Saturday, February 25, 2006

Ribuan Massa Kepung Kantor Bupati Poso
Radar Sulteng, Jumat, 24 Februari 2006

POSO- Bupati Poso Drs Piet Ingkiriwang bakal didemo besar-besaran masyarakat Poso ternyata bukan sekadar isu belaka. Buktinya, Kamis (23/2) kemarin golombang massa dari berbagai elemen masyarakat Poso yang berjumlah sekitar 3.000-an orang bergabung mendemo bupati hasil Pilkada secara langsung tersebut.

Massa pendemo bergerak dari halaman Masjid Agung Jalan Pulau Natuna yang dijadikan Forum Silaturahim Pembela Umat Islam (FSPUI) Poso sebagai pos induk. Ribuan massa itu gabungan dari FSPUI, FPI, Koalisi Masyarakat Cinta Damai Tanah Poso (KMCDTP) serta massa dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Poso.

Disaat pendemo melakukan konsolidasi, bersamaan itu juga di kantor Bupati Poso termasuk di kantor Satgas Poso yang hanya bersebelahan dengan kantor bupati telah dijaga 1 kompi Brimob dan Perintis Polres Poso. Sementara anggota Satpol Pol PP siap di pintu gerbang untuk menghalangi pendemo agar tidak masuk ke halaman kantor bupati.

Massa bergerak dari halaman Masjid Agung sekitar pukul 10.00 wita long mars melewati jalan Natuna terus ke jalan Pulau Timur. Di depan kantor DPRD Poso, massa menjadi dua kelompok. Massa FSPUI bersama FPI terus berjalan menuju Jalan Pulau Timur, sedangkan massa dari KMCDTP serta PKS memutar menuju Jalan Pulau Buru kemudian ke jalur dua Jalan Pulau Sulawesi.

Massa yang dipecah dua bagian ini mengepung kantor bupati Poso. Massa KMCDTP dan PKS dihadang di pintu masuk halaman samping kantor bupati, sedangkan massa FPI dan FSPUI lewat pintu pagar depan kantor bupati. Melihat massa masuk dari dua arah, polisi pun sebagaian diarahkan menghadang di pintu samping yang tidak disangka akan dimasuki massa juga.

Karena tidak diizinkan masuk ke halaman kantor bupati, massa yang dipimpin H Adnan Arsal dan Burhanudin Sapii hanya bisa melakukan orasi di luar kantor. Negosiasipun dilakukan, lewat Kabag Infokom Amir Kiat SH menemui Bupati Piet Ingkiriwang agar bersedia menerima pendemo.

Diputuskan yang diterima perwakilan saja. Sebanyak 20 orang perwakilan menjadi utusan menemui bupati. Mereka antara lain H Adnan Arsal, Sarifullah Djafar, Burhanudin, Lukito, Radi Jeba (Mertua Ipong) serta lainnya.

Bupati Piet dalam pertemuan di ruang kerjanya dengan perwakilan pendemo, dikawal para pengawal yang berdiri di belakangnya. Ikut mendampinginya, Wabup Abdul Muthalib Rimi dan Plh Sekdakab Poso Drs Harry S Kabi.

Dalam pertemuan itu H Adnan Arsal mengharapkan Bupati Piet bersama kajaksaan, pengadilan dan kapolres menyurat kembali ke MA meminta Ipong dan Yusuf disidang di Poso. ‘’Saya pertaruhkan kepada masyarakat muslim Poso meminta Ipong dan Yusuf disidang di Poso. Yang menyerahkan Ipong ke kapolda itu adalah saya. Itupun penyerahan setelah dilakukan negosiasi serta adanya komitmen kapolda bahwa Ipong diproses di Polda. Tapi kenyataannya, Ipong dibawa ke Jakarta. Bila Ipong dan Yusuf tidak dibawa ke Poso, massa pendemo akan menduduki kantor bupati,’’ tegasnya. Dalam pertemuan itu Adnan juga mendesak segera dibentuk TPGF Poso.

Bupati Piet mengatakan tidak punya kewenangan untuk meminta MA agar Ipong dan Yusuf disidangkan di Poso. Kewenangan ini ada pada kejaksaan, pengadilan dan kapolres. Namun Piet mengaku bersedia memfasilitasi forum bertemu MA mempertanyakan persoalan Ipong.

Tapi tawaran bupati tersebut ditolak. Kata Adnan, mereka siap saja ke MA asalkan mereka membawa surat permintaan yang ditandatangani kejaksaan, pengadilan, kapolres serta bupati.

Perwakilan pendemo pada saat itu mendesak bupati Piet melakukan rapat dengan para muspida dalam hal ini kapolres, kejaksaan dan pengadilan menyikapi tuntutan ini. Mendengar desakan itu, bupati minta para pendemo bersabar, dam akan mengundang muspida tersebut.

Menunggu hasil rapat muspida, pendemo membuktikan ancamannya untuk bermalam di kantor bupati. Pendemo memasang dua tenda, satu tenda dipasang di jalan depan kantor Bupati Poso, sedangkan satu tenda lagi dipasangan depan pintu samping kiri kantor bupati.

Selain kasus Ipong, wakil pendemo juga menyoroti berbagai hal terhadap Bupati Piet. Misalnya, soal ijazahnya yang diduga palsu, gelar sarjana dan pengawalan dirinya seperti pengawalan presiden.

Anto, salah seorang wakil pendemo Anto menyatakan, yang menciptakan kondisi ketidaknyamanan di Poso ini adalah Bupati Poso Piet sendiri. Sebab, pengawalan yang berlebihan justru menciptakan kesan bagi orang luar bahwa Poso belum aman.

Soal ijazah bupati mengatakan menyerahkan sepenuhnya ke polisi untuk diproses hukum. ‘’Koalisi kan sudah melapor ke Polda, kita tunggu saja apa hasilnya. Biar nanti kapolda yang memberi klarifikasi apa ijazah saya palsu atau tidak,’’ ujarnya.

Bupati juga ditanyakan soal gelar yang dipakai Drs atau S.Sos. Atas pertanyaan ini, Piet tampak tidak bisa menjawabnya.(wan)

PNS Poso Ancam Demo Besar-besaran
Rakyat Merdeka, 25 Feb 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=557

Friday, February 24, 2006

purwoko: tiga kasus di poso ordinary crime
rakyat merdeka, 24 feb 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=554

Wednesday, February 22, 2006

Fabianus Tibo dkk Ajukan PK
Kompas OL, 21 Feb 2006

http://www.kompas.com/utama/news/0602/21/183158_.htm

Friday, February 17, 2006

Radar Sulteng, Kamis, 16 Februari 2006
Agar Siswa Tahu Bahaya HIV: SMA 3 Poso Dapat Bantuan KRR

POSO- SMA 3 Poso patut berbangga. Betapa tidak, sekolah yang dipimpin Dra Ratna ini mendapat kepercayaan sekaligus menjadi sekolah percontohan di kabupaten Poso oleh Dinas BKKBN Provinsi Sulteng untuk mensosialisasikan kesehatan reproduksi remaja, bahaya HIV/Aids serta bahaya narkoba.

Karena menjadi sekolah percontohan, sehingga Rabu (16/2) kemarin, sekolah ini diberikan sarana pendukung untuk sosialisasi, seperti televisi, VCD, Radio Tape, kipas angin serta meja dan kursi. Bantuan dari Dinas BKKBN Provinsi tersebut diserahkan oleh Kadis Catatan Sipil dan KB Kabupaten Poso Drs H Andi Rahmatulla di SMA 3 diterima langsung Kepala SMA 3 Dra Ratna.

Kadis H Andi Rahmatulla usai penyerahan bantuan kepada Radar Sulteng mengatakan, penyerahan bantuan ini kepada SMA 3 Poso, adalah merupakan tindak lanjut dari diikutsertakan guru dan siswi SMA 3 masing-masing satu orang mengikuti pelatihan KRR (kesehatan reproduksi remaja) di Palu beberapa waktu lalu yang diselenggarakan Dinas BKKBN Provinsi.

Bantuan yang diberikan itu, kata Andi, digunakan sebagai media penerangan bagi pelajar di sekolah itu dalam mensosialisasikan kesehatan reproduksi remaja. Gunanya semua ini menangkal kehamilan di luar nikah. Melalui pemutaran televisi itu nanti, pelajar bisa melihat langsung bagaimana yang namanya kesehatan reproduksi remaja.

Menjawab pertanyaan, Andi Rahmatulla menyebutkan, karena keterbatasan dana sehingga baru satu sekolah ini yang mendapat bantuan. Tidak menutup kemungkinan sekolah lainnya tahun-tahun mendatang akan diberikan juga. Tentunya setelah mendapat pelatihan.

Sementara itu, Kepala SMA 3 Dra Ratna yang ditemui di kantornya mengaku sangat senang dan gembira atas bantuan yang berikan. Katanya gembira, sebab pada umumnya bantuan yang diberikan jika mengajukan permohonan, tapi ini tidak. ''Saya sebagai kepala sekolah sangat-sangat berterima kasih atas bantuan yang diberikan ini. Kami akan menggunakan bantuan ini sebaik mungkin,'' ujarnya.

Didampingi Rahmawati SPd guru yang mengikuti pelatihan kesehatan reproduksi remaja di Palu beberapa lalu, Kepsek Ratna menambahkan sekolah yang dipimpinnya juga sekaligus akan menjadi pusat informasi konsultasi kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR). Papan namanya sudah ada, tinggal dipasang di halaman sekolah.

Rahmawati menambahkan, siswi yang mengikuti pelatihan bersamanya tersebut dinamakan pendidik sebaya. Artinya, diharapkan nantinya lewat pendidik sebaya ini para siswi tidak segan-segan menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi. ''Misalnya kesehatan reproduksi. Barangkali mau bercerita pada orang tua atau guru takut. Nah dengan temannya sendiri yang dikatakan pendidik, ia mau terbuka menceriterakan problem yang dihadapi,'' sebut Rahmawati.(wan)

Radar Sulteng, Kamis, 16 Februari 2006
Ustad Sahl Dibebaskan: Tidak Terbukti Terlibat Teroris

PALU – Setelah menjalani pemeriksaan kurang lebih tujuh hari di Mabes Polri, Ustad Sahl Alamri—pengasuh pondok pesantren Amanah Poso, akhirnya dibebaskan, kemarin siang (15/2). Pembebasan Ustad Sahl Alamri diungkapkan langsung Komandan Koopskam Sulteng, Irjen Pol Paulus Purwoko kepada wartawan di Mapolda Sulteng, kemarin (15/2).

‘’Karena tidak cukup unsure terkait kasus terorisme dan demi hukum yang bersangkutan dibebaskan,’’ jelasnya didampingi Perwira Penerangan, Kombes Pol Didi Rochyadi dan Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Rais D Adam.

Menurut Kadiv Humas Mabes Polri itu, pembebasan ustad Sahl Alamri tidak terkait adanya aksi demo maupun aksi pendudukan di gedung DPRD Poso. Pembebasan Sahl dilakukan murni karena hokum setelah dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ditemukan bukti cukup untuk mengaitkan kasus terorisme.

Bahkan katanya, pihak keluarga disarankan bila tidak puas dengan penangkapan yang dilakukan Densus 88/AT Mabes Polri untuk mengajukan gugatan praperadilan. Yang jelas proses penangkapan yang dilakukan Densus 88 Mabes Polri mengacu undang-undang terorisme sebagaimana yang diberlakukan saat ini.

Paulus juga menjelaskan, sebelum dibebaskan Ustad Sahl sebenarnya hendak diterbangkan lagi ke Poso namun karena permintaannya hendak sowan (berkunjung) dengan keluarga yang ada di Jawa akhirnya yang bersangkutan diantar hingga ke Jawa Tengah. Yang jelas terhitung, Rabu (15/2) ustad Sahl sudah bebas dari dugaan terlibat kasus terorisme. (lib)

Pendemo Sambut Lega Dibebaskan Ustad Sahl
Rakyat Merdeka, 17 Feb 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=489

Tidak Terbukti Teroris, Ustad Sahl Dibebaskan
Rakyat Merdeka, 16 Feb 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=482

Buntut Penangkapan Ustad Sahl, Polres Poso Didemo
Rakyat Merdeka, 14 Feb 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=453

Thursday, February 16, 2006

Di Duga Antek Noordin Di Poso: FSPUI Protes Penangkapan Sahl
Radar Sulteng, Selasa, 14 Februari 2006

POSO- Penangkapan atas diri ustdaz Sahl Alamri oleh Densus 88 mengundang reaksi keras dari masyarakat Poso. Kemarin, sekitar 1.000-an masyarakat muslim Poso yang tergabung dalam Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Kabupaten Poso dan pengurus HMI Cabang Poso berunjuk rasa di Polres Poso dan kantor DPRD Poso.

Selain memprotes penangkapan ustdaz Sahl, yang mereka anggap sebuah penculikan karena ditangkap saat mengantar minyak tanah, juga mengecam tabloit Jyllan Denmark yang memuat karikatur Nabi Muhammad SAW. Sebagai tanda kemarahan, sebuah boneka yang dibuat dari kertas menggambarkan orang Denmark dipasang bendera Denmark dibakar di tengah lapangan Sintuwu Maroso Poso.

Ikut dalam aksi itu Ketua FSPUI H Adnan Arsal SAg, Sekretaris FSPUI Syarifulah Djafar, ustdaz Muharam, Sugianto dan Baharudin Sapii. Unjuk rasa itu sendiri sedikit ternodai oleh ulah beberapa orang pengujuk rasa yang menghakimi Turman, pegawai Kantor Kesbang Poso hingga dirawat di RSU Poso.

Main hakim sendiri itu sampai terjadi, karena Turman dikira anggota Banpol (bantuan polisi-red). Rupanya massa yang lain tidak tau menahu kalau Turman sedang menjalankan tugasnya sebagai anggota Kesbang. Untungnya massa yang lainnya mengenal Turman, sehingga main hakim sendiri bisa segera diatasi. Meski demikian, Turman tetap dilarikan ke RSU karena mengeluarkan darah akibat terkenan pukulan.

Ustdaz Adnan pada saat menyampaikan orasinya meminta agar pemerintah bertindak adil. Dia mempertanyakan penangkapan ustdaz Sahl secara tiba-tiba di tengah jalan, dengan alasan menyembunyikan informasi teroris. Kemudian keesokan harinya ada surat yang diterimanya yang menyatakan ustdaz Sahl sudah tersangka kasus teroris.

Adnan tidak yakin kalau Sahl terlibat terorisme. Sebab ustdaz Sahl itu hanya datang mengajar, ceramah dimajelis ta'lim dan jual minyak tanah.

Karena itu dia menilai ada usaha sistimatis mengindikasikan bahwa Pondok Pesantren Amanah ada jamaah islamiyah, aliran keras. Menurut Adnan semua itu adalah fitnah besar.

Usai berorasi di lapangan Sintuwu Maroso, massa bergerak menuju Polres Poso. Di sana rupanya sudah menunggu Kapolres Poso AKBP Drs Rudy Sufahriadi, Wakil Satgas Kolonel Moch Slamet dan Wakapolres Kompol Andreas SIP di depan pintu masuk halaman Polres Poso.

Jalan di depan Polres dipenuhi massa. Kendaraan terpaksa dialihkan ke jalan lain. Seluruh pemilik toko di sekitar Polres Poso menutup tokonya. Sementara areal di depan Polres Poso telah dikelilingi penembak jitu. Para penembak jitu menggunakan cadar dengan senjata lengkap dan siaga di teras lantai dua semua toko depan Polres Poso dan mengamati gerak gerik para pendemo.

Setelah di Polres, pengujuk rasa bergerak menuju Kantor DPRD Poso. Perwakilan pendemo seperti ustdaz Adnan, Syarifullah, Baharudin Sapii, ustdaz Muharam, Sigianto diterima Ketua DPRD Poso Drs S Pelima di ruang kerjanya. Pelima didampingi Wakil Ketua Herry Sarumpaet serta beberapa orang anggota dewan.

Dalam pertemuan itu pengunjuk rasa menyampaikan beberapa tuntutan. Yakni, meminta dewan membentuk pansus yang merekomendasikan pembentukan TPGF Poso. Mereka juga meminta Ipong dan Yusuf yang kini ditahan di Mabes Polri untuk diproses di Poso atau Palu.

Dalam pertemuan itu disinggung pula soal dugaan ijazah palsu Bupati Piet Inkiriwang. Atas tuntutan tersebut, dewan berjanji akan menyikapi dan menyampaikannya ke instansi terkait.(wan)

Keluarga Tibo Cs Minta Dukungan Komnas HAM
Radar Sulteng, Rabu, 15 Februari 2006

JAKARTA- Upaya keluarga dan kuasa hukum terpidana mati kasus kerusuhan Poso Tibo Cs untuk mendapatkan keadilan terus berlanjut. Setelah mendatangi Mabes Polri, kini mereka mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka meminta Komnas HAM menyelidiki proses penyidikan dan vonis terpidana mati Tibo Cs.

’’Kami minta agar Komnas HAM turun ke lapangan, sebab di awal penyidikan dan vonis sudah dipenuhi dengan rekayasa,’’ kata Kuasa Hukum Tibo Cs, Daniel Tonapa Masiku yang dihubungi koran ini, kemarin.
Rekayasa itu, diantaranya, pemaksaan yang dialami kliennya pada saat pemeriksaan. Penyidik dari kepolisian dan kuasa hukumnya yang terdahulu memaksa agar Tibo Cs mengakui perbuatannya.

’’Menurut keterangan Tibo, pengacara yang mendampingi di kepolisian dan penyidik mengatakan kepada Tibo, kalau anda tidak mengakui apa yang disangkakan hukumannya akan bertambah berat,’’ katanya. Begitu juga pada saat dipersidangan, Tibo cs tidak diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan (Pledoi). Pembelaan hanya dilakukan kuasa hukumnya. ’’Seharusnya kan, setiap dakwaan kan harus ditanyakan kepada Tibo Cs,’’ lanjutnya.

Selain itu, mereka juga meminta kepada Komnas HAM untuk mengirimkan surat kepada Kapolri, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Agung (MA). ’’Menyurati kepolisian agar melakukan pengungkapan kasus Poso secara transparan, kemudian meminta Jaksa Agung menunda eksekusi, karena ada kemungkinan pelaku lainnya,’’ kata Daniel Tonapa.

Ditanya mengapa harus menyurat ke MA, Daniel mengatakan bahwa, karena pihaknya membutuhkan dukungan Komnas HAM dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) untuk kedua kalinya yang secara formal tidak wajar. ’’Kami takut dijadikan dalil kejaksaan untuk menolak PK, karena sudah pernah mengajukan PK. Padahal itu kan HAM,’’ ujarnya.

Alasan pengajukan PK, karena kuasa hukum memiliki bukti baru, berupa saksi-saksi yang membantah Tibo Cs pernah memimpin pelatihan di Palu.

Keluarga Tibo cs yang mendatangi Komnas HAM terdiri dari Robert Tibo (anak kandung Fabianus Tibo), Yasinta Gong (istri Marianus Riwu) dan Adam Ata (ayah angkat Dominggus Da Silva). Mereka ditemui oleh Ketua Subkomisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM Lies Sugondo. Sebelum diterima Komnas HAM keluarga dan pendukung Tibo sempat mengelar demonstrasi di depan Komnas HAM.

Sementara itu, Lies Sugondo yang ditemui di Komnas HAM mengatakan, pihaknya akan mengirimkan surat ke Kapolri, Kejagung dan MA dalam pekan ini juga. ’’Suratnya sudah saya siapkan. Tinggal, ditandatangani oleh ketua Komnas HAM,’’ terangnya.(yog)

Sahal Anggota Jamaah Islamiyah
Radar Sulteng, Rabu, 15 Februari 2006

JAKARTA – Posisi Ustad Sahal Alamri alias Sunarto alias Narto kian terjepit. Pengasuh Ponpes Amanah, Poso yang ditangkap Detasemen 88/Anti Teror Mabes Polri Kamis pekan lalu di Poso diyakini polisi mempunyai kaitan dengan Subur Sugiyanto alias Abu Mujahid, orang yang disebut sebagai tangan kanan Noordin M. Top dan kini juga sudah ditangkap polisi.

Menurut Subur, Sahal adalah anggota Jamaah Islamiyah yang memang dikirim wakalah Jawa Tengah ke Poso pada tahun 2000. Antara Subur dan Sahal juga pernah fiah (satu kelompok berganggota 6-10 orang) berdakwah bersama di Semarang dimana Subur adalah Khoid-nya (ketua) adalah Subur. Pada polisi, Sahal sendiri juga sudah mengaku sebagai anggota JI yang dikirim ke Poso oleh Abu Tholut alias Mustafa.

Informasi keterkaitan Sahal dengan Subur—yang kini sama-sama ditahan di Jakarta— terdapat dalam laporan tertulis Kabareskrim Komjen Pol Makbul Padmanagara dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR tadi malam. ”Sahal dikenakan sangkaan penyembunyian informasi tentang tindak pidana terorisme,” kata Makbul.

Fakta hukum yang dijadikan pijakan polisi adalah pertemuan di Semarang pada akhir Oktober silam, paska bom Bali II. Saat itu Sahal, yang sedang pulang kampung ke Semarang, sedang berbuka puasa bersama dengan Subur Sugiyanto, Zainuri, Anif alias Pendek, Dwi Widiarto, Budiono alis Budi Sapi, Wahyu, Basuki dan Yono di Jl Tawang, Rajek Wesi dekat masjid Khasanah, Semarang.

Saat pertemuan ini Sahal menceritakan pengalaman selama dirinya tinggal di Poso sejak tahun 2000 silam. ”Dia memberikan contoh supaya mujahidin di Jawa juga harus berani melakukan jihad seperti di Poso. Dimana kasusnya tidak terungkap,” lanjut Makbul. Sahal saat itu juga mencontohkan kasus yang tidak pernah terungkap itu.

Misalnya perampokan uang Pemda Kabupaten Poso senilai Rp 500 juta yang merupakan fai (dana perjuangan, sehingga halal, Red). Lalu pembunuhan seorang kepala desa dan penembakan pendeta wanita yang saat itu sedang berkotbah. ”Semua kejadian itu memang belum terungkap, dan saat keterangan Sahal kita cocokan dengan Subur, Budiono, Dwi Wiyanto dan Basuki, semuanya cocok,” lanjut Makbul.

Masih pada polisi, Sahal juga sudah mengakui jika dirinya pernah menceritakan soal perampokan dan pembunuhan kepala desa. Tapi dia tidak mengakui cerita soal penembakan pendeta wanita.

Pengacara Sahal, Achmad Michdan sebenarnya kemarin hendak bertemu dengan kliennya itu. Namun dia baru mendapat akses untuk membesuk Sahal hari ini di Rutan Mapolda Metro Jaya. ”Dari penyidik saya memang dengar jika Sahal dikaitkan dengan Subur karena pernah menggelar pertemuan di Jawa Tengah. Tapi apakah dia memang anggota JI, saya belum tahu,” katanya. (naz/gup)

Exploring megalights deep in Sulawesi
Jakarta Post, Features - September 29, 2002

After a five-hour journey through the dense tropical forest in Lore Lindu National Park, over muddy roads and across rivers, we finally arrived at the village of Doda in Poso regency.

Doda -- one of a number of villages in the Besoa Valley with a megalith heritage -- looked beautiful in the afternoon sun, though a tad scary with all the locals staring at us from their houses.

"This village is one of the destinations for refugees fleeing the conflict area in Poso," said David, our driver.

We slept in a house owned by Yusuf Bagia, a park ranger. We didn't know that dozens of locals came that night to ask Bagia who we were and why we were there. But he managed to send them away.

The next morning, though a little nervous because of the cool reception, we were ready to visit the megaliths.

"I would feel incomplete without visiting the megaliths," said Keith Harris of England, who has been a year in Central Sulawesi.

After breakfast, we went to the neighboring village of Hanggira, where we were surprised to see dozens of megaliths. There were kalamba (giant urns) and four human-like statues without hands and legs. The site is called Pokokea, and it has the most kalamba in the province.

A megalith is a very large, rough stone used in prehistoric cultures as a monument. Some archaeologists say megaliths date to between 5000 and 3000 B.C., but the megaliths in Central Sulawesi date back as early as 3000 B.C. to 1300 A.D.

Archaeologist Albert C. Kruyt wrote in his book, Het Lanschap Dada in Midden Celebes (1909), that the megaliths in Central Sulawesi were made by Caucasians migrating from the West. His idea was based on Macmillan Brown's Maori and Polynesian, Their Origin, History and Culture, that Caucasians speaking the Aryan language had migrated to the East through the Malaysia Peninsula, finally arriving in Melanesia, Micronesia and Polynesia. The megaliths were signs for the places they passed through.

In his Megalitic Finds in Central Sulawesi (1939), Walter Kaudern said it was still a mystery as to who was responsible for the megaliths in the province.

Megaliths can be found in many places in Indonesia, but Central Sulawesi has the most important sites, with kalamba and human-like statues only found here, particularly around the Lore Lindu National Park.

A 2001 study by the Palu-based Indonesia Katopasa Foundation showed that there are 431 megaliths in the park. The megaliths were divided into five categories, based on shape: human-like statues, kalamba, tutu'na (large stone disks, probably lids of the kalamba), batu dakon (flat to convex stones featuring channels, irregular pitting and other depressions, and other stone-like mortars) and umpak (house supports). The megaliths are spread across 22 villages, 17 in Poso regency and five in Donggala regency. The number might actually be higher, as some park rangers have said they have found unregistered megaliths in the jungle.

There are 13 kalamba at the Pokokea site, most of them still in good condition. The largest is 1.8 meters high and 1.5 meters in diameter. It is very special for having eight human-like statues carved in its upper part. There are also tutu'na at the site, the most special one with a monkey carved into its surface.

The kalamba may have been the king's cisterns. Most archaeologists say the kalamba are probably linked with sarcophagi used by aristocrats, as tradition requires the dead to be buried with supplies for the afterlife. Unfortunately, there is no trace of any treasures or bones, just these water vessels.

Tular Sudarmadi, an archaeologist from Gadjah Mada University, said megaliths had many functions.
"They could be used as a medium to provide services to the souls of ancestors, as signs to convey land ownership and other social functions."

Tular said the stones were probably left by a mobile people, as there were no signs of any giant stones weighing over one ton in the nearby river.

People living near the megalith sites have their own explanations for the stones. A human-like statue in Wange village is called Polenda. It is believed to have been a man assigned to keep pests away from the rice fields, but as he liked to seduce girls working in the fields he was turned to stone by an angry God.

Megaliths can be found in eight villages in the Bada Valley in Poso regency. In one of the villages can be found the biggest stone statue in Sulawesi, 3.82 meters in height and called To Salogi or Palindo by locals. The unique thing about the statue is that it slants at an angle of 30 degrees, just like the Tower of Pisa in Italy.

The megaliths in the Bada, Napu and Besoa valleys attracted many foreign tourists, before the conflict in Poso scared off visitors.

"Many tourists used to come to Doda, but since the conflict in Poso no one comes here," said Bagia.

Another megalith site that can be visited is the Watunonju Park in the village of Watunonju, about 20 kilometers from Palu heading toward the Napu Valley.

There are 13 stone mortars at the site found by Kruyt in 1898. The mortars used to lay in people's houses, but they were removed and the area was turned into a megalith park.

Despite all the fascinating megaliths, transportation is the main problem for those interested in seeing the stones. It is relatively easy to reach Napu Valley, but it is more difficult to reach the Bada or Besoa valley.

To get to Bada Valley, tourists have to follow the road between Poso and Toraja before turning into Tentena. But this road is very dangerous at present due to the conflict in Poso.

The safer route is from Palu heading south, before stopping in Gimpu village. Then the journey must be continued on foot due to the narrow road. Visitors must travel through the dense forest of Lore Lindu for two days. It is a challenge but would be enjoyed by those who enjoy ecotourism. A guide is necessary, and one can be found in Palu.

We reached Besoa Valley by car, although it was not easy. The road between Wuasa village and Besoa Valley is muddy, and we had to cross the river. We used a four-wheel drive jeep, but if visitors don't have this type of vehicle they can continue with a taxi jeep for Rp 30,000 per person.

"Those jeeps have no brakes. The brakes are never working because of the mud," said David laughing.

The exhaustion of the long journey over bumpy roads was quickly forgotten when we set eyes on the fascinating megaliths. It was worth all of the effort.
Bambang M., Contributor, Palu, Central Sulawesi

Tuesday, February 07, 2006

A religious conflict tamed

PALU, 11 January 2006 - Despite a flurry of warnings about possible violence over the holidays, residents in this capital of Central Sulawesi Province, thought the bomb blast that ripped through a nearby pork-selling market on New Year's Eve was an earthquake. They were convinced, like so many others in the region, that the communal tensions that erupted into deadly clashes between Muslims and Christians five years ago were a thing of the past. Even after finding out it was a bomb, they condemned it as simply the work of a small group of "terrorists."

"Christian and Muslim people used to be very easily provoked," says a local Christian, Leo Parengkuan, as he sits drinking coffee on his porch with a Muslim friend. "Now they're not, because the people know that the violence is not because of religion, but because of politics, economics, and other things." This refusal to be provoked by a recent string of sensational attacks - including the beheading of three girls walking to a Christian school in October and an ineffectual bomb blast near a church Monday - marks strong popular support for a 2001 peace accord designed to end several years of large-scale Christian-Muslim clashes.

A deeper understanding of the unrest has sprung out of a general conflict fatigue, with more people seeing past the seeming religious nature of the ongoing attacks. Observers credit the careful work by community and religious leaders, nongovernmental organizations, and even the once-fiery local media with promoting that understanding.

Top religious leaders from both sides held public meetings to talk about the need to end the conflict, and quickly and jointly condemned further violence. NGO workers went to villages teaching people to look more critically at the conflict, and trained local youth "peace agents" to do the same. Comic books were developed for children in nearby Poso with stories involving Muslim and Christian characters resolving problems through tolerance. "Muslims and Christians would really open their minds when they saw this," says Iskandar Lamuka, director of the Institute for Empowering Civil Society (LPMS) in Poso.

Tasrief Siara, a journalist for independent Nebula radio in Palu, worked with other reporters and photographers to cover these peace-building efforts and promoted "peace journalism" in the area after seeing the way the local coverage of the conflict stoked tensions. "We began reporting not only on how many victims there were, how bad the mutilation was, ... but the impact of the violence on the people," Siara says, "how many children were losing their fathers and mothers, and how many widows were losing their husbands - the mental impact, not just the physical."

The impact of such efforts is being felt even in the district of Poso - the heart of the conflict in Sulawesi that left more than 1,000 dead - where burned and destroyed houses and religious buildings are easier to find than sectarian anger. "I was very sad to see my house burned down and was angry at the time, but now - no," says Hauglim Peuggele, a Poso resident who stood in front of a burned down church. "I've come back to this place to buy a house and reconcile with Muslim people in Poso."

But while the combined efforts seem to have born fruit in stemming a communal backlash along religious lines, continuing incidents of "mysterious" attacks show the difficulty of stamping out such violence completely. Most of the attacks since the accord have appeared to target Christians, and security forces and terror experts have pointed to outside Islamic militant groups that came to the island during the height of the conflict.

The International Crisis Group has warned that outside jihadist groups continue to exploit the conflict in Poso and stressed the need to reintegrate "leftover mujahideen." "When outsiders look to enter a place like Poso, it's leftover mujahideen who provide them with a way into the area and local contacts to recruit new people," says David McRae, an ICG analyst.

For many of these ex-combatants, fighting in the name of Islam remains one of the most meaningful experiences of their lives, and may prompt them to continue even without a formal organization.
"It's difficult to forget the time I was a combatant," says Abang Syamsuri, a former mujahideen who fought during both the conflicts in Sulawesi and Maluku. "I stopped fighting in 2001, but had a discussion with myself until 2005. I would think, 'Should I be a combatant or live a normal life in Poso?' "

Rights groups have long accused security forces of involvement in continuing conflicts for economic or political reasons. The failure to bring to justice those behind the violence in Poso has only fueled local suspicions of involvement by officials, military, or local businessmen.

The government responded last week to mounting calls for an independent fact-finding team by pledging to send over 1,000 more police officers to Central Sulawesi to work with over 5,000 security personnel already in the area. "In Poso, the government doesn't need to send more troops, police, or intelligence," says Rev. Rinaldy Damanik, chairman of the Synod of Churches of Central Sulawesi. "They need to give more space to the people to make independent fact collection."

NGO workers say the lack of answers behind the recent and past attacks has prevented resolving land disputes that would allow displaced people to return home and heal. "We lived next to the Christian people for so long and we were all friends, so I really believed that they would not attack," says Siara, a Muslim woman who fled her village in rural Poso and has never returned. "I'm not angry at all Christians, but I am still angry at the people who burned my house and killed my husband. I don't know why they did it."
[ c Christian Sience Monitor ]

Monday, February 06, 2006

Kapolres Poso Selamat dengan Tancap Gas
Rabu, 25 Januari 2006 17:58 WIB

TEMPO Interaktif, Poso: Meski lolos dari maut, Kepala Kepolisian Resort Poso, Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Rudy Sufahriyadi terserempet peluru di bagian kepalanya.

Kepada wartwan di Poso, Rudy menuturkan, penembakan dirinya terjadi Rabu sekitar pukul 04.30 Wita. Saat itu, ia bersepeda motor menuju Masjid Raya Poso untuk menunaikan salat Subuh.

Di perempatan Jalan P. Sumatera dan P. Natuna, ia mengaku berpapasan dengan pengendara sepeda motor yang berboncengan. Dalam jarak 20 meter, kata dia, pengendara sepeda motor yang kemudian diketahui Yamaha RX King itu mematikan lampu.

Melihat itu, Rudy mengaku punya firasat buruk. Ia lalu tancap gas dan berhenti tiba-tiba. Seorang yang menggunakan pakaian ala ninja mengarahkan senjata ke arahnya dan langsung menembak.

Rudy mampu menghindar dan tembakan itu meleset. "Hanya sekitar 30 centimeter dari bagian kiri kepala saya," kata dia.

Setelah menembak, pelaku langsung melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor. Namun dalam jarak 50meter penembak misterius itu berhenti melihat dari jauh ke arah Rudy. "Mungkin ia memastikan apakah saya kena tembak atau tidak," ujarnya.

Rudy lalu pulang ke rumah dinasnya mengambil senjata. Ia juga memerintahkan anak buahnya untuk mengejar pelaku. Ia pun mengaku tetap pergi ke masjid.

Komandan Satgas Poso Brigjen Bambang Suwedi menengarai, penembakan ada kaitannya dengan gencarnya kepolisian membongkar kasus korupsi dana pengungsi Poso. Darlis

Jaksa Agung Tetap Eksekusi Tibo
Jum'at, 03 Pebruari 2006 17:01 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan tetap mengeksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu. Sebab semua proses hukum telah dilalui, termasuk permintaan grasi mereka yang ditolak presiden.

Ia menilai upaya Tibo dan kawan yang mengungkapkan keterlibatan 16 orang lainnya, hanya trik untuk menunda eksekusi. “Kenapa tak dikeluarkan sewaktu di pengadilan. Ini trik untuk menunda-nunda eksekusi,” kata Rahman kepada pers, kemarin.

Soal 16 orang itu, Kejaksaan Agung sepakat menyerahkan ke polisi untuk memeriksa mereka. Tibo dan kawan-kawan dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan dalam kasus kerusuhan Poso. Dian Yuliastuti

Thursday, February 02, 2006

Keluarga Tibo cs Laporkan 16 Pelaku Kerusuhan Poso
Kamis, 02 Pebruari 2006 08:15 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Keluarga Tibo, Domingus, dan Marianus terpidana mati kasus kerusuhan Poso melaporkan enam belas orang yang diduga sebagai pelaku kerusuhan di Sulawesi Tengah, ke Markas Besar Kepolisian RI, Rabu (1/2). Mereka didampingi Tim Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia.

Enam belas orang yang dilaporkan itu adalah; Janes Simangunsong, Paulus Tungkanan, Angky Tungkanan, Lempa Delly, Erik Rombot, Yahya Patiro, Sigilipu, Ladue, Obed, Sarjun, herry banibi, Guntur Taridji, Ventje Angkaw, Theo Mandayo, Son Ruagadi,dan Bate Lateka.

Disamping melaporkan enam belas nama itu, kehadiran keluarga terpidana mati ke Mabes polri ini untuk meminta pihak penegak hukum agar segera mengusut tuntas otak dan pelaku kerusuhan Poso yang sebenarnya. “Kami yakin bahwa Tibo, dan kedua temannya yang saat ini ditahan bukanlah pelaku yang utama seperti yang dituduhkan,” kata Roy Rening dari Pelayan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia yang mendampingi ketiga keluarga terpidana mati kasus Poso.

Enam belas nama yang dilaporkan ke Mabes tersebut, tergabung dalam sebuah kelompok dengan nama “Kelompok Merah”. Dari nama-nama itu, menurut Roy dua diantaranya sangat mencolok, dan terindikasi kuat terlibat dalam kasus Poso tahun 2000 lalu.

Mereka adalah Janis Simangunsong, dan Paulus Tungkanan yang bertindak sebagai provokator kerusuhan pada sekitar pertengahan Mei 2000. “Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, saudara Tibo Cs hanyalah merupakan kambing hitam dari permainan aktor intelektual keenam belas orang tersebut,” kata Roy. (Erwin Dariyanto)

Tibo Cs Beber 16 Nama Otak Kerusuhan Poso
Komentar, 2 Feb 2006

Keluarga terpidana kerusuhan Poso, Tibo cs, Rabu (01/2) kemarin, menyerahkan tiga bundel dokumen kepada Mabes Polri. Dalam dokumen tersebut terdapat 16 nama sebagai otak kerusuhan Poso Jilid III, Mei 2000 silam.

“Mereka oleh warga Poso dikenal dengan nama kelom-pok merah,” kata Roy Rening usai memberikan laporan kepada Bareskrim Mabes Polri, Jln Trunojoyo, Jakarta Selatan. Roy sendiri merupakan koor-dinator pengacara tiga terpi-dana mati kasus kerusuhan Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu.

Tim pengacara dari Pelaya-nan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indo-nesia ini menyampaikan 16 nama tersebut kepada Kaba-reskrim Mabes Polri Komjen Pol Makbul Padmanegara.

Ke 16 orang tersebut adalah Janis Simangunsong, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Delli, Erik Rombot, Yahya Patiro, Sigilipu, Ladue, Obet Tampay, Sarjun, Heri Banidi, Guntur Saridji, Ventje Angkau, Theo Mandayo, Son Ruwagadi, dan Base Lateka.

Roy menceritakan keterkait-an antara Janis dengan Tibo dalam kerusuhan tersebut. Dituturkan, pada pertengahan Mei 2000, Janis yang mengaku sebagai utusan dari Tentena mendatangi Tibo di Morowali dan mengatakan Gereja Kato-lik Santa Theresia di Poso akan dibakar, selain itu pastor serta anak-anak penghuni panti asuhan akan dibunuh oleh kelompok putih.

Tibo yang anaknya berada di panti asuhan langsung menuju Poso bersama Marinus dan Do-minggus serta yang lainnya hingga saat terjadinya keru-suhan. “Karena kerusuhan ter-sebut, mereka tidak bisa kem-bali, karena dihadang pasu-kan. Akhirnya mereka terpeta konflik dalam kasus ini,” tuturnya.

Roy menambahkan, ada upa-ya untuk melibatkan kaum transmigran oleh otak kerusu-han dalam konflik Poso ini. “Tibo itu transmigran dari NTT dan tinggal di Morowali telah 30 tahun. Dia itu petani dan jempolnya putus. Bagaimana dia pegang parang untuk mem-bunuh?” cetus Roy seperti dilansir detik.com.

Ketika ditanya wartawan, apakah ada aparat keamanan yang terlibat dalam kerusuhan, Roy membenarkan hal itu. Namun dia tidak bersedia menjelaskan apakah berasal dari TNI atau Polri. “Ada indikasi ke arah situ. Dari dokumen yang kami sampai-kan, pokoknya aparat keaman-an,” ungkapnya singkat.(dtc/kcm)

16 Nama yang Dibeber Tibo Cs:
Janis Simangunsong
Paulus Tungkanan
Angki Tungkanan
Lempa Delli
Erik Rombot
Yahya Patiro
Sigilipu
Obet Tampay
Ladue
Sarjun
Heri Banidi
Guntur Saridji
Ventje Angkau
Theo Mandayo
Son Ruwagadi
Base Lateka.

Wednesday, February 01, 2006

Petrus terus beraksi di Poso: Kapolda Minta Masyarakat Sulut Tidak Resah
Komentar, 28 January 2006

Kapolda Sulut brigjen Pol Drs Alexsius Gordon Mogot kem-bali mengingatkan agar masyarakat Sulut jangan tepancing apalagi merasah resah dengan kasus-kasus Penembakan Miterius (Petrus) di Kabupaten Poso, Sulteng.

“Apa yang selama ini telah terbina di Sulut kiranya dijaga dan dipupuk terus, sebab kedamaian itu mahal har-ganya, dan kami selaku aparat keamanan di daerah ini akan terus mengoptimalkan tugas dan fungsi kepolisian di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan rasa nyaman kepada masyarakat Sulut,” ujar jenderal Mogot melalui juru bicara Polda Sulut, AKBP Budhy Wibowo Sumantri saat ditemui Komentar, di ruang kerjanya Jumat (27/01) kemarin.

Dikatakannya, guna me-ngantisipasi hal-hal yang tidak diingingkan bersama, Polda Sulut dan jajaran tak henti-hentinya melakukan pemeriksaan berlapis di pintu-pintu masuk ke daerah ini.

“Selain mengoptimalkan kinerja angota-anggota di lapangan, Polda Sulut dan jajaran juga terus mening-katkan pengamanan di wi-layah-wilayah perbatasan, guna mengantisipasi larinya oknum-oknum pengacau dari daerah-daerah yang dilanda konflik horisontal,” ungkap Wibowo, seraya menyarankan kepada seluruh masyarakat Nyiur Melambai agar terus meningkatkan kewaspadaan dan langsung melaporkan kepada pihak yang berwajib jika melihat seseorang mencurigakan yang gerak- geriknya.(oan)