Tuesday, July 29, 2008

Kaledo, Gara-gara Cuma Dapat Kaki

World Vision Indonesia/Juliarti Sianturi
Kaledo menjadi pas rasanya asam pedas menyegarkan jika disajikan panas. Kaledo disantap bersama nasi atau ubi kayu alias singkong rebus. Agar terasa gurih, tambahkan pula bawang merah goreng ke dalamnya.

Kompas, Rabu, 23 Juli 2008 16:05 WIB
SEJATINYA, Orang Donggala ketinggalan giliran kala ada acara pemotongan lembu di kawasan Sulawesi Tengah. Tapi, jatah paling bontot yakni kaki lembu justru jadi kuliner khas, khususnya di Kota Palu.
Mari simak anekdot dari Jamrin Abubakar, seorang penyair setempat. Konon, ada acara pemotongan lembu. Waktu itu, Orang Jawa datang pertama kali dan mengambil semua daging lembu. Oleh Orang Jawa, bagian yang menurut banyak kalangan paling enak rasanya itu diolah menjadi bakso.
Giliran kedua adalah Orang Makassar. Mereka yang kebanyakan tinggal di kawasan Sulawesi Selatan itu mengambil seluruh jeroan lembu macam hati dan usus untuk dijadikan coto makassar.
Nah, tinggallah Orang Donggala yang cuma kebagian sisa tulang, termasuk tulang kaki yang dagingnya cuma seiprit alias sedikit banget. Tapi, dari bahan minimalis itulah, kreativitas memasak Orang Donggala mencapai titik puncak. Berikut racikan bumbu seperti asam jawa dan cabe rawit, "barang sisa" itu kian sohor dengan sebutan kaledo atau kaki lembu donggala.
Kaledo memang cuma berbahan dasar tulang kaki lembu. Itu pengakuan Reny, salah seorang menantu pasangan almarhum Haji Mansur Kambacong (80) dan Hajjah Rahma Yusuf (70), pekan lalu saat kompas.com bersama David dari Wahana Visi Indonesia berkunjung makan ke Warung Kaledo Abadi di Jalan Diponegoro, Kota Palu.
Hajjah Rahma yang kebetulan tengah mengawasi proses pengolahan makanan tersebut mengatakan dirinya sudah menjalankan usaha kaledo sejak 1970- an. Sementara, Reny yang dipersunting putera kelima Hajjah Rahma yakni Ibrahim Haji Mansur dan kini ikut mengelola warung makan seukuran 20 meter x 5 meter di rumah keluarga mertuanya itu menambahkan mengolah kaki lembu menjadi makanan berkuah encer itu bukan pekerjaan mudah.
Mula-mula, tulang kaki berikut tulang bagian tubuh lembu lainnya dicuci bersih. Kemudian, usai dipotong-potong, seluruh bahan itu dimasak dengan air hingga mendidih. "Air rebusan itu harus dibuang karena di situ kan ada lemak-lemak yang harus juga dibuang," kata Renny.
Proses pertama dengan bahan bakar kayu bakar ini berlanjut ke proses kedua. Pada tahap ini bahan bakar kompor diganti dengan minyak tanah. "Waktu masak pertama kan lama, jadi kami pakai kayu," ujar Renny.
Pada proses kedua, bahan yang sudah ditiriskan dari air rebusan tersebut dimasak lagi dengan air hingga mendidih dan daging pada tulang sudah terasa empuk. Bumbu-bumbu yakni asam jawa mentah, cabe rawit hijau, dan garam pun dimasukkan. Renny mengungkapkan, perlu waktu sekitar dua jam untuk seluruh pengolahan tersebut.
Kaledo menjadi pas rasanya asam pedas menyegarkan jika disajikan panas. David kemudian menjelaskan, kaledo disantap bersama nasi atau ubi kayu alias singkong rebus. Agar terasa gurih, tambahkan pula bawang merah goreng ke dalamnya. "Kalau mau yang khas, ya, yang pakai singkong," katanya.
Siang hari yang lebih sering terasa panas terik di Bumi Tadulako itu adalah waktu paling cocok untuk menyantap kaledo. Warung Kaledo Abadi adalah satu dari beberapa tempat makan kaledo yang ada di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah itu. Di warung yang buka sejak pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah (Wita) hingga pukul 22.00 Wita, seporsi kaledo plus nasi atau singkong dibanderol Rp25.000.
Dalam hitung-hitungan Reny, tiap hari pihaknya bisa mengolah 10 kilogram kaki dan 15 kilogram tulang lembu. "Harga kaki lembu yang mahal, bisa Rp100.000 sebuah," imbuh Reny seraya menambahkan selama seharian sekitar 100 porsi lebih kaledo licin tandas dilahap pelanggan.
Bahan yang juga masuk dalam hitungan belanja adalah asam jawa dan cabe rawit. Rata-rata harga asam jawa seikat Rp1.000. Sementara, seliter cabe rawit harganya Rp20.000. Dengan modal belanja Rp500.000 sehari, usaha kaledo keluarga Hajjah Rahma yang warungnya bisa menampung 50 orang pelanggan ini bisa meraup pemasukan Rp2 juta tiap hari.
Selain Warung Kaledo Abadi, di Kota Palu dan sekitarnya, Anda bisa juga menikmati kaledo di Warung Kaledo Stereo di depan Pantai Taman Ria. Selanjutnya, di poros jalan Palu-Donggala atau tepatnya di Tumbelaka, ada pula Warung Kaledo Megaria. Silakan mencoba!
Josephus Primus

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

joko b. hermanto @ Jumat, 25 Juli 2008 21:06 WIBDemikian pula saya pernah makan Kaledo sebagai menu buka puasa di Poso tahun 1992 tepatnya di areal pelabuhan Poso di mana warung ini begitu sederhana namun sore itu tak banyak pengunjungnya. Yang mengherankan selepas santap Kaledo penjual menyuguhkan buah durian sebagai pencuci mulut dan wajib hukumnya untuk di makan dan buah durian ini gratis. Kalau yang punya kolesterol tinggi jangan coba-coba. Pokoknya enak banget sambil dibelai angin laut senja hari.

Henry @ Rabu, 23 Juli 2008 16:52 WIBSaya pernah makan di Luwuk Banggai di samping hotel Ramayana. Di Palu di jalan yang menuju Donggala. Rasana Ueeeeeenaaaaak. Sayang, saya gak ketemu yang jual Kaledo di Jakarta. Bisa ada yang bantu kasih pemncerahan???

No comments: