Friday, June 16, 2006

Selama Operasi Sintuwu Maroso dan Lanto Dago: 400 Perempuan Jadi Korban Kejahatan Seksual
Suara Pembaruan, 15 Juni 2005

[PALU] Selama operasi pemulihan keamanan Poso 2002 hingga Juni 2006, sedikitnya 400 perempuan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oknum aparat keamanan hingga korban hamil dan sekitar 15 persen melakukan aborsi. Mereka yang terpaksa melahirkan anaknya, rata-rata tidak mampu membesarkan bayinya secara layak karena hidup di bawah garis kemiskinan.
Demikian hasil penelitian Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKST) yang disampaikan Koordinator Pendampingan dan Advokasi Perempuan Korban Kekerasan KPKST, Eva Susanti dan Koordinator Pendidikan KPKST, Adriani Badra di Palu, Kamis (15/6).
Dikatakan Eva, antara 2002-2006 digelar dua operasi keamanan di Poso, yaitu Operasi Sintuwu Maroso dan Lanto Dago. Kedua operasi itu melibatkan ribuan aparat keamanan yang bertugas rata-rata 6 bulan. "Selama masa tugas itulah oknum anggota aparat keamanan melakukan tindakan tak terpuji itu. Mereka mendekati perempuan-perempuan di Poso, kemudian memacarinya dan melakukan hubungan seksual di luar nikah," katanya.
Dipaksa
Hasil penelitian KPKST, banyak dari perempuan itu dipaksa melakukan perbuatan haram itu, bahkan tidak jarang ditodong pistol jika menolak menuruti kemauan hawa nafsu sang aparat. Perbuatan itu dilakukan berulang kali sehingga mengakibatkan perempuan-perempuan itu hamil. "Aparat-aparat itu juga mengancam tidak akan menikahi para perempuan jika tidak bersedia berhubungan seksual," ujarnya.
Selain mengalami tekanan psikis yang cukup berat, para korban juga menderita secara fisik, antara lain terkena infeksi kandungan dan kanker rahim. Dalam kehidupan sehari-hari, para korban cenderung menutup diri dari warga di sekitar rumah mereka. Bahkan, tidak sedikit korban yang berteriak-teriak ketakutan jika melihat oknum aparat keamanan.
Ironisnya, tambahnya, selama program rehabilitasi korban konflik Poso bergulir, para korban kejahatan seksual ini luput dari perhatian pemerintah. Selain tidak pernah mendapat bantuan secara ekonomi, mereka tidak pernah mendapat bantuan konseling dari pemerintah. Padahal, mereka mengalami trauma yang cukup dalam dan himpitan ekonomi untuk menghidupi anak-anaknya.
Pemerintah sepertinya lupa jika para korban itu, selain menderita karena konflik Poso, juga menderita karena perbuatan aparat keamanan negara. "Kedatangan ribuan aparat keamanan ke Poso bukan secara pribadi, tetapi secara institusi. Karena itu pemerintah harus bertanggung jawab memberikan jalan keluar bagi para korban agar dapat hidup lebih layak di kemudian hari," katanya.
Menurut Adriani, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah. Langkah itu, menyembuhkan luka psikis para korban melalui sejumlah program konseling, mengadili dan menghukum oknum aparat keamanan yang melakukan kejahatan seksual untuk memberikan rasa adil bagi para korban sekaligus memberikan efek jera bagi aparat yang masih bertugas di Poso.
Langkah selanjutnya, memberikan modal kerja bagi para korban untuk membuka usaha dan mengakui keberadaan anak para korban dengan mengeluarkan akta kelahiran. Hampir semua anak korban tidak memiliki akta kelahiran karena tidak mempunyai ayah. [128]

No comments: