wanted list might prefer to surrender to other bodies rather than the police. One reason is that the militants in Poso have always been the opposing force to the police," criminologist Adrianus Meliala told The Jakarta Post on Sunday.

He said that their fear of being tortured by the police was also a manifestation of their concern at losing face.

National Police chief Gen. Sutanto had earlier said that those on the wanted list would be treated well and that the surrender of the two men meant that they had realized that what they had done was wrong.

Contacted separately, National Police spokesman Sr. Comr. Bambang Kuncoko said that the two militants had been handed over to the Central Sulawesi Police for legal processing on Friday.

"It doesn't matter who the fugitives surrender to as long as they can comply with the law," Bambang said.

"There is no rivalry between the institutions as the objective is clear. It's much better for the wanted men to have goodwill and give in rather than disobeying the law," he said.

Relations between the police and military have been good, the police say. The Indonesian Military's involvement in the area was requested by the Central Sulawesi Police chief and approved by the National Police.

Bambang said that Kopassus had handed the two men over to the police because only the police could send them to trial.

There are still 12 people on the list who have not surrendered or been caught.

"Let's not see the people on the wanted list as enemies. We will only send them to court and let the court decide," Bambang said.

Agus and Riza were wanted for their involvement in the beheadings of three female high school students in Poso in 2005.

The police previously arrested another militant wanted in connection to the crime, Basri, in January. After he was detained, they invited the media to meet him in Jakarta for a press conference, a move meant to encourage others on the wanted list to surrender.

Last week, the Central Jakarta district court sentenced two accomplices of Poso terrorist Hasanuddin, Lilik Purnomo and Irwanto Irano, to 20 years in prison for committing terrorist acts.

A militant group headed by Hasanuddin is accused of masterminding the beheadings of the three female students. Hasanuddin was convicted of the crime in February last year and sentenced to 20 years' prison.

Ditemukan, Bunker Tempat Perakitan Bom di Poso
Senin, 26 Pebruari 2007 12:55 WIB

TEMPO Interaktif, Poso:Sebuah banker tempat persembunyian sekaligus sebagai tempat perakitan bom dan pertahanan para DPO Poso Senin ini ditemukan sejumlah warga bersama para wartawan. Pengamatan langsung dilapangan bunker tersebut berada didalam rumah Agus Jenggot, salah satu DPO Mabes Polri yang menyerahkan diri Sabtu pekan lalu.Kondisi rumah Agus sendiri terbuat dari dinding papan dan berlantai semen, beratap rumbia, berada di pinggir Gunung Jati, kawasan PDAM Tanaruntuh, Kelurahan Gebangrejo. Mulut bunker berdiameter satu meter persegi terbuat dari beton yang ditutupi beton juga. Kedalaman banker sekitar empat meter dan didalamnya seluas 5,4 meter persegi. Bila memasuki bunker harus memakai tangga.Brigadir Dua Wahid dari Brimob Polda Sulawasi Tengah yang pertama kali menemukan bunker itu pada 22 Januari saat bentrokan polisi dan kelompok bersenjata Poso menyatakan didalam bunker terdapat sajadah, alat masak-memasak seperti kompor, panci, dan beras. Selain itu, ditemukan juga peralatan pembuatan bom seperti pipa-pipa, detonator, kabel listrik, dan bubuk black powder.Bunker itu jalan keluarnya berada dibelakang rumah Agus Jenggot yang berhubungan langsung dengan hamparan Gunung Jati, sehingga para DPO yang ada disitu dengan mudah melarikan diri. Agus Jenggot sendiri saat melarikan diri kewilayah Padapu. Jarak Padapu dengan Poso Kota kurang lebih 200 kilometer. Dia mengakui lolos dari sergapan polisi lewat bunker itu. Sepintas mulut bunker terlihat seperti tempat cuci piring, sehingga kesannya bukan seperti bunker. Saat ini bunker ini sudah diamankan oleh polisi dan isi bunker sudah dibawa polisi sebagai barang bukti.Sementara itu, warga Gebangrejo Minggu sore melakukan pertemuan pencucian budi. Ratusan warga Gebangrejo yang dihuni 90 persen warga Jawa meneteskan air mata saat mendengar lantunan gamelan dari lagu campur sari dan tombo ati. "Sudah enam tahun lagu itu tak kami dengar, baru kali ini kami dengar kembali," kata Sarjo, warga Gebangrejo yang berasal dari Purworjo.Menurutnya sudah beberapa kali ia mencoba menggelar tarian Kuda Kepang yang memakan sabut kelapa. Tapi dilempari warga yang tidak setuju. insertnya kami dilempari karena kami dianggap kami setan," ujar Sarjo dengan mata berkaca-kaca.DARLIS

Sunday, February 25, 2007

Police continue hunt armed Poso group after shoutout

Poso (ANTARA News) - Indonesian police vowed Tuesday to continue hunting suspected Muslim militants on the troubled eastern island of Sulawesi following a massive shootout the previous day that left 14 people dead. Authorities said they found three more bodies overnight from Monday's three-hour-firefight in Poso, Central Sulawesi province, where sectarian violence has killed hundreds.The shootout, the second this month, occurred when police counter-terrorism units raided four residential neighbourhoods early Monday looking for Muslim militants wanted in connection with bombings and murders in the province dating back to 2000. The militants are believed to be linked to Jemaah Islamiyah, an al-Qaeda-affiliated regional terrorist network, although Indonesian police have not directly said they are part of that group. After the shooting ended, initial reports said one policeman and nine other people were dead, and two bystanders and six policemen were wounded. Brigadier-General Badrodin Haiti, the provincial police chief, told Deutsche Presse-Agentur DPA that the nine bodies were later identified as being suspected militants. "All of those dead men were armed," he told DPA, adding that police were still trying to identify the three bodies found overnight. Haiti said around 15 suspected militants, some carrying machine guns and rifles, escaped following the shootout. At least two of the nine people killed were on a police most-wanted list, and two others were 16-year-old boys, according to police sourcesOne of the teenage victim's mothers in Poso told dpa that her son was not a militant and had been "used as a human shield" by the suspects. Sisno Adiwinoto, spokesman for the Indonesian National Police, told a press conference in Jakarta Tuesday morning that 25 people were arrested following the clashes, according to the state-run Antara news agency. "The raid operations against the armed militants and wanted men will continue today," he said. "The effort to capture them will continue until all of them are arrested."Police confiscated a dozen bombs, firearms and thousands of rounds of ammunition, bows and arrows, and 5 kilograms of potassium chlorate on Monday, Antara reported. It was the second deadly shootout between police and suspected militants in Poso this month. On January 11, police shot dead two people and critically wounded a third during a raid on a house where a group of alleged militants was staying. Later that day, attendees at a funeral for one of the victims mobbed a policeman walking nearby and killed him. In 2005, Poso police released a list of 29 Muslim men wanted for numerous crimes and religion-inspired violence in Poso, including the beheading of three Christian schoolgirls in 2005, according to Sidney Jones, Southeast Asian project director of the International Crisis Group in Jakarta.Poso, which lies about 1,800 kilometres north-east of Jakarta, was the centre of conflicts between Muslims and Christians in 2001 and 2002 that killed more than 1,000 people. In early 2001, rival party leaders signed a government-sponsored peace accord, but tensions remained and violence still frequently occurs. Muslim leaders have recently accused local police of siding with Christian groups. Although the vast majority of Indonesia's 220 million citizens are Muslim, around half of Central Sulawesi's population is Christian. (*)
Copyright © 2007 ANTARA
January 23, 2007

Polri Segera Tarik Pasukan Dari Poso

Jakarta (ANTARA News) - Kepala Polri, Jenderal Polisi Sutanto mengatakan akan segera menarik pasukannya dari Poso, Sulawesi Tengah, menyusul kondisi keamanan yang makin membaik di wilayah tersebut."Situasi kan sudah membaik, aktivitas masyarakat sudah kembali lagi. Tentu jika sudah aman, tidak perlu lagi sistem keamanan seperti dulu lagi," katanya sebelum mengikuti Sidang kabinet Paripurna Di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu.Sutanto menjelaskan telah mengevaluasi suasana di Poso pasca penangkapan sejumlah DPO pelaku kekerasan di Poso serta baku tembak antara aparat dan warga sipil bersenjata beberapa waktu silam di Kelurahan Gebang Rejo, Poso, beberapa waktu silam."Kita sudah lakukan evaluasi suasana sudah jauh lebih kondusif," katanya. Tentang masih adanya aktivitas Jamaah Islamiyah di Poso, ia menegaskan tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, karena kita sudah melakukan berbagai pengawasan dari berbagai sisi.Untuk memulihkan situasi keamanan di Poso pasca bentrokan aparat dengan warga sipil bersenjata beberapa waktu silam, Polri mengirimkan satu SSK pasukan Brimob. (*)
Copyright © 2007 ANTARA

14 Februari 2007 12:31

Belasan Psikolog Akan Pulihkan Trauma Warga Poso

Jakarta (ANTARA News) - Polri telah mengirimkan belasan psikolog untuk memulihkan mental masyarakat yang menderita trauma, saat polisi menggelar operasi penangkapan para tersangka pelaku kekerasan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.Tim psikolog itu akan memulihkan trauma para anggota keluarga tersangka yang terjadi saat keluarganya ditangkap polisi, Januari 2007 lalu, kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Anton Bachrul Alam, di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan tim psikolog itu akan tergabung dalam operasi bakti sosial yang saat ini juga tengah digelar Polri di Poso.Selain psikolog, Polri juga telah menerjunkan 20 dokter untuk memberikan pelayanan medis gratis kepada warga Poso."Kami juga tengah memperbaiki rumah dan fasilitas umum yang rusak saat operasi penegakkan hukum," katanya.Ia mengatakan, perbaikan rumah dan fasilitas itu diperlukan agar bangunan yang rusak itu dapat segera ditempati pemiliknya atau masyarakat sekitar.Dalam penangkapan para tersangka kekerasan Poso 11 Januari hingga akhir Pebruari 2007 lalu, polisi banyak melepaskan tembakan dan penyisiran yang menyebabkan adanya bangunan yang rusak. (*)
Copyright © 2007 ANTARA

16 Februari 2007 10:11

Polri Tahan 56 Tersangka Aksi Kekerasan Poso

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Anton Bachrul Alam, mengatakan Polri telah menahan 56 tersangka dari semua kelompok yang diduga terlibat dalam berbagai tindak kekerasan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah.Penahanan para tersangka, termasuk yang menyerahkan diri, merupakan hasil operasi penegakan hukum yang dilaksanakan Januari-Pebruari 2007, katanya, di Jakarta, Selasa.Tersangka yang menyerahkan diri, menurut dia, sebanyak 14 orang, dengan tujuh orang di antaranya ditahan sedangkan yang lainnya dilepaskan. Mereka yang tertangkap maupun menyerahkan diri namun kemudian dilepaskan dengan jaminan wajib lapor sebanyak 16 orang, katanya.Ia menambahkan sebanyak 14 orang masih dinyatakan sebagai buron sehingga masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) yakni Taufik Bulaga, Nanto Bojel, Agus Jenggot, Enal Tao, Iin Brur, Iwan Asapa, Hamdara Tamil, Wahono, Rizal Inong, Mujadid, Sanusi, Kholik, Alex dan Zulkifli.Anton Bachrul Alam memaparkan dari operasi penegakan hukum itu, polisi berhasil mengungkap 46 kasus kekerasan di Poso mulai ledakan bom skala besar hingga bom kecil, mutilasi, penembakan, pembunuhan, perampokan, pencurian hingga kepemilikan bahan peledak. "Sebanyak 46 kasus itu terjadi mulai tahun 2003 hingga 2006 yang sebelumnya sulit terungkap," katanya.Di antara tersangka yang ditahan adalah Basri yang diduga terlibat 17 kejahatan mulai dari mutilasi, ledakan bom, perampokan hingga pencurian kendaraan bermotor.Kendati disebut-sebut tokoh sentral berbagai kejahatan di Poso, ia mengaku hanya melaksanakan apa yang diajarkan kawan-kawannya. (*)
Copyright © 2007 ANTARA

20 Februari 2007 9:31

Penegakkan Hukum di Poso Hanya Solusi Jangka Pendek

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Satgas Polri untuk Poso, Kombes Pol Tito Carnavian, mengatakan bahwa operasi Polri dalam penegakkan hukum di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), hanyalah solusi jangka pendek dan akar masalahnya belum terselesaikan."Ibarat fenomena gunung es, kami hanya menangani pucuknya saja dengan menangkap para tersangka dan buronan," ujarnya di Jakarta, Selasa.Untuk penyelesaian masalah jangka panjang, menurut dia, Pemerintah perlu menangani dua akar masalah yang terjadi di Poso, yakni masalah lokal dan radikalisme."Kalau cepat diatasi, maka Poso juga akan cepat pulih, tapi kalau Pemerintah tidak cepat, maka akan lambat pula," katanya.Ia menjelaskan, masalah lokal yang perlu diperhatikan adalah adanya dendam dan trauma konflik oleh warga lokal, sehingga membuat mereka membuat berbagai tindak kekerasan.Basri, salah seorang tersangka kerusuhan Poso yang belum lama ini tertangkap, adalah salah satu contohnya lantaran dia sempat mengaku puas saat membunuh tiga orang sambil membayangkan 26 saudara dekatnya menjadi korban kerusuhan sebelumnya."Basri puas melihat darah saat memotong tiga warga Poso. Nah, kisah Basri-Basri semacam ini jumlah masih sangat banyak," katanya.Selain masalah lokal, ia menilai, di Poso juga mulai muncul radikalisme secara meluas, dan gejala ini sudah berjalan selama enam tahun terakhir ini."Radikalisme telah masuk ke desa-desa sehingga terus menjadi banyak. Pada operasi 22 Januari 2007 lalu, ada sekitar 200 orang yang bergabung dengan para buronan," katanya.Untuk mengatasi dua hal itu, katanya, pemerintah perlu membangun pusat rehabilitasi trauma, dan merehabilitasi para korban kerusuhan Poso."Anak korban kerusuhan harus pelihara, para janda harus disantuni," katanya.Pemerintah juga perlu memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan polisi, karena mereka menilai, kerusuhan sebelumnya terjadi lantaran TNI, Polisi maupun Pemerintah yang tidak mampu memberikan perlindungan, sehingga keluarga mereka pun jadi korban kerusuhan.Untuk radikalisme, katanya, perlu segera ditekan akarnya tidak berkembang melalui cara mengirimkan para guru agama ke Poso."Masyarakat harus dibuat imun terhadap radikalisme, agar bisa menolak ajaran ini," katanya.Ia khawatirkan, radikalimes itu akan tetap berkembang, kendati sebagian tokohnya telah tertangkap."Yang ditangkap kan cuma 30 orang, padahal jumlahnya 200an orang," demikian Carnavian. (*)
Copyright © 2007 ANTARA

13 Februari 2007 20:35

DPR Ingin Polisi Lacak Senjata Kelompok Sipil Poso

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, mengatakan bahwa komisinya mendukung langkah Polri menyelesaikan kasus kekerasan dan kriminal di Poso, Sulawesi Tengah, terutama dalam melacak sumber senjata dan amunisi milik kelompok sipil."Komisi III mendukung langkah-langkah tegas aparat kepolisian dalam menyelesaikan kasus Poso. Maka, tunjukkanlah komitmen teguh, tanpa pandang bulu, tuntaskan konflik disana hingga ke akar-akarnya," kata Benny K Harman di Jakarta, Jumat .Ditambahkannya, Poso menjadi tempat bagi Polri yang mendapat kepercayaan penuh negara untuk melaksanakan ketertiban serta ketenteraman masyarakat."Ini negara hukum. Hukum harus ditegakkan. Dan Polri menjadi harapan utama untuk menegakkan hukum. Kalau ada pihak lain, termasuk aparat yang ikut bermain-main api di Poso, tangkap saja dan ungkap ke publik. Rakyat di belakang Polri sekarang," tandas Benny Harman yang beradal dari Partai Demokrat. .Jika Poso bisa aman, demikian mantan wartawan ini, maka Polri bakal dihargai dan dipuji seluruh rakyat, karena mampu menjalankan tugas negara, melindungi masyarakat tanpa pilih kasih."Jadi harus tuntas. Jangan nanti setelah periode ini selesai, maka muncul lagi (kekerasan, red) dalam bentuk lain. Pokoknya, cegahlah kasus Poso jangan sampai meluas ke mana-mana," ucap Benny Harman.Karena itu, Benny Harman dan kawan-kawannya di Komisi III DPR berharap agar pelucutan senjata terhadap warga sipil di Poso maupun di tempat lain, menjadi prioritas."Janganlah biasakan rakyat sipil itu bersenjata. Cari tahu dari mana jalur pemasokan senjata dan bahan-bahan peledak itu. Itu baru Polri kita," ujar Benny K Harman lagi.(*)
Copyright © 2007 ANTARA

9 Februari 2007 11:39

Basri Minta Maaf ke Masyarakat Poso

Jakarta (ANTARA News) - Tersangka 17 kasus kekerasan di Poso, M Basri (31), meminta maaf kepada masyarakat Poso atas perbuatan selama ini yang membuat masyarakat tidak tenang."Saya minta maaf kepada masyarakat Poso baik nasrani maupun muslim karena selama ini saya membuat resah di Poso," kata Basri di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat.Basri menyampaikan hal itu didampingi salah satu tersangka kerusuhan lain, Tugiran dan Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam.Ia mengajak para tersangka yang kini masih buron (DPO/daftar pencarian orang) untuk menyerahkan diri."Saya menghimbau kepada yang di luar sana supaya menyerahkan diri," katanya.Dikatakannya, isu bahwa polisi dan aparat kejam sama sekali tidak benar bahkan ia mengaku diperlakukan sangat baik oleh polisi saat ditahan selama dua pekan di Mabes Polri."Dua minggu di Jakarta sehat-sehat saja. Tidak disangka dan kita bayangkan sebelumnya. Polisi tidak ganas," katanya.Ia bahkan mengaku dilayani polisi selama di tahanan sampai-sampai ada kesan bahwa polisi itu sengaja melayaninya."Kita dilayani dengan baik. Kayaknya (polisi) malah jadi pesuruh kita," kata Basri yang mengenakan kaos coklat muda.Basri juga mengajak semua pihak untuk membangun Poso dan melupakan masa lalu agar warga bisa ke pasar dengan tenang dan berkebun, tidak was-was lagi.Ia mengaku pasrah dengan hukuman yang akan diterima di pengadilan nanti kendati ancaman hukuman mati sudah menunggunya."Kalau itu (hukuman mati) kan takdir Allah," katanya.(*)
Copyright © 2007 ANTARA

16 Februari 2007 16:22

Saturday, February 24, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Suami-Istri Hilang di Poso Diduga Dibunuh

[PALU] Pasangan suami-istri, Kallu (50) dan Halima (35), hilang dari kediamannya di Dusun Malelei, Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir, Sulawesi Tengah (Sulteng). Keduanya diduga dibunuh karena di dalam rumahnya ditemukan bercak-bercak darah dan bekas seretan tubuh manusia.
Kasus ini diketahui Kamis (22/2) pagi. Saat itu Sudirman, warga Dusun Malelei lainnya, bermaksud mampir di rumah kedua korban. Namun sebelum memasuki rumah kedua korban, Sudirman lebih dahulu berteriak memanggil keduanya dari luar.
Tetapi sudah berkali-kali memanggil, tidak ada jawaban. Karena penasaran ia mengintip lewat jendela. Tapi alangkah kagetnya ketika menyaksikan ada bercak-bercak darah berceceran di lantai rumah. Sementara suami-istri yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani itu tidak kelihatan.
Dalam keadaan ketakutan, Sudirman lari melaporkan kejadian itu ke Mapolsek Poso Pesisir. Kemudian laporan itu diteruskan ke Polres Poso.
Kasub Publikasi Bidang Humas Polda Sulteng, Kompol Heddy yang dikonfirmasi Jumat (23/2) membenarkan kejadian tersebut.
Menurutnya, penyisiran untuk mencari kedua korban sudah dilakukan sejak Kamis siang dengan dipimpin langsung Wakapolres Poso Kompol Minarto.
Penyisiran juga dibantu oleh anjing-anjing pelacak, namun kedua pasangan suami-istri itu belum ditemukan sampai saat ini.
Dalam penyisiran di rumah korban, polisi menemukan sejumlah barang bukti di antaranya 6 buah parang (satu parang penuh darah), sebilah kampak, senter dan sandal jepit. Barang-barang bukti tersebut kini diamankan di Mapolres Poso untuk kepentingan penyelidikan/penyidikan kasus ini.
Kejadian hilangnya kedua pasangan suami-istri tersebut tercatat sebagai kasus pertama yang kembali terjadi lagi di Poso pasca penggerebekan para tersangka pelaku kekerasan Poso pada 11 dan 22 Januari lalu.
Menjaga Keutuhan
Tokorondo sendiri adalah salah satu daerah yang pernah menjadi basis kerusuhan massa antara tahun 2000-2002. Namun sejak tahun 2004, penduduk di sana sudah kembali hidup normal dan warganya sudah hidup membaur satu sama lain.
Beberapa kali kasus pembunuhan/pembakaran rumah penduduk terjadi di desa itu oleh pelaku tak dikenal yang tujuannya ingin memancing warga agar saling berkelahi lagi. Tapi usaha-usaha yang diduga melibatkan para tersangka yang masuk daftar pencarian orang (DPO) dari Polri (29 orang) tersebut, tidak berhasil memancing emosi warga. Malah warga tetap berusaha menjaga keutuhan dan kedamaian diantara mereka, sehingga akhirnya Tokorondo menjadi daerah percontohan pembauran warga pascakonflik yang terbaik di Poso.
"Kita berharap kedua pasangan suami-istri itu segera ditemukan, sehingga tidak menimbulkan berbagai spekulasi dalam masyarakat Poso," ujar Heddy. [128]
Last modified: 24/2/07

Dua Buronan Poso Menyerahkan Diri
Sabtu, 24 Pebruari 2007 15:03 WIB

TEMPO Interaktif, Poso:Dua orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) kasus Poso, Agus Nur Muhammad alias Jenggot dan Rizal alias Inog, hari ini menyerahkan diri ke Polres Poso. Mereka menyerahkan diri langsung ke hadapan Kapolres Poso Ajun Komisaris Besar Rudi Sufahriyadi di Hotel Wisata Poso.Dua hari sebelumnya Agus Jenggot sudah menyerahkan diri ke Kopassus TNI di Poso. Agus Jenggot mengatakan sesungguhnya dia mau menyerahkan diri ke polisi. Tapi niat itu diurungkan karena istrinya sedang hamil tua. Istri Agus sudah melahirkan hari ini, maka dia berinisiatif menyerahkan diri. "Sesungguhnya saya mau menyerahkan diri tapi karena istri hamil besar saya tidak tega," kata Agus hari ini di Poso.Agus mengaku selama ini bersembunyi di wilayah Ampana, Kabupaten Tojo Una-Una, tetangga Kabuapten Poso. Saat terjadi bentrok polisi dengan DPO 22 Januari lalu yang menawaskan 13 orang, Agus mengaku berada di lokasi dan ikut melakukan perlawanan. Dia berhasil lolos setelah markas pertahanannya di Jalan Pulau Seram dimasuki polisi. "Saat polisi memborbardir markas, saya tidak tahan dan meninggalkan Basri, lalu lari ke gunung jati," ujarnya.Sementara Rizal mengaku sudah lelah bersembunyi dari kejaran polisi. Dia lantas berkonsultasi dengan Agus Jenggot. Mereka sepakat menyerahkan diri. Menurutnya, setelah Basri menyerahkan diri, Agus Jenggot bertindak sebagai pimpinan. "Insya Allah ini jalan terbaik yang saya lakukan untuk menyerahkan diri," kata Rizal.Kapolres Poso Rudi Sufahriyadi yang menerima DPO itu mengatakan kedua DPO itu tersangka dalam kasus mutilasi tiga siswi SMU Kristen. Dia mengimbau pada 13 DPO lainnya untuk mengikuti jejak Agus dan Rizal. "Kita tidak akan melakukan kekerasan kalau mereka menyerahkan diri," ujarnya. Rudi mengatakan dua DPO ini akan segera diterbangkan ke Jakarta, bergabung dengan Basri cs untuk penyelidikan lebih lanjut.DARLIS MUHAMAD

Critics say dividing Poso not a solution
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

Observers have lashed out at demands made by some Poso residents to divide the regency into two parts, saying the move would not end in a lasting peace for the conflict-torn Central Sulawesi town.
They said the division would not guarantee a better future, but would instead serve the interests of the political elite, who wished to split power there.
The director of Palu's Freedom Land Foundation, Arianto Sangaji, told The Jakarta Post that the move to split the regency was wrong and that it would further disintegrate relations between Muslims and Christians in the town.
"The move would lead to the domination of certain groups and this is dangerous," said Arianto, who was a founder of the Poso Center.
"I see the demand to divide Poso into a regency and a mayoralty simply as a move to split the power cake between the elite there."
He warned Poso's political elite not to take advantage of the conflict by using civilians to support their goals.
On the contrary, he urged them to "think clearly" to promote a feeling of togetherness within the community, as well as help the town's economy grow.
On Saturday, residents claiming to represent eight districts in Poso regency gathered to request from the government the establishment of a Poso mayoralty with Poso city as its capital, and a Poso regency with Tentena as its capital.
A resident involved in making the demand, Erawanto Timumun, said the move to split Poso into two parts would be an important factor in helping solve the prolonged conflict there.
The demand received support from the Poso regency and Central Sulawesi administrations, although officials said the move would have to undergo a lengthy process of approval by the central government and the House of Representatives.
Arianto said the division would place one of the religious group in a weak position.
According to data, residents who proposed the split were predominantly Christian. However, Muslims have played the dominant political role in the eight districts.
"This data shows that with the split, a certain religious group would dominate and weaken the other group politically. So, is this a solution?" Arianto asked.
A Poso peace worker, Tahmidi Lasahido, urged all people in Poso to focus on reconstruction and rehabilitation efforts, such as by convincing many Christians, who had not yet returned following the 2000 conflict, that they could return and live in harmony with Muslims.
Currently, he said, more than a thousand Christians still sought shelter in Tentena and lived in makeshift shelters for displaced people in Later. Many said they still feared a repeat of the bloody conflict, which killed around 1,000 people.
Tahmidi, who is a lecturer at Tadulako University in Palu, said the move to split the town was not necessary as conflict there had subsided.
"There's no conflict in Poso, so what's the use of dividing the town? It's better to maintain the peaceful situation now while continuing reconstruction and rehabilitation efforts in Poso," he told the Post.
The chairman of Poso's Indonesian Ulemas Council, Yahya Mangun, said the move to split the regency had long been proposed by political elites, but that he did not believe it to be an adequate solution to the town's problems.
"I'm worried that if the regency is divided there will be another problem. It's better for us to bring back a harmonious situation like before," said Yahya, who was involved in the Malino Declaration that ended the 2001 Poso conflict.
A Tentena Christian youth figure, Vincent Lumintang, labeled the move "euphoric", and said it was spearheaded by an elite group seeking important political positions within the government.
"If we look back to the time when the conflict first started in 1998, it happened following a conflict between the elites to win power," Vincent said. "Should we repeat history again?
"In the end, everyone will come to their senses. So it's better to learn from our gloomy past," he said.

Jkt Post online, 24 Feb 2007
Two in Poso surrender

Two men on a wanted list of suspects in the violence in Poso, Central Sulawesi, turned themselves in at the headquarters of the Special Forces in Cijantung, Jakarta, detik.com reported late Friday. "Now they have been transferred to the local police station," said National Police spokesman Sr. Comr. Bambang Kuncoko.The men, identified as Agus Jenggot and Riza alias Icang, said they had not surrendered to the police "for fear of being tortured." Police are still pursuing 12 other suspects, he added. Agus is suspected of being involved in the beheading of three students in October 2005. -- JP

Komentar, 24 February 2007
Kejar DPO Poso Kumabal, Polisi Tempuh Represif

Ini warning bagi Polri ter-hadap DPO Poso yang ku-mabal karena belum mau menyerahkan diri hingga saat ini. Aparat polisi siap me-nempuh langkah represif (kekerasan) dalam upaya mengejar para tersangka kerusuhan di Poso tersebut. Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Bambang Kuncoko siang (23/02) kema-rin mengatakan, hingga saat ini Polri masih mengejar 12 orang tersangka dari 14 tersangka yang tercatat dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), setelah dua orang me-nyerahkan diri ke Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. “Langkah represif tetap di-lakukan dalam mengejar para kriminal bersenjata di Poso,” ujar Kuncoko. Menurut juru-bicara Mabes Polri itu, perintah untuk me-ngejar para pelaku kriminal bersenjata yang terdaftar dalam DPO kerusuhan Poso, dengan langkah-langkah re-presif telah diinstruksi kepa-da setiap aparat Polda, ter-utama Polda yang berada Su-lawesi Tengah. Langkah represif itu, lanjut Kuncoko, diambil setelah upa-ya rehabilitasi yang digelar kepolisian tidak membuahkan hasil. Di sisi lain, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto memuji tinda-kan dua Daftar Pencarian Orang (DPO) yang menyerah-kan diri kepada polisi. Me-nurut Sutanto, tindakan ter-sebut adalah bukti bahwa kedua DPO tersebut menya-dari apa yang mereka lakukan di masa lalu tidak tepat. Kedua DPO yang menyerah itu adalah Agus Jenggot dan Zainal alias Inong. Kedua pria militan ini keluar dari persembunyiannya di sebuah hutan di kawasan Ka-bupaten Tojo Una-Una atau 150 kilometer sebelah tengga-ra Kota Poso. Sebelum menyerahkan diri ke polisi, keduanya meminta orangtua mereka menemui anggota TNI di Poso untuk menjemput mereka di per-sembunyian. Setelah dijem-put, keduanya kemudian diserahkan anggota TNI ke-pada polisi.(dtc/mtr)

Friday, February 23, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
BRI Poso Kemalingan Rp 3,1 Miliar

[PALU] Bank Rakyat Indonesia (BRI) Poso kecurian sedikitnya Rp 3,1 miliar. Pelaku pembobolan diduga melibatkan staf BRI Poso. Kasus ini sedang dalam tahap penyidikan Kejaksaan Negeri Poso. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas, Hasman AH SH yang dikonfirmasi Kamis (22/2) membenarkan kasus tersebut.
Dikatakan, proses kasus ini sudah memasuki tahap penyidikan dan sudah ada calon tersangka, salah satunya mengarah ke staf BRI Poso sendiri. "Hasil penyelidikan sementara, dana yang sudah berhasil dibobol di bank tersebut mencapai sekitar Rp 3,1 miliar. Kasus ini sedang kita tingkatkan ke tahap penyidikan," tegasnya.
Berdasarkan pemeriksaan sementara, bentuk pembobolan bank dengan cara oknum pelaku memindahbukukan dana-dana setoran berbagai jenis pajak seperti pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), dan pajak-pajak lainnya ke rekening pribadi.
Oknum pelaku membuat sedikitnya 22 rekening baru, dan memasukkan semua setoran pajak dari berbagai instansi/para wajib pajak lainnya, ke rekening-rekening pribadi tersebut. Padahal sesuai ketentuan, dana-dana setoran pajak tersebut seharusnya dimasukkan ke rekening negara yang ada di BRI untuk selanjutnya disetor ke Kantor Kas dan Perbendaharaan Negara (KPN).
"Setelah dana-dana pajak itu masuk ke rekening pribadi (22 rekening), pelaku mencairkannya secara bertahap melalui ATM atau lewat teller, dan dipakai untuk kepentingan pribadi," ungkapnya.
Kasus ini tercatat pertama kali terjadi di Provinsi Sulteng dan menurut Hasman, pimpinan BRI Poso meminta kejaksaan mengungkap tuntas kasus ini.
Dalam kasus ini sudah 8 orang diperiksa sebagai saksi, namun siapa nama calon tersangka, Hasman belum bersedia menyebutkan. "Nantilah kalau sudah resmi ditetapkan tersangkanya, Anda akan tahu sendiri," katanya. [128]
Last modified: 23/2/07

SUARA PEMBARUAN DAILY
3 DPO Poso Serahkan Diri

[PALU] Tiga tersangka pelaku kekerasan Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri, Kamis malam (22/2) kembali menyerahkan diri ke polisi. Mereka adalah Agus Jenggot alias Boiren, Rizal alias Inong, dan Yono Reftil.

Ketiganya menyerahkan diri pada aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri sekitar pukul 22.30 Wita tadi malam di Poso. Aparat Densus Mabes Polri masih terus mengejar sisa DPO yang belum tertangkap dan diduga sebagian dari mereka masih berada di Poso.

Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Pol Badrodin Haiti yang dikonfirmasi Pembaruan Kamis (22/2) malam membenarkan penyerahan diri ketiga DPO. "Ketiganya saat ini sedang diperiksa di Polres Poso, dan Jumat (23/2) pagi ini akan langsung dibawa ke Palu untuk pemeriksaan lebih intensif di Mapolda Sulteng," ujar Badrodin.

Dengan penyerahan diri itu, kata Kapolda, maka sisa DPO yang belum tertangkap masih 9 orang lagi. Total DPO 29 orang. Sebagian sudah tertangkap, seperti Basri (pemimpin perusuh Poso), Wiwin Kalahe, Tugiran, dan Abd Muil, sudah diperiksa di Mabes Polri. Sebagian lagi tewas ditembak, di antaranya Icang dan Dedi Parsan.

Tiga DPO yang menyerahkan diri Kamis malam, menurut Badrodin, dua yang cukup berbahaya, yakni Agus Jenggot dan Rizal. Agus Jenggot disangkakan sebagai pelaku mutilasi 3 siswi SMA Poso (bersama Hazanuddin cs yang kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta), sedangkan Rizal tersangka yang ikut merencanakan pembunuhan Helmi Tombiling, seorang warga Poso.

Ketiganya kemungkinan tidak akan dibawa ke Mabes Polri, tapi hanya akan diperiksa di Mapolda Sulteng. "Ya biar keluarganya juga bisa lebih mudah menjenguk dan pemeriksaan ini kan juga tidak selamanya harus dibawa ke Jakarta, tapi di sini juga bisa dilakukan," tandasnya.

Situasi di Poso saat ini jauh lebih baik. Tidak terdengar lagi suara ledakan-ledakan bom dan bunyi senjata yang dahulu hampir setiap malam terjadi. Kondisi itu membuat warga ketakutan dan trauma. [128]

Last modified: 23/2/07

Thursday, February 22, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Temuan DPRD Poso:
Pembangunan Belasan Proyek Diduga Ada Penyimpangan


[PALU] Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), menemukan indikasi penyimpangan pembangunan belasan proyek pemerintah di daerah ini. Proyek-proyek yang diduga menyimpang itu dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Poso tahun 2006 senilai puluhan miliar rupiah. Demikian dikatakan Ketua DPRD Poso, Sawerigading Pelima, di Poso, Rabu (21/2).
Proyek iyu di antaranya, pembangunan gedung sekolah dasar (SD), puskesmas, jaringan air bersih, kantor-kantor desa/kelurahan, pengadaan buku-buku sekolah, dan perangkat komputer yang diduga digelembungkan (mark up).
"Ada bangunan kantor desa yang dindingnya bengkok. Gedung SD yang dindingnya hanya menggunakan kayu-kayu papan bekas ngecor dinding tembok. Campuran pasir dan semen dalam membuat dinding beton juga tidak seimbang sehingga diketuk sedikit saja, dinding-dindingnya sudah tergerus hancur," ungkapnya.
Menurutnya, DPRD Poso pada 5-11 Februari lalu membentuk 5 tim untuk memonitor pekerjaan proyek-proyek APBD Poso 2006, dan hasilnya menemukan sejumlah penyimpangan tersebut.
Penyimpangan lain yang ditemukan, pembangunan jaringan pemipaan untuk sarana air bersih di Desa Tampemadoro, Kecamatan Lage. Pipa-pipa air yang terbuat dari pipa paralon tidak ditanam, melainkan dibiarkan di permukaan tanah sehingga jelas akan mempermudah kerusakan. "Padahal, dalam bestek proyek, pipa-pipa air itu harus ditanam dalam tanah agar tidak mudah rusak," kata Burhanudin Hamzah, anggota DPRD Poso lainnya.
Begitu juga pengadaan buku di sejumlah SD belum direalisasi, padahal tahun anggaran proyek sudah berakhir Desember 2006. Pengadaan komputerisasi di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten (PMK) Poso anggarannya juga diduga di-mark up.
"Masak harga satu unit komputer mencapai Rp 12 juta tanpa fasilitas meja. Ini kan tidak masuk akal," kata Asmir Podungge, anggota DPRD Poso lainnya.
Ia melihat proyek-proyek APBD Poso tahun 2006 terkesan dibangun asal jadi oleh pihak kontraktor dan ini semua terjadi karena lemahnya pengawasan dari instansi pengawas melekat di Pemkab Poso.
Persoalan jadi tambah parah karena sebagian dari proyek-proyek itu sudah diserahkan oleh kontraktor pada dinas terkait padahal pembangunannya banyak yang tidak beres.
Terhadap temuan-temuan tersebut, DPRD Poso pada Selasa (20/2), telah melakukan rapat koordinasi/evaluasi proyek dengan pihak eksekutif Poso.
"Kita beri kesempatan pada Bupati Poso Piet Inkiriwang melalui dinas-dinas terkait (pelaksana proyek) untuk memperbaiki semua pekerjaan yang menyimpang tersebut. Kita akan tunggu laporannya sampai tanggal 27 Februari, jika tidak ada upaya perbaikan maka jelas kasus ini jadi temuan yang harus ditindaklanjuti," tandas Pelima. [128]
Last modified: 22/2/07

Residents say a divided Poso could be a more peaceful place
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, 22 Feb 2007

Frustrated by slow progress toward peace, some Poso residents are now urging the government to divide the conflict-torn Central Sulawesi regency into two parts.
The request was delivered Saturday in a joint declaration at Baruga Torulembah, the home of Poso Regent Piet Inkiriwang. It called on the government to split the regency into a Poso regency, with Tentena as its capital, and a Poso mayoralty, with Poso city as its center.
Erawanto Timumun, a supporter of the declaration, told The Jakarta Post on Sunday that the separation would be a crucial step toward resolving the conflict in Poso.
"There have been many attempts to end the Poso conflict, from the Malino agreement to local meetings in kampongs. But until now, there have been no fruitful results, and it's about time to resort to the last alternative, dividing the town," said Erawanto.
The 2001 Malino Declaration, signed by both Christians and Muslims, declared the willingness of both sides to work together and stop the fighting.
The demand to split the regency, Erawanto said, came from a majority of residents in Poso Kota and Poso Pesisir districts.
Poso was rocked by sectarian conflicts in 2000-2001, leaving some 1,000 people dead. Peace returned with the Malino signing, but acts of terrorism have continued.
The Poso regency and Central Sulawesi administrations have voiced support for the plan.
Poso Regent Piet Inkiriwang told the Post that he had hosted the announcement of the declaration at his house as a sign of approval.
"I also assigned several officials to attend the declaration. This is a show of the administration's support," he said.
He said according to the plan, Poso mayoralty would comprise Poso Kota, Poso Pesisir Selatan, Lage, Poso Pesisir and Poso Pesisir Utara districts. Poso Kota and Poso Pesisir Utara have around 70 percent Muslim residents each, while the three other districts have more than 20 percent Muslim residents.
Meanwhile, Poso regency will cover seven predominantly Christian districts -- Pamona Utara, Pamona Timur, Pamona Selatan, Pamona Barat, Lore Utara, Lore Tengah, Lore Selatan.
Central Sulawesi Governor Bandjela Paliudju said on Monday that his administration would fully support residents' aspirations, including dividing the regency, in an effort to solve the conflict and ensure lasting peace in the area.
However, he said the move to divide the regency would not be easy and would involve a long process. The demand has to be discussed within the regency and the province as well as in the central government, he added.
"There's a need to conduct political meetings at the House of Representatives and the Home Affairs Ministry. So they must be patient," he said.
Lawmaker M. Ichsan Loulembah welcomed the idea, saying he had proposed a similar solution if all other efforts to end the conflict failed.
He said there must be a formal segregation of administration and governance in Poso.
That would only be possible, he said, by dividing Poso regency in two.
Of the regency's 200,000 residents, 70 percent are Christian and 30 percent Muslim. It is a reality, he said, that Tentena is predominantly Christian while Poso is dominated by Muslims.
If the plan goes as ahead, it will be the second time for Poso. In 1999, two new regencies, Morowali and Tojo Una-Una, were split off from Poso regency.

Wednesday, February 21, 2007

Komentar, 21 Feb 2007
1 Maret Pasukan Brimob Sulut Ditarik Dari Poso

Personel Brimob Polda Sulut yang di BKO-kan (Bawah Kendali Operasi) di Kabupaten Poso bakal ditarik pada Kamis pekan depan (01/03) mendatang. Demikian dikemukakan Kapolda Brigjen Pol Drs Yakhobus Jacki Uly, kemarin (20/02) di Mapolda Sulut.Ke-199 personel ini menurut Uly, akan mengakhiri tugasnya selama enam bulan di Poso. “Anggota kita akan ditarik mulai 1 Maret mendatang dan akan digantikan oleh pasukan dari Kaltim,” ujar Uly.Diketahui 20 September 2006 lalu, Polda Sulut mengirimkan 200 anggota Brimob ke Poso. Selama ditempatkan di Poso, Brimob Sulut berhasil mencatat prestasi gemilang dengan masuk dalam tim yang meringkus Basri, salah satu DPO yang paling dicari. Bahkan saat ini anggota yang masuk dalam tim tersebut sementara diusulkan untuk mendapatkan kenaikan pangkatHanya saja beberapa waktu yang lalu, Bripda Prapto dari Kompi Brimob Bolmong meninggal saat bertugas. Hingga saat ini hanya 199 orang saja yang masih bertugas.(vic)

Tuesday, February 20, 2007

Komentar, 20 February 2007
Teroris Sadis Poso Dituntut 20 Tahun Bui

Hasanuddin terkenal sebagai pelaku teror yang sangat sadis di Poso. Dia adalah otak dalam kasus mutilasi terhadap tiga siswi SMA Kristen Poso, serta penggerak sejumlah aksi teror lainnya. Bahkan ketika dituntut jaksa penuntut umum 20 tahun penjara atas perbuatannya memenggal tiga siswi yang tak bersalah, dia masih menun-jukkan wajah tenang.Malahan Hasanuddin yang mengenakan baju koko warna kuning itu tampak sesekali mengumbar senyuman mende-ngarkan tuntutan di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Senin (19/02).Dalam tuntutan yang diba-cakan bergantian oleh JPU yang dikomandani Marya-man, Hasanuddin dinilai melanggar pasal 14 jo pasal 7 Perpu 1/2002 jo pasal 1 UU 15/2003 tentang pemberan-tasan terorisme jo pasal 55 ayat 1 kesatu tentang tindak-an turut serta dengan sengaja menyuruh yang menye-babkan hilangnya nyawa orang lain.“Kami meminta hakim men-jatuhkan pidana dan putusan penjara 20 tahun penjara,” kata Maryaman. Hal-hal yang memberatkan, perbuatan Hasanuddin menyebabkan 3 orang meninggal dan menye-babkan keresahan masyara-kat Poso. Hal-hal yang meri-ngankan, perbuatan Hasanud-din dimaafkan oleh keluarga korban, mengakui kesalah-annya, menyesali perbuatan-nya, tidak berbelit-belit dalam proses pengadilan, dan belum pernah dihukum.Usai pembacaan tuntutan, majelis hakim yang diketuai Binsar Siregar menanyakan apakah Hasanuddin akan mengajukan pembelaan atau pledoi. “Saya akan melakukan pembelaan pribadi dan pem-belaan dari kuasa hukum sa-ya,” kata Hasanuddin. Sidang dilanjutkan pada Senin 26 Februari 2007 dengan agenda pembacaan pledoi.Kuasa hukum Hasanuddin, Ahludin, usai sidang menilai tuntutan JPU tidak tepat. “Dakwaan kan sebagai aktor intelektual, seharusnya kon-struksinya pasal 55 ayat 1 ke satu saja tentang turut serta atau yang hanya mengetahui dan menyetujui,” kata Ah-ludin. Sidang yang berlang-sung 1 jam sejak pukul 12.30 WIB dijaga lumayan ketat oleh 1 kompi Brimob Polda Metro Jaya yang terdiri dari 90 personel, lalu 15 personel dari Polsek Gambir, dan 5 intel. Pada bagian lain, Mabes Polri masih terus mema-merkan DPO alias buronan Poso yang kini jadi tahanan. Tiga kali berturut-turut Polri melakukannya. Kali ini giliran Wiwin Salahe (21). Wiwin yang tampangnya polos, tampak pucat pasi dan banyak me-ngeluarkan keringat dingin begitu dihadapkan dengan wartawan. Wiwin didampingi DPO utama Poso, Basri.Saat memberikan penjelas-an dan menjawab pertanyaan wartawan, keringat di dahi Wiwin terus bercucuran. Sampai-sampai Wakadiv Hu-mas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam menyo-dorkan tisu kepadanya.Sayang, Wiwin terlalu grogi untuk menggunakan tisu yang diberikan Anton dalam jumpa pers di Bareskrim Mabes Polri, kemarin seperti dilansir detik.com. Wiwin juga lebih banyak menunduk, ka-lau pun terpaksa menegak-kan wajahnya, matanya ter-lihat kosong dan menera-wang. Berkali-kali dia meng-hapus keringat dengan tangannya.Dalam pertemuan dengan wartawan, Wiwin yang meru-pakan tersangka pembunuh-an dan penembakan di Poso pada 8 November 2005 lalu, juga menjelaskan soal perke-nalannya dengan Hasanuddin pada tahun 2003 lalu. Sebe-lum menjadi anak buah Ha-sanuddin, Wiwin mencari nafkah sebagai tukang ojek. Namun setelah berkali-kali mengikuti ceramah dan peng-ajian yang dilakukan Hasa-nuddin, Wiwin diajari meng-gunakan senjata jenis re-volver.“Saya disuruh membunuh orang kafir, katanya kalau membunuh orang kafir dapat pahala,” kata Wiwin yang tampil dengan mengenakan kaos krem ini. Wiwin me-ngaku, sebagai manusia dirinya sempat takut saat pertama kali harus me-nembak orang. “Saya juga nggak tahu kenapa ditunjuk sebagai eksekutor. Itu ustad yang menentukan,” kata-nya.(dtc/zal)

Monday, February 19, 2007

Police display Tentena bombers
JKT Post, February 19, 2007

JAKARTA: The National Police displayed Saturday two more suspects believed to be responsible for the Tentena, Central Sulawesi, bombing.
Other than the May 28, 2005, bombing, Aat and Ridwan were involved in the Immanuel church bombing and a jewelry store robbery in 2004.
Aat said they were also ordered to steal motorcycles using red government number plates.
The suspects called on other militants to surrender.
Earlier Friday police showed two main militants in the Poso religious conflict, Basri and Tugiran, wanted for their involvement in bombings, killings and other acts of violence. -- JP

Komentar, 19 Feb 2007
Gus Dur: Usut Polisi Terlibat Rusuh Poso

Mantan Presiden, Gus Dur memberikan penilaiannya terhadap pengusutan sejum-lah tersangka kerusuhan di Poso. Menurut dia, jangan hanya warga sipil yang terli-bat rusuh saja yang diperiksa, namun adanya oknum polisi yang ikut ‘bermain’ harus juga diselidiki. “Seharusnya peme-rintah atau Polri juga menye-lidiki semua pihak yang terli-bat dalam kerusuhan di Poso, termasuk polisi sendiri,” ung-kap Gus Dur dalam acara sila-turahmi antara warga NU dan pengurus DPP PKB di Pesan-tren Al Munawaroh, Jakarta Selatan, Minggu (18/02). Gus Dur meminta, peme-rintah di bawah kepemim-pinan Susilo Bambang Yu-dhoyono, jangan melakukan tebang pilih dalam kasus di Poso. Selain itu, Gus Dur juga meminta kepada pemerintah, untuk menghilangkan kata “diamankan”. Dengan demi-kian, lanjut Gus Dur, masya-rakat akan lebih mudah mengerti, langkah atau tin-dakan pemerintah dalam me-nangani dan menyelesaikan kasus kerusuhan di Poso dan tindak pidana korupsi. Pada bagian lain, Gus Dur juga mengingatkan soal pela-yanan kepada masyarakat ha-rus diberi perhatian serius. Ber-bagai terobosan perlu dilaku-kan, mengingat banyak keka-yaan alam yang belum dimak-simalkan untuk kesejahteraan rakyat. “Saat ini banyak keka-yaan alam kita, tapi tidak di-optimalkan untuk kesejah-teraan rakyat. Misalnya saja hasil tambang, hutan, dan ha-sil laut,” cetus Ketua Umum De-wan Syuro PKB ini. “Perlu kebe-ranian pemerintah untuk mem-buat terobosan dengan mem-berikan kredit murah kepada rakyat,” tambahnya.(gtr/dtc)

Sunday, February 18, 2007

Pelaku Bom Tentena Menyesal
Sabtu, 17 Pebruari 2007 17:19 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Amril Ngiode alias Aat, tersangka kasus peledakan bom di pasar Tentena, Poso, 28 Mei 2005 lalu, menyatakan menyesal atas tindakannya. Didampingi tersangka lainnya, Ridwan, serta Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam, Aat juga meminta maaf kepada seluruh korban dan keluarganya. "Sejak saya melakukan pengeboman itu perasaan saya tidak tenang dan sedih,” katanya di depan para wartawan di Markas Besar Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Sabtu (17/2). “Saya tahu yang saya lakukan salah,” katanya. “Tapi para ustad saya terus mengingatkan bahwa darah mereka (kelompok Kristen yang disebut para ustadnya sebagai kafir) itu halal hukumnya. Saya sangat menyesal sekarang." Aat menyerahkan diri ke polisi di Poso sehari setelah buron nomor satu dalam kasus kekerasan di Poso, Basri alias Bagong, ditangkap aparat 1 Februari lalu. Kini Aat mengaku lebih lega setelah berada di balik jeruji tahanan polisi di Jakarta. “Ini merupakan bentuk tobat atas segala perbuatan saya.”Ia bercerita, dirinya mulai bergabung dengan kelompok pengajian yang kemudian memintanya menjadi pelaku pengeboman pada 2003. Awalnya, pria berusia 28 tahun itu hanya ingin bertobat dan belajar agama.Menurutnya, ia sama sekali tidak menyadari bahwa kelompok pengajian itu terus mendoktrinnya dengan mengatakan bahwa darah orang non muslim adalah halal. Demikian pula harta benda mereka. Hal itu pulalah yang mendorong Aat dan kawan-kawannya merampok toko mas di Pasar Tua, Poso. "Saya tidak pernah mendengar tentang Jamaah Islamiyah, malah saya baru dengar nama itu ketika saya sudah berada di Jakarta," jelasnya ketika ditanya mengenai keterlibatannya dengan kelompok muslim radikal tersebut. Pria berperawakan sedang yang memakai kemeja warna coklat itu menambahkan bahwa ia berharap masyarakat mau memaafkannya. Ia mengatakan selepas dari penjara nanti, ia ingin kembali ke masyarakat dan hidup normal.

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tiga Siswa Poso Rakit Bom Mainan untuk Meneror Teman

[PALU] Tiga siswa kelas 9C SMP Negeri II Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat (16/2), diperiksa polisi setempat karena ketahuan merakit benda menyerupai bom dengan tujuan meneror teman-teman bahkan guru-gurunya di sekolah.
Ketiga siswa itu yakni Farhan Latif (16), Janwar Iskandar (14) dan Iqbal Hakim (14) diperiksa di Mapolsek Kota Poso. Namun, mereka tidak ditahan dengan alasan masih akan dilakukan pembinaan oleh polisi.
Wakapolres Poso, Kompol Minarto yang dihubungi Jumat (16/2) petang membenarkan pemeriksaan ketiga siswa tersebut. "Benar, kita periksa ketiga siswa itu tapi sejauh ini mereka tidak ditahan, mereka kita akan bina saja," ujarnya.
Dalam pemeriksaan di polisi, ketiga siswa mengaku merakit benda menyerupai bom dengan tujuan ingin menakut-nakuti teman-temannya. Ketiga siswa juga mengaku tak ada yang menyuruh mereka. Tapi melakukannya hanya sekadar iseng.
Adapun jenis benda yang dirakit mirip bom tersebut adalah sebuah kaleng cat yang dibungkus kertas putih dan pada bagian tutupnya diisi baterei merek nasional ukuran sedang, kemudian diikat empat rangkaian kabel merah-hitam. Sepintas benda itu menyerupai bom rakitan aktif.
Benda tersebut ditemukan seorang guru di sekolah itu Kamis (15/2) petang di bawah bangku paling belakang di kelas 9C yang menjadi ruangan kelas ketiga siswa tersebut.
Menurut Tasmawati Talib, wali kelas ketiga siswa, saat itu sekitar pukul 17.30 Wita, sedang diberikan pelajaran ekstra kurikuler di kelas tersebut. Namun, guru yang mengajar tiba-tiba melihat benda mencurigakan di bawah bangku paling belakang, dan ketika diambil ternyata benda itu berupa kaleng dengan rangkaian kabel yang mirip bom.
"Tadinya kita kira bom. Tapi setelah diperiksa ternyata hanya bom-bom mainan dari kemasan kaleng dengan rangkaian kabel yang tidak aktif. Saat itu juga kita cari tahu siapa yang merakit benda yang membikin takut orang itu, dan akhirnya diketahui pelakunya Farhan dan Latif," ujar Tasmawati kepada wartawan di Poso Jumat petang.
Setelah berkoordinasi secara internal, Jumat pagi, Kepala Sekolah SMP II Poso melaporkan ketiga siswa ke polisi untuk dilakukan pemeriksaan.
Tasmawati menambahkan dalam pemeriksaan di polisi, Farhan dan Latif mengaku bahwa Iqbal juga turut bersama keduanya merakit benda tersebut sehingga ikut dipanggil dan diperiksa polisi.
Tasmawati juga mengungkapkan bahwa tindak-tanduk ketiga siswa di sekolah tersebut memang sangat nakal. [128]
Last modified: 17/2/07

Saturday, February 17, 2007

Komentar, 17 February 2007
Minta maaf kepada umat Nasrani-Islam Poso
Diancam Vonis Mati, Basri Minta Keringanan

Polri kembali memamerkan DPO alias buronan utama kasus Poso, Basri bersama temannya Tugiran kepada wartawan di Mabes Polri. Basri yang disebut-sebut sebagai pimpinan kelompok bersenjata Poso diancam hukuman mati atas tindakan kekerasannya selama ini di Poso dan Palu. Menyikapi ancaman itu, Basri pun meminta keringa-nan. “Saya minta keringanan. Saya hanya disuruh. Huku-man mati hanya takdir dari Allah,” ujar pria berambut ikal itu di gedung Bareskrim Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Jumat (16/02).Saat dipamerkan, Basri (31) mengenakan kaos abu-abu dan celana panjang warna krem. Di tangan kirinya ber-gambar tato yang menyebar di beberapa tempat.Basri dalam kesempatan itu, kembali meminta maaf atas perbuatannya selama ini.“Saya minta maaf kepada masyarakat Poso baik Nasrani maupun Muslim karena sela-ma ini saya membuat resah di Poso,” kata Basri didampingi Tugiran dan Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam.Ia mengajak para tersangka yang kini masih buron (DPO/Daftar Pencarian Orang) untuk menyerahkan diri. “Saya mengimbau kepada yang di luar sana supaya menyerahkan diri,” katanya.Dikatakannya isu bahwa po-lisi dan aparat kejam, sama sekali tidak benar. Bahkan ia mengaku diperlakukan sangat baik oleh polisi, saat ditahan selama dua pekan di Mabes Polri. “Dua minggu di Jakarta sehat-sehat saja. Tidak di-sangka dan kita bayangkan se-belumnya. Polisi tidak ganas,” katanya.Ia bahkan mengaku dilayani polisi selama di tahanan sampai-sampai ada kesan bahwa polisi itu sengaja mela-yaninya. “Kita dilayani dengan baik. Kayaknya (polisi) malah jadi pesuruh kita,” kata Basri.Dia juga mengajak semua pihak untuk membangun Poso dan melupakan masa lalu agar warga bisa ke pasar dengan tenang dan berkebun, tidak was-was lagi.Basri mengaku melakukan berbagai aksi kekerasan itu karena mendapatkan doktrin para ustad yang mengajarkan untuk memusuhi orang kafir termasuk pemerintah dan polisi karena tidak melaksana-kan “hukum Allah”.“Kita sempat bermaksud hendak menyerahkan diri, tapi dipanggil ustad-ustad dan dibilang haram hukumnya menyerahkan diri kepada musuh Allah,’ ujar dia.Basri yang awalnya mengaku bergabung kepada kelompok sipil bersenjata hanya untuk belajar mengaji, akhirnya di-latih perang. Dia juga dibekali senjata jenis UZI, M16, dan SSK. “Saya tidak tahu dapat senjata dari mana, saya hanya dikasih Icang (DPO lain),” ka-tanya.Saat berbuat kerusuhan, dia mengaku telah mendapat doktrin-doktrin dari ustad. Selain itu, beberapa keluarga-nya yang meninggal akibat kerusuhan Poso membuat emosinya langsung memun-cak untuk membalas dendam.Hal senada juga disampaikan Tugiran. Pemuda yang menga-ku komandan ‘anak bebek’ di Poso yang mengepalai 7 pemu-da, juga meminta agar teman-temannya menyerahkan diri. Dia juga mengaku tidak tahu adanya bungker perlindungan yang dibuat teman-temannya. “Ya saya dengar memang ada bungker, tapi saya tidak tahu itu. Saya juga meminta teman-teman yang masih di luar untuk menyerahkan diri,” katanya. Seperti diketahui, kasus yang melibatkan Basri di antaranya penembakan pendeta Susianti tahun 2004, perampokan Toko Emas Monginsidi tahun 2006, penyerangan di Desa Mara-nata tahun 2004, perampokan Toko Mas Pasar Tua tahun 2004 dan penembakan Gereja Anugerah tahun 2004. Selain itu, ia terlibat kasus mutilasi tiga siswi tahun 2005, pembunuhan Kpala Desa Pinedapa tahun 2004, peram-pokan uang Pemda Poso tahun 2005 dan peledakan Bom Ge-reja Eklesia 2006.(dtc/zal)

Friday, February 16, 2007

RS, Rabu, 14 Februari 2007
JPU Yakin Rp1,2 M Diselewengkan
Sidang Lanjutan Aminuddin Ponulele-Hadirkan Teller Bank

PALU - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rusdia Tandialang SH bersama rekannya Salma SH dan Ariati SH terus berusaha membuktikan dakwaan mereka terhadap mantan Gubernur Aminuddin Ponulele dalam kasus dugaan penyelewengan dana pemulangan pengungsi Poso dari Morowali ke Poso senilai Rp1,2 miliar lebih tahun anggaran 2001.
Dalam sidang kemarin (13/2), tim JPU menghadirkan tiga orang saksi untuk diperiksa majelis hakim yang diketuai Faturrahman SH. Ketiga saksi itu yakni mantan Kadis Sosial Morowali Zaidin Rompone bersama Kasi Bantuan dan Tanggap Darurat Dinas Sosial Kabupaten Morowali Arsyid serta seorang karyawati BNI Elce.
Ketika diperiksa, Zaidin Rompone membenarkan adanya bukti secara tertulis berupa dokumen pelaksanaan proyek pemulangan tersebut. Namun dia mengaku tidak ada pengerjaan atas proyek tersebut.
"Proyek secara kertas ada tapi pelaksanaan pemulangan itu samasekali tidak pernah terjadi," kata Zaidin yang kini bekerja di Dinkesos Provinsi Sulteng.
Keterangan yang sama pun meluncur sebagai pengakuan dari Kasi Bantuan dan Tanggap Darurat Dinas Sosial Morowali, Arsyid. "Kami cuma disodori kertas yang berisikan tentang pelaksanaan proyek tapi pelaksanaan di lapangan tidak ada," kata Arsyid.
JPU kemudian menyinggung soal dana proyek senilai Rp1,2 miliar yang tertuang dalam cek atas unjuk pada Bank BNI Cabang Palu. Untuk itu JPU meminta keterangan itu pada seorang teller Bank BNI yang saat itu melakukan pencairan cek atas unjuk itu.
"Saya memang yang mencairkan uang itu atas perintah cek sebagaimana yang tertera di dalamnya," kata Elce.
Wanita berkulit putih mulus itu mengaku tidak mengetahui siapa yang melakukan penarikan atas cek tersebut. Sebab berdasarkan perintah cek serta peraturan yang terdapat dalam cek atas unjuk penarikan atas uang itu, tidak wajib disertakan dengan identitas yang melakukan penarikan. "Sesuai dengan perintah cek tertulis siapa saja bisa melakukan penarikan atas cek itu tanpa harus meninggalkan identitas ," jelasnya.
Elce membenarkan dana pada cek itu disimpan selama hampir setahun pada Bank BNI Cabang Palu terhitung sejak 26 Desember 2001 hingga 30 September 2002. Namun kemudian lenyap tanpa ada yang tahu siapa yang melakukan penarikan atas cek tersebut.
"Kalau memang tujuan terdakwa ingin menyelamatkan uang negara kenapa harus dibukukan dalam bentuk cek atas unjuk? Karena cek seperti itu bisa saja dicairkan oleh siapapun," ujar JPU Rusdia.
Dia meyakini sekali kalau dana senilai Rp1,2 miliar itu memang diselewengkan dengan membuat SPK fiktif terhadap pelaksanaan proyek tersebut.
Masih ada sejumlah saksi lain yang akan dihadirkan JPU untuk membuktikan dakwaan itu. "Kami hanya berusaha membuktikan dakwaan kami, sejauh mana kami dapat membuktikan dakwaan itu dengan terus menghadirkan sejumlah saksi yang kami sangat yakin mampu memberikan keterangan yang dapat membantu kami," tegas Rusdia seusai sidang tanpa menyebutkan siapa yang bakal hadir sebagai saksi pekan depan.(mda)

Radar Sulteng, Rabu, 14 Februari 2007
DPO Tinggalkan Wilayah Poso

POSO- Kapolda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haiti menegaskan tidak akan ada penarikan pasukan (BKO) polisi hingga akhir tahun 2007 dari wilayah Poso. Ini mengingat masih adanya 12 DPO (daftar pencarian orang) yang sampai hari ini belum juga mau menyerahkan diri.
"Tidak ada penarikan pasukan. Yang ada hanya pergantian pasukan," jelas Badrodin kepada wartawan saat menghadiri dialog pemuda Poso di Kelurahan Madale, Kecamatan Poso Kota Utara, kemarin (13/2).
Penaggung jawab operasi keamanan di daerah bekas konflik Poso ini, justru akan memaksimalkan keberadaan pasukannya untuk tetap memburu belasan DPO yang tetap ngotot tidak mau menyerah. Bahkan, menurut Kapolda, para DPO yang belum berhasil diringkus tersebut telah meninggalkan wilayah Poso.
"Polisi akan tetap mengejar dan menangkap DPO, baik yang saat ini telah berada di luar Poso, maupun mereka yang telah melarikan diri ke luar Sulawesi Tengah," terang Badrodin Haiti.
Walaupun besar indikasi bahwa 12 DPO telah keluar dari wilayah Kabupetan Poso, namun Kapolda Sulteng Badrodin mengaku sudah mengendus keberadaan mereka (DPO) saat ini. "Ada beberapa tempat yang terindikasi dan teridentifikasi sebagai tempat persembunyian DPO. Karena itu, polisi sedang mengintensifkan pelacakan ini," kata jenderal bintang satu ini, tanpa mau menyebut tempat persembunyian DPO yang dimaksud.
Dirinya juga menjelaskan tidak adanya batas waktu pengejaran terhadap 12 orang yang diduga sebagai pelaku sejumlah aksi kekerasan di wilayah hukum Sulteng tersebut. "Operasi pengejaran kami akan lakukan sampai kapan pun," tegasnya.
KAPOLDA DUKUNG
PENERTIBAN PENDUDUK
Selain membicarakan komitmen polisi untuk menangkap DPO, orang nomor satu di Polda Sulteng ini juga mendukung operasi penertiban penduduk yang tengah diupayakan pemerintah daerah. Menurutnya, penertiban penduduk melalui penerbitan KTP (kartu tanda penduduk) akan efektif mencegah munculnya aksi-aksi kekerasan dan kriminal di daerah Poso.
Sebab setiap penduduk yang keluar masuk di daerah konflik tersebut bakal akan mudah terpantau, baik oleh pemda maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tak hanya itu, penertiban penduduk via operasi KTP juga akan membantu tugas polisi dalam memburu DPO. "Dengan penertiban penduduk melalui KTP, kita akan lebih mudah mengidentifikasi keberadaan DPO yang bersembunyi," ujar Badrodin.
Perwira tinggi Polri ini meminta masyarakat, untuk tidak terprovokasi dengan isu-isu negatif menyangkut operasi penegakan hukum yang dilakukan polisi di wilayah Poso. "Masyarakat tidak usah terpengaruh. Karena isu tersebut sengaja diciptakan oleh orang-orang yang berada di luar Poso, dengan tujuan membuat masyarakat kita resah. Padahal kenyataannya kan tidak seperti itu," katanya. "Apa yang yang perlu diributkan. Wong operasinya sudah prosedural," tambahnya. (bud)

Komentar, 16 Feb 2007
Sulut Kantongi Identitas 11 DPO Poso yang ‘Menghilang’

Menyikapi menghilangnya 11 buronan (DPO) teroris di Po-so, Polda bersama Pemprop Sulut terus meningkatkan ke-waspadaannya. Identitas 11 DPO Poso yang belum ter-tangkap itu sendiri, telah di-kantongi aparat kepolisian di daerah ini. “Identitas mereka sudah kita kantongi,’’ ungkap Kapolresta Bitung, AKBP Drs Aridan Roe-roe kepada wartawan, Kamis (15/02). Informasi para DPO dan seluk-beluk aksi kekerasan di Poso, diakui Roeroe disimpan khusus dalam rekaman CD. Dijelaskannya, saat ini petu-gas Babinkantibmas sudah di-tugaskan untuk terus melaku-kan pendataan menyangkut semua kegiatan-kegiatan yang ada di tengah masyarakat un-tuk menghindari adanya pe-nyusupan-penyusupan. “Sa-ngat diharapkan Babinkan-tibmas bisa melakukan pen-deteksian-pendeteksian dini kehadiran-kehadiran ataupun semua kejadian yang ada di kelurahan,” ungkapnya.Selain itu, lanjutnya, pihak-nya sudah menyebarkan inte-lijen di mana-mana untuk me-lakukan operasi pada waktu dan tempat yang sangat dira-hasiakan. Juga pengawasan melekat pintu masuk kota . “Peran masyarakat juga diper-lukan untuk mengamankan daerah ini. Lapor segera jika ada hal-hal yang mencuri-gakan,” tandasnya.Dari Manado, Kapolda Sulut Brigjen Pol Drs Yakhobus Jac-ki Uly menyatakan, ‘raibnya’ 11 DPO dari Poso yang bisa saja melarikan diri ke Sulut, bakal dibahas segera dalam rapat Muspida Sulut. Dia juga menegaskan, Sulut terus di-proteksi dari ancaman yang tidak diinginkan.“Penjagaan perbatasan se-cara rutin tetap kita laksana-kan. Saya rasa hal ini akan dibahas dalam rapat muspida untuk lebih menekankan agar kita tetap meningkatkan ke-waspadaan,” tegas Uly. Se-mentara Sekretaris Kominda Sulut Drs JJ Mongkaren yang ditemui di Mapolda kemarin menghimbau agar pengama-nan swakarsa oleh masyara-kat terus diperketat. “Masya-rakat juga harus berperan dengan memberikan informasi jika mengetahui adanya tamu yang mencurigakan di lingku-ngannya,” ujar Mongkaren yang juga adalah Kaban Kes-bang Sulut ini.Lebih lanjut Gubernur Sulut Drs SH Sarundajang menurut Mongkaren, telah juga menge-luarkan surat edaran ke selu-ruh kabupaten/kota untuk meningkatkan kewaspadaan mengantisipasi kemungkinan menyusupnya orang yang ti-dak dikenal ke daerahnya ma-sing-masing. “Memang ada sinyaleman seperti itu, dan hal ini sudah ditindaklanjuti oleh gubernur dengan mengeluar-kan surat ke kabupaten/kota untuk menyikapi hal terse-but,” katanya.Disamping itu masyarakat, lanjut Mongkaren, diminta untuk tetap melakukan koordinasi dengan pihak TNI/Polri dalam melakukan pengamanan. “Kita tentu saja harus waspada. Sebab mereka tahu daerah kita aman, makanya mereka disinyalir coba untuk masuk ke Sulut. Tapi sejauh ini hal ini masih bersifat sinyalemen dan belum ada temuan,” pungkasnya.Diketahui polisi hingga kini masih mengejar 11 DPO yang terlibat kasus teror dan kekera-san di wilayah Poso. Namun begitu, diperoleh kabar bahwa para buronan ini telah ‘meng-hilang’ dari Poso dan bersem-bunyi di daerah lain di Sula-wesi. Oleh sebab itu, Sulut ha-rus waspada karena bukan ti-dak mungkin daerah ini dija-dikan tujuan pelarian.(vic/imo)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polri Menyelam Cari Bahan Peledak di Poso

[PALU] Selain mengejar 12 buronan yang belum tertangkap, aparat kepolisian di Poso juga masih terus menyisir wilayah-wilayah tertentu di daerah bekas konflik itu guna mencari bahan peledak maupun senjata-senjata rakitan/organik yang diduga masih banyak disembunyikan warga.
Penyisiran tidak hanya di darat, tapi juga sampai ke kawasan perairan sungai/laut di sekitar Poso. Sejak Senin- Kamis (12-15/2), aparat memfokuskan penyisiran di sekitar Sungai Poso. Di sekitar sungai ini, diduga terdapat bunker-bunker penyimpanan senjata yang selama ini dipakai untuk mengacaukan keamanan Poso.
Sebuah sumber menyebutkan, senjata-senjata organik masuk ke Poso sebagian sisa-sisa kerusuhan Ambon dan lainnya dari Moro, Filipina melalui laut dan langsung ke ujung terowongan bunker di muara Sungai Poso yang berada di laut (Teluk Tomini).
Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Moh Kilat yang dikonfirmasi Kamis siang (15/2) mengatakan, anggota polisi perairan Polda Sulteng menyelam hingga ke dasar sungai Poso dan menemukan sejumlah bahan peledak dan senjata rakitan di dalam sungai yang mengalir di tengah-tengah Kota Poso itu.
Di antaranya 1 pucuk senjata api (senpi) rakitan aktif, 3 pucuk laras senpi rakitan, 21 butir peluru aktif, 306 selongsong peluru, 1 potongan mesin mobil dan beberapa bahan besi lainnya.
Sumber Pembaruan di Mapolres Poso juga menyebutkan dalam penyisiran Rabu (14/2), aparat menemukan satu pucuk senjata organik jenis US Carabin caliber 30 mm lengkap dengan magazinnya. [128]
Last modified: 14/2/07

Thursday, February 15, 2007

Police to withdraw officers from Poso
Jkt Post, February 15, 2007

JAKARTA: Citing improved security conditions in Poso, Central Sulawesi, National Police chief Gen. Sutanto said the non-organic police force would be withdrawn from the conflict-torn region.
Sutanto said that there was no reason for the police to maintain a large numbers in Poso as calm had once again returned to the region.
"All main suspects have been arrested and Poso is now safe and the withdrawal will be carried out soon," Sutanto told reporters after a cabinet meeting Wednesday.
However, Sutanto said no target was set as to when the non-organic police personnel would be completely withdrawn from Poso. "I leave details on the matter to the Central Sulawesi police chief," he said.
Sutanto declined to give details as to whether an anti-terror squad deployed in the area would also be withdrawn. -- JP

Komentar, 15 Feb 2007
46 Kasus Poso Terkuak, Tersangka 53 Orang

Sepanjang Februari 2006 hingga Februari 2007 ini, Polri telah berhasil mengungkap 46 kasus kekerasan di Poso. Ka-sus-kasus itu antara lain me-liputi ledakan bom, perampo-kan, penembakan dan pe-menggalan kepala. Dari ka-sus-kasus tersebut, total ter-sangka 53 orang dari kubu muslim tercatat 36 orang dan kubu Nasrani 17 orang. Dari para tersangka, kata Wakadiv Humas Mabes Pol Brigjen Pol Anton Bachrul Alam di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakar-ta, Rabu (14/02), 14 orang menyerahkan diri. 7 Orang di antaranya wajib lapor, se-dangkan 7 orang lainnya te-tap ditahan.Sementara jumlah DPO ada 14 orang yaitu Taufiq Bulaga, Nanto Bojel, Agus Jenggot, Enaltao, Iin Brur, Iwan Asapa, Hamdara Tamil, Wahono, Rizal Inong, Muzadid, Sanusi, Kholik, Alex, dan Zulkifli.“Mereka ada yang di Poso dan ada yang sudah keluar Poso, tapi masih di Sulawesi. Kita duga mereka masih memiliki senjata, karena itu kita masih lakukan razia di perbatasan,” tutur Anton.Sementara itu terkait renca-na penarikan 11 SSK Brimob dari Poso, Anton mengatakan, hal itu masih tahap rencana. “Ya, tapi kemungkinan ada pergantian rolling seperti biasa untuk menghindari kejenuhan,” katanya seperti dilansir detik.com.(dtc/*)

Komentar, 15 February 2007
DPO Poso Menghilang, Sulut Harus Waspada

Polisi hingga kini masih mengejar 11 DPO yang terlibat kasus teror dan kekerasan di wilayah Poso. Namun begitu, diperoleh kabar bahwa para buronan ini telah ‘menghilang’ dari Poso dan bersembunyi di daerah lain di Sulawesi. Oleh sebab itu, Sulut harus waspada karena bukan tidak mungkin daerah ini dijadikan tujuan pelarian. Komentar sendiri ketika me-lakukan perjalanan darat de-ngan bus dari Poso menuju Manado, mendapatkan bah-wa di jalanan tidak ada penja-gaan yang ekstra ketat. Ada sejumlah pos pemeriksaan aparat, tapi saat mobil diber-hentikan, tidak disertai de-ngan pemeriksaan detail ke-pada para penumpang di da-lam bus. Sementara Kepala Polda Sulteng Brigjen Badrodin Hai-ti mengatakan, ada sejumlah wilayah di luar Kabupaten Poso dan luar Pulau Sulawesi yang disinyalir menjadi tem-pat pelarian dan persembu-nyian buronan kasus Poso. Namun ia tidak merinci tem-pat-tempat yang dimaksud.Para DPO Poso disinyalir te-lah keluar dari wilayah Poso melalui darat maupun laut. Karena itu, saat ini, selain operasi darat, polisi tengah mengintensifkan pencarian melalui operasi laut dengan mengerahkan satu kapal laut Polri dan melibatkan polisi perairan. Seorang sumber penting Ko-mentar di Poso menyebutkan, para DPO itu sangat berbaha-ya. Mereka diduga kuat masih membawa senjata api. ‘’Senja-ta mereka bisa dilipat-lipat menjadi kecil dan disisipi di-mana saja sehingga bisa luput dari pemeriksaan aparat,’’ katanya seraya mengingatkan warga Sulut agar waspada, jangan-jangan ada DPO yang lari ke daerah ini. Di sisi lain, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengatakan akan segera menarik pasukannya dari Poso, Sulawesi Tengah, menyusul kondisi keamanan yang makin membaik di wilayah tersebut. “Situasi kan sudah membaik, aktivitas masyarakat sudah kembali lagi. Tentu jika sudah aman, tidak perlu lagi sistem keamanan seperti dulu lagi,” katanya sebelum me-ngikuti Sidang kabinet Pari-purna Di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (14/02).Sutanto menjelaskan telah mengevaluasi suasana di Poso pasca penangkapan sejumlah DPO pelaku kekerasan di Poso serta baku tembak antara aparat dan warga sipil ber-senjata beberapa waktu silam di Kelurahan Gebang Rejo, Poso, beberapa waktu silam. “Kita sudah lakukan evaluasi suasana sudah jauh lebih kondusif,” katanya. Tentang masih adanya aktivitas Jamaah Islamiyah di Poso, ia menegaskan tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, karena kita sudah mela-kukan berbagai pengawasan dari berbagai sisi. Untuk me-mulihkan situasi keamanan di Poso pasca bentrokan apa-rat dengan warga sipil bersen-jata beberapa waktu silam, Polri mengirimkan satu SSK pasukan Brimob.(zal/oan/ihc)

Monday, February 12, 2007

Tempo, Edisi. 51/XXXV/12 - 18 Februari 2007
Mohammad Basri: Kami Ini Hanya Kerbau

SULIT membayangkan merekalah pelaku serangkaian pembunuhan berencana itu—mutilasi siswa SMA, penembakan pendeta Susanti, dan penebar bom di Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Empat orang berperawakan kecil duduk di sisi meja. Yang lain, Mohammad Basri alias Bagong, 30 tahun, duduk di depannya. Ketika fotografer Tempo berniat mengambil gambar Basri, yang empat meledek, ”Bagai Armand Maulana, vokalis band Gigi.” Tak mau kalah, Basri melempar guyon, ”Kalian bintang film Flora Fauna.”

Belum berbilang tahun kelimanya melumuri tangan mereka dengan darah. Basri adalah tersangka pelaku 17 kejahatan di Poso dan Wiwin eksekutor yang menebas tiga kepala siswi SMA Palu menjelang Lebaran 2005. Amril Ngiode alias Aat, 27 tahun, adalah orang yang meletakkan bom di Pasar Tentena pada tahun yang sama. Tugiran, seusia Aat, adalah pelaku perampokan Rp 500 juta uang pemerintah Poso.

Awalnya adalah konflik antaragama di Poso yang memuncak pada 2000–2001. Mereka adalah anak-anak muda kelompok muslim yang berperang melawan kelompok Kristen Poso. Ketika perundingan Malino meredakan kemarahan itu pada Desember 2001, mereka tak lantas menggantung bedil. Dibakar dendam dan doktrin agama yang keliru, kelompok tetap angkat senjata. Sampai akhirnya pemerintah menetapkan lima orang itu sebagai bagian dari 29 orang buron Poso.

Sebagian dari mereka mati dan menyerah, yang lainnya, termasuk Basri, dicokok polisi. Sebentar ditahan di Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, mereka dilarikan ke Jakarta di bawah pengawalan Detasemen 88 Antiteror yang memang ditugasi khusus menangkap mereka.

Kamis lalu, di sebuah tempat yang dirahasiakan, polisi mempertemukan wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, dan Agung Rulianto, dengan kelimanya. Tak sedikit pun muncul kesan stres di wajah mereka. Di akhir wawancara, kepada seorang polisi, Basri bahkan minta diantar cukur rambut. Aparat memang berharap banyak kepada mereka. Dari mulut anak-anak muda itu diharapkan terungkap jaringan Poso yang lainnya.

Hampir dua jam Tempo mewawancarai Basri, tokoh sentral dalam kelompok itu. Pria bertato itu sebelum kerusuhan adalah gitaris Seledri Rock Band, kelompok musik yang selalu jadi juara lomba band di Poso. ”Vokalisnya Gerry, orang Nasrani. Woi, suaranya mantap,” kata Basri mengenang. Sambil sesekali menggaruk-garuk bekas luka tembak di pinggang kirinya, bapak dua anak itu menjawab semua pertanyaan dengan rileks. Sesekali dia menggoda, ”Ayo mau tanya apa lagi? Saya buka-bukaan sekarang.”

Bisa diceritakan proses penangkapan Anda?

Saya mulai dari penggerebekan 11 Januari 2007. Hari itu kami kumpul pukul 10.00 di tempat Kardi (salah seorang dari mereka—Red.) Kami baca koran Radar Poso yang menulis ”DPO (buron) Akan Ditangkap Paksa”. Kami lalu bicarakan solusinya, nggak ketemu. Kami lalu tidur. Subuhnya kami salat bersama, sebagian sudah ada yang pulang. Saat itu saya sudah berpikir akan ada yang ”bermain bola” (menggerebek—Red.)

Saya lalu pulang ke rumah mertua karena lapar. Sekira pukul 06.30, terdengar bunyi tar-tar-tar. Wah, sudah ada kontak senjata. Tapi saya terus makan. Istri saya bilang: ”Sudah makannya. Itu sudah ada kontak senjata.” Teh yang masih setengah saya habiskan. Lalu saya keluar pakai celana buntung, jaket hitam, dan topi. Di luar sudah ada polisi, tapi saya terus jalan. Saya berniat tokik (memukul tiang listrik dengan batu—Red.) Seorang polisi bilang: ”Kamu bunyikan, saya tembak!” Saya pikir, saya ketahuan. Eh, ternyata polisi pergi. Dia rupanya tak tahu saya ini Basri.

Lalu?

Saya lari ke Gunung Jati, di belakang kampung, sampai sore. Setelah kontak mereda, saya turun. Saya lihat mayat Ustad Rian (seorang yang dituding polisi bagian dari Jaringan Jemaah Islamiyah di Poso—Red.) Wah, pasti ditembak dia.

Kelompok Anda lalu membuat brigade di Tanah Runtuh?

Nah, setelah kontak 11 Januari, kami berkumpul. Datang Ustad Mahmud (tokoh lain yang dituding polisi sebagai anggota Jemaah Islamiyah juga—Red.) berteriak: ”Demi Allah, laa ilaaha illallah, teman kita satu sudah dibunuh. Kita harus jaga kampung kita.” Ia meminta dibuat karung-karung dan palang pintu. Saya buat barikade di depan rumah Ustad Mahmud. Anak-anak Laskar Bebek (nama laskar anak remaja muslim Poso—Red.) sudah membuatnya. Kami lalu maju. Ustad Mahmud meminta semua jalan dibarikade. Saya bertugas di Pulau Seram, yang lain di Jalan Madura. Waktu itu kami belum diberi senjata. Isu akan ada penggerebekan semakin santer.

Anda lalu bersiap?

Malam 22 Januari 2007, Pak Iban (dituding anggota JI lainnya—Red.) membagikan senjata. Semua pegang senjata rakitan, kecuali saya pegang Uzi yang lumayan bagus. Sekitar pukul tujuh pagi, seseorang mengendarai sepeda motor datang ke Tanah Runtuh. Dia berhenti dan bilang: ”Jaga, siap-siap. Mereka (polisi) akan segera masuk.” Kami panik dan bertanya kepada Ustad Mahmud, bagaimana ini? Dia hanya bilang: ”Sudah, semua siap.” Semua dipanggil, senjata kembali dibagikan.

Kemudian?

Lalu dung-dung-dung, peluru berdesingan. Seperti perang Irak. Jelas, ka-lahlah kami. Tentara kan dilatih, kami ini latihannya hanya guling-guling.

Anda tertembak?

Saya tertembak di pinggang. Panas, panas sekali. Keluar asap di sini (Basri menunjuk pinggangnya). Saya pilin kaus yang saya pakai, lalu saya masukkan ke luka agar darahnya tidak keluar. Datang Aat (tersangka, menyerah pada 2 Februari), dan Tugiran (tersangka lain). Mereka kira saya sudah mati. Saya dilarikan ke rumah bidan yang ketakutan ketika kami datang. Di situ saya sampai malam. Pada sorenya, polisi datang. Mereka minta pintu dibuka, tapi di luar ada yang bilang, nggak ada orang di rumah bidan. Polisi pergi. Saya dirawat, diperban.

Anda tetap berusaha kabur?

Subuh esok harinya, saya keluar dari rumah bidan. Saya pakai topi. Di luar penuh aparat, tapi saya dibiarkan jalan. Mereka kira saya orang biasa. Dengan ojek saya pergi ke Lawangan. Lama sekali saya di situ. Pada 1 Februari, saya pindah ke rumah Haikal (tersangka lainnya) di Kayamanya. Tak lama kemudian polisi datang. Dengan kehendak Allah, saya santai keluar rumah. Tiba-tiba, polisi mulai menembak, saya langsung masuk rumah paling dekat. Saya ngumpet di tempat tidur. Waktu polisi datang menggeledah, saya bilang: ”Saya menyerah, Pak.” Polisi itu malah tertawa dan menjawab: ”Siapa kamu?” Rupanya dia juga belum tahu saya ini Basri.

Anda takut?

Namanya manusia, jelas takut. Kalau tidak, namanya Superman. Saya lalu diborgol dan dibawa ke Markas Polres.

Polisi menetapkan Anda sebagai buron sejak Mei 2006. Ke mana saja Anda selama itu?

Di rumah saja, nggak ke mana-mana. Bolak-balik rumah mertua. Saya pernah diajak ke luar pulau, tapi saya kan punya anak-istri. Bagaimana menghidupi mereka kalau saya lari?

Bagaimana Anda menghidupi keluarga?

Mereka ikut ibu mertua saya.

Rumah mertua Anda kan juga diintai polisi? Bagaimana Anda menemui anak-istri?

Biasanya saya survei dulu, lihat kiri-kanan. Setelah aman baru masuk rumah. Itu pun segera keluar lagi. Namanya sistem ”per”. Biasanya penggerebekan dilakukan aparat segera setelah buron masuk rumah. Makanya, saya masuk, langsung keluar dan sembunyi di dekat sumur. Setelah pasti aman, baru pulang.

Mengapa tidak menyerah sejak awal?

Karena Ustad Mahmud. Kami pernah dikumpulkan Pak Haji Adnan Arsal (tokoh-tokoh masyarakat Islam Poso), tokoh lainnya, dan sejumlah pengacara. Tadinya kami mau menyerah. Keluar dari ruang pertemuan, ustad-ustad dari Jawa itu memanggil kami ke masjid. Ada Ustad Rifki, Ustad Rian, Pak Iban, Ustad Yahya. Mereka memanggil saya, Icang, Bojel, Agus, Upik (Ustad Rian tewas pada penggerebekan 11 Januari 2007; ustad lainnya lari pada saat penggerebekan 22 Januari 2007—Red.)

Lalu?

Mereka bertanya, apa yang dibicarakan dalam pertemuan? Kami jawab, demi masa depan Poso, kami diminta menyerahkan diri. Para ustad itu bilang, dalam Islam menyerahkan diri itu haram. Kami ini kan seperti kerbau waktu diberi dalil-dalil itu. Akhirnya, kami balik lagi, ikut ustad.

Uang hasil merampok uang Pemda dipakai apa?

Saya dapat bagian Rp 5 juta, Saya pakai buat beli handphone. Sisanya dibawa Ipong (menyerah November 2006—Red.)

Soal kekerasan di Poso, Anda menganggapnya perang agama?

Iya (suaranya meninggi). Keluarga saya banyak dibantai, ada 26 orang, pada peristiwa Kilo 9. Mayat semuanya saya angkat sendiri. Sejak itu saya dendam. Lalu datang doktrin-doktrin agama. Saya seperti Popeye yang diberi bayam.

Apa pekerjaan Anda saat itu?

Saya jualan minyak tanah dan ayam.

Anda salat?

Nggak. Kerjaan saya minum, mabuk-mabukan sampai pagi.

Lalu kenapa Anda bilang ini perang agama?

Karena yang dibantai semua orang Islam.

Berapa orang yang sudah Anda bunuh?

Waktu perang, banyaklah.

Apa pendapat Anda tentang Tibo cs?

Tibo? Woo... naga dia! (suaranya sangat keras).

Anda belajar menembak dari siapa?

Dari Pak Mahmud, Haris. Kami belajar tiarap, rolling, dan memakai senjata selama tiga hari di Gunung Jati, Poso.

Dari mana Anda mendapat senjata?

Dari Icang. Saya beli Rp 12 juta, duitnya gabungan: Rp 4 juta hasil penjualan tanah saya yang laku Rp 10 juta dan sisanya dari Icang. Tapi saya nggak tahu Icang dapat dari mana. Kami memakai sistem rantai terputus (Icang tewas dalam penyergapan 22 Januari 2007—Red.)

Pelurunya dari mana?

Semua dari Icang. Kalau habis kami tinggal minta. Dia ahli merakit bom dan senjata.

Anda bisa menembak tepat?

Tidak bisa. Saya ini ngawur nembaknya. Pernah latihan nembak di laut, sasarannya balon. Habis banyak peluru, cuma kena satu.

Di mana senjata-senjata disimpan?

Saya tidak tahu, karena semua sudah ada bagiannya. Mereka bilang ini ja-ringan terputus.

Anda juga memenggal kepala tiga siswi SMA pada 2005?

Ya, rencana itu atas perintah Ustad Sanusi. Hasanuddin menyetujui. Waktu itu bulan puasa, saya hanya disuruh datang. Mereka bertanya, ”Apa ya hadiah Lebaran?” Saya bilang, okelah nanti saya cari target. Beberapa hari kemudian, Iwan (salah seorang tersangka—Red.) dapat target. Koordinator lapangan: ditunjuklah Haris dengan wakil Iwan. Mereka survei tiga hari. Saya, Agus, dan Wiwin hanya eksekutor. Haris menyiapkan tujuh parang, plastik, juga dua motor.

Plastik? Untuk apa?

Untuk menempatkan kepala target.

Kemudian?

Kami kumpul di maktab (markas) saat subuh. Kami jalan menuju Poso, setelah itu balik lagi. Haris dan Iwan terus memantau lokasi untuk mengetahui apakah aparat sudah mengetahui gerakan kami. Dua hari kemudian, setelah salat tarawih, kami dipanggil lagi. Kami lalu tidur di rumah Iwan. Habis salat subuh, kami ganti pakaian. Parang dan plastik dibagikan, lalu kami meluncur. Kami tunggu mereka sampai ada yang bilang ”Sip!” Rupanya target sudah mulai lewat.

Apa yang dilakukan tiga siswa itu sebelum Anda bunuh?

Empat orang siswi berjalan sambil nyanyi-nyanyi dan membawa bunga. Saya bilang, mati mereka, mati mereka. Saya terbayang keluarga saya, mbah saya yang dicincang, digantung. Dendam saya (suara Basri mengeras). Mereka langsung saya tebas satu-satu. Ada yang lari saya kejar. Satu orang yang kena di pipi saya kira mati, ternyata tidak. Waktu saya selesai dengan yang lain, dia lari. Saya bilang, kejar! Nggak dapat. Kepala tiga orang lainnya kami bawa ke maktab. Itu ”hadiah Lebaran”.

Anda pernah dibaiat oleh kelompok Hasanudin?

Saya dibaiat pada 2002–2003 sama Pak Yahya. Jabat tangan, saya disuruh syahadat. ”Apa pun yang terjadi, jemaah harus istiqomah. Antum siap?” Kami jawab, ”Siap!” Setelah itu kami ikut majelis taklim.

Siapa yang mengajar perang?

Pak Toha pernah ngajar, juga Pak Rifki. Kami disuruh lari-lari. Mustofa (tersangka anggota Jemaah Islamiyah—Red.) juga pernah memberi latihan.

Anda tahu orang-orang itu anggota Jemaah Islamiyah?

Saya baru tahu setelah di sini (ditahan polisi di Jakarta). Dulu saya nggak tahu. Dulu di Poso mereka hanya bilang, ayo perang sama-sama.

Kapan Anda mulai merasa Anda dibohongi?

Setelah pada penyergapan tanggal 22 Januari, mereka kabur semua. Dulu, mereka bilang, siap mati bersama, tapi belakangan malah kabur.

Anda masih dendam pada kelompok Kristen?

Saya menyesal. Saya tidak dendam selama mereka tidak menyerang.