Tempo, No. 17/XXXVI/18 - 24 Juni 2007
Bunyi Dor pada Hari Pencoblosan
Polisi menyergap Abu Dujana yang sekian lama diburu. Tujuh orang tersangka kasus terorisme diringkus beberapa jam kemudian. Seorang di antaranya belakangan diketahui sebagai pemimpin tertinggi sementara Jamaah Islamiyah. Meski ruang geraknya semakin terbatas, kelompok ini tak bisa dianggap remeh. Simak wawancara khusus Tempo dengan Abu Dujana.
WAKTU zuhur sebentar lagi menjelang. Pemilihan kepala desa di Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu dua pekan lalu, tiba pada hari pencoblosan. Anak-anak bermain di luar rumah. Yusron Mahmudi, 37 tahun, pun ingin membagikan keriangan itu untuk empat anaknya.
Ia lalu memboncengkan tiga anaknya, 8 tahun, 5 tahun, dan 2½ tahun, dengan sepeda motor. Si bungsu yang baru enam bulan ada di gendongan Sri Mardiyati, ibunya. ”Bu, saya jalan pelan-pelan, nanti nyusul,” kata Yusron kepada istrinya, yang sedang mengunci pintu rumah.
Tiba-tiba sebuah mobil memepet Yusron dan tiga anaknya. Seorang penumpang, yang ternyata anggota Satuan Tugas Bom Kepolisian, meminta pria yang dikenal tetangganya sebagai pedagang kelontong itu turun. Lalu terdengar tembakan. Paha kiri Yusron tertembus peluru. Menurut polisi, ia didor karena hendak lari. Tapi kepada Erwin Dariyanto dari Tempo, Kamis pekan lalu, istrinya menuturkan bahwa Yusron ditembak setelah menuruti perintah untuk berjongkok dan angkat tangan.
Yusron rupanya menjadi incaran polisi, yang telah mengidentifikasi dirinya sebagai Abu Dujana, buron kelas kakap yang dituduh terlibat serangkaian aksi terorisme di Tanah Air. Ia juga diyakini memimpin sayap militer Jamaah Islamiyah, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dimasukkan daftar teroris internasional. Berdasarkan foto lama Abu Dujana dan keterangan para tersangka kasus terorisme yang ditangkap di Yogyakarta, akhir Maret lalu, ciri-ciri fisik Yusron dipastikan identik dengan sang buron.
Itu sebabnya, begitu Yusron dipastikan ada di rumah, polisi langsung bergerak. Pada Kamis malam sebelum penangkapan, Brigadir Jenderal Surya Dharma Salim, Komandan Satgas Bom, dan Inspektur Jenderal Gorries Mere, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, yang baru tiba dari Singapura, terbang ke Cilacap menggunakan pesawat khusus polisi, Beecraft 1900D. Dari Cilacap, kedua jenderal ini meluncur ke Banyumas—hampir sejam perjalanan dengan mobil—untuk ikut mengendalikan operasi dari lapangan.
Menurut seorang anggota Satgas Bom, sebelum pasukannya beraksi, Gorries menelepon Kepala Polri Jenderal Sutanto untuk meminta restu. Segera setelah dipastikan bahwa yang ditangkap adalah Abu Dujana, Gorries melapor ke Sutanto. Kapolri lalu melaporkan tangkapan kakap itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Begitu Abu Dujana dalam genggaman, polisi yang juga sudah bersiaga di beberapa daerah lainnya segera bergerak. Mereka menangkap Zarkasih alias Mbah, 45 tahun, di Yogyakarta sore harinya. Di kota itu juga ditangkap Nur Afiffuddin alias Suharto alias Haryanto (33), Azis alias Mustafa alias Ari (33), dan Tri alias Aris Widodo (31). Di Surabaya, polisi mencokok Arif Syarifuddin alias Firdaus alias Fito (29). Ada dua lagi yang ditangkap yaitu Isa Anshori alias Muchaironi (17) dan Ade Setyawan alias Fauzan (19). Dua nama terakhir kabarnya akan segera dilepas.
Para tersangka tidak melawan ketika ditangkap. Menurut seorang polisi, hanya Azis yang berusaha minggat ketika Satgas Bom mendatangi rumahnya pada Sabtu malam. Ia sempat duel dengan polisi di tengah kegelapan sawah, meski akhirnya menyerah. Bagaimanapun, Abu Dujanalah bintang di antara para tangkapan.
Nama Abu Dujana muncul dalam radar polisi setelah peledakan Hotel JW Marriott, Jakarta, 5 Agustus 2003. Dua bulan sebelum pengeboman itu, ia yang saat itu menjadi sekretaris komando pusat Jamaah Islamiyah, dan Qotadah alias Basyir, anggota Mantiqi II (Jawa-Bali), menemui Noor Din Mohammad Top dan Dr Azahari. Dua nama terakhir diyakini sebagai otak berbagai pengeboman. Azahari tewas dalam penggerebekan polisi di Batu, Jawa Timur, November 2005.
Abu Dujana, Qotadah, Noor Din, dan Azahari kembali bertemu di Bandung beberapa hari setelah peledakan. ”Mereka bicara hingga larut malam,” kata Ismail alias Muhammad Ikhwan, tersangka kasus pengeboman yang menewaskan belasan orang itu, kepada polisi tiga tahun silam.
Menurut seorang penyelidik, Abu Dujana selama pemeriksaan sepanjang pekan lalu mengakui adanya pertemuan itu. Namun ia mengaku tidak setuju dengan pengeboman Marriott dan sempat ribut dengan Noor Din serta Azahari. ”Abu Dujana mengaku mempertanyakan alasan Noor Din dan Azahari mengebom Marriott,” kata penyelidik itu kepada Tempo. Noor Din sengit menjawab gugatan itu, ”Musuh-musuh kita akan menghancurkan kita jika kita tidak menghancurkan mereka terlebih dahulu.”
Setelah pertemuan itu, Abu Dujana memutuskan mengirim Noor Din dan Azahari ke Jawa Timur. Ia menitipkan kedua buron kepada Fahim, Ketua Jamaah Islamiyah di wilayah itu. Fahim, dengan bantuan anak buahnya, memindahkan mereka ke sejumlah tempat seperti Blitar, Kediri, Pasuruan, Surabaya, dan Malang. Karena keputusannya itu, polisi menuduh Abu Dujana menyembunyikan buron.
Polisi betul-betul mengawasi Abu Dujana dengan ketat setelah meletusnya konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Dari sejumlah orang tersangka yang ditangkap, polisi menyimpulkan bahwa keterlibatan pria bernama kecil Ainul Bahri itu sangat besar. ”Ia mengendalikan pengiriman senjata api, amunisi, bahan peledak, dan bom dari Jawa ke Poso,” kata Surya Dharma dalam konferensi pers, Jumat pekan lalu.
Polisi juga menuduh Abu Dujana mengendalikan sejumlah operasi di Poso, termasuk menerima Rp 500 juta hasil rampokan gaji pegawai pemerintah daerah itu pada 2005. Dari keterangan Surya Dharma itu, polisi mengusut peran Abu Dujana dalam bom Marriott, bom Kedutaan Besar Australia 9 September 2004, dan bom Bali II November 2005.
Orang-orang dekatnya memang tidak percaya Abu Dujana terlibat dalam aksi teror itu. Abu Rusdan—menurut polisi adalah Amir Jamaah Islamiyah ketika Abu Bakar Ba’asyir ditangkap pada 2002—mengatakan bahwa Abu Dujana pada dasarnya tidak setuju dengan pengeboman. ”Ia berpendapat, perjalanan jihad yang kita lakukan belum perlu sampai menggunakan kekuatan operasi seperti itu,” kata Abu Rusdan kepada Tempo.
Sebelum ditangkap pada April 2003, Abu Rusdan cukup dekat dengan Abu Dujana. Ketika ia memimpin rapat Jamaah Islamiyah di Tawangmangu, Jawa Tengah, dan Puncak, Jawa Barat, Abu Dujanalah yang menjadi notulisnya. Abu Rusdan juga menganggap Dujana teman berdiskusi yang baik.
Seorang sahabatnya yang lain juga mengatakan tidak percaya Abu Dujana terlibat pengeboman. Namun ia mengatakan bisa jadi Abu Dujana memang terlibat aksi kekerasan di Poso. ”Dujana punya dasar bahwa Poso, seperti telah diputuskan oleh Jamaah Islamiyah, adalah daerah jihad karena umat Islam diserang,” kata anggota Jamaah Islamiyah yang tak mau disebut namanya itu.
Kepada polisi yang memeriksanya, Abu Dujana tampaknya cukup terbuka. Awalnya, ia memang enggan buka mulut. Mungkin karena stres, menurut seorang penyelidik, pria itu sempat muntah-muntah. Tapi belakangan ia mulai banyak bercerita. Untuk memperjelas keterangannya, ia bahkan menggambar bagan organisasi terbaru Jamaah Islamiyah.
Dari situ terungkap bahwa Abu Dujana memimpin sayap militer Jamaah Islamiyah sejak 2004, ketika pemimpin tertinggi organisasi itu dijabat Adung alias Sunarto bin Kartodiharjo. Terungkap pula bahwa Zarkasih alias Mbah kini adalah pemimpin tertinggi darurat Jamaah Islamiyah, setelah Adung ditangkap polisi di Surakarta pada tahun yang sama.
Zarkasih adalah alumni kamp pelatihan militer Abbas, Afganistan, angkatan kelima (1987) atau dua angkatan di atas Abu Dujana. Ia lulus dengan predikat terbaik kedua di bawah Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III (Sulawesi) Jamaah Islamiyah.
Nama Zarkasih, seperti juga halnya Abu Dujana, menarik perhatian polisi setelah tertangkapnya para tersangka kasus Poso. Dari keterangan mereka, diketahui bahwa para ustad yang terjun ke Poso, termasuk yang tewas dalam baku tembak dengan polisi pada Januari lalu, memiliki kaitan dengan Zarkasih. Pengiriman bahan peledak ke wilayah itu juga diketahui atas persetujuannya.
Bersama Abu Dujana, Zarkasih memimpin Jamaah Islamiyah yang tinggal remah-remah karena para pemimpin pucuknya ditangkapi. Keduanya lalu membentuk struktur baru yang lebih ramping, dengan menghilangkan beberapa bagian. Di antaranya, kepemimpinan mantiqi atau wakalah seperti tercantum dalam Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI). Sebagai gantinya, dalam struktur itu, amir membawahkan hanya empat bidang, yaitu dakwah, tarbiyah (pendidikan), perbekalan, dan sariyah (sayap militer).
Jabatan yang dipegang Abu Dujana adalah komandan sariyah. Di bawahnya ada ishobah, lalu di bawahnya lagi majmuah dan qism dzakhiroh, yang mengurusi logistik. Komandan satuan di bawah qoryah ditunjuk oleh Abu Dujana dalam pertemuan di Solo, tahun lalu. Sarwo Edi Nugroho, yang ditangkap pada Maret lalu, ditunjuk menjadi Komandan Ishobah Jafar bin Abi Tholib (wilayah Semarang).
Lalu Kholis diperintahkan memimpin Ishobah Abdullah bin Rowiyah (Surabaya). Ishobah Zaid bin Haristah di Surakarta dipimpin Gulam yang hingga kini masih buron. Adapun Ayyasy alias Sutardjo ditunjuk untuk mengurusi logistik. Selain Gulam, mereka ditangkap ketika sedang memindahkan senjata dari Sukoharjo ke Magelang.
Kepada polisi, Abu Dujana mengatakan bahwa senjata-senjata itu ”milik umat Islam yang ada di tangan kami.” Pemindahan dilakukan agar aman dari sergapan polisi. ”Jauh-jauh hari, rencana pemindahan itu kami bicarakan dalam pertemuan di Solo, yang dihadiri saya, Fauzan, dan Mbah,” katanya.
Jika tidak keburu direbut polisi, senjata-senjata dari Ayyasy seharusnya diserahkan Sarwo Edi kepada Taufik Kondang alias Taufik Masjuki alias Ruri. Pria asal Brebes, Jawa Tengah, itu adalah alumni kursus singkat kamp pelatihan militer Hudaibiyah pada 1999, seangkatan dengan Sarwo Edi. Menurut seorang penyelidik, Ruri adalah pemimpin Jamaah Islamiyah bidang perbekalan.
Di luar Abu Dujana dan Zarkasih, tersangka lainnya boleh dibilang para pendatang baru. Misalnya Aris Widodo alias Tri yang ditangkap karena dituduh mengirim dan menerima email untuk Abu Dujana. Demikian juga Anif Saefuddin alias Tsaqof, yang konon berperan membantu mengirimkan perintah atas nama Abu Dujana melalui surat elektronik.
Dalam pemeriksaan, menurut seorang polisi, mereka mengaku menebar teror dalam rangka berjihad. Beberapa di antaranya sempat berdebat dengan penyelidik. Tsaqof, misalnya, memberikan argumentasi tentang hukum pengeboman, termasuk peledakan di depan Kedutaan Australia di Jakarta, 9 September 2004.
+ Mengapa kamu setuju pengeboman di Kedutaan Australia?
Itu kan bagian dari jihad.
+ Tapi yang mati kan ada tukang bubur?
Itu kan ndilalah, dia ada di situ.
+ Satpam yang bekerja di situ juga ikut jadi korban?
Ya itu salahnya, Pak, mengapa dia kerja di situ.…
Budi Setyarso (Yogyakarta)
Copyright @ tempointeraktif
Wednesday, June 20, 2007
Posted @ 7:25 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment