Senang, Femmy Bisa Tersenyum Lagi
World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Femmy ikut serta dalam pelatihan jurnalistik proanak di Siuri. Femmy yang terpaksa mengungsi karena konflik Poso sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama.
Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:42 WIB
DANAU Poso, siang menjelang sore. Angin yang bertiup menyapu ombak hingga ke pantai Siuri. Deburannya terdengar keras, tapi tak memekakkan telinga. Aliran air bening semata kaki itu menyentuh hamparan pasir pantai berwarna keemasan di kawasan yang berjarak lebih dari 283 kilometer ke selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Danau yang berada pada ketinggian 675 meter di atas permukaan laut ini merupakan danau ketiga terbesar di Indonesia. Dari ujung utara ke ujung selatan, panjang danau ini berkisar 32 kilometer dengan lebar 16 kilometer. Kedalamannya bisa mencapai 510 meter.
Kala itu Femmy masih duduk memandang ke arah danau yang cuma punya Sungai Poso sebagai satu-satunya saluran menuju ke laut lepas melalui Poso, ibu kota kabupaten. "Aku tinggal di Pamona Tentena sekarang," kata Femmy, kelahiran Poso 16 tahun lalu, membuka pembicaraan.
Delapan tahun lalu, bungsu dari tiga bersaudara ini bersama ayah dan ibunya terpaksa mengungsi ke Tentena. Kota kecil berjarak sekitar 58 kilometer dari Poso ini adalah ibu kota Kecamatan Pamona Utara. Konflik horizontal yang memprihatinkan itu membuat rumah tempat tinggalnya di kawasan pantai pelabuhan Poso di Teluk Tomini, tak jauh dari muara Sungai Poso, hangus terbakar. "Padahal rumah itu tempat yang paling menyenangkan," ujar pemilik nama lengkap Femmy Febriyanti Kumenit.
Memulai kehidupan baru di tempat baru awalnya memang terasa kurang nyaman. Rumah yang lumayan luas mesti berganti dengan rumah papan sederhana. "Tapi, meski kami sekeluarga berstatus pengungsi, tak pernah sehari pun kami lewati dengan kelaparan," begitu pengakuan rasa syukur Femmy.
Femmy tak sendirian. Karibnya, Ripka Margaretha, berikut keluarganya juga terpaksa mengungsi, menghindari dampak negatif kerusuhan. Kalau Femmy pernah tinggal di Poso, Ripka, anak kedua dari lima bersaudara ini, sebelumnya tinggal di Kabupaten Tojo Una-una, kabupaten termuda di Sulawesi Tengah. Kabupaten yang baru berumur lima tahun ini tadinya masuk dalam wilayah Kabupaten Poso.
Menurut Ripka, pelajar kelas XII IPA SMA GKST 2 Tentena, di kota yang terletak di tepi Danau Poso itu, dirinya dan keluarga memang harus memulai kehidupan dari nol lagi. Orangtuanya yang berprofesi di bidang pendidikan inilah yang ikut ambil bagian membangun kembali kehidupan di Tentena, melewati hal-hal sulit.
Sementara, pengalaman Hesty Pratiwi lain lagi. Tadinya, bungsu dari dua bersaudara, bersama ayah dan ibunya tinggal di Malel, Kecamatan Lage. Kecamatan ini masih dalam bagian Kabupaten Poso. Lagi-lagi, memilih untuk menghindari dampak tak mengenakkan dari peristiwa delapan tahun lalu, mereka menetap di Tentena.
Lokasi tempat tinggal Hesty sekeluarga ada di Kelurahan Pamona. Tepatnya di Posma. Orang sekitar mengenal Posma sebagai lokasi pengungsian warga asal Malel.
Tentu, aku Hesty, bukan perkara mudah membiasakan diri dengan berbagai hal baru. Apalagi, dengan kondisi tanah di kawasan itu yang selalu becek saat musim hujan. Soalnya, meski cuma berjarak 600 meter dari rumah, Hesty mesti menempuh jalur itu dengan berjalan kaki di tengah lumpur pekat.
Kebetulan sekali, Hesty, Femmy, dan Ripka menempuh pendidikan di sekolah sama. Pekan lalu, ketiganya juga bertemu dalam kesempatan sama, di Siuri. Sama-sama menambah pengetahuan dalam pelatihan jurnalistik proanak oleh Wahana Visi Indonesia Area Development Program Poso.
Tentena, kota berhawa sejuk ini sempat menjadi basis pengungsi korban konflik Poso. Kota seluas sekitar 400 meter persegi ini kedatangan sekitar 18 ribu jiwa. Tentena dengan enam kelurahan yaitu Tentena, Sangele, Pamona, Petirodongi, Tendeadongi, dan Sawidago, seturut data tahun lalu, dihuni oleh sekitar 25 ribu jiwa. "Sampai sekarang juga masih banyak pengungsi yang menetap di sini," kata Hendra J Parainta, mahasiswa Universitas Kristen Tentena yang ikut ambil bagian menangani problem pengungsi.
Sama seperti persoalan pengungsi di mana pun, segala hal kekurangan selalu menyertai mereka. Di tempat pengungsian, segalanya serba terbatas mulai dari pasokan air, listrik, ketersediaan bahan makanan, bantuan kesehatan, dan kesempatan dan kelengkapan pendidikan khususnya bagi anak-anak, dan lain sebagainya.
Ujung-ujungnya memang, pengalaman kurang mengenakkan acap dialami oleh anak-anak. Femmy, misalnya, mengaku sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama. Demikian halnya dengan kedua rekannya, Ripka dan Hesty.
Tak hanya itu. Sekarang, kawasan Tentena juga mengalami krisis listrik seperti terjadi di hampir seluruh wilayah Nusantara. Pagi, mulai pukul 06.00 Wita hingga pukul 18.00 Wita, listrik lebih sering tak mengalir ke daerah penghasil cengkeh, kakao, dan rotan ini. "Setiap hari ya mati listrik seperti ini," kata Budi, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah lama tinggal di Tentena, jauh sebelum konflik terjadi.
Kondisi serba minim inilah yang dikhawatirkan bakal menghalangi tercapainya pemenuhan hak anak untuk memperoleh pendidikan. Anak pun terancam tak bisa mengemukakan suaranya ke publik karena keterbatasan pengetahuan mengelola informasi.
Oleh karena itulah, seperti juga termaktub dalam catatan refleksi "Bagaimana Poso ke Depan?" di dalam buku Indonesian Top Secret Membongkar Konflik Poso, pemulihan kondisi masyarakat pascakerusuhan salah satunya dilakukan dengan pembelajaran berbagai hal baru untuk pengembangan wawasan pengetahuan. Termasuk, untuk anak-anak tentunya.
Mungkin belum seluruh kenangan kala gonjang-ganjing di Poso, kota yang ironisnya punya semboyan sintuwu maroso atau bersatu kita kuat, yang membekas di benak Femmy dan rekan-rekan delapan tahun lalu hilang. Tapi, bolehlah semua pihak senang karena Femmy bisa tersenyum lagi, menggali bekal di masa depan melalui pelatihan tersebut. "Cuma torang (saya) tak mau kalau kerusuhan seperti itu terjadi lagi. Torang tak mau lagi!" katanya sungguh-sungguh.Josephus Primus
World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Femmy ikut serta dalam pelatihan jurnalistik proanak di Siuri. Femmy yang terpaksa mengungsi karena konflik Poso sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama.
Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:42 WIB
DANAU Poso, siang menjelang sore. Angin yang bertiup menyapu ombak hingga ke pantai Siuri. Deburannya terdengar keras, tapi tak memekakkan telinga. Aliran air bening semata kaki itu menyentuh hamparan pasir pantai berwarna keemasan di kawasan yang berjarak lebih dari 283 kilometer ke selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Danau yang berada pada ketinggian 675 meter di atas permukaan laut ini merupakan danau ketiga terbesar di Indonesia. Dari ujung utara ke ujung selatan, panjang danau ini berkisar 32 kilometer dengan lebar 16 kilometer. Kedalamannya bisa mencapai 510 meter.
Kala itu Femmy masih duduk memandang ke arah danau yang cuma punya Sungai Poso sebagai satu-satunya saluran menuju ke laut lepas melalui Poso, ibu kota kabupaten. "Aku tinggal di Pamona Tentena sekarang," kata Femmy, kelahiran Poso 16 tahun lalu, membuka pembicaraan.
Delapan tahun lalu, bungsu dari tiga bersaudara ini bersama ayah dan ibunya terpaksa mengungsi ke Tentena. Kota kecil berjarak sekitar 58 kilometer dari Poso ini adalah ibu kota Kecamatan Pamona Utara. Konflik horizontal yang memprihatinkan itu membuat rumah tempat tinggalnya di kawasan pantai pelabuhan Poso di Teluk Tomini, tak jauh dari muara Sungai Poso, hangus terbakar. "Padahal rumah itu tempat yang paling menyenangkan," ujar pemilik nama lengkap Femmy Febriyanti Kumenit.
Memulai kehidupan baru di tempat baru awalnya memang terasa kurang nyaman. Rumah yang lumayan luas mesti berganti dengan rumah papan sederhana. "Tapi, meski kami sekeluarga berstatus pengungsi, tak pernah sehari pun kami lewati dengan kelaparan," begitu pengakuan rasa syukur Femmy.
Femmy tak sendirian. Karibnya, Ripka Margaretha, berikut keluarganya juga terpaksa mengungsi, menghindari dampak negatif kerusuhan. Kalau Femmy pernah tinggal di Poso, Ripka, anak kedua dari lima bersaudara ini, sebelumnya tinggal di Kabupaten Tojo Una-una, kabupaten termuda di Sulawesi Tengah. Kabupaten yang baru berumur lima tahun ini tadinya masuk dalam wilayah Kabupaten Poso.
Menurut Ripka, pelajar kelas XII IPA SMA GKST 2 Tentena, di kota yang terletak di tepi Danau Poso itu, dirinya dan keluarga memang harus memulai kehidupan dari nol lagi. Orangtuanya yang berprofesi di bidang pendidikan inilah yang ikut ambil bagian membangun kembali kehidupan di Tentena, melewati hal-hal sulit.
Sementara, pengalaman Hesty Pratiwi lain lagi. Tadinya, bungsu dari dua bersaudara, bersama ayah dan ibunya tinggal di Malel, Kecamatan Lage. Kecamatan ini masih dalam bagian Kabupaten Poso. Lagi-lagi, memilih untuk menghindari dampak tak mengenakkan dari peristiwa delapan tahun lalu, mereka menetap di Tentena.
Lokasi tempat tinggal Hesty sekeluarga ada di Kelurahan Pamona. Tepatnya di Posma. Orang sekitar mengenal Posma sebagai lokasi pengungsian warga asal Malel.
Tentu, aku Hesty, bukan perkara mudah membiasakan diri dengan berbagai hal baru. Apalagi, dengan kondisi tanah di kawasan itu yang selalu becek saat musim hujan. Soalnya, meski cuma berjarak 600 meter dari rumah, Hesty mesti menempuh jalur itu dengan berjalan kaki di tengah lumpur pekat.
Kebetulan sekali, Hesty, Femmy, dan Ripka menempuh pendidikan di sekolah sama. Pekan lalu, ketiganya juga bertemu dalam kesempatan sama, di Siuri. Sama-sama menambah pengetahuan dalam pelatihan jurnalistik proanak oleh Wahana Visi Indonesia Area Development Program Poso.
Tentena, kota berhawa sejuk ini sempat menjadi basis pengungsi korban konflik Poso. Kota seluas sekitar 400 meter persegi ini kedatangan sekitar 18 ribu jiwa. Tentena dengan enam kelurahan yaitu Tentena, Sangele, Pamona, Petirodongi, Tendeadongi, dan Sawidago, seturut data tahun lalu, dihuni oleh sekitar 25 ribu jiwa. "Sampai sekarang juga masih banyak pengungsi yang menetap di sini," kata Hendra J Parainta, mahasiswa Universitas Kristen Tentena yang ikut ambil bagian menangani problem pengungsi.
Sama seperti persoalan pengungsi di mana pun, segala hal kekurangan selalu menyertai mereka. Di tempat pengungsian, segalanya serba terbatas mulai dari pasokan air, listrik, ketersediaan bahan makanan, bantuan kesehatan, dan kesempatan dan kelengkapan pendidikan khususnya bagi anak-anak, dan lain sebagainya.
Ujung-ujungnya memang, pengalaman kurang mengenakkan acap dialami oleh anak-anak. Femmy, misalnya, mengaku sempat tak bersekolah dalam jangka waktu lama. Demikian halnya dengan kedua rekannya, Ripka dan Hesty.
Tak hanya itu. Sekarang, kawasan Tentena juga mengalami krisis listrik seperti terjadi di hampir seluruh wilayah Nusantara. Pagi, mulai pukul 06.00 Wita hingga pukul 18.00 Wita, listrik lebih sering tak mengalir ke daerah penghasil cengkeh, kakao, dan rotan ini. "Setiap hari ya mati listrik seperti ini," kata Budi, pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah lama tinggal di Tentena, jauh sebelum konflik terjadi.
Kondisi serba minim inilah yang dikhawatirkan bakal menghalangi tercapainya pemenuhan hak anak untuk memperoleh pendidikan. Anak pun terancam tak bisa mengemukakan suaranya ke publik karena keterbatasan pengetahuan mengelola informasi.
Oleh karena itulah, seperti juga termaktub dalam catatan refleksi "Bagaimana Poso ke Depan?" di dalam buku Indonesian Top Secret Membongkar Konflik Poso, pemulihan kondisi masyarakat pascakerusuhan salah satunya dilakukan dengan pembelajaran berbagai hal baru untuk pengembangan wawasan pengetahuan. Termasuk, untuk anak-anak tentunya.
Mungkin belum seluruh kenangan kala gonjang-ganjing di Poso, kota yang ironisnya punya semboyan sintuwu maroso atau bersatu kita kuat, yang membekas di benak Femmy dan rekan-rekan delapan tahun lalu hilang. Tapi, bolehlah semua pihak senang karena Femmy bisa tersenyum lagi, menggali bekal di masa depan melalui pelatihan tersebut. "Cuma torang (saya) tak mau kalau kerusuhan seperti itu terjadi lagi. Torang tak mau lagi!" katanya sungguh-sungguh.Josephus Primus
No comments:
Post a Comment