Saturday, April 29, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Agung Tak Setuju Eksekusi Tibo Ditunda

[JAKARTA] Harapan banyak kalangan, untuk menunda eksekusi mati Tibo cs, demi pengungkapan masalah sebenarnya di balik kerusuhan Poso III, dinilai Ketua DPR Agung Laksono merupakan upaya intervensi terhadap proses hukum.
"Jangan sampai wajah hukum kita tambah compang-camping," ujarnya, Jumat (28/4), dalam perjalanan pesawat dari Bali ke Jakarta. Setelah, Kamis (27/4), berkunjung ke lokasi penambangan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua.
Segera dieksekusinya Tibo cs, bahkan dinyatakan dia sebagai bukti adanya kepastian hukum. Seluruh proses hukum yang panjang, sudah diberikan pada Tibo cs. Demikian juga permintaan peninjauan kembali (PK), hingga permohonan grasi pada presiden.
Menurutnya, dengan telah selesainya semua proses hukum, sudah ada keputusan tetap, maka eksekusi harus segera dilaksanakan. "Tidak boleh ada intervensi," katanya. Hasil proses hukum, dinyatakan Agung, telah menyatakan Tibo terbukti bersalah.
Alasan menunda eksekusi Tibo, karena dirinya saksi kunci, dalam upaya pengungkapan para aktor sebenarnya kerusuhan Poso III, dinilai Agung sudah tidak pada tempatnya. "Harusnya diungkapkan dalam proses persidangan," ucapnya. [B-14]
Last modified: 29/4/06

Friday, April 28, 2006

Dominggus Cs Tetap Minta 10 Orang Temani Mereka
28 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/index.php?q=news&id=965

Tuesday, April 25, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Eksekusi Mati Tibo Cs Harus Ditunda

Denny Kailimang
uru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengimbau pihak kejaksaan agar menunda eksekusi tiga terpidana mati kasus Poso III, Fabianus Tibo, Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva. Namun kejaksaan, tampaknya, sudah menunjukkan sikap tetap akan mengeksekusi mereka.
Gelombang demonstrasi dari berbagai kalangan pun meminta agar eksekusi di hadapan regu tembak nantinya, ditunda. Berbagai unjuk rasa bahkan mendesak agar penegak hukum mengusut siapa actor intelektual di balik peristiwa yang amat mengoyak nilai-nilai kemanusiaan itu.
Sebaliknya, kelompok lainnya meminta agar pelaksanaan hukuman mati terhadap ketiga terpidana segera dilakukan. Mereka beralasan, putusan hukum itu harus segera dilaksanakan tanpa perlu dicampuri dengan berbagai pertimbangan non yuridis.
Memang ada ungkapan, hukum tetap harus ditegakkan kendati langit runtuh. Namun, pertanyaan yang mendasar adalah, bagaimana bila ketiga terpidana sudah divonis mati, namun di kemudian hari terungkap fakta-fakta yuridis yang bisa mengubah putusan badan peradilan sebelumnya.
Ketentuannya sudah jelas, bahwa pengajuan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa tidak menunda eksekusi. Namun, dalam kasus Tibo cs yang dihadapi adalah nyawa manusia.
Bila seorang terpidana sudah dieksekusi mati, apapun hasil dari upaya hukum itu tidak akan bisa mengembalikan nyawa si terpidana. Tentu berbeda dengan eksekusi sebuah objek sengketa, misalnya sebuah bangunan. Meski dirobohkan, tapi sebuah bangunan dapat dirancang dan dibuat kembali, bahkan bisa lebih bagus dari bangunan sebelumnya.
Djoko Sarwoko yang sehari-hari adalah hakim agung mempunyai penjelasan mengapa eksekusi atas ketiga terpidana mati itu perlu ditunda. Pertama, untuk lebih baiknya, agar jaksa lebih aman, sebaiknya eksekusi jangan di-laksanakan sebelum PK kedua Tibo cs diputus. Karena tidak bisa dibayangkan, seandainya PK kedua ini bisa diterima tetapi pemohon PK sudah dieksekusi mati.
Kedua, pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya, karena KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan UU No 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung mengatur bahwa PK hanya boleh satu kali diajukan.
Ketiga, karena tidak bisa menolak, maka prosesnya sesuai dengan permohonan PK. Contoh, perkara Pilkada Depok, meski untuk sengketa pilkada ditentukan putusan Pengadilan Tinggi bersifat final, tetapi Mahkamah Agung bisa memeriksa dan memutus lagi. Hakim harus memeriksa dengan menggunakan prosedur PK.
Kuasa hukum Tibo cs, Petrus Selestinus bahkan mengharapkan kepada MA tidak sebatas mengimbau saja pihak kejaksaan untuk menunda eksekusi Tibo cs, namun sebaiknya lembaga peradilan tertinggi itu harus mengeluarkan penetapan.
Pro dan Kontra
Terlepas dari pro dan kontra, bahwa eksekusi mati harus dilaksanakan karena semua proses hukum telah dilewati, tetapi kenyataan PK kedua Tibo cs, telah diterima dan diperiksa oleh Pengadilan Negeri Palu dan telah dikirim ke Mahkamah Agung.
PK kedua Tibo cs telah diterima dan diperiksa oleh Pengadilan Negeri Palu berdasarkan ketentuan Pasal 265 KUHAP, di mana telah ditunjuk hakim guna memeriksa permohonan PK kedua tersebut, di mana dalam pemeriksaan menurut Pasal 265 (2) KUHAP, pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
Pasal 265 (3) KUHAP, selanjutnya menyatakan atas pemeriksaan dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan kemudian dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
Ketua Pengadilan, telah melanjutkan permintaan PK kedua Tibo cs dengan mengirim Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Pendapat yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera dengan dilampirkan Berkas Perkara Tibo cs ke Mahkamah Agung di mana tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada jaksa.
Sekarang Mahkamah Agung, telah membentuk majelis hakim yang memeriksa permohonan PK Kedua Tibo cs. Ada lima hakim agung dipimpin Wakil Ketua MA bidang Yudisial Mariana Sutadi yang memeriksa permohonan tersebut.
Apakah Kejaksaan harus mengeksekusi mati Tibo cs, sedangkan proses pemeriksaan permohonan PK kedua Tibo cs telah di Mahkamah Agung dan telah ditunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa permohonan PK kedua para terpidana itu? Seharusnya jaksa menunda eksekusi mati Tibo cs sampai ada putusan atas permohonan PK kedua Tibo cs.
Penundaan eksekusi mati Tibo cs tidak perlu dengan penetapan Mahkamah Agung karena dalam KUHAP dikenal asas bahwa pengawasan atas pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua Pengadilan Negeri. Jadi, dengan diterimanya permohonan PK kedua Tibo cs, dan dilakukannya pemeriksaan di Pengadilan Negeri Palu, dan dibuatnya berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat, adalah sebagai wujud dari asas hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan.
Tidak adanya peraturan perundangan-undangan mengenai permohonan kedua kali upaya hukum luar biasa berupa PK, tidak berarti hakim dengan serta merta langsung menolaknya. Hakim pun, meski menegakkan hukum berdasarkan kitab undang-undang tapi juga layak menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Hakim dan badan peradilan bukanlah lembaga yang berdiam di menara gading, tanpa menghiraukan aspirasi masyarakat berikut nilai-nilai keadilan yang ada di dalamnya.
Dan dengan dilanjutkannya pengiriman berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat berikut berkas perkara ke Mahkamah Agung, dengan disampaikannya tembusan surat pengantarnya kepada jaksa, maka jaksa tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan. Karena, ketua Pengadilan Negeri sebagai pengawas telah memberitahu jaksa bahwa terhadap perkara Tibo cs, ada permohonan PK kedua dan hasil pemeriksaan dan berita acara pendapat telah dikirim ke Mahkamah Agung, di mana tembusan disampaikan kepada jaksa.
Dengan adanya pemberitahuan ketua Pengadilan Negeri Palu kepada jaksa sesuai ketentuan Pasal 265 (4) KUHAP bahwa permintaan PK kedua Tibo cs telah dikirim ke Mahkamah Agung yang disertai dengan Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Pendapat yang ditandatangani Hakim dan Panitera, maka Jaksa harus tunduk dan taat atas apa yang diberitahukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Palu selaku pengawas pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana, oleh karenanya jaksa harus menunda eksekusi mati Tibo cs, sampai ada pemberitahuan lebih lanjut dari Ketua Pengadilan Negeri Palu berupa pengiriman salinan surat putusan PK kedua Tibo cs yang dilaksanakan oleh panitera.
Penulis adalah advokat, tinggal di Jakarta
Last modified: 24/4/06

Sunday, April 23, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Hak Hidup dan Hukuman Mati

Hendardi
Kasus yang dialami Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu yang didakwa dalam perkara kerusuhan Poso, telah dijatuhi hukuman mati melalui pengadilan yang sejak awal mengundang kontroversi mengenai keterlibatan ketiganya dalam peristiwa yang didakwakan tersebut.
Pertama, mereka kini tinggal menunggu eksekusi setelah pengadilan telah menjatuhkan hukuman mati. Kedua, pengacara terdakwa telah membawa bukti baru dalam peninjauan kembali (PK) yang menyangkal keterlibatan terdakwa. Ketiga, terlepas dari apa pun kesalahan yang dapat dibuktikan, hukuman mati bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Penting untuk dipersoalkan mengenai hukuman mati yang masih diberlakukan dalam penegakan hukum di Indonesia. Kasus Tibo dan kawan-kawan adalah yang paling mutakhir dimana pengadilan telah memutuskan hukuman mati.
Terlepas dari apakah mereka sebagai terdakwa telah dibuktikan bersalah atau tidak, sejumlah kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hak-hak asasi manusia, perempuan dan warga lainnya yang bersimpati, telah mengeluarkan pernyataan dan kampanye untuk menentang hukuman mati.
Jika kita berpegang pada prinsip dan norma hak-hak asasi manusia, hukuman mati memang harus ditolak atau dihapuskan, karena ia bertentangan dengan prinsip dan norma tersebut. Apa yang disuarakan kalangan LSM dan warga sipil itu, sangatlah tepat. Betapapun beratnya tindak pidana yang didakwakan atas seseorang, seharusnya hukuman mati diakhiri.
Bagaimana hal itu mesti dijelaskan? Pertama, negara bukan saja harus menghormati dan melindungi hak untuk hidup (the right to life), tapi juga menjamin pelaksanaan penegakan hukum yang tak merengut hak tersebut. Negara harus menjamin hak setiap orang untuk hidup tanpa merenggutnya dalam penegakan hukum pidana.
Kedua, dalam prinsip hak-hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak terenggutkan (non-derogable right), tak boleh dicabut dalam keadaan apa pun. Pencabutan hak ini tidak diperkenankan bukan saja dalam keadaan perang, apalagi dalam keadaan damai.
Ketiga, hak untuk hidup adalah hak yang melekat di dalam diri (right in itself) setiap orang. Hidup menyatu dengan tubuh manusia atau setiap orang. Merenggutnya berarti mengakhiri hidup seseorang. Pada titik yang mengerikan inilah hidup seseorang sebagai manusia berakhir.
Keempat, hak untuk hidup paling ditekankan untuk dihormati dan dilindungi oleh semua Negara sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi RI. Hak ini juga dilindungi dalam Pasal 28A UUD 1945 serta Pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Penghormatan dan perlindungan bukan saja bersumber dari prinsip dan norma hak-hak asasi manusia internasional, tapi juga telah menjadi bagian dari ketentuan hukum nasional. Negara berkewajiban melindungi dan menjamin setiap orang agar dapat menikmati hak untuk hidup.
Hukuman Mati
Dalam kasus yang dialami Tibo dan kawan-kawan mencerminkan kehendak aparat yang berwenang untuk menggunakan pidana mati dalam menangani perkara kejahatan. Langkah ini tampaknya berlawanan dengan kecenderungan internasional yang hendak menghapuskan atau mengurangi jumlah kasus kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati.
Dalam Protokol Opsional II Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik jelas menyerukan semua negara yang belum meratifikasinya untuk menghapuskan hukuman mati. Penghapusan ini dipandang dapat meningkatkan martabat dan pengembangan hak-hak asasi manusia secara progresif.
Selain kasus Tibo dan kawan- kawan, pidana mati juga dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan yang bertalian dengan pembunuhan, kejahatan menentang keamanan Negara, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta narkoba. Belakangan bertambah penggunaan pidana mati yang terkait dengan kejahatan terorisme. Seruan untuk menjatuhkan pidana mati juga sempat dilontarkan dalam kasus penebangan kayu illegal dan korupsi.
Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan pemenuhan. Tindakan ini menebas hidup yang hanya dalam diri seseorang yang tak pernah bias tersembuhkan atau tergantikan.
Hukuman mati persis menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup. Pidana mati dianggap sebagai hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia. Hukuman ini jelas melanggar hak untuk hidup. Eksekusi mati memang pelanggaran serius oleh negara betapa pun seriusnya perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Jika UUD dan UU HAM melindungi hak untuk hidup bagi setiap orang, seharusnya UU lainnya mematuhi perintah yang terdapat di dalamnya. Tapi persoalannya justru masih banyak ketentuan pidana yang tidak konsisten atau bertentangan dengan UUD dan UU HAM tersebut. Bahkan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik sama tak konsistennya dengan ketentuan pidana mati.
Dalam sistem peradilan pidana, penerapan hukuman mati dapat berbuah kegagalan yang tak mungkin diperbaiki. Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan masalah "mafia peradilan" dan kelemahan lainnya yang masih melekat dalam sistem peradilan di Indonesia. Ini berarti kegagalannya dalam memenuhi standar internasional sebagai peradilan yang jujur dan independen.
Sejumlah kasus dalam peradilan pidana, persoalan yang dihadapi terdakwa adalah akses pada pengacara. Bagi warga asing, menghadapi kesulitan akses untuk mendapatkan penerjemah. Selain itu, telah menjadi kebiasaan dan praktek penyiksaan atas tersangka dan terdakwa yang bertentangan dengan UU No 5/1998 Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Dengan menyimak masih adanya ketentuan pidana mati dan kelemahan sitem peradilan, setiap orang yang dijatuhi hukuman mati perlu mengajukan grasi kepada presiden. Ketika grasi diajukan sudah seharusnya aparat yang berwenang menunda eksekusi sampai presiden memutuskan apakah memberikan grasi atau tidak.
Penulis Adalah Ketua Majelis Anggota PBHI dan Pendiri Setara Institute
Last modified: 18/4/06

Tibo Cs Dibawa ke Mahkamah Kejahatan Internasional
23 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/index.php?q=news&id=899

Tibo Cs Dibawa ke Mahkamah Kejahatan Internasional
23 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/index.php?q=news&id=899

Tolak Eksekusi Tibo Cs, Doakan Presiden SBY!
Komentar, 22 April 2006

Sekitar 20 orang dari Aliansi Solidaritas untuk Tibo cs ber-demo di Istana Merdeka. Mas-sa mengusung spanduk berisi sejuta tanda tangan untuk terpi-dana mati kasus kerusuhan Po-so. Dukungan menolak ekse-kusi mati Tibo cs dibubuhkan lewat tanda tangan di atas dua spanduk putih sepanjang 50 meter dan 100 meter. Spanduk tersebut bertuliskan “Tolak Ek-sekusi Tibo Cs, SBY-JK Penjilat.”Masyarakat yang menolak eksekusi mati Tibo cs ini mem-bubuhkan tanda tangan leng-kap dengan mencantumkan na-ma mereka. Dalam orasi, mas-sa meminta agar pemerintah membatalkan eksekusi.Tidak ada poster yang digelar. Setelah puas berorasi sejak pukul 11.00 WIB, massa berge-rak melanjutkan aksi ke Ge-dung Mahkamah Agung (MA). Sementara itu, umat Kristiani diminta mendoakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan aparat penegak hu-kum yang menangani kasus ke-rusuhan Poso yang melibatkan tiga terpidana mati, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Do-minggus da Silva, agar kasus hukum ini memperoleh pertim-bangan yang benar dan adil.Umat Kristen juga diminta ti-dak melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Apa pun hasil akhir dari proses hukum Tibo cs, harus diterima dengan kepala dingin dan lapang dada. Harapan itu disampaikan Ke-pala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) Kabupaten Nga-da, Drs Yohanes Wage.Wage mengatakan, di dunia ini tidak ada agama manapun yang menyetujui adanya hukuman mati terhadap manusia. Karena mati hidup dan napas manusia tidak berada di tangan manusia tapi berada di tangan Tuhan. Meski demikian, manusia yang hidup di muka bumi ini diatur oleh aturan hukum yang ber-laku di masing-masing negara sehingga harus tunduk kepada aturan hukum dan proses hu-kum yang berlaku. Namun hen-daknya proses dan keputusan hukum haruslah benar-benar memihak pada kepentingan ma-nusia akan rasa keadilan dan kebenaran. “Warga negara yang baik harus taat pada ketentuan hukum yang berlaku. Tapi hal itu bukan berarti proses hukum yang ada harus mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran,” katanya.(gtr/cpc)

Saturday, April 22, 2006

Kamis, 13 April 2006
Eksekusi Tibo Tergantung Situasi Jaksa Agung Tolak Kedatangan Pengacara Tibo

JAKARTA- Tiga terpidana kerusuhan Poso Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva untuk sementara bisa bernapas lega. Ini menyusul sikap Kejagung yang melunak dengan menunda eksekusi Tibo dkk hingga suasana menjadi kondusif.
‘’Saya tidak mengatakan ditunda tetapi menunggu waktu yang tepat (untuk mengeksekusi Tibo). Tentunya banyak pertimbangan. Saya lihat Kajati dan Kapolda Sulteng ingin menunggu situasi yang kondusif,’’ kata JAM Pidum Prasetyo yang ditemui di Gedung Kejagung Jakarta kemarin.
Apa definisi suasana kondusif, apakah terkait pro kontra eksekusi Tibo dkk? Mantan Kepala Kejati Sulsel itu menolak menjelaskan detail. ‘’Saya kira Anda sudah tahu,’’ jawab Prasetyo tanpa menjelaskan kapan terjadinya situasi kondusif.
Yang pasti, eksekusi Tibo dkk harus dilaksanakan mengingat tugas kejaksaan adalah menegakkan keadilan. ‘’Keadilan harus ditegakkan. Keadilan harus diberikan kepada semua pihak. Dan, kejaksaan mewakili kepentingan (keadilan) masyarakat,’’ jelas Prasetyo.
Lebih lanjut Presetyo menjelaskan koordinasi Kejati Sulteng selaku pimpinan eksekusi sesuai UU No 2/Pnps/1964 dengan kepolisian setempat tidak terganggu dengan pemeriksaan 16 nama yang dituding Tibo terlibat kerusuhan Poso. Ini karena yang dilakukan penyidik kepolisian adalah mencari kebenaran semata.
‘’(Pemeriksaan) itu bisa dilakukan bahkan Kapolda sudah mempertemukan dengan salah satu nama yang juga mantan pejabat di situ (Poso),’’ jelasnya. Akan tetapi, dari perkembangan terakhir, Tibo ternyata tidak mengenalinya.
Terkait keinginan Tibo mengajukan grasi kedua, Prasetyo menegaskan hal itu tidak memungkinkan terkecuali hingga dua tahun sejak diterimanya grasi pertama yang bersangkutan tidak dieksekusi. ’’Kalau sekarang tidak ada grasi kedua,’’ beber Prasetyo.
Sementara itu, pengacara Tibo, Alamsyah Hanafiah kemarin berusaha menemui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk menanyakan kepastian penundaan eksekusi kliennya.
Akan tetapi, niat tersebut bertepuk sebelah tangan. Alamsyah gagal menemuinya karena Arman (sapaan Abdul Rahman Saleh) sedang menggelar pertemuan penting di kantornya. ‘’Rencananya ketemu Pak Jaksa Agung tetapi belum janjian. Karena yang bersangkutan sibuk ya nggak apa-apa (tidak bertemu),’’ jelas Alamsyah yang tiba di Gedung Kejagung pukul 14.30.
Alamsyah menegaskan penundaan eksekusi Tibo merupakan pilihan tepat. Selain mengakomodasi aspirasi masyarakat, langkah tersebut untuk mencari kebenaran material terkait siapa saja yang terlibat kerusuhan Poso. Juga, untuk mencari novum untuk kepentingan PK (peninjauan kembali) perkara kliennya. ‘’Eksekusi Tibo menunggu hingga berakhirnya pemeriksaan 16 nama di kepolisian. Nah, kalau Tibo memang terbukti baru eksekusi baru dilakukan. Sebaliknya kalau Tibo tidak terbukti, eksekusi tidak bisa dilaksanakan,’’ ungkap Alamsyah.
Lebih jauh Alamsyah menyatakan kliennya tetap mengajukan grasi kepada Presiden SBY kendati kejaksaan menyalahi prosedur. Menurutnya, grasi kali ini diajukan keluarganya. ‘’Keluarga Tibo tetap mengajukan grasi Tibo ke Presiden,’’ tegas pengacara berambut gondrong ini.
Rencana eksekusi Tibo dkk belakangan mengundang kontroversial. Kejagung tetap mengeksekusi. Sebaliknya, kubu Tibo dkk menegaskan bahwa eksekusi tersebut akan memperburuk proses recovery Poso paska kerusuhan.
Sejumlah tokoh juga mengajukan penolakan eksekusi. Pernyataan tersebut disampaikan para tokoh lintas agama yang diantaranya KH Arifin Assegaf (Ketua MUI Sulut), Mgr Josef Suwatan (Uskup Manado), dan Pdt Nico Gara (Universitas Kristen Indonesia Tomohon). Bahkan, surat keberatan juga ditangatangani mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan mantan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Sekadar mengingatkan, proses hukum terhadap Tibo dkk berjalan sangat panjang. Sejak akhir 2000 mereka mulai menjalani pemeriksaan di PN Palu, dengan menghadirkan sekitar 20 orang saksi dan 19 di antaranya memberatkan.
Setelah menjalani pemeriksaan berbulan-bulan, pada Maret 2001 Majelis Hakim PN Palu diketuai Darmono SH dengan anggota Ferdinandus PN dan Taksin SH menjatuhi vonis pidana mati. Putusan ini diputuskan majelis hakim mengingat Tibo dkk terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana, pembakaran, dan penganiayaan berat terhadap banyak manusia tak berdosa saat kerusuhan Poso bernuansa SARA bergolak pertengahan 2000.
Sekitar dua bulan kemudian, tepatnya 17 Mei 2001, PT Sulteng mengeluarkan putusan menolak upaya hukum banding yang diajukan ketiga terpidana ini sekaligus menguatkan putusan PN Palu.
Pada 11 Oktober 2001, MA kembali menolak permohonan kasasi Tibo dkk sambil meneguhkan putusan dua pengadilan di tingkat bawah, dan terakhir lagi-lagi majelis hakim lembaga peradilan tertinggi itu dalam persidangannya pada 27 Februai 2004 menolak upaya hukum PK yang diajukan Tibo dkk.
Sesuai UU No 22/2002 tentang Grasi, para terpidana kemudian mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden dan berharap akan ada perubahan, peringanan, pengurangan, serta penghapusan pidana yang telah dijatuhkan. Presiden sendiri pada 13 April 2005 sudah menolak permohonan grasi mereka.
Kerusuhan Poso yang mencapai klimaksnya pertengahan 2000 mengakibatkan lebih 1.000 orang terbunuh dan hilang. Korban terbanyak adalah warga kompleks Pesantren Walisongo di Kelurahan Sintuwu Lembah, sekitar sembilan kilometer selatan kota Poso.
Peran Tibo dkk saat pecah kerusuhan di Poso bersamaan waktunya dengan penyelenggaraan MTQ Nasional ke-19 di Palu disebut-sebut oleh banyak saksi di pengadilan "in fact" sebagai aktor penggerak di lapangan, selain membunuh dengan tangannya sendiri banyak manusia dengan cara sadis.(agm)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Elemen Masyarakat di Poso Desak Tibo cs Dieksekusi

[PALU] Sekitar 600 warga Poso dan Palu yang menyatakan diri sebagai korban kerusuhan Poso, Jumat (21/4) berunjuk rasa ke kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah (Sulteng). Mereka menuntut ketiga terpidana mati kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu segera dihukum mati sesuai vonis.
Para pengunjuk rasa sebagian besar datang dari Poso sejak Kamis (20/4) dengan naik truk, bus serta sepeda motor. Pada Jumat pagi sekitar pukul 09.00 Wita, pengunjuk rasa asal Poso itu berkumpul di perguruan Unismuh Jl Hang Tuah Palu, kemudian dengan membawa berbagai pamflet dan spanduk berkonvoi menuju kantor Kejati Sulteng. Mereka berkonvoi dengan jalan kaki serta sebagian naik kendaraan roda empat.
Setelah mendengar aspirasi para pengunjuk rasa, Kajati Sulteng M Yahya Sibe menegaskan bahwa pihak kejaksaksaan selaku eksekutor samasekali tidak pernah membicarakan soal rencana penundaan eksekusi mati terhadap ketiga terpidana.
Yahya menegaskan di hadapan wakil demonstran yang berjumlah 20 orang , bahwa eksekusi mati tetap akan dilaksanakan hanya tinggal menunggu waktunya.
Di tempat yang sama Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno menyatakan pemeriksaan terhadap 16 nama yang diduga sebagai dalang kerusuhan Poso juga akan terus dilakukan, agar kasus Poso bisa tuntas.
Kasus pembunuhan warga pada kerusuhan Poso Mei 2000 atau yang dikenal dengan peristiwa Walisongo dan Buyungkatedo, kata Kapolda, juga akan diungkap siapa pelakunya dan jika terbukti akan dikenakan sanksi sesuai aturan hukum yang berlaku. [128]
Last modified: 21/4/06

Thursday, April 20, 2006

Tibo Dkk Ungkap Keterlibatan Majelis Sinode GKST
kompas online, 15 april 2006

http://www.kompas.com/utama/news/0604/15/202106_.htm

Presiden: Hukuman Mati Bukan Keputusan Politik
Kompas online, 17 April 2006

http://www.kompas.com/utama/news/0604/17/124011_.htm

Frans Magnis Suseno Kunjungi Tibo Dkk
Kompas online, 17 April 2006

http://www.kompas.com/utama/news/0604/17/193746_.htm

FPI Poso Tuntut Eksekusi Tibo dkk Dilaksanakan
kompas online, 20 april 2006

http://www.kompas.com/utama/news/0604/20/183520.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY
Eksekusi Mati Tibo Cs, Kejaksaan Tidak Gubris Permohonan MA

[JAKARTA] Kejaksaan Agung tidak menggubris permintaan Mahkamah Agung (MA) untuk menunda eksekusi Tibo Cs karena belum diputuskannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua yang diajukan kuasa hukum Tibo Cs.
"Kami tetap mengacu pada Pasal 268 ayat 3 KUHAP bahwa kita hanya mengenal satu kali pengajuan PK. Jadi prosedur hukum di negara kita, tidak ada PK kedua. Karena itu kami tetap akan mengeksekusi Tibo Cs," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Masyhudi Ridwan kepada Pembaruan di Jakarta, Rabu (19/4).
Dia menjelaskan, MA menerima PK kedua Tibo Cs karena mengacu pada Undang-Undang Kehakiman. Dalam UU itu memang MA tidak boleh menolak perkara yang masuk. "Tetapi kami yakin, MA pasti akan menolak PK kedua itu. Sebab kalau menerima, jelas langkah MA itu bertentangan dengan KUHAP," tambah Masyhudi.
Namun kejaksaan tidak akan mencampuri terlalu jauh urusan MA. Keputusan MA menerima perkara PK kedua itu adalah hak MA. Tetapi Kejaksaan tetap dengan prosedur hukum yang berlaku. "Kalau sekarang eksekusi tertunda dan belum dilakukan, itu tidak terkait dengan PK kedua. Tetapi masih ada faktor lain yang bersifat teknis antara Kejaksaan Tinggi dan Kapolda Sulawesi Tengah. Ada sejumlah syarat-syarat yang belum lengkap. Kalau sudah lengkap tentu pelaksanaan eksekusi langsung dilakukan," papar Masyhudi.
Sebelumnya Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko mengatakan, MA sudah membentuk majelis hakim untuk menangani permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua yang diajukan oleh terpidana mati kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva.
Majelis itu terdiri dari lima orang hakim agung yang diketuai oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Mariana Sutadi. Anggota majelis hakim itu adalah Djoko Sarwoko, Timur P Manurung, Harifin A Tumpa dan Paulus E Lotulung. "Karena ini PK kedua, maka Majelis Hakimnya berbeda dari Majelis Hakim yang menangani kasus ini di tingkat kasasi dan PK pertama," kata Djoko.
Dikatakan, pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA diatur, PK hanya boleh satu kali diajukan. [Y-4/E-8]
Last modified: 19/4/06

Wednesday, April 19, 2006

Herman Herry: Tunda Dulu Eksekusi Tibo
Rakyat Merdeka, 18 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/index.php?q=news&id=869

Tuesday, April 18, 2006

komentar, 18 april 2006
MA minta jaksa tunda eksekusiLotulung Tangani PK Kedua Tibo Cs

Sulut telah secara resmi me-nolak eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo cs, terdakwa kasus kerusuhan Poso. Kini, seorang putra Sulut yang ber-tugas sebagai hakim agung di MA, Prof Dr Paulus Effendi Lo-tulung, dipercayakan sebagai salah satu tim pengadil untuk menangani PK (Peninjauan Kem-bali) ‘part two’ kasus Tibo ini. Lotulung akan bertindak se-bagai majelis hakim bersama empat hakim agung lainnya, yang diketuai Marriana Sutadi. Anggota majelis hakim lainnya adalah Djoko Sarwoko, Timur P Manurung, dan Harifin A Tumpa. Lotulung yang juga Ketua Muda Urusan Peradilan Tata Usaha Negara MA ini adalah pakar hukum tata negara. Pria sederhana ini telah menge-nyam pendidikan hukum di dalam negeri dan luar negeri. Dia tamat dari Fakultas Hu-kum Universitas Airlangga (1970), melanjutkan sekolah di Institut International d’Admi-nistration Punlique Section di Contentiex di Perancis dan melanjutkan sekolah di Uni-versitas Leiden. Dia juga mengenyam pen-didikan pasca sarjana di Universitas Paris I Sorbonne, Prancis dan tamat pada 1980. Di sekolah yang sama juga, pria berkacamatan ini menye-lesaikan doktornya pada 1982. Karirnya sebagai hakim makin meroket setelah pada 1998 dia ditarik sebagai hakim agung. Berbagai kasus besar pernah ditanganinya, termasuk kasus Tommy Soeharto, di mana diri-nya sempat dijadikan target pembunuhan.MA sendiri menyatakan, Lo-tulung cs yang akan mena-ngani PK kedua Tibo, meru-pakan majelis hakim yang tidak sama dengan tim pada PK pertama. “Karena ini adalah PK kedua, susunan majelis tidak sama pada PK pertama. Jadi baru hari ini (kemarin, red) bisa diumumkan,” kata Djoko Sarwoko yang masuk dalam tim majelis hakim, di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (17/04).Djoko yang juga jubir MA mengatakan, PK kedua sudah diterima MA sejak Kamis 13 April lalu. PK tersebut dire-gistrasi dengan Nomor 27 PK/Pid/2006. Menurut Djoko, se-benarnya sudah tidak ada lagi upaya hukum setelah PK pertama. Namun karena kasus Tibo cs mengundang perhatian masyarakat luas dan dunia internasional, MA akhirnya menerima pengajuan PK kedua tersebut.“Kita akomodir bukan berarti kita membenarkan pengajuan PK kedua. Itu karena hakim tidak bisa menolak begitu saja atas perkara yang diajukan kepadanya. Dan ini karena belum ada UU dan ketentuan yang mengatur tentang PK ke-dua,” jelasnya seperti dilansir detik.Dia juga menyarankan kepa-da pihak kejaksaan agar me-nunda eksekusi Tibo cs. Hal itu penting sambil menunggu PK kedua dan grasi Tibo diputus-kan. “Itu biar jaksa lebih aman, karena kalau kita kabulkan orangnya sudah tidak ada, ini kan melanggar HAM,” ujar dia.Meski demikian, ia mengaku sudah ada kasus PK kedua yang dikabulkan MA. PK itu menyangkut kasus Mochtar Pakpahan beberapa tahun lalu. “PK itu (Mochtar Pakpahan) bersifat politis, karena yang mengajukan adalah jaksa. Sedangkan PK hanya bisa diajukan terpidana atau ahli warisnya,” kata dia.(dtc)

Monday, April 17, 2006

komentar, 17 april 2006
Dewan Surati Presiden Soal Eksekusi Tibo Cs

Kamis (13/04) pekan lalu, tiga pimpinan DPRD Sulut yakni Drs Syachrial Damopolii, Djenri Keintjem SH, Rosye Roeroe SSos akhirnya menerbitkan su-rat rekomendasi mengenai ek-sekusi mati Tibo cs. Dalam surat tersebut, urai Sek-wan Drs Vanny Kaparang MAP, DPRD Sulut merespons positif aspirasi sejumlah komponen masyarakat tanggal 12 April lalu yakni meminta agar pelak-sanaan vonis eksekusi mati ter-hadap Tibo cs ditunda dulu. “Hal ini sudah ditindaklanjuti oleh pimpinan dewan. Dewan akan surati presiden dan pe-ngadilan serta institusi lainnya yang bisa melakukan penun-daan pelaksanaan eksekusi Tibo cs,” ujar Kaparang.Namun untuk memastikan apakah surat DPRD Sulut akan sampai ke pihak berkompoten, maka akan diantar langsung oleh staf sekretariat dewan. Ini supaya ada bukti eksepedisi surat sebagai tanda bukti. “Jadi tidak benar kalau pimpinan dewan apalagi saya selaku sek-wan menghalang-halangi aspi-rasi masyarakat Sulut. Kalau toh ada keterlambatan, itu kare-na ada aturan mainnya. Kan setiap institusi ada mekanisme yang harus dilalui dulu,” tan-dasnya dibagian akhir perca-kapan dengan Komentar via ponsel. Di lain pihak, Anggota Dewan Drs Steven Kandow, Edwin Eman SE, Drs Edison Masengi menyatakan salut dengan sikap pimpinan dewan dan sekwan. Soalnya, dengan adanya surat dari DPRD Sulut, maka hal ini akan diketahui secara nasional bahwa Sulut memprotes keras pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo cs. “Bahkan kami harapkan bukan hanya penundaan saja, tapi semoga tidak ada pelak-sanaan eksekusi mati. Ini as-pirasi yang harus diperhatikan oleh presiden,” tambah Drs Edison Masengi.(tru)

komentar, 17 april 2006
Surati langsung Presiden SBY: Gantikan Tibo Cs, Seorang Pastor Siap Divonis Mati

Rencana eksekusi mati atas Fabianus Tibo cs menggugah hati seorang pastor Katolik asal Keuskupan Agung Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang belajar Filsafat di Roma, Italia. Pastor bernama Romo Leo Mali Pr itu menyatakan, siap menggantikan Tibo dan dua temannya untuk dihukum mati. Alasan Romo Leo, ketiga orang itu sama sekali tidak bersalah dan hanya dijadikan tumbal. Sementara para pe-laku sesungguhnya yang memi-liki uang, kuasa dan senjata tetap berpesta pora. “Sebagai seorang anak bangsa, Saya menyerahkan diri dan menyatakan kesediaan untuk dieksekusi menggantikan para tersangka hukuman mati kasus Poso. Saya berharap pilihan ini bisa menjadi monumen pe-ringatan di antara orang-orang yang berkehendak baik di negeri tercinta ini untuk menaruh hor-mat dan membela kehidupan manusia”, tulis Romo Leo Mali dalam suratnya kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 11 April 2006. Romo Leo Mali mengaku mengikuti dengan cermat berbagai kasus keke-rasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia seperti kasus Tanjung Priok, Kerusuhan Mei, Trisakti, Kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Ambon dan Poso. “Kasus Poso adalah sebuah konflik sosial dengan eskalasi besar dalam rentang waktu amat panjang. Konflik ini telah melibatkan banyak pihak dan menelan banyak korban. (Tentang hal ini Bapak Presiden tentu sangat tahu). Namun sayangnya pena-nganan terhadap kasus ini pada akhirnya hanya bisa mene-tapkan tiga orang anak bangsa yang tidak berpendidikan (buta huruf) sebagai tumbal yang ma-lang. Ada pertanyaan yang mengusik saya : “Mengapa Tibo? Mengapa yang kecil selalu dikorbankan?” tulisnya yang dikutip www.glorianet.org.Penanganan kasus ini dan juga kasus kekerasan dan pelang-garan HAM dalam rentang sejarah negeri ini semakin menunjukkan bahwa bangsa ini sedang menjerumuskan dirinya menjadi bangsa yang haus darah. Karena dalam tiap paruhan sejarahnya selalu menghisap darah rakyatnya sendiri. Meski demikian dia yakin masih ada banyak orang yang berkehendak baik di negeri ini untuk me-nyelesaikan masalah kekerasan demi kekerasan itu dengan hati nurani yang jernih.(gnt)

Tempo, Edisi. 08/XXXV/17 - 23 April 2006
Karena Ingin Membongkar Akar

Polisi mulai memeriksa dan memanggil 16 nama yang disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan Poso. Sebagian besar belum menyatakan kesediaan.
SETELAH lama menanti, Fabia-nus Tibo akan dipertemukan dengan Yahya Patiro, yang masuk daftar 16 nama yang disebut-sebut selaku dalang konflik Poso. Pria 61 tahun itu tak menyangka, di ujung harinya menanti maut, keingin-annya untuk bertemu Yahya terkabul. Selasa pekan lalu itu, Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Oegroseno, mengirim kabar akan mengkonfrontasi Tibo dengan Yahya Patiro, mantan Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Poso.
Tepat pukul 10.00, terpidana mati ka-sus- konflik Poso pada Mei-Juni 2000 si-lam- itu sudah menunggu di ruang kerja Ke-pala Lembaga Pemasyarakatan Peto-bo-. Beberapa saat kemudian, Oegroseno- dan dua orang yang tak dikenal Tibo da-tang. ”Kalau bertemu Yahya, apa yang a-kan Anda katakan?” kata Kapolda, me-mecah keheningan ruangan tempat Tibo menunggu. ”Saya akan tuntut dia berbicara soal Poso, karena dia yang mau menjadi Bupati Poso,” kata Tibo, lugas.
Oegroseno kemudian bertanya, apa-kah Tibo mengenal Yahya. Jawaban Tibo mengagetkan Oegroseno. Tibo menyatakan tidak. Ternyata, baik Tibo maupun Yahya, salah satu dari dua orang yang datang bersama Oegroseno, tak saling mengenal. ”Oh, so… ini Yahya Patiro?” Tibo terkesima. ”Saya minta maaf kalau suara saya tadi agak keras.” Tibo menyalami Yahya.
Di luar ruangan, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, dua terpidana mati lain-nya untuk kasus Poso, langsung berteriak-teriak begitu mengetahui ta-mu yang diterima Tibo adalah Yahya. ”Tangkap dia. Dia yang mau merebut Bupati Poso. Dia otaknya,” kata Marinus sambil menunjuk ruang kerja Kepala Lembaga Pemasyarakatan Petobo. ”Dia yang punya ambisi menjadi bupati. Dia harus bertanggung jawab, ” Dominggus menimpali.
Teriakan Marinus dan Dominggus membuat petugas penjara turun tangan. Mereka segera menjauhkan kedua orang itu dari ruang utama hotel prodeo. Berbeda dengan Tibo, kedua orang ini me-ngenal Yahya. Namun, Oegroseno tak mem-pertemukan mereka dengan Yah-ya. ”Sebab, mental Tibo lebih matang dibanding Marinus dan Dominggus,” kata Kapolda.
Selama enam jam Tibo dan Yahya men-jawab 20 pertanyaan yang diajukan -Oe-gro-seno. Tibo sempat menyesalkan si-kap Yahya, yang selama ini dinilainya- ter-tutup. ”Kenapa Bapak selama ini di-am- saja, tidak mau bersuara?” kata Ti-bo.
Ketika konfrontasi berlangsung, Tibo mengeluarkan pernyataan baru yang membuat kening Oegroseno berkerut. Ia meralat 16 nama yang disebutnya sebagai dalang kerusuhan Poso. Menurut Tibo, nama Yahya Patiro bukan datang dari dia. Menurut pria kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur, itu, dia hanya pernah menyebut 10. ”Sedangkan Yahya- saya dengar dari teman-teman yang ada di penjara ini,” ujarnya.
Sepuluh nama versi Tibo itu adalah: Paulus Tungkanan (purnawirawan TNI), Lampadeli (pensiunan pegawai negeri sipil Poso), Ladue (purnawirawan TNI), Erik Rombot (pegawai Kehutan-an), Ventje Angkou-, Son Rungadodi- (gu-ru SD), Angki- Tungkanan, Yanis Simangunsong , Obed Tumpai (pegawai per-hubungan), dan Pendeta Sigilipu. Enam nama lainnya dia peroleh dari Dominggus, Marinus, dan Herry Meng-ka-wa, terpidana 15 tahun penjara untuk- kasus yang sama. Keenam nama itu adalah Theo Manjayo (purnawira-wan TNI), Edi Bunkudapu (pejabat Pe-merintah Daerah Ka-bupaten Poso), Yahya Patiro, Heri Banibi, Sarjuan alias Gode, dan Guntur Tarinje.
Menurut Oegroseno, dia akan melanjutkan pemeriksaan terhadap orang-orang yang memberi daftar nama itu kepada Tibo, Termasuk nama Anca Poerasongka, yang disebut Yahya Pati-ro. ”Saya ingin mengetahui tujuan dari tun-tutan ketiga terpidana mati untuk me-meriksa 16 nama itu,” kata Oegroseno-.
Oegroseno juga ingin mencari tahu kepentingan orang-orang di luar ketiga terpidana mati yang menuntut pemeriksaan 16 nama itu. ”Ini menyangkut nyawa manusia,” katanya. ”Pertanggungjawaban saya ke dunia dan akhirat.”
Pada pertengahan Maret lalu, kepada Tempo, Yahya menegaskan, ketika konflik meletus di Poso, ia sudah tinggal di Palu. ”Saya tidak tahu apa-apa soal Poso,” katanya. Ketika konflik terjadi pada Mei-Juni 2000, kata Yahya, pe-me-rintah daerah Poso memang tak bi-sa berbuat apa-apa. Kerusuhan Poso me-nelan korban sedikitnya 200 orang tewas, ribuan rumah hancur, dan ribuan orang mengungsi ke daerah lain.
Menurut Yahya, karena namanya di-sebut-sebut itulah ia akhirnya dikonfrontasi dengan Tibo. Begitu menerima surat panggilan dari polisi, dua pekan lalu, Ketua II Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah itu langsung menyatakan menyanggupi. ”Hidup saya terganggu selama ini,” ujarnya.
Selain Yahya, polisi juga sudah memanggil 15 nama lain yang disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan. Namun, ha-nya Yahya yang menyatakan siap di-periksa. Yang lain belum memberi jawab-an. Menurut Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pendeta Reynaldi Damanik, mereka yang menolak itu takut pengalaman pahit yang dialami Tibo terulang kembali. ”Dulu Tibo datang ke polisi dengan kerelaan untuk diperiksa, tapi malah ditangkap dan dihukum mati,” ujar Damanik kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kendati belum ada jawaban, Oegro-seno- me-nyatakan akan tetap memeriksa 15 o-rang itu. ”Ini pertanggungjawaban sa-ya kepada publik,” katanya. ”Saya ingin- ta-hu langsung apa sebenarnya yang ter-ja-di, tidak lewat siapa-siapa.” Karena i-tu, ujar Oegroseno, jika panggil-an ke-du-a tidak digubris, mereka akan dipang-gil- paksa.
Pekan ini, kata Kapolda, surat panggilan kedua akan segera ia layangkan. ”Jangan sampai yang salah mengaku tak bersalah dan yang tidak bersalah malah dihukum,” ujarnya. Pemeriksa-an dan pemanggilan semua nama itu, bisa jadi, memang tak mengubah nasib Tibo. -Namun, seperti yang dinyatakan Oegroseno, ia ingin membongkar akar kon-flik Poso sejak Desember 1998 -sam-pai -sekarang.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad (Palu)

Saturday, April 15, 2006

Komentar, 15 April 2006
Wapres: Eksekusi Mati Tibo Cs Sudah Final

Setelah enggan mengomen-tari pro kontra eksekusi 3 ter-pidana mati kasus kerusuhan Poso, Wapres Jusuf Kalla ak-hirnya buka suara. Eksekusi yang sudah sampai ke tangan MA merupakan keputusan final. Ketiga terpidana mati adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu.“Kita tahunya masalah itu su-dah sampai MA. Itu sudah yang paling tinggi berarti keputusan memang sudah final,” kata Kalladi kediamannnya, Jalan Dipone-goro II, Jakarta Pusat, Jumat (14/04) seperti dikutip detik. Menurut dia, kasus eksekusi mati Tibo Cs tidak mudah diba-wa ke MA internasional. “Saya sempat membaca buku kerusuhan di Poso karya Si-mansari Ecip berjudul Kerusu-han Poso. Itu yang menulis wartawan. Nanti Anda baca, dari situ kita nanti bisa pahami soalnya kejadian itu berlang-sung 5 tahun lalu,” jelas Kalla sambil membagikan 2 buku tersebut kepada wartawan.“Dibaca ya dan dipelajari,” tambah Kalla seraya berpesan.Wapres Jusuf Kalla sebe-lumnya enggan mengomentari eksekusi Tibo cs. “Tidak ada pendapat pribadi, karena ini masalah hukum,” kilah Kal-la.(dtc/*)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Polisi Periksa Intensif 10 Nama Kasus Poso

[PALU] Setelah mengkonfrontir 16 nama yang disebutkan terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu sebagai dalang kerusuhan Poso, polisi kini mendalami pemeriksaan hanya kepada 10 nama yang diindikasikan terlibat dalam peristiwa itu.
Ke-10 nama itu, PT, Lim, Ld, ER, YS, VA, P, OT, HM dan Wa. Dari ke-10 nama itu dilaporkan sudah ada yang meninggal dunia, dan dua di antaranya, yakni YS dan P tidak diketahui keberadaannya.
Sumber Pembaruan di Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng), Rabu (12/4), mengungkapkan, pemeriksaan ke-10 nama sedang diarahkan untuk mengetahui perannya masing-masing dalam kerusuhan itu, apakah sebagai kelompok perencana, pelaku penyerangan, pembakaran, pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan lainnya. Kerusuhan Poso yang pecah pada 23 Mei 2000, menurut data Polda, selain menghanguskan ribuan rumah, juga menewaskan sekitar 400 orang.
Kepala Polda Sulteng Brigjen Polisi Oegroseno ketika dikonfirmasi, Kamis (13/4) pagi, membenarkan pendalaman pemeriksaan ke-10 nama tersebut, namun belum ada yang dijadikan tersangka. "Polisi akan berusaha menegakkan kembali kasus ini, apa yang sebetulnya yang terjadi di Poso pada Mei 2003 itu, bagaimana keterlibatan ke-10 nama. Kalau memang ada keterlibatan dari ke-10 nama, kenapa harus buru-buru menerapkan hukuman mati," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng M Jahja Sibe mengemukakan, pemeriksaan polisi sama sekali tak berhubungan dengan pelaksanaan eksekusi ketiga terpidana mati itu karena putusan hukum sudah final.
Melanggar Hukum
Secara terpisah, Petrus Selestinus, juga penasihat hukum ketiga terpidana mati, mengatakan, tindakan Polda Sulteng mengkonfrontir Tibo dengan YP, salah satu dari 16 nama yang disebut-sebut Tibo Cs sebagai pelaku kerusuhan Poso, merupakan tindakan yang melanggar hukum. Sebab, KUHAP menentukan, yang boleh dikonfrontir adalah saksi dengan tersangka.
"Dalam konfrontir yang dilakukan Polda Sulteng, Tibo jelas dalam status sebagai saksi dan YP tidak jelas posisinya. Apa dia sudah menjadi tersangka? Kalau YP belum menjadi tersangka, jelas pihak Polda melanggar hukum," ucapnya, kemarin.
Kuasa hukum Tibo Cs lainnya, Alamsyah Hanafiah menemui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di gedung Ke-jaksaan Agung, Rabu (12/4), meminta eksekusi ketiga ter-pidana mati itu ditunda
Menyikapi permintaan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Prasetyo mengatakan, eksekusi mati terhadap Tibo dan kedua rekannya hanya menunggu waktu yang tepat hingga suasana kondusif.
Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kemarin, ribuan orang memprotes keputusan pemerintah untuk mengeksekusi terpidana mati kasus Poso itu. Secara terpisah sejumlah elemen dari Forum Lintas Masyarakat Bali Peduli Fabianus Tibo Cs, Rabu, berunjuk rasa mendesak penundaan eksekusi. [128/E-8/137]
Last modified: 13/4/06

Tibo cs Rayakan Paskah Bersama
15 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=848

Komentar, 13 April 2006
Kejagung: Eksekusi Tibo Cs Tunggu Timing

Adanya berita dari pihak ke-polisian di Sulteng bahwa ekse-kusi mati Fabianus Tibo cs di-tunda, ditanggapi lain Kejak-saan Agung. Jaksa Agung Mu-da Pidana Umum (Jampidum) Prasetyo mengatakan, pelaksa-naan eksekusi tidak ditunda, tapi menunggu timing yang te-pat hingga suasana kondusif. Hal ini disampaikannya di Ge-dung Kejagung RI, Rabu (12/04).“Saya lihat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan Kapolda di sisi lain ingin mencari saat yang tepat, juga melihat situasi yang lebih kondusif,” kata Pra-setyo kepada wartawan seperti dilansir detik.Mendengar perkataan Pra-setyo, wartawan segera mena-nyakan situasi kondusif seperti apa. “Anda kan tahu, ada pro dan kontra, kita lihat secara jernih dulu,” ujar Prasetyo. Di-tambahkan Prasetyo, kejak-saan tetap berniat menegak-kan hukum dan memberikan keadilan ke semua pihak se-suai dengan porsinya.Sementara itu kuasa hukum Tibo cs, Alamsyah Hanafiah, kembali mendatangi Kejagung untuk menanyakan perkemba-ngan surat permohonan pe-nundaan eksekusi terhadap ketiga kliennya. “Surat penun-daan itu untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Kita mempertanyakan perkem-bangan surat tersebut apa bisa menunda eksekusi,” kata Alamsyah.Pada 4 April lalu, Alamsyah mendatangi Gedung Kejagung untuk mengajukan surat per-mohonan penundaan eksekusi karena kliennya akan meng-ajukan grasi yang kedua. Surat tersebut diajukan antara lain pada Kejagung dan Jampidum.Sementara Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno pada 11 April lalu mengatakan eksekusi atas Tibo cs harus ditunda. Alasannya polisi ma-sih harus melakukan konfron-tir kepada 10 orang yang dise-butkan Tibo sebagai dalang kerusuhan Poso. Dari hasil konfrontir yang dilakukan polisi, 16 nama yang mencuat mengerucut menjadi 10 nama. Namun pihak Mabes Polri ha-nya diam saja. “Itu kewena-ngan kejaksaan, bukan kepo-lisian. Polisi hanya menunggu perintah dari kejaksaan, tidak punya kewenangan menunda, tidak punya sama sekali,” tegas Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam.Diakui Anton, follow-up 10 nama dalang kerusuhan Poso yang diajukan Tibo cs saat ini memang ditangani polisi. Namun bagaimana kelanju-tannya ia meminta wartawan menanyakan hal itu kepada Kapolda Sulteng.(dtc/zal)

Kontras: Vonis Mati Tibo Cs Itu Pelanggaran HAM
3 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=762

Kontras Minta Penembak Siswi Poso Diadili
Jumat, 14 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/modules.php?pilih=lihatberita&id=840

Thursday, April 13, 2006

Gus Dur: Tunda Eksekusi Fabianus Tibo
Kompas, 12 April 2006

http://www.kompas.com/utama/news/0604/13/000450.htm

Komentar, 12 April 2006
Sambuaga Tekan SBY, Massie-Tewu Temui JK

Masyarakat di Manado dan wakil Sulut di Senayan tampak-nya menyatukan kekuatan guna menolak rencana ekskusi atas Fabianus Tibo cs. Buktinya, keti-ka ribuan warga Manado mela-kukan demo kemarin (11/04), di Jakarta Anggota DPR RI Jeffrey Johanes Massie bersama jaja-ran DPP PDS menemui Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) terkait kasus Tibo. Sedangkan Theo Sambuaga yang menjabat Ketua Komisi I DPR RI melakukan pressure meminta Presiden SBY, agar dengan arif meninjau hukuman mati atas Tibo cs. Di tempat terpisah, Jeffrey Massie, Denny Tewu (Sekjen PDS) bersama Ketua Fraksi PDS DPR Con-stant Ponggawa memintakan hal yang sama kepada Jusuf Kalla di Kantor Wapres. PDS secara institusi meminta agar pemerintah menunda eksekusi Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. “Kalau dikatakan kasusnya telah selesai, mengapa masih ada proses penggalian fakta oleh pihak kepolisian,” ungkap Sekjen Denny Tewu. Menurut dia, kalau masih ada penggalian fakta maka ber-arti kasus tersebut belum tun-tas sehingga jika terjadi ekse-kusi maka dikhawatirkan akan menimbulkan polemik. “Kena-pa eksekusi harus dipercepat kalau persoalan belum sele-sai,” kata Tewu yang disam-bung Massie, agar sekiranya kasus Tibo ini dipertimbang-kan dengan bijak oleh pre-siden. Diingatkan, agar pemerintah jangan sampai menghukum orang yang ternyata kasus hukumnya belum tuntas. Pada kesempatan itu, PDS secara khusus meminta Jusuf Kalla selaku tokoh Perjanjian Malino untuk memberikan pernya-taan atau tanggapan terkait kasus tersebut agar masya- rakat bisa berpikir lebih jernih dan menerima dengan jiwa besar.“Kami meminta Wapres un-tuk menundanya, karena Wa-pres merupakan tokoh Malino yang sudah tahu betul akar permasalahan di daerah itu,” kata Tewu. Pada bagian lain, Ketua Komisi I Theo Sambuaga mengatakan, dari faktor kema-nusian, Presiden sebaiknnya menunda eksekusi mati Tibo cs.”Kearifannya, saya minta Presiden menunda pelaksa-naan eksekusi mati Tibo cs,” kata Sambuaga ketika meng-hubungi Komentar di Jakarta.Sambuaga mengakui, meski permohonan grasinya di tolak. Namun begitu, banyaknya saksi yang mengungkapkan bahwa Tibo cs bukan dalang aksi, dan itu bisa dijadikan pertimbangan eksekusi. Oleh sebab itu, Theo menga-takan, masih sangat memung-kinkan pengajuan kembali permohonan grasi kedua. “Permohonan kedua dimung-kinkan, bila permohonan per-tamannya sudah melampaui 2 tahun,” Paparnya.Selain itu, permintaan Penin-jauan Kembali (PK) ke dua juga sangat terbuka. “Walau pene-rapan hukumnnya, permoho-nan PK cukup sekali. Akan tetapi, terdengar ada temuan baru, maka permohonan PK ke dua dimungkinkan,’’ kata-nya.(zal/rik)

Komentar, 12 April 2006
“Lebih Baik Melepas 1000 Orang Bersalah, Daripada Menghukum 1 Orang tak Bersalah’’

AKSI menentang eksekusi terhadap Fabianus Tibo cs terus berlangsung di Manado. Bahkan kemarin (11/04), ri-buan warga dari berbagai ele-men masyarakat turun ke jalan menyuarakan protes mereka terhadap pelaksanaan ekse-kusi. Massa yang menamakan diri Solidaritas ‘’Persaudaraan un-tuk Kemanusiaan’’ ini menya-troni sejumlah tempat strategis di Manado untuk menyuara-kan aspirasinya. Sejumlah or-ganisasi masyarakat yang ber-gabung di antaranya, Gerakan Pemuda Cinta Tanah Air (Gar-da Cinta), Legium Christum, Mili-si Waraney, Brigade Manguni, PMKRI, kalangan buruh, PKB Sinode GMIM. Selain jalan ka-ki, mereka juga melakukan ak-si ‘konvoi’ dengan kendaraan bermotor. Aksi itu sendiri dimulai di de-pan Gereja Katolik Theresia Malalayang lalu menuju kantor DPRD Sulut. Di Sario, pengun-jukrasa pun langsung berorasi. Sejumlah orator di antaranya Harold Pratasik, Joseph Ikanu-bun, John Kalangi, Decky Maengkom, Lucky Senduk, Pdt Lucky Rumopa secara bergan-tian menyerukan agar peme-rintahan Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono, meniadakan vonis mati bagi Tibo cs. Sebab kasus kerusuhan di Poso perlu kajian yang mendalam lagi, bukan menimpakan kesala-hannya pada Tibo cs. Massa juga meminta presiden mendengarkan kalimat bijak yang kerap menjadi jargon di bidang hukum yang menye-butkan: ‘’Lebih baik melepas-kan seribu orang bersalah, da-ripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.’’ Pada kesempatan itu juga, pendemo meminta agar DPRD Sulut selaku representasi masyara-kat, menyatakan sikap resmi yakni menolak eksekusi mati bagi Tibo cs. Sayangnya, permintaan pen-demo belum terkabulkan, ka-rena pimpinan dewan dikabar-kan sedang berada di luar ne-geri. Sehingga pernyataan si-kap yang diusulkan segera di-kirim via faks di ruangan Sek-wan Sulut, Drs Vanny Kapa-rang MAP tak terlaksana kare-na pernyataan sikap harus di-tanda tangani oleh Ketua DPRD Sulut Drs Syachrial Damopolii. Ketua Komisi E Kolonel (Purn) JO Bolang ketika didaulat naik di atas mobil pendemo untuk menerima aspirasi dengan nada berapi-api mengatakan, yang namanya ketidakadilan dan pelanggaran HAM harus dilawan. Serta nilai sebuah ke-benaran harus terus diper-juangkan. “Akan diupayakan hal ini ditindaklanjuti oleh de-wan setelah sekembalinya pim-pinan dewan dari luar daerah,” ujar mantan Bupati Minahasa ini. Selain Bolang, anggota dewan lainnya yakni Jemmy Lelet SH, Drs Edison Masengi, Yanny Ko-palit, Drs Steven Kandow, Pdt Sybert Maki STh turut mene-rima aspirasi dengan menga-takan, akan mengupayakan sebelum vonis mati dilaksana-kan, akan ada sikap resmi dari kalangan dewan. Untuk tahapan ini diharap-kan paling lambat Kamis (14/04) bertepatan dengan Hari Paskah sudah ada keputusan dewan agar dikirim ke pusat. Usai berorasi di kantor dewan, massa yang semakin lama semakin banyak hingga men-capai ribuan bergerak menuju Kejati Sulut dan kantor gu-bernur, tak terkecuali Konjen Filipina agar menarik perha-tian dunia internasional. Selain itu, massa juga sempat long march ke Paniki, Minut dengan menyatakan hal-hal yang ber-tentangan dengan demokrasi harus dilawan.(tru)

Komentar, 12 April 2006
Sulut All Out, Eksekusi Tibo Cs Akhirnya Ditunda

Aksi unjukrasa ribuan massa di Manado dan manuver kalangan parlemen Senayan asal Sulut di level Presiden dan Wapres, ternyata membuahkan hasil. Buktinya, rencana eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yakni Fabinaus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu akhirnya ditunda.Penundaan eksekusi disam-paikan oleh Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno dengan alasan aparat kepo-lisian masih akan melakukan konfrontasi terhadap 10 orang lainnya yang disebut oleh Tibo cs sebagai dalang kerusuhan Poso. “Otomatis eksekusi akan tertunda karena direncanakan polisi akan melakukan kon-frontasi dengan 10 orang lagi,” kata Kapolda Brigjen Pol Oe-groseno. Pernyataan Kapolda ini disampaikan kepada war-tawan usai melakukan kon-frontir antara Tibo cs dengan Yahya Patiro, salah satu dari 16 orang yang disebut oleh Tibo sebagai dalang kerusuhan Poso. Konfrontir berlangsung di salah satu ruangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II, Jalan Dewi Sartika, Palu Selatan, Se-lasa (11/04), sebagaimana dilansir detik.Konfrontir dipimpin langsung oleh Brigjen Pol Oegroseno di-dampingi pejabat intelijen ke-amanan Polda Sulteng. Perte-muan berlangsung tertutup, dan tidak bisa diliput warta-wan. Usai pertemuan Kapolda menjelaskan, setelah konfron-tir dengan Tibo cs, diperoleh keterangan Yahya Tiro bukan sebagai dalang kerusuhan Po-so. “Sekarang dari 16 nama mengerucut menjadi 10 nama,” kata Kapolda. Sementara itu dari Manado, Forum Persaudaraan Masyara-kat Indonesia Timur (FPMIT) menegaskan, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo cs, masuk kategori kejahatan moral. Pasalnya, pelaksanaan eksekusi mati tersebut tidak dibenarkan baik secara iman maupun secara moral.Dalam orasi yang disampai-kan para petinggi dari sejum-lah elemen masyarakat dan ge-reja, diantaranya Legium Chris-tum, PMKRI, STF Seminari Pi-neleng, Milisi Waraney, Kaum Bapak Katolik, Rohaniwan Ka-tolik dan para tokoh Katolik menegaskan, semua manusia adalah bernilai dan memiliki hak untuk hidup. Karenanya, setiap manusia berhak juga untuk dihormati dan dihargai sebagai manusia. Dan salah satu penghargaan dan peng-hormatan tersebut adalah tidak mencabut nyawa ma-nusia.“Ini adalah pesan moral yang harus dijunjung tinggi seluruh umat manusia. Karenanya me-reka yang menyuruh dilaksa-nakan eksekusi mati dikatego-rikan telah melakukan sebuah kejahatan moral. Dan ini harus ditentang dan ditolak,” tegas orator utusan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.Senada dengan itu juga dike-mukakan pengacara andal Louis Nangoy. Di depan gedung Kejaksaan Tinggi Sulut, Na-ngoy mengungkapkan, sudah ribuan nyawa melayang na-mun semuanya ditimpahkan kepada Tibo cs. Seolah-olah Tibo cs yang melakukan pem-bunuhan tersebut.“Ini tidak adil. Tibo cs diha-ruskan bertanggung jawab ter-hadap matinya ribuan orang di muka bumi ini. Mereka dinya-takan sebagai yang bertang-gung jawab terhadap konflik horizontal di Indonesia. Ini be-nar-benar tidak adil,” tegas Nangoy.Ia menambahkan, pelaksa-naan eksekusi Tibo cs menco-reng kesepakatan damai di Ma-lino. Pasalnya, kasus kerusu-han di Poso terjadi sebelum di-laksanakan kesepakatan damai di Malino. “Kesepakatan damai di Malino diprakarsai Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang waktu itu sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat. Sementara Presiden SBY se-bagai menteri Pertahanan dan Keamanan. Berarti SBY tahu siapa yang menjadi dari pem-bunuhan di Poso,” paparnya.Sementara itu, dalam per-nyataan sikap tertulis yang di-tandatangani Ketua Komda Pe-muda Katolik Sulut Drs Harold Pratasik, Koordinator Provin-cial Legium Christum Lucky Aldrian Senduk, Ketua Kaum Bapak Katolik Keuskupan Ma-nado Ir Joost Tambajong dan Komisaris Daerah PMKRI Sulut Yoseph Ikanubun SPd, FPMIT dengan tegas meminta penang-guhan terhadap pelaksanaan eksekusi terhadap Tibo cs. Ada dua pertimbangan yang dike-mukakan. Pertama, Tibo cs bukanlah aktor yang merencanakan dan melaksanakan serangkaian pembantaian di Poso me-lainkan dijadikan korban untuk melindungi pelaku yang sebenarnya. Kedua,jika Tibo cs dieksekusi maka membawa bahaya yang akan diartikan sebagai perbuatan stigma-tisasi, secktarian partisan yang dengan sinis mengorbankan mereka yang lemah.(dtc/imo)

Jalan Salib Tolak Eksekusi Tibo Cs
Rakyat Merdeka, 12 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=10495

Puisi Tibo Cs untuk SBY
Rakyat Merdeka, 11 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=10443

FPI Serbu Kejagung, Tuntut Tibo Cs Segera Dieksekusi
Rakyat Merdeka, 12 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=10508

Kejaksaan Tunda Eksekusi Tibo Cs
Rakyat Merdeka, 12 April 2006

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=10520

Wednesday, April 12, 2006

Suara Pembaruan, 11 April 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tibo dan Kekeliruan Vonis Mati
Oleh Tjipta Lesmana

abianus Tibo - serta dua kawannya, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu saat ini sedang menunggu "saat-saat terakhir" kehidupan mereka, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyo menolak permohonan grasi yang mereka ajukan. Pengadilan tingkat terakhir, yaitu Mahkamah Agung, telah memperkuat vonis mati yang dijatuhkan pengadilan I dan II, karena mereka dinyatakan terbukti melakukan kejahatan dalam kerusuhan rasial di Poso tahun 2000 yang menewaskan ratusan orang.
Namun, setelah grasi ditolak Presiden, muncul aksi-aksi massal di berbagai kota, mendesak Presiden membebaskan Tibo cs. Bahkan Paus Bennedictus pun menghimbau Presiden Indonesia untuk memberikan pardon kepada Tibo cs, para terpidana mati dianggap hanya korban rekayasa pihak-pihak tertentu.
Orang-orang dibalik kerusuhan Poso itu, para aktor intelektual, justru dinilai tidak tersentuh hukum. Di mana rasa keadilan itu? Seorang pensiunan Hakim Agung kita pernah "menguliahkan" penulis bahwa keadilan memang persoalan yang enak dibicarakan, tapi tidak mudah diwujudkan.
Masalahnya, keadilan mempunyai "wajah" yang berbeda-beda. Ia membagi keadilan dalam 5 kategori: keadilan menurut hakim, jaksa, pengacara, korban, dan masyarakat. Belum lagi jika bicara tentang keadilan menurut Tuhan. Seorang koruptor yang merugikan Negara Rp 50 miliar, misalnya, divonis penjara setahun, sementara pencuri ayam diganjar 14 bulan. Adilkah? Gugat masyarakat.
Tapi, hakim berargumentasi bahwa putusan yang mereka jatuhkan terhadap koruptor itu sudah pas, karena sesuai ketentuan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Mensitir pernyataan seorang Hakim Agung Amerika, kawan saya itu berucap, the duty of a judge is to uphold law, not to administer justice. Hakim bertugas menegakkan hukum, bukan melaksanakan keadilan. Hakim tidak mau tahu apakah bukti yang diajukan di pengadilan palsu atau hasil rekayasa, atau kesaksian seseorang palsu atau tidak.
Jika barang bukti atau kesaksian seseorang diyakini betul (misalnya ada shabu-shabu di dalam tas seorang perempuan), jadilah ia landasan untuk putusan hukum. Tapi, sejarah mencatat, betapa sering pengadilan menjatuhkan hukuman, termasuk hukuman mati yang dikemudian hari diakui keliru. Kadang terpidana sudah dieksekusi, tapi tidak jarang ia selamat dari el maut pada saat-saat terakhir menjelang pelaksanaan eksekusi mati terdebut.
Kesaksian Palsu
Joseph Green Brown dijatuhkan pidana mati oleh pengadilan Florida pada 1974, karena "terbukti" melakukan pembunuhan. Dalam menjatuhkan vonis, pengadilan terutama mengandalkan kesaksian yang diberikan oleh Ronald Floyd, co-conspirator yang mengaku mendengar langsung pengakuan Brown bahwa ia yang membunuh koban. Tapi, di kemudian hari Floyd mengaku bahwa kesaksiannya palsu.
Ia sengaja memberikan keterangan palsu untuk menjebloskan kawannya, sekaligus membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Kesaksian baru Floyd diberikan hanya 13 jam sebelum Brown menjalani eksekusi. Peradilan kasus Brown berlangsung 13 tahun lebih. Baru pada 1987 Brown dinyatakan tidak bersalah dan di- bebaskan.
Kasus lain, Larry Hicks, seorang penduduk Negara Bagian Indiana, pada 1978 dijatuhkan hukuman mati, juga karena kasus pembunuhan sadis. Dua minggu sebelum eksekusi Hicks dilaksanakan, seorang pengacara volunteer yang rupanya menaruh minat besar terhadap kasus ini meminta pengadilan untuk menunda eksekusi, karena ia mengklaim menemukan novum.
Yayasan Playboy memberikan dukungan dana untuk penyelidikan kembali kasus Hicks. Dalam proses retrial, terungkaplah alibi Hicks yang cukup sempurna, sekaligus bukti bahwa keterangan saksi kunci dalam pengadilan sebelumnya ternyata palsu.
Larry Hicks dibebaskan pada 1980. Apakah "fakta hukum" seputar kejahatan yang dilakukan Tibo dkk sungguh sudah meyakinkan dan tak terbantahkan? Tibo dkk kini membuka suara bahwa mereka hanya korban rekayasa. Kepada pihak kepolisian, baru-baru ini mereka mengungkapkan 16 nama pelaku lapangan. Dalam persidangan 2001, Tibo mengaku sebenarnya sudah siap membuka identitas ke-16 orang itu, tapi dilarang oleh kuasa hukumnya. Kenapa?
Apakah penasehat hukum mendapat ancaman serius dari kelompok tertentu? Sebaliknya, jika "fakta hukum" tentang kejahatan Tibo dkk memang tak terbantahkan, hukum harus dijalankan. Semua pihak harus mengakui bahwa hukuman mati masih tercantum dalam KUHP.
Maka, hakim tidak salah jika menerapkan hukuman itu, karena hakim hanya bertugas "menjalankan ketentuan perundangan-undangan". Itu berarti eksekusi mati Tbo dkk. Tinggal persoalan waktu.
Memang capital punishment hingga kini tetap menjadi kontroversi. Semakin banyak negara yang sudah menghapus hukuman maut ini. Para penentang vonis mati melihat hukuman mati adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia. Lagipula, hukuman mati terbukti tidak mampu menimbulkan rasa jera pada kriminal. Hukuman mati malah bisa menimbulkan rasa dendam dari pihak terhukum.
Di kubu lain, motto "pro vita hominis nisi hominis vita reddatur" (nyawa harus dibayar dengan nyawa) yang diucapkan Kaisar Julius Ceasar 2000 tahun yang lalu masih memikat banyak ahli hukum di seantero dunia hingga kini.
Amerika termasuk salah satu negara besar yang setiap tahun - sampai sekarang - masih terus mengeksekusi warganya yang terbukti melakukan kejahatan sadis, walaupun banyak sekali vonis mati yang kemudian diakui keliru! Menurut catatan resmi, dari 1973 sampai 1998, rata-rata 2,96 kasus acquitted (yang terkait dengan vonis mati) di Amerika. Total kasus acquitted sampai Februari 2006 berjumlah123. Cukup besar.
Nah, fakta di atas, fakta tentang banyaknya kasus kekeliruan hakim Amerika mengganjar hukuman mati kepada terdakwa seyogianya menggugah pihak-pihak terkait dalam kasus Tibo dkk untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh imbauan dan desakan banyak kalangan untuk suatu retrial yang lebih terbuka, dan lebih fair.
Jangan lupa, nuansa politis kasus-kasus Poso dari awal sampai hari ini amat kental. Kalau sudah bicara "politis", segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan subordinasi hukum atas kepentingan politik!
Penulis adalah Pengajar Universitas Pelita Harapan
Last modified: 11/4/06

SUARA PEMBARUAN DAILY
Surat Dukungan Itu Datang dari Vatikan

Mata Fabianus Tibo (61) terlihat berkaca-kaca. Kepalanya tertunduk diam, sementara dua telapak tangannya saling menggenggam. Dengan penuh perhatian dia menyimak kalimat-kalimat yang dilontarkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara, KH Arifin Assagaf. Ketika itu Arifin sedang membacakan selembar kertas putih. Kertas itu adalah surat kiriman dari Leonardo Agung, perwakilan dari Komunitas Sant'Egidio di Vatikan, Roma, Italia.

KH Arifin yang kebetulan mengunjungi Tibo Cs di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (7/4) pagi itu diminta Tibo untuk membacakan surat yang diterimanya.

Hadir pada kunjungan Arifin itu, Pastor Jimmy Tumbeleka, Kepala Paroki Tentena, Poso yang menjadi pembimbing rohani Tibo Cs, Kepala Paroki Palu, Pastor Melky Toreh, sejumlah suster, dan dua pengacara Tibo Cs, Mikanos dan Adrianus Hode.

MataTibo tidak sedikit pun beralih dari surat yang sedang dibacakan KH Arifin. Sementara di sampingnya, dua rekannya, Dominggus da Silva (39) dan Marinus Riwu (49) juga terdiam. Mereka memperhatikan dengan seksama isi surat yang dibacakan KH Arifin.

KH Arifin mengatakan, surat itu berisi tulisan Leonardo Agung perwakilan Komunitas Sant'Egidio. Dalam suratnya, Komunitas Sant'Egidio memberikan dukungan doa dan solidaritas untuk nasib Tibo Cs menghadapi eksekusi mati.

"Kami mencintai kalian dan oleh karena itu kami berjuang sehingga hukuman mati yang dijatuhkan kepada kalian dapat dihapuskan. Bagi kami, hukuman mati itu tidak adil bagi semua manusia. Kami percaya bahwa setiap orang mempunyai hak hidup," ujar Leonardo.

Komunitas Sant'Egidio adalah gerakan umat Katolik yang lahir di Roma, Italia, tahun 1968. Komunitas tersebut adalah kelompok anak muda yang mengutamakan Firman Tuhan dan mempraktekannya dalam doa, pelayanan terhadap yang miskin dan dalam persaudaraan.

"Sejak dua bulan lalu kami baru tahu situasi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Jadi pada waktu itu kami telepon Bapak Uskup yang selalu mendukung kalian dan juga menjelaskan kejadiannya," papar dia.

Dikatakan, "Kami percaya pada kekuatan doa dan kami merasa dekat dengan Tibo dan teman-teman justru pada saat ini. Kita tidak pernah bertemu, namun kami merasa dekat. Bapak Uskup Suwatan sudah cerita kepada kami perkembangan kasus kalian dan setiap kali kami selalu menanyakan kabar ke Bapak Uskup. Banyak orang dari luar negeri sedang berdoa untuk kalian, dan ini adalah suatu kenyataan."

"Kami harap dan doakan sehingga proses kalian dapat diselesaikan dengan baik dan kalian dapat dibebaskan dengan segera. Kami doakan juga untuk keluarga kalian. Sehingga Tuhan dapat mendukung juga mereka dan menguatkan hati Fabianus, Marinus, dan Dominggus. Betapa indah kita dapat bertemu," papar Leonardo di akhir suratnya.

Tibo mengaku terharu. Dia tidak menyangka begitu banyak orang yang berdoa untuk dia dan kedua rekannya. Termasuk dari umat Katolik yang berada jauh di Vatikan. Selain dari Vatikan, sejumlah dukungan dan doa untuk Tibo Cs mengalir dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Termasuk sejumlah aksi di Jakarta dan beberapa daerah memprotes agar eksekusi mati dibatalkan. [128/Y-4]
Last modified: 11/4/06

SUARA PEMBARUAN DAILY
Romo Leo Bersedia Gantikan Tibo

[JAKARTA] Seorang Pastor Katolik asal Keuskupan Agung Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang belajar Filsafat di Roma, Italia Romo Leo Mali Pr bersedia menggantikan Tibo dan dua temannya untuk dihukum mati. Alasannya, ketiga orang itu sama sekali tidak bersalah dan hanya dijadikan tumbal. Sementara para pelaku sesungguhnya yang memiliki uang, kuasa dan senjata tetap berpesta pora.

"Sebagai seorang anak bangsa, Saya menyerahkan diri dan menyatakan kesediaan untuk dieksekusi menggantikan para tersangka hukuman mati kasus Poso. Saya berharap pilihan ini bisa menjadi monumen peringatan di antara orang-orang yang berkehendak baik di negri tercinta ini untuk menaruh hormat dan membela kehidupan manusia," tulis Romo Leo Mali dalam suratnya kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 11 April 2006. Surat tersebut juga diterima Pembaruan melalui e-mail Selasa (11/4) pagi tadi.

Romo Leo Mali mengaku mengikuti dengan cermat berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia seperti kasus Tanjung Priok, Kerusuhan Mei, Trisakti, Kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Ambon dan Poso. "Kasus Poso adalah sebuah konflik sosial dengan eskalasi besar dalam rentang waktu amat panjang. Konflik ini telah melibatkan banyak pihak dan menelan banyak korban. (Tentang hal ini Bapak Presiden tentu sangat tahu.) Namun sayangnya penanganan terhadap kasus ini pada akhirnya hanya bisa menetapkan tiga orang anak bangsa yang tidak berpendidikan (buta huruf) sebagai tumbal yang malang. Ada pertanyaan yang mengusik saya: Mengapa Tibo? Mengapa yang kecil selalu dikorbankan ?" tulisnya lebih lanjut.

Penanganan kasus ini dan juga kasus kekerasan dan pelanggaran HAM dalam rentang sejarah negeri ini semakin menunjukkan bahwa bangsa ini sedang menjerumuskan dirinya menjadi bangsa yang haus darah. Karena dalam tiap paruhan sejarahnya selalu menghisap darah rakyatnya sendiri. Meski demikian dia yakin masih ada banyak orang yang berkehendak baik di negeri ini untuk menyelesaikan masalah kekerasan demi kekerasan itu dengan hati nurani yang jernih. [A-21]
Last modified: 11/4/06

Gus Dur Minta Publik Menilai Kasus Tibo cs
Selasa, 11 April 2006 23:53 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Abdurrahman Wahid meminta pemerintah memberi kesempatan semua pihak menilai kasus kerusuhan Poso yang menghukum mati Fabianus Tibo cs. "Beri ruang buat masyarakat untuk melihat masalah ini. Tunda tiga bulan lagi apa salahnya?" kata Ketua Umum Dewan Syuro PKB itu di rumahnya petang tadi.Abdurrahman alias Gus Dur menyatakan proses hukum yang sudah final tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan kebenaran. "Perkenankan pihak lain menilai (kasus itu)," katanya seusai pertemuan dengan puluhan kyai se-Jawa yang membicarakan persoalan Papua dan islah antara PKB Muktamar Semarang dan Surabaya. Gus Dur menilai dasar hukum bukan hal final dan proses hukum bukan satu-satunya cara untuk melihat kebenaran. "Dasar hukum kan bisa dicari," katanya. Peradilan memutus Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu dengan hukuman mati karena dianggap mendalangi kerusuhan di Poso pada 2000. Keputusan itu dinilai sebagian pihak kental nuansa politisnya. yophiandi

Tuesday, April 11, 2006

Komentar, 11 April 2006
HUT ke-66 Mgr Joseph Suwatan MSC: Memaknai Hidup Dalam Pergumulan Tibo Cs

SENIN (10/04) kemarin menjadi hari spesial bagi Uskup Manado Mgr Joseph Suwatan MSC. Pasalnya, pemimpin umat Katolik se-Sulut, Sulteng dan Gorontalo ini merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-66 dalam sebuah acara sederhana yang juga dihadiri para pastor, suster, frater dan umat Katolik yang ada di Manado dan sekitarnya di aula Seminari Hati Kudus Pineleng. Menariknya, bagi Uskup Suwa-tan, perayaan HUT ini menjadi momentum memaknai hidup terutama ketika ia harus ‘terli-bat’dalam pergumulan tiga terpi-dana mati Fabianus Tibo, Ma-rianus Riwu dan Dominggus Da Silva yang akhir-akhir ini menjadi konsumsi publik. Dalam refleksi pribadinya, mantan pemimpin tarekat MSC Indonesia tahun 1981-1990 ini mengungkapkan, akhir-akhir ini Tuhan memanggilnya untuk memperjuangkan orang-orang yang terancam dieksekusi.“Saya sangat bersyukur karena Tuhan telah memanggil saya secara konkret dan nyata untuk berjuang untuk manusia umatnya. Secara khusus akhir-akhir ini saya dipanggil untuk berjuang bagi ogang-orang yang terancam dieksekusi. Saya bersama KH Arifin Asegaf, Pdt Nico gara dan bersama sejumlah pihak terus berjuang membela keadilan dalam kasus Tibo cs,” ung-kapnya.Karenanya, uskup yang telah berkarya di Keuskupan Mana-do selama16 tahun ini, mere-fleksikan dan memaknai 66 tahun kehidupannya di dunia dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan dengan penga-laman dan pergumulan Tibo cs. “Pada kesempatan ini saya ingin merefleksikan makna hidup saya bersama mereka (Tibo cs, red) Mereka masih muda dari saya tapi kini mere-ka menghadapi pergumulan hidup yang maha berat. Saya ingin melihat kehidupan ini bersama mereka yang ter-ancam hidupnya, meskipun mereka orang-orang yang mungkin tidak bersalah se-perti yang dituduhkan kepada mereka,” ujarnya. Proficiat buat Bapa Uskup Mgr Yoseph Suwatan MSC. Semoga Tuhan senantiasa menganugerahi kesehatan dan memberkati karya peng-gembalaan Bapa Uskup, agar semakin banyak umat ma-nusia yang diselamat-kan.(simon)

Komentar, 11 April 2006
Tolak Aspirasi Sulut, SBY Perintahkan Eksekusi Tibo Cs

Aspirasi sejumlah elemen ma-syarakat di Sulut dan daerah lainnya agar eksekusi terhadap Tibo cs di-pending bahkan diba-talkan, membentur tembok. Pasalnya, Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono (SBY) telah me-merintahkan eksekusi tiga ter-pidana mati kasus Poso agar segera dilakukan. Karena, tidak ada alasan untuk menunda pe-laksanaan hukuman mati ter-sebut karena seluruh proses hukum telah ditempuh.“Presiden instruksikan tegak-kan hukum. Karena itu aparat hukum akan menindaklan-jutinya dalam porsi teknis yang harus dilakukan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wido-do AS di Kantor Presiden Jakar-ta, akhir pekan lalu. Bersama Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Kapolri Jen-deral Sutanto, Widodo dipanggil Presiden untuk membahas pro-ses hukum terhadap tiga terpi-dana mati kasus Poso yaitu Fa-bianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu yang pada November 2005 lalu ditolak per-mohonan grasinya oleh presiden.Widodo menjelaskan, presiden memerintahkan hal itu setelah memperhatikan putusan Mah-kamah Agung (MA) yang me-nyatakan bahwa seluruh proses hukum mulai dari tingkat per-tama, banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) sudah selesai. “Prosesnya berjalan terus tapi kami belum tentukan tanggal dan waktu yang pasti untuk pelaksanaan eksekusi-nya,” ujar Abdul Rahman Saleh.Soal permohonan dari anggota keluarga tiga terpidana mati yang minta penundaan eksekusi karena ditemukannya sejumlah bukti baru, Kapolri menegaskan bahwa permohonan itu tidak akan mempengaruhi hasil penyelidikan selama ini.“Saksi yang lain tidak ada. Yang disebutkan, ada 16 orang itu tidak ada dalam putusan Pengadilan Negeri. Dan ternyata bukan mereka yang melihat langsung. Tapi katanya dari orang-orang lain,” ujar Ka-polri.(cpc)

Tempo, 07/XXXV/10 - 16 April 2006
Kami Tidak Bisa Bicara

MATAHARI rasanya seperti membakar Palu, Sulawesi Tengah, pada Minggu, 19 Maret silam. Kendati baru pukul 9 pagi, suhu udara menunjukkan angka sekitar 32 derajat Celsius. Hari itu tiga terpidana kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, akan bertemu utusan Paus Benediktus XVI, pemimpin tertinggi umat Katolik. Pertemuan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.
Sejam sebelum utusan Paus tiba, ketiga terpidana itu keluar dari selnya. Dengan mengenakan kemeja berwarna gelap, senada dengan celana panjang yang mereka kenakan, mereka menyalami setiap orang yang ada di ruang itu seraya menebar senyum. ”Dorang (kami) baru selesai misa di gereja,” kata Tibo.
Tibo, yang berperawakan kecil, dikenal warga Poso dan Morowali sebagai sosok religius dan memiliki karisma. Dia aktif menjembatani setiap percekcokan yang terjadi di kampungnya.
Sembari menunggu utusan dari Vatikan, wartawan Tempo Maria Hasugian dan Darlis Muhammad mewawancarai ketiga terpidana itu. Awalnya wawancara berjalan lancar. Ketika Dominggus berbicara secara emosional, Tibo menegurnya. ”Domi, pelankan suara. Bicara jangan pake bahasa seperti itu. Bicara yang baik, pelanpelan,” kata Tibo. Teguran ini membuat pria itu diam seribu basa. Wawancara pun ikut terhenti dan disepakati dilanjutkan pada Selasa 21 Maret.
Wawancara Selasa itu, sebagaimana kesepakatan, lagilagi ada ”insiden.” Kali ini yang emosional Marinus. ”Saya bosan, media di sini tidak memberitakan dengan benar apa yang kami sampaikan,” ujarnya. Wawancara baru bisa dilanjutkan setelah Tibo membujuk dan menenangkan Marinus.
Saat wawancara berjalan hampir satu jam, seorang petugas memberi tahu Tibo, di ruang besuk sudah banyak orang menunggu. Mereka itu ”pasien” Tibo. Agaknya pria kelahiran Ende 5 Mei 1945 ini punya kemampuan supernatural untuk menyembuhkan berbagai penyakit dengan gratis. ”Selama di penjara, sudah sekitar 600 orang yang saya sembuhkan, termasuk seorang haji dari Banten yang perutnya mengalami pembengkakan,” ujar Tibo. Berikut petikan wawancara dengan Tibo, Dominggus, dan Marinus.
Bagaimana keadaan Anda saat ini?
Tibo: Saya sehatsehat saja.
Anda tampak cerah seperti tidak ada beban.
Tibo: (Tertawa). Bagaimana kami tidak mau tenang. Apa yang mau kami perbuat. Semua kami serahkan saja kepada Tuhan, daripada pusingpusing. Kalau ajal kami harus selesai, ya apa boleh buat. Kami serahkan kepada Yang Mahakuasa.
Apa saja yang Anda kerjakan di sini?
Tibo: Saya membikin kerajinan tangan dari anyaman rotan. Ada tas, topi, keranjang pakaian kotor, dan lobok (tudung saji). Selama di LP kami sudah menghasilkan uang dari hasil penjualan anyaman rotan sekitar Rp 10 juta. Kami penghuni LP yang memasukkan uang untuk negara. (Dominggus dan Marinus datang sambil membawa beberapa hasil anyaman mereka).
Anda mengatakan tidak bersalah dalam konflik 23 Mei 2000. Tapi Anda bertiga dijatuhi hukuman mati. Apa sebenarnya yang terjadi?
Tibo: Kami yakin tidak terlibat. Tapi pemerintah menuduh kami. Kami ini yang menolong orang. Sedangkan aparat berdiri saja tak bergerak, tidak berbuat banyak. Jadi aneh ini. Tapi saya pikir ini tidak apaapa. Mungkin ini ujian bagi saya.
Apa keanehan itu?
Tibo: Kami betulbetul menolong orang. Tapi pemerintah bilang kami ngomong tidak benar, ngarangngarang saja. Dulu jaksa itu menekan betul kami, termasuk jika ingin bicara dengan pengacara kami, Robert Bofe, kami tidak bisa bicara. Apa yang kami bicarakan sebagai sesuatu yang benar ditekan terus.
Kapan Anda menghadapi tekanan?
Tibo: Waktu pemeriksaan, waktu persidangan, sudah di ruangan ini. Waktu itu kami bertanya kepada pengacara kami Robert Bofe, kenapa keterangan kami tidak digubris, tidak dimuat di BAP. Robert menjawab, oh gampang itu. Dorang (Tibo, Marinus, dan Dominggus) tenang saja. Kami pun tenang karena waktu itu kami belum tahu hukumnya bagaimana. Dia hanya bilang, kalau kami tuntut 16 orang itu, kamu dapat hukuman berat. Sekarang mereka beralasan kami tidak mengungkap 16 nama itu dari pertama. Mereka bohong. Mereka itu ingin menutupnutupi. Karena kami bodoh tidak tahu hukum, mereka tambah kasih bodoh.
Reaksi Anda?
Dominggus: 16 nama itu harus diambil semua. Kenapa mereka tidak diambil? Sebab itu sampai sekarang saya kejar terus kenapa mereka tidak disentuh hukum. Kami bisa membuktikan karena kami di lapangan. Yang kami minta sekarang pemerintah membuktikan.
Tibo: Ya. Kalau hukum mau ditegakkan, pemerintah harus membuat keadilan yang seadiladilnya. Kalau tidak, terserah pemerintah. Akibatnya, mereka yang tanggung. Kalau kami mati, belum tentu negara ini aman. Karena membunuh orang yang tidak bersalah, Tuhan akan menampakkan mukjizatnya.
Marinus: Yang dihukum mati ada di konflik ketiga. Mana yang di konflik pertama dan kedua? Di mana orangnya sekarang?
Dari mana daftar 16 nama itu?
Tibo: Orang Poso yang memberitahukan kepada kami. Mereka itu pimpinan penyerbuan. (Menurut mantan Sekwilda Kabupaten Poso Yahya Patiro kepada Tempo, daftar 16 nama itu diperoleh Tibo dari Anca Purasongka, warga Tentena yang kini tidak diketahui keberadaannya. Yahya pun masuk dalam daftar 16 nama).
Anda mengenal 16 nama itu?
Tibo: Kami tidak kenal. Kami kenal mereka hanya pada saat penyerbuan di Kelurahan Moengko. Paulus Tungkanan kami kenal di kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Tentena. Waktu itu kami mau minta mobil truk untuk memulangkan anakanak yang kami bawa dari Poso. Semua orang harus menghadap dia.
Namun, hasil pemeriksaan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, ke16 nama itu tidak terbukti terlibat. Tanggapan Anda?
Dominggus: Saya ingin sekali bertemu Presiden. Kami bisa membuktikan keterlibatan 16 orang itu demi keadilan.
Dalam berkas dakwaan, Anda disebut panglima Pasukan Kelelawar dari Kelompok Merah (Kristen). Benar?
Tibo: Tidak benar. Yang menjadi panglima adalah orang Poso sendiri, yaitu Paulus Tungkanan. Anaknya itu kemudian menjadi kepala untuk Kelompok Kelelawar.
Anda berulang kali mengatakan tangan Anda tidak berdarah. Apa maksudnya?
Tibo: Saya tidak membunuh. Mencubit orang pun tidak pernah. Malah kami selalu melarang. Tapi saat itu banyak sekali orang, jadi kami mau bikin apa?
Lalu, menurut Anda, apa yang terjadi saat penyerangan 23 Mei 2000?
Tibo: Kami ini tidak mempunyai masalah dengan umat Islam. Kami mau Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah bicara. Waktu dari orang AlKhaeraat datang menjenguk saya, saya bilang sebenarnya kami tidak punya persoalan. Yang mempunyai persoalan dengan kalian adalah Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Sinode. Yang memasukkan kami ke penjara, Pak Papasi (waktu itu Ketua Gereja Kristen Sulawesi Tengah) dengan Ibu Agustina Lumentut. Jadi yang saya minta sebenarnya Pak Papasi itu harus diambil supaya dia bertanggung jawab. Semua orang Desa Jamur Jaya tahu. Tapi sampai hari ini tidak ada pertanggungjawaban dari mereka.
Apa yang dikatakan Papasi dan Lumentut kepada Anda?
Dominggus: Mereka datang ke Desa Jamur Jaya tiga kvali bertemu kami. Yang pertama, mereka menyuruh kami menyerahkan diri bersama Om Tibo dan Marinus. Kami tanya, kami menyerahkan diri ini persoalan apa. Kalau persoalan di Poso kok harus kami? Akhirnya dia cari jalan, datang yang kedua kami tolak. Datang yang ketiga, dia bilang tidak, kamu cuma memberikan keterangan tentang kejadian penyerbuan gereja Katolik di Moengko. Sesudah itu kami datang dan kami jelaskan bahwa terbakarnya gereja bukan karena orang muslim yang menyerang tapi orang Ir Lateka.
Apa permintaan terakhir Anda jika eksekusi tetap dilakukan?
Tibo: Saya hanya minta kami tidak boleh dieksekusi karena kami tidak bersalah. Kami hanya ingin membuka kejahatan di Poso supaya oknumoknum itu ditangkap. Tapi pemerintah membiarkan. Itu berarti pemerintah bukan mau aman. Kalau eksekusi ini tetap dilakukan, saya tetap tidak mau. Kami bertiga tidak mau.
Jadi, Anda akan melakukan perlawanan?
Tibo: Bagaimana kami mau melawan? Sebab kami tidak ada alatalat seperti punya aparat. Walau mereka membunuh kami, kami tidak terima. Nanti satu saat semua akan ketemu di sana.

Tempo, 07/XXXV/10 - 16 April 2006
Isyarat Maut dari Palu

Persiapan eksekusi empat terpidana kasus kerusuhan Poso selesai. Tibo menitipkan permintaan maaf.
PINTU toko itu sudah separuh tertutup, akhir pekan lalu. Padahal hari masih petang. Biasanya Toko Kawanua itu masih buka, karena jam tutup toko yang menjual peti mati itu menjelang tengah malam.
Satu dari dua toko peti mati di Palu itu jadi perhatian wartawan sejak tiga peti mati langsung terjual dalam sehari. Peti itu bahkan sudah diangkut entah ke mana. Pembelinya, ”Dorang tidak tahu, tapi katanya bapak dari kejaksaan,” kata salah seorang penjaga toko. Ini tentu petunjuk penting, menjelang eksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, tiga terpidana kasus kerusuhan Poso.
Apalagi seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah mengaku melihat kuitansi pembayaran toko itu di kantornya. ”Satu peti harganya Rp 7 juta,” kata sang jaksa. Itu adalah harga untuk peti mati dengan kayu kalapi. Kayu cokelat tua mengkilat ini memiliki kualitas nomor satu di Sulawesi.
Ada juga kuitansi pemesanan baju setelan jas lengkap, sepatu, dan sarung tangan untuk para terpidana. Setelan untuk Tibo lebih mahal ketimbang dua temannya. ”Untuk Tibo Rp 3 juta, sedangkan untuk Dominggus dan Marinus harganya Rp 2 juta lebih saja,” kata sang jaksa.
Isyarat bahwa eksekusi akan dilakukan juga muncul dari Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen Polisi Oegroseno. ”Eksekusi bisa lebih cepat,” kata dia, Jumat pekan lalu. Semua persiapan yang diperlukan dari pihak polisi sudah dilakukan. Regu penembak dari Brimob Palu dan lokasi eksekusi sudah ditetapkan.
”Waktu dan tempat eksekusi harus dirahasiakan,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Jahja Sibe. Tapi dugaan kuat lokasi eksekusi ketiga terpidana adalah di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Peboya, Kota Palu. Di hutan itu juga, sepuluh tahun yang lalu, seorang terpidana mati dieksekusi. Hanya ada satu jalan menuju hutan Peboya. Ini amat memudahkan pengamanan.
Brigjen Oegroseno pernah menyatakan akan menyiapkan eksekusi di perairan Teluk Palu. Pertimbangannya agar eksekusi itu tidak terlalu menarik perhatian warga Kota Palu. Apalagi lokasi pemakaman Kristen Talise hanya berjarak satu kilometer dari pantai. Ada kabar, jenazah ketiga terpidana Poso itu tak akan dibawa ke kampungnya di Morowali, tapi akan dikubur di Kota Palu. ”Cuma saya susah mencari kapal yang besar,” kata mantan Wakil Kepala Polda BangkaBelitung ini.
Pelaksanaan eksekusi tak terhalang setelah pada Jumat pekan lalu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi Tibo dan dua terpidana lainnya. ”Keputusan penolakan akan segera disampaikan kepada keluarga mereka,” kata Widodo.
Eksekusi para terpidana sempat ditunda dua kali. Pada Desember silam, eksekusi dibatalkan untuk memberikan kesempatan terpidana merayakan Natal. Pada Februari lalu, eksekusi ditunda karena alasan kemanusiaan. ”Sekarang tak ada lagi alasan menunda,” kata Oegroseno.
Kesaksian Tibo tentang 16 pelaku utama kerusuhan Poso gelombang pertama dinilai polisi sumir. Pasalnya, setelah ketiganya diperiksa, ternyata mereka tak melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri. Semua cerita itu berdasar keterangan orang lain yang juga tak bisa jelas ditunjukkan sumbernya. Karena itu polisi menyimpulkan keterangan Tibo bukanlah kesaksian penting untuk mengungkap dalang kerusuhan Poso. Pemeriksaan polisi terhadap namanama yang sudah disebut Tibo juga tak mengantarkan pada bukti dan keterangan baru.
Polisi, kata Oegroseno, bisa membatalkan eksekusi bila ada seorang sukarelawan yang bisa menunjuk hidung pelaku pembunuhan ratusan warga Poso pada Mei 2000. ”Tapi tidak ada orang mau menunjuk pelaku pembunuhan lain. Kalau ada orang yang berani mengatakan Tibo tidak terlibat tapi si Anu, ceritanya bisa lain,” kata Oegroseno.
Pastor Jimmy Antonius Tumbelaka, pendamping rohani para terpidana, menyebut mereka sudah pasrah. ” Tibo hanya menitipkan permintaan maaf kepada saudarasaudara di Poso yang Islam. Meski tetap mengaku tak bersalah, mereka merasa perlu minta maaf,” kata Jimmy seusai menjenguk ketiganya, pekan lalu.
Arif A. Kuswardono, Darlis Muhamad (Palu)

Tempo, 07/XXXV/10 - 16 April 2006
Paulus Tungkanan: Saya Lupa Semuanya

PAULUS Tungkanan seharihari menjabat kepala lingkungan, semacam ketua RT Pria purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu ini kehilangan putranya saat konflik pecah pada April 2000. Rumahnya ikut terbakar ketika desanya, Lombogia, diserbu massa Kelompok Putih.
Saat itu Paulus juga terkena bacokan di punggungnya. Sejak itu ia harus memakai tongkat jika berjalan. ”Kalau jalan jauh, saya juga harus ditemani,” ujarnya Kepada Maria Hasugian dari Tempo, yang mewawancarainya via telepon, Jumat pekan lalu.
Setelah konflik Mei 2000 itu, namanya menghiasi media massa lokal. Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayjen Slamet Kirbianto menyebut Paulus sebagai panglima perang Pasukan Merah, menggantikan Ir Advent Lateka yang tewas. Paulus pun masuk daftar 16 nama yang diungkap tiga terpidana mati, Fabianus Tibo, Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva, sebagai dalang konflik dari Pasukan Merah. Namun Paulus tak ambil pusing. ”Saya tidak menanggapinya. Itu hak mereka,” ujarnya dengan suara meninggi. Berikut petikan wawancara itu.
Sejauh mana keterlibatan Anda dalam konflik pertengahan Mei 2000?
Saya tidak tahu ada konflik satu, dua. Waktu konflik ketiga nama saya baru disebut. Saya pernah ditangkap. Tapi saya jelaskan saya tidak terlibat. Begitu pensiun dari TNI, saya membuka kebun delapan kilometer dari Poso. Saya berkebun cokelat, kopi, dan kelapa. Saya bikin rumah di belakang kebun di Desa Lage.
Tapi Anda masuk daftar 16 nama yang memimpin penyerbuan?
Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Saya tidak kenal Tibo. Orang lain yang kasih daftar nama itu. Saya tidak pusing dengan itu semua. Saya kira itu bohong. Kemarin, Sabtu pekan lalu, saya diperiksa polisi. Sudah empat kali saya diperiksa.
Apa saja yang Anda jelaskan dalam pemeriksaan?
Saya tidak tahu soal konflik itu. Dulu sudah saya jelaskan. Saya sempat ditahan. Saya dulu disergap di sini, dipukul dan dibawa ke polisi. Saya sampai sakit waktu diperiksa dan dirawat di rumah sakit.
Apakah dalam pemeriksaan kemarin Anda dikonfrontir dengan Tibo?
Tidak pernah dipertemukan dengan Tibo. Lagi pula saya diperiksa di Tentena, di rumah saya, karena saya sakit. Saya juga stres karena anak saya tewas sewaktu konflik.
Anda disebut sebagai panglima perang Pasukan Merah setelah Ir Advent Lateka tewas?
Saya tidak tahu konflik sama sekali. Saya sebagai ketua lingkungan satu di Desa Lombogia. Jadi, saya diberi tahu ada rekonsiliasi. Saya pergi tapi saya tidak tahu waktu itu. Saya datang sudah ada Kapolres dan Camat. Tahutahu saya dikepung dan sudah masuk ke halaman Gereja Pniel. Lalu saya dibacok. Setelah itu saya lupa semua.
Tapi itu terjadi pada April 2000. Sedangkan yang disebut Tibo soal penyerbuan ke kompleks Gereja Katolik Santa Theresia, Desa Kayamaya, dan Pesantren Wali Songo?
Ya, ya. Tapi saya tidak tahu soal itu.
Kalau begitu, bagaimana Anda bisa masuk daftar 16 nama itu?
Saya tidak perlu tahu. Saya tidak butuh dengan itu. Kalau mau tahu, silakan ke polisi. Lihat berita acara pemeriksaan saya di situ.

Tempo Edisi 07/XXXV/10 - 16 April 2006

Mencari Keadilan dari Prahara Poso

Isyarat eksekusi tiga terpidana mati kerusuhan Poso telah terdengar. Sejumlah kejanggalan dalam proses hukum dipertanyakan.
GIGI Dominggus da -Silva ber-ge-re-tak. Mulutnya dikatupkan ra-pat-rapat setiap kali dia mendengar kata eksekusi mati. Pemuda asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu memprotes putusan pidana mati yang dialamatkan kepada dia, Fabianus Tibo, dan Marinus Riwu dalam konflik Poso pada tahun 2000. ”Dorang tidak terima putusan itu. Kami akan lawan,” ujarnya tegas.
Dari sejumlah kasus prahara Poso yang sudah berkekuatan hukum tetap, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwulah yang menerima ganjaran paling berat: hukuman mati. Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu memutus ketiganya terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana da-lam konflik Poso. Tidak kurang dari 200 orang tewas, ratusan orang terluka, dan ratusan rumah terbakar.
Putusan itu diperkuat di tingkat ban-ding dan kasasi. Hal itulah yang kemudian melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Sulawesi Tengah da-ri komunitas yang berbeda agama.
Menurut Dominggus terdapat bebe-rapa kejanggalan dalam proses hukum. Tempo mencoba menelusuri kesaksiannya, mulai dari penyelidikan hingga putus di meja hakim.
Awalnya adalah saat ketiga petani karet itu diambil dari rumah mereka di Desa Beteleme dan Ja-mur Jaya, Kecamatan Lembo, Kabupa-ten Morowali, Sulawesi Tengah. Saat itu yang datang bukan aparat kepolisian, tapi tiga aparat TNI berpakaian sipil mengendarai dua mobil Kijang berpelat hitam dan kuning.
”Mereka mengaku dari Pasukan Cinta Damai,” kata mantan Kepala Desa Jamur Jaya, Yulius Sebi, kepada Te-mpo, yang menemuinya di Desa Tomata, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Moro-wali, Rabu 22 Maret silam.
Ketiga aparat itu datang tanpa membawa surat pemberitahuan dari pihak kepolisian. Menurut Robertus Tibo, anak sulung Tibo, ayahnya hanya akan dimintai keterangan seputar penyerbuan ke kompleks Gereja Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kelurahan Kayamaya, dan di Pesantren Wali Songo, Desa Sintuwu Lemba, Kabupaten Poso.
Keluarga Tibo sempat meragukan permintaan itu. Namun akhirnya diterima karena anggota Pasukan Cinta Damai, Kapten (Inf) Agus Firman Yusmo-no menjamin keselamatan ketiganya dan menjanjikan pemulangan mereka se-telah pemeriksaan tiga hari. ”Saya jadi jaminannya,” kata Yulius mengutip pernyataan Agus.
Apalagi, sebelum kedatangan Pasukan Cinta Damai, Ketua Sinode Ger-eja Sulawesi Tengah Pendeta Mahenda Papasi, bersama mantan Ketua Sinode, Agustina Lumentut (almarhum), sempat mendatangi rumah Yulius Sebi. Kedua pendeta itu menempuh perjalanan 150 kilometer dari Tentena ke desa itu.
Di rumah Yulius, kedua pendeta itu membujuk Tibo memberikan keterang-an kepada polisi di Palu. ”Mereka d-atang tiga kali,” ujar Dominggus (l-ihat wawancara Tibo dkk, Kami Tidak Bisa Bicara). Atas bujukan kedua pendeta itu, Tibo, Marinus, dan Dominggus l-uluh. A-khir-nya mereka bertiga bersedia di-bawa Pasukan Cinta Damai ke Palu. ”Jadi tidak benar, Oom Tibo itu ditangkap. Dia menyerahkan diri,” ujar Yulius.
Ketika dikonfirmasi Tempo, Papasi menyangkal kesaksian Yulius itu. ”Saya datang untuk kunjungan biasa. Ke-pri-hati-nan saja,” ujarnya kepada Tempo. ”Saya sendirian waktu itu.”
Ketiganya tak pernah lagi kembali ke rumah sejak Tibo dn kawan-kawan dijemput Pasukan Cinta Damai. Pihak keluarga pun tidak pernah lagi mendengar kabar mereka. ”Tidak ada yang memberi tahu kami,” kata Nurlin Kasiana, istri Tibo. ”Kami tahu kabar Bapak dari TV.”
Pada tahap penyidikan, Tibo men-ilai penyidik dan pengacara mereka, Ro-bert Bofe, menutup-nutupi fakta tentang pe-ristiwa Mei 2000. ”Kami tidak dibolehkan bicara,” ujarnya. Terutama ketika Tibo mengungkap keterlibatan 16 nama dalam konflik Poso tahun 2000. Bofe melarang mereka menyebutkan nama-nama itu. ”Alasannya, kalau kami tuntut 16 nama itu diperiksa, hukuman kami jadi makin berat,” ujar Tibo.
Bofe membantah tuduhan Tibo. ”Oh tidak. Dia keluarkan 16 nama itu pada saat pembelaan di pengadilan. B-ukan saat penyidikan,” ujarnya kepada Tempo. Menurut Tibo, nama-nama itu ada-lah Paulus Tungkanan, Limpadeli, Ladue, Erik Rombot, Theo Manjayo, Edi Bunkundapu, Yahya Patiro, Sigilipu, Obed Tampai, Zon Rungadodi, Yanis Simangunsong, Ventje Angkou, Angki Tungkanan, Heri Banibi, Sarjun alias Gode, dan Guntur Tarinje.
Beberapa nama itu memang pernah di-periksa aparat kepolisian, misalnya Paulus Tungkanan, Edi Bunkudapu, dan Yahya Patiro. Hasilnya, kata Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen Oegroseno, tidak ada bukti kuat yang menyatakan mereka terlibat. ”Alat buktinya lemah,” ujarnya.
Namun dia masih berharap membongkar keterlibatan nama-nama itu. Asal-kan ada saksi mata yang berani bicara. ”Andai ada yang mau jadi volunteer,” ujarnya.
Oegroseno sempat perintahkan anak buah-nya memeriksa 12 dari 16 nama itu di rumah mereka masing-masing di Pa-lu dan Tentena. Rencananya mereka akan dikonfrontir dengan Tibo, Marinus, dan Dominggus. ”Sayang mereka me-nolak se-waktu dikatakan mau dikonfron-tir,” ujar sumber Tempo, Kamis pekan lalu.
Penolakan ini membuat polisi meng-atur strategi agar upaya konfrontir bisa berjalan. Bahkan sempat muncul ide membawa 16 nama itu ke kantor polisi di Palu pada Kamis siang pekan lalu. Namun akhirnya hal itu ditunda untuk meng-hindarkan guncangan di masyarakat.
Sebelumnya, kepada Tempo, mantan Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Poso, Yahya Patiro, menyatakan siap diperiksa kembali. ”Tapi saya minta ha-rus fair dan saya minta dari awal kerusuh-an Poso 1998,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya yang mewah di Palu, 19 M-aret 2006.
Tempo berusaha mewawancarai Paulus Tungkanan, Ventje Angkou, Limpa-deli, dan Edi Bungkundapu dengan me-nemui mereka di Tentena, sekitar 300 kilometer dari Palu. Mereka menolak di-wawancarai.
Pada 5 Juni 2000, Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayjen Slamet Kirbianto menyebut Ir Advent Lateka se-ba-gai pucuk pimpinan Pasukan Merah. Se-telah Lateka tewas, Paulus Tungkanan, purnawirawan TNI berpangkat pembantu letnan satu, menempati posisi itu. Tibo berada di lapisan kedua bersama Yanis Simangunsong.
Namun, entah dengan alasan apa, sebuah dokumen bertajuk ”Respons Mili-ter Terhadap Konflik Sosial di Poso” oleh Yayasan Bina Warga Sulawesi Te-ngah, Oktober 2000, menyebut Tibo se-bagai dalang kerusuhan di Poso
Tibo pun diburu. Kepala Polisi Sula-wesi Tengah waktu itu, Brigjen Zainal Abidin Ishak lalu membuat kesepakat-an dengan Pendeta Agustin Lumentut .
Zainal bersedia membarter empat ta-hanan konflik Poso jika Tibo bisa digiring ke kantornya. Setelah Tibo, Marinus, dan Dominggus berhasil dibujuk, ”Ibu Pendeta lalu minta 10 tahanan dibebaskan. Tapi Kapolda bilang hanya boleh empat,” ujar Bofe.
Ketiganya pun dibarter dengan Ventje Angkou, Yeni Tandega, dan dua orang Timor yang terkena panah saat penyer-bu-an Mei 2000 lalu. Ventje dan dua orang Timor itu—Bofe mengaku lupa nama keduanya—akhirnya dilepas.
Namun Yeni, orang pertama yang masuk ke Poso pada 23 Mei 2000 sebagai laskar penyihir dari Pasukan Lateka, menolak barteran itu. Ia kemudian menjalani persidangan. Majelis hakim memvonis Yeni penjara dua tahun enam bulan. Vonis ini jauh lebih ringan ketimbang tuntutan seumur hidup jaksa Iskandar Sukirman.
Sedangkan Ventje dan dua orang Ti-mor itu tak tersentuh hukum sampai se-karang. Padahal, menurut ketiga terpidana mati itu, Ventjelah yang menceburkan mereka di arena konflik.
Mantan Kepala Polisi Sulawesi Te-ngah, Zainal Abidin Ishak, mengaku lu-pa tentang adanya barter tahanan da-lam kasus Tibo. ”Saya tidak begitu ingat adanya barter-barter,” ujarnya kepada Tempo, yang menemuinya di kantor DPRD Pa-pua, Jayapura, Kamis pekan lalu.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Te-ngah Yahya Sibe memilih tak mengo-mentari bolong-bolong dalam kasus ketiga terpidana mati itu. Menurut dia, kejaksaan tinggal menjalankan perintah undang-undang untuk mengeksek-u-si pu-tusan pengadilan. ”Kalau tidak di-lak-sanakan, jaksa yang salah,” ujarnya. ”Eksekusi harga mati.”
Suara senada juga datang dari Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Menurut Bagir, proses hukum sudah final. Sedangkan permohonan peninjauan kembali kedua dari tiga terpidana mati itu menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Namun ada yang tak lengkap dari pernyataan Bagir itu. Awalnya, Tempo ber-maksud ingin mengetahui lebih terperinci pendapat majelis hakim yang me-mutus perkara peninjauan kembali yang kedua itu. Lalu Tempo mengecek ke bagian registrasi kasasi dan peninjauan kembali di lantai 5 gedung Mahkamah Agung, Kamis pekan lalu.
Menurut seorang staf yang tak mau di-sebut namanya, berkas perkara pe-nin-jauan kembali kedua itu belum disentuh sama sekali. Bagian registrasi baru menerima berkas itu dari Pengadilan Ne-geri Palu pada 27 Maret 2006. ”Berkas juga belum diberi nomor register,” ujar staf itu.
Namun persoalan administrasi itu ter-nyata tak mampu menyelamatkan Tibo dan kawan-kawan. Ketiga terpidana ma-ti itu kini hanya menunggu hari-hari ek-sekusi. Permohonan grasi mereka telah ditolak Presiden.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad, Cunding Levi
Dari Medan Kerusuhan ke Vonis Eksekusi
Kerusuhan Poso pada 2000 silam membawa Tibo dan kawan-kawan ke nasib yang mungkin tak pernah ia duga sama sekali: mendapat vonis hukuman mati. Inilah perjalanan kasus Tibo.
23 Mei 2000Penyerbuan kompleks Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kabupaten Poso. Tiga orang tewas dan kompleks gereja ludes dilalap si jago merah.
28 Mei 2000Penyerbuan Pesantren Wali Songo di Desa Sintuwu Lembah dan Desa Kayamaya di Kabupaten Poso. Tidak kurang dari 200 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan ratusan rumah rusak.
25 Juli 2000Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva menyerahkan diri kepada pasukan Satuan Tugas Cinta Damai. Mereka langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.
4 Desember 2000Sidang pertama Tibo, Marinus, dan Dominggus digelar di Pengadilan Negeri Palu. Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan berencana di sejumlah tempat di Poso pada pertengahan 2000.
15 Maret 2001Jaksa penuntut umum A. Latara membacakan tuntutan hukuman mati bagi Tibo, Marinus, dan Dominggus.
4 April 2001Tibo diperiksa polisi karena mengungkap beberapa nama yang terlibat dalam prahara Poso, Mei 2000.
5 April 2001Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Soedarmo (ketua), Ferdinandus, dan Achmad Fauzi menghukum mati Tibo, Marinus, dan Dominggus.
17 Mei 2001Pengadilan Tinggi menolak banding ketiga terdakwa dan memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu.
14 Juni 2001Tim penasihat hukum ketiga terpidana mati mengajukan memori kasasi.
11 Oktober 2001.Mahkamah Agung menolak putusan kasasi Tibo. Marinus, dan Dominggus.
31 Maret 2004Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan ketiga terpidana mati.
September 2005 Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan grasi ke presiden.
10 November 2005Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani penolakan grasi Tibo, Marinus, dan Dominggus.
20 Februari 2006Tim pengacara Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua.
27 Maret 2006Keluarga Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.