Tuesday, July 29, 2008

Janda-janda, Bukan Kue Korban Konflik

Kompas.com/Josephus Primus
Kue janda-janda tampil dengan dua warna, merah dan hijau. Warna hijau bisa diperoleh dari daun suji yang ditumbuk dan diperas airnya.
/Selasa, 22 Juli 2008 20:55 WIB


BUKAN lantaran Kabupaten Poso pernah terlanda konflik horizontal berdarah delapan tahun lalu yang membuat kue janda-janda terkenal. Memang, semua orang makin paham, konflik sia-sia itu menyisakan kenyataan mulai dari anak yang kehilangan orangtua hingga istri yang kehilangan suami.

"Ini kue sudah sejak lama dikenal masyarakat," kata Oktav Ondagau dari Wahana Visi Indonesia Area Development Program Poso pekan lalu di Desa Sangira, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Sangira tak sepelemparan batu jaraknya dari Poso. Desa ini terletak sekitar 55 kilometer dari Poso menuju selatan arah Tentena. Kurang lebih dua jam lamanya waktu tempuh jarak itu melalui Jalan Trans Sulawesi yang berhutan lebat. Lebar jalan yang menghubungkan bagian selatan dengan utara pulau yang juga kerap disebut Celebes itu cuma sekitar lima meteran.

Menurut Siti Pondete, guru sekolah dasar yang menjadi kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desa tersebut, mungkin disebut "janda" karena penganan berbahan dasar ubi kayu atau singkong itu manis rasanya. "Mungkin karena 'janda' itu manis rasanya," katanya berseloroh.

Untuk membuat kue berbentuk bulat ini, terang Siti, singkong yang juga banyak tumbuh di Sangira, harus dikupas. Kemudian, setelah dicuci bersih, ubi kayu itu diparut. Setelah itu, parutan dibentuk bulat.

Biasanya, kue janda-janda diisi potongan pisang. Potongan buah matang seukuran dua sentimeter itu dimasukkan ke dalam parutan yang sedang dibuat bulat. Sesudah dicampur gula pasir, terang Siti, bulatan tersebut dapat langsung dikukus hingga matang.

Kue janda-janda tampil dengan dua warna, merah dan hijau. Warna hijau bisa diperoleh dari daun suji yang ditumbuk dan diperas airnya. Kalau mau harum baunya, parutan singkong itu bisa juga ditambahkan perasan tumbukan daun pandan. "Warna merah bisa didapat dari pewarna makanan alami yang bisa dibeli di warung-warung," kata Siti.

Kalau sudah dingin, kua janda-janda, kemudian, ditaburi kelapa parut. "Gula pasir juga bisa ditambahkan kalau kue sudah matang," imbuh Siti.

Masyarakat Sangira kerap menyuguhkan kue janda-janda ini untuk berbagai kesempatan. Kue legit itu bahkan bisa menjadi teman saat minum teh atau kopi mulai pagi hingga malam hari. "Kalau ada pesta atau sembahyangan, kue ini pun kami sajikan," demikian Siti.

Josephus Primus

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
dohan @ Sabtu, 26 Juli 2008 09:10 WIB
jandanya apa bisa juga ya di cicipin.... he he he
buby @ Rabu, 23 Juli 2008 17:50 WIB
ehmmm...nikmat banget..sudah lama rasanya tidak merasakan kue ini...di jkt belinya dimana ya..jadi ngiler melihat fotonya

Kaledo, Gara-gara Cuma Dapat Kaki

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Kaledo menjadi pas rasanya asam pedas menyegarkan jika disajikan panas. Kaledo disantap bersama nasi atau ubi kayu alias singkong rebus. Agar terasa gurih, tambahkan pula bawang merah goreng ke dalamnya.

Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:05 WIB
SEJATINYA, Orang Donggala ketinggalan giliran kala ada acara pemotongan lembu di kawasan Sulawesi Tengah. Tapi, jatah paling bontot yakni kaki lembu justru jadi kuliner khas, khususnya di Kota Palu.
Mari simak anekdot dari Jamrin Abubakar, seorang penyair setempat. Konon, ada acara pemotongan lembu. Waktu itu, Orang Jawa datang pertama kali dan mengambil semua daging lembu. Oleh Orang Jawa, bagian yang menurut banyak kalangan paling enak rasanya itu diolah menjadi bakso.
Giliran kedua adalah Orang Makassar. Mereka yang kebanyakan tinggal di kawasan Sulawesi Selatan itu mengambil seluruh jeroan lembu macam hati dan usus untuk dijadikan coto makassar.
Nah, tinggallah Orang Donggala yang cuma kebagian sisa tulang, termasuk tulang kaki yang dagingnya cuma seiprit alias sedikit banget. Tapi, dari bahan minimalis itulah, kreativitas memasak Orang Donggala mencapai titik puncak. Berikut racikan bumbu seperti asam jawa dan cabe rawit, "barang sisa" itu kian sohor dengan sebutan kaledo atau kaki lembu donggala.
Kaledo memang cuma berbahan dasar tulang kaki lembu. Itu pengakuan Reny, salah seorang menantu pasangan almarhum Haji Mansur Kambacong (80) dan Hajjah Rahma Yusuf (70), pekan lalu saat kompas.com bersama David dari Wahana Visi Indonesia berkunjung makan ke Warung Kaledo Abadi di Jalan Diponegoro, Kota Palu.
Hajjah Rahma yang kebetulan tengah mengawasi proses pengolahan makanan tersebut mengatakan dirinya sudah menjalankan usaha kaledo sejak 1970- an. Sementara, Reny yang dipersunting putera kelima Hajjah Rahma yakni Ibrahim Haji Mansur dan kini ikut mengelola warung makan seukuran 20 meter x 5 meter di rumah keluarga mertuanya itu menambahkan mengolah kaki lembu menjadi makanan berkuah encer itu bukan pekerjaan mudah.
Mula-mula, tulang kaki berikut tulang bagian tubuh lembu lainnya dicuci bersih. Kemudian, usai dipotong-potong, seluruh bahan itu dimasak dengan air hingga mendidih. "Air rebusan itu harus dibuang karena di situ kan ada lemak-lemak yang harus juga dibuang," kata Renny.
Proses pertama dengan bahan bakar kayu bakar ini berlanjut ke proses kedua. Pada tahap ini bahan bakar kompor diganti dengan minyak tanah. "Waktu masak pertama kan lama, jadi kami pakai kayu," ujar Renny.
Pada proses kedua, bahan yang sudah ditiriskan dari air rebusan tersebut dimasak lagi dengan air hingga mendidih dan daging pada tulang sudah terasa empuk. Bumbu-bumbu yakni asam jawa mentah, cabe rawit hijau, dan garam pun dimasukkan. Renny mengungkapkan, perlu waktu sekitar dua jam untuk seluruh pengolahan tersebut.
Kaledo menjadi pas rasanya asam pedas menyegarkan jika disajikan panas. David kemudian menjelaskan, kaledo disantap bersama nasi atau ubi kayu alias singkong rebus. Agar terasa gurih, tambahkan pula bawang merah goreng ke dalamnya. "Kalau mau yang khas, ya, yang pakai singkong," katanya.
Siang hari yang lebih sering terasa panas terik di Bumi Tadulako itu adalah waktu paling cocok untuk menyantap kaledo. Warung Kaledo Abadi adalah satu dari beberapa tempat makan kaledo yang ada di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah itu. Di warung yang buka sejak pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah (Wita) hingga pukul 22.00 Wita, seporsi kaledo plus nasi atau singkong dibanderol Rp25.000.
Dalam hitung-hitungan Reny, tiap hari pihaknya bisa mengolah 10 kilogram kaki dan 15 kilogram tulang lembu. "Harga kaki lembu yang mahal, bisa Rp100.000 sebuah," imbuh Reny seraya menambahkan selama seharian sekitar 100 porsi lebih kaledo licin tandas dilahap pelanggan.
Bahan yang juga masuk dalam hitungan belanja adalah asam jawa dan cabe rawit. Rata-rata harga asam jawa seikat Rp1.000. Sementara, seliter cabe rawit harganya Rp20.000. Dengan modal belanja Rp500.000 sehari, usaha kaledo keluarga Hajjah Rahma yang warungnya bisa menampung 50 orang pelanggan ini bisa meraup pemasukan Rp2 juta tiap hari.
Selain Warung Kaledo Abadi, di Kota Palu dan sekitarnya, Anda bisa juga menikmati kaledo di Warung Kaledo Stereo di depan Pantai Taman Ria. Selanjutnya, di poros jalan Palu-Donggala atau tepatnya di Tumbelaka, ada pula Warung Kaledo Megaria. Silakan mencoba!
Josephus Primus

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

joko b. hermanto @ Jumat, 25 Juli 2008 21:06 WIBDemikian pula saya pernah makan Kaledo sebagai menu buka puasa di Poso tahun 1992 tepatnya di areal pelabuhan Poso di mana warung ini begitu sederhana namun sore itu tak banyak pengunjungnya. Yang mengherankan selepas santap Kaledo penjual menyuguhkan buah durian sebagai pencuci mulut dan wajib hukumnya untuk di makan dan buah durian ini gratis. Kalau yang punya kolesterol tinggi jangan coba-coba. Pokoknya enak banget sambil dibelai angin laut senja hari.

Henry @ Rabu, 23 Juli 2008 16:52 WIBSaya pernah makan di Luwuk Banggai di samping hotel Ramayana. Di Palu di jalan yang menuju Donggala. Rasana Ueeeeeenaaaaak. Sayang, saya gak ketemu yang jual Kaledo di Jakarta. Bisa ada yang bantu kasih pemncerahan???

Senang, Femmy Bisa Tersenyum Lagi

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Femmy ikut serta dalam pelatihan jurnalistik proanak di Siuri. Femmy yang terpaksa mengungsi karena konflik Poso sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama.

Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:42 WIB

DANAU Poso, siang menjelang sore. Angin yang bertiup menyapu ombak hingga ke pantai Siuri. Deburannya terdengar keras, tapi tak memekakkan telinga. Aliran air bening semata kaki itu menyentuh hamparan pasir pantai berwarna keemasan di kawasan yang berjarak lebih dari 283 kilometer ke selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Danau yang berada pada ketinggian 675 meter di atas permukaan laut ini merupakan danau ketiga terbesar di Indonesia. Dari ujung utara ke ujung selatan, panjang danau ini berkisar 32 kilometer dengan lebar 16 kilometer. Kedalamannya bisa mencapai 510 meter.
Kala itu Femmy masih duduk memandang ke arah danau yang cuma punya Sungai Poso sebagai satu-satunya saluran menuju ke laut lepas melalui Poso, ibu kota kabupaten. "Aku tinggal di Pamona Tentena sekarang," kata Femmy, kelahiran Poso 16 tahun lalu, membuka pembicaraan.
Delapan tahun lalu, bungsu dari tiga bersaudara ini bersama ayah dan ibunya terpaksa mengungsi ke Tentena. Kota kecil berjarak sekitar 58 kilometer dari Poso ini adalah ibu kota Kecamatan Pamona Utara. Konflik horizontal yang memprihatinkan itu membuat rumah tempat tinggalnya di kawasan pantai pelabuhan Poso di Teluk Tomini, tak jauh dari muara Sungai Poso, hangus terbakar. "Padahal rumah itu tempat yang paling menyenangkan," ujar pemilik nama lengkap Femmy Febriyanti Kumenit.
Memulai kehidupan baru di tempat baru awalnya memang terasa kurang nyaman. Rumah yang lumayan luas mesti berganti dengan rumah papan sederhana. "Tapi, meski kami sekeluarga berstatus pengungsi, tak pernah sehari pun kami lewati dengan kelaparan," begitu pengakuan rasa syukur Femmy.
Femmy tak sendirian. Karibnya, Ripka Margaretha, berikut keluarganya juga terpaksa mengungsi, menghindari dampak negatif kerusuhan. Kalau Femmy pernah tinggal di Poso, Ripka, anak kedua dari lima bersaudara ini, sebelumnya tinggal di Kabupaten Tojo Una-una, kabupaten termuda di Sulawesi Tengah. Kabupaten yang baru berumur lima tahun ini tadinya masuk dalam wilayah Kabupaten Poso.
Menurut Ripka, pelajar kelas XII IPA SMA GKST 2 Tentena, di kota yang terletak di tepi Danau Poso itu, dirinya dan keluarga memang harus memulai kehidupan dari nol lagi. Orangtuanya yang berprofesi di bidang pendidikan inilah yang ikut ambil bagian membangun kembali kehidupan di Tentena, melewati hal-hal sulit.
Sementara, pengalaman Hesty Pratiwi lain lagi. Tadinya, bungsu dari dua bersaudara, bersama ayah dan ibunya tinggal di Malel, Kecamatan Lage. Kecamatan ini masih dalam bagian Kabupaten Poso. Lagi-lagi, memilih untuk menghindari dampak tak mengenakkan dari peristiwa delapan tahun lalu, mereka menetap di Tentena.
Lokasi tempat tinggal Hesty sekeluarga ada di Kelurahan Pamona. Tepatnya di Posma. Orang sekitar mengenal Posma sebagai lokasi pengungsian warga asal Malel.
Tentu, aku Hesty, bukan perkara mudah membiasakan diri dengan berbagai hal baru. Apalagi, dengan kondisi tanah di kawasan itu yang selalu becek saat musim hujan. Soalnya, meski cuma berjarak 600 meter dari rumah, Hesty mesti menempuh jalur itu dengan berjalan kaki di tengah lumpur pekat.
Kebetulan sekali, Hesty, Femmy, dan Ripka menempuh pendidikan di sekolah sama. Pekan lalu, ketiganya juga bertemu dalam kesempatan sama, di Siuri. Sama-sama menambah pengetahuan dalam pelatihan jurnalistik proanak oleh Wahana Visi Indonesia Area Development Program Poso.
Tentena, kota berhawa sejuk ini sempat menjadi basis pengungsi korban konflik Poso. Kota seluas sekitar 400 meter persegi ini kedatangan sekitar 18 ribu jiwa. Tentena dengan enam kelurahan yaitu Tentena, Sangele, Pamona, Petirodongi, Tendeadongi, dan Sawidago, seturut data tahun lalu, dihuni oleh sekitar 25 ribu jiwa. "Sampai sekarang juga masih banyak pengungsi yang menetap di sini," kata Hendra J Parainta, mahasiswa Universitas Kristen Tentena yang ikut ambil bagian menangani problem pengungsi.
Sama seperti persoalan pengungsi di mana pun, segala hal kekurangan selalu menyertai mereka. Di tempat pengungsian, segalanya serba terbatas mulai dari pasokan air, listrik, ketersediaan bahan makanan, bantuan kesehatan, dan kesempatan dan kelengkapan pendidikan khususnya bagi anak-anak, dan lain sebagainya.
Ujung-ujungnya memang, pengalaman kurang mengenakkan acap dialami oleh anak-anak. Femmy, misalnya, mengaku sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama. Demikian halnya dengan kedua rekannya, Ripka dan Hesty.
Tak hanya itu. Sekarang, kawasan Tentena juga mengalami krisis listrik seperti terjadi di hampir seluruh wilayah Nusantara. Pagi, mulai pukul 06.00 Wita hingga pukul 18.00 Wita, listrik lebih sering tak mengalir ke daerah penghasil cengkeh, kakao, dan rotan ini. "Setiap hari ya mati listrik seperti ini," kata Budi, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah lama tinggal di Tentena, jauh sebelum konflik terjadi.
Kondisi serba minim inilah yang dikhawatirkan bakal menghalangi tercapainya pemenuhan hak anak untuk memperoleh pendidikan. Anak pun terancam tak bisa mengemukakan suaranya ke publik karena keterbatasan pengetahuan mengelola informasi.
Oleh karena itulah, seperti juga termaktub dalam catatan refleksi "Bagaimana Poso ke Depan?" di dalam buku Indonesian Top Secret Membongkar Konflik Poso, pemulihan kondisi masyarakat pascakerusuhan salah satunya dilakukan dengan pembelajaran berbagai hal baru untuk pengembangan wawasan pengetahuan. Termasuk, untuk anak-anak tentunya.
Mungkin belum seluruh kenangan kala gonjang-ganjing di Poso, kota yang ironisnya punya semboyan sintuwu maroso atau bersatu kita kuat, yang membekas di benak Femmy dan rekan-rekan delapan tahun lalu hilang. Tapi, bolehlah semua pihak senang karena Femmy bisa tersenyum lagi, menggali bekal di masa depan melalui pelatihan tersebut. "Cuma torang (saya) tak mau kalau kerusuhan seperti itu terjadi lagi. Torang tak mau lagi!" katanya sungguh-sungguh.Josephus Primus

Sogili Bakar dari Danau Poso

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Sogili bakar paling digemari ketimbang yang digoreng atau direbus. Soalnya, rasanya lebih gurih dan kesat.

Kompas, Selasa, 29 Juli 2008 17:03 WIB

ADA yang bilang, belum pas rasanya jika ke Danau Poso, pengunjung belum menikmati ikan sogili bakar. Hewan yang kerap disebut sebagai belut air tawar atau sidat ini memang menu khas andalan beberapa rumah makan, di Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
"Sogili juga ikan mahal. Sekilo bisa Rp45.000," kata Max Powandu dari Wahana Visi Indonesia Area Development Program (ADP) Poso yang mendampingi kompas.com mencoba makanan tersebut di Rumah Makan Rajawali, dekat dari Jalan Potuja, Tentena, dua pekan lalu.
Dua puluh tahunan silam, sogili atau anguilla celebensis mudah didapat di danau yang berada di ketinggian 675 meter di permukaan laut ini. Sogili yang sekujur tubuhnya berlendir ditangkap nelayan setempat menggunakan jaring, tombak maupun jerat berbentuk huruf V berbahan dasar bambu.
Kini, ikan yang tubuhnya rata-rata dua kali lebih besar ketimbang lele yang dijumpai di warung-warung pecel lele Ibu Kota, sudah terhitung langka. Sogili yang pernah ditangkap mencapai panjang 1,8 meter dan berat 20 kilogram. Warga Tentena, sekarang, melakukan budidaya ikan ini di dalam karamba.
Catatan yang dikumpulkan kompas.com dari Irwan Bauda yang juga peneliti asal Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Poso pada 1983 pun menunjukkan sogili bersama dengan ikan anasa (xenopoecillius oophorus), butingi (x poptae), padi (oryzias nigrimas), dan rono danau (oryzias ortognatus) adalah ikan endemik Danau Poso. Kelimanya sudah tergolong hewan langka.
Satu jenis ikan khas Danau Poso yang lainnya yakni bungu atau adrianictis kruity, pada tahun sama, malahan sudah dinyatakan punah. Tampaknya, ikan yang ukurannya 10-15 sentimeter itu mati karena getaran atau debu dari letusan Gunung Colo. Gunung yang letaknya tak jauh dari Danau Poso tersebut, tepatnya di Kabupaten Tojo Una-una, meletus pada tahun itu juga.
Tak cuma itu. Langkanya sogili juga disebabkan oleh perubahan ekosistem Danau Poso. Makin hari, makin banyak ikan dari luar daerah yang dimasukkan ke Danau Poso. Dalam hal ini, ikan mas atau karper (cyprinus carpio) serta ikan nila (oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di situ justru menjadi predator bagi ikan-ikan endemik Danau Poso.
Lalu, ketiadaan kontrol terhadap penangkapan ikan-ikan endemik di danau yang kedalamannya mencapai 510 meter itu juga menjadi penyebab kelangkaan. Sudah begitu, reproduksi ikan-ikan dimaksud terhitung lamban. Soalnya, Setiap kali bertelur, ikan endemik di Danau Poso cuma mengeluarkan 20-25 telur.
Tak kalah pentingya, pencemaran akibat sampah dan limbah rumah tangga di danau terbesar ketiga di Indonesia ini membuat jumlah ikan endemik makin ciut.
Nah, kembali ke menu, selain dibakar, sogili juga bisa direbus atau digoreng. Cuma, seturut pengakuan Max, sogili bakar paling digemari. Soalnya, rasanya lebih gurih dan kesat. "Mungkin lendir di tubuh sogili yang membuat rasanya enak," imbuh Max.
Proses pertama, setelah dibersihkan dan dipotong menjadi empat bagian atau sesuai selera, sogili dibakar di atas arang yang membara. Pada proses ini, belum ada bumbu yang ditambahkan.
Nanti, setelah matang, barulah sogili bakar diberi bumbu. Biasanya, bumbu yang dipakai adalah rica-rica atau dabu-dabu, lengkap dengan tambahan perasan jeruk nipis, potongan tomat, dan bawang merah. Kalau mau terasa manis, penikmat sogili biasanya menambahkan kecap manis pada bumbu sambal tersebut.
Sogili yang tersaji dalam keadaan hangat itu menjadi teman makan nasi. Nikmat rasanya bila nasi yang dihidangkan juga dalam keadaan hangat.
Sementara itu, seperti halnya pecel lele, sogili juga dihidangkan dengan lalap sayuran mentah seperti selada air, timun, maupun kacang panjang serta kemangi. Menikmati sogili bakar, terlebih pada siang hari, sembari memandang indahnya Danau Poso adalah satu dari kekayaan kuliner Tanah Air yang tak ternilai.
Josephus Primus