Wednesday, December 12, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pelaku Mutilasi di Poso Divonis 19 Tahun

[JAKARTA] Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan vonis 19 tahun hukuman penjara kepada Basri alias Ayas alias Bagong, terdakwa kasus mutilasi tiga siswi SMU Kristen Poso Sulawesi Tengah serta aksi terorisme di Poso Sulawesi Tengah.
Vonis tersebut satu tahun lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Totok Bambang yang menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama 20 tahun.
Dalam amar putusannya majelis hakim yang dipimpin Edy Risdianto, Selasa (11/12), menyebutkan terdakwa Basri telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa pada 29 Oktober 2005 yang bertepatan dengan bulan puasa bersama Agus Jenggot (sedang disidang), Bojel (buron), dan Isram (buron). Terdakwa melakukan aksinya tersebut setelah mendapat perintah dari Irwanto Irano atas perintah Hasanudin, keduanya telah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah diperintahkan oleh Irano, Isram menebas leher siswi paling depan yang bernama Alvita Poliwo, sedangkan Irano berusaha menebas siswi di barisan kedua, Theresia Morangki. Siswi itu sempat lari sehingga hanya menderita luka bacok pada bagian kaki. Namun, nasib Morangki berakhir di tangan Agus Jenggot yang langsung menebas leher siswi itu. Basri bertugas membunuh siswi di barisan ketiga, Yarni Sambue. Basri berhasil menghajar, kemudian memenggal kepala siswi tersebut. Sementara itu, satu siswi yang lain Novita Malewa, berhasil lolos dari maut.
Selain melakukan mutilasi, Basri juga bertanggung jawab dalam pembunuhan Pendeta Susianti Tinulele di Gereja Effata, Palu, pada 18 Juli 2004. Basri melakukan penembakan itu dengan menggunakan senjata laras panjang M-16 dengan bantuan Anang Mutadin.
Bom Tentena
Pada persidangan lain dalam kasus peledakan bom Tentena di Poso, terdakwa Ardin Janatu alias Rojak dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jaksel. Dalam amar putusannya majelis hakim yang diketuai Safrullah Umar menyatakan, terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 6 UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di Pasar Tentena.
Terdakwa melakukan aksinya pada 28 Mei 2005 dan akibat perbuatannya tersebut menewaskan 22 orang dan sedikitnya melukai 19 orang. Selain melakukan peledakan bom di Pasar Tentena, Rojak telah melakukan penembakan terhadap Ivon Natalia dan Siti alias Yuli di Kelurahan Kasintuwu, Poso pada 8 November 2005. Putusan hakim terhadap Ardin lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lila Agustina yang menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama 20 tahun.
Selain itu dalam sidang tersendiri, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman penjara selama 14 tahun kepada Ridwan, terdakwa kasus pemilikan senjata api ilegal dan perlawanan terhadap aparat saat terjadi kerusuhan di Poso. [M-17]
Last modified: 11/12/07

Komentar, 12 Desember 2007
Otak Teroris Poso Divonis 19 Tahun

Otak sekaligus pelaku se-rangkaian teror sadis di Poso, Muhammad Basri dijatuhi vonis hukuman 19 tahun pen-jara. Basri dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan serangkaian tin-dak pidana terorisme. Vonis yang terkesan ringan ini di-jatuhkan majelis hakim yang diketuai Risdianto dalam sidang kasus teror Poso di PN Jakarta Selatan, Jalan Am-pera Raya, Selasa (11/12).Begitu mendengar vonis ini, Basri yang dulunya dikenal sangat kejam dan ‘berdarah dingin’ dalam melakukan pembunuhan, sontak berdiri dari duduknya. Pekik takbir terdengar dari mulutnya, se-dangkan tangan kanannya diacungkan. “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik dia ke arah majelis hakim dan hadirin sidang sebelum akhirnya di-giring petugas kembali ke ruang tahanan. Basri yang dalam sidang menggunakan kemeja koko putih dan peci bundar hitam itu, disebut-sebut pim-pinan dari sejumlah pelaku teror di Poso dan Palu. Saat di-tangkap aparat, Basri sempat melakukan perlawanan. Bebera-pa aksi kejahatan yang dilaku-kannya di antaranya, sebagai eksekutor penembakan terha-dap Pdt Susianti Tinulele di atas mimbar saat khotbah. Kemu-dian terlibat juga pemenggalan tiga siswi Kristen Poso, penem-bakan terhadap Ivon Natalia, serta peledakan sejumlah bom. Kuasa hukum Basri, Asrudin, menyatakan pihaknya akan pikir-pikir terlebih dahulu sebelum mengajukan langkah hukum lebih lanjut sebagai tanggapan atas vonis hakim. “Pikir-pikir dulu,” ujarnya. Meski vonis ini setahun lebih rendah dari tuntutan jaksa, tapi nasib Basri tidak ‘semujur’ tiga orang rekannya yang juga dijatuhi vonis kemarin. Pasalnya, tiga terdakwa tero-ris kasus Poso lainnya hanya dipidana masing-masing 14 tahun. Ketiganya adalah Rid-wan alias Duan, Ardin Djantu alias Rojak dan Tugiran alias Iran. Ridwan dan Ardin ter-bukti secara sah dan meyakin-kan melakukan tindak pidana terorisme seperti dakwaan JPU. Keduanya melanggar pasal 15 jo pasal 9 dan pasal 7 Perpu 1 tahun 2002 jo 65 (1) KUHP. Saat mendengarkan pembacaan vonis, Ridwan dan Ardin mene-riakkan kata “Allahu akbar” sambil mengepalkan tangan kanan. Berbeda dengan Ridwan dan Ardin, Tugiran divonis oleh majelis hakim yang diketuai oleh Risdianto. Tugiran juga bereaksi sama saat vonis diba-cakan oleh majelis hakim. Ter-hadap vonis, masing-masing terdakwa menyatakan masih akan pikir-pikir.(zal/dtc)

Rabu, 12 Desember 2007
KASUS POSO
Basri Divonis 19 Tahun Penjara

JAKARTA, KOMPAS - Muhammad Basri (30) alis Bagong divonis 19 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/12).
Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Eddy Resdhianto menyatakan Basri terbukti terlibat dalam beberapa perkara terorisme, antara lain penembakan Pendeta Susiyanti Tinulele pada 18 Juli 2004; mutilasi terhadap Alvita Poliwo, Yarni Sambue, dan Theresia Morangkit pada 29 Oktober 2005; penembakan terhadap Ivon Nathalia dan Siti Nuraini pada 8 November 2005; peledakan bom senter di Kauwa pada 9 September 2006; dan melakukan perlawanan terhadap aparat saat ditangkap pada 22 Januari 2007.
Putusan hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni hukuman penjara 20 tahun. Mendengar putusan hakim, Basri yang mengenakan baju koko dan peci warna putih itu berteriak "Allah hu Akbar" sembari mengacungkan tangan kanan. Ia menyatakan akan pikir-pikir terhadap putusan tersebut.
Selain memvonis Basri, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman kepada tiga terdakwa kasus Poso lainnya, yakni Ardin Djanatu (32), terdakwa peledakan bom di pasar Tentena; Ridwan (20), terdakwa peledakan bom di rumah kosong Jalan Tangkura; serta Tugiran (24), terdakwa peledakan bom senter di Kauwa. Ketiganya divonis 14 tahun penjara atau 6 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Menanggapi putusan hakim, tim jaksa penuntut umum, yakni Totok Bambang, Bayu Aji Nugroho, dan Lila Agustina mengatakan pikir-pikir.
Asludin Hatjani, wakil dari Tim Pengacara Muslim yang menjadi penasihat hukum keempat terdakwa, menilai putusan hakim masih berat. "Menurut kami, mereka tak terbukti melanggar UU Terorisme. Mereka hanya melanggar KUHP," katanya.
Saat ditanya tentang kemungkinan banding, Asludin akan menyerahkan keputusan itu pada keempat orang yang dibelanya. "Saya akan memberi pertimbangan, mereka punya waktu tujuh hari untuk memikirkannya," ujarnya.
Sidang vonis terhadap Basri sedianya dilaksanakan Senin, tetapi ditunda karena sejumlah hakim tengah mengikuti rapat kerja. Senin itu Basri mengatakan, meski dituntut 20 tahun penjara, dirinya masih tetap mendendam, sebab hingga kini 16 orang yang diduga turut terlibat peristiwa itu tidak juga diusut. (SF/A09)

Tuesday, December 11, 2007

Residents in Tentena protest over Lake Poso festival
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, December 11, 2007

Residents in Tentena, Poso, Central Sulawesi, have voiced their protest against Poso Lake Festival organizers for not including them properly in the event.
They said the five-day festival was unlike the last Poso Lake Festival in 1997 when Tentena and Poso residents were involved actively in its running and were ensured a sense of ownership.
The event has been on hold since 1997 after violent religious conflicts in the area that saw hundreds killed.
Tentena cultural observer Yustinus Hoke, 60, is also leader of the Central Sulawesi Protestant Church (GKST) committee and said the festival this time was not as "auspicious compared to previous years".
He said this was because Tentena residents were not involved in the organizing committee.
"We have the experience to organize the festival, because we were directly involved as organizing committee members from year to year previously," Yustinus told The Jakarta Post on Saturday.
He said it was also one of the reasons the festival appeared to have lost its personality this year, because it focussed more on showcasing traditional performances, without including tourism and the Pamona cultural heritage.
The locals said the festival this year failed to include tourist attractions which should have been the epicenter of the event for visitors and cultural guests.
Rev. Hengky Bawias, 32, said the festival had not previously been held in December, but between June and August, to coincide with the holiday season in Europe.
Hengky said the festival had in years past teemed with European tourists. "But now, since it was held in December in Tentena, at a time when Christian residents are busy preparing themselves for Christmas ... it turned out to be dull".
"The mood was lively only during the night (this time).
"Irrespective of the positive or negative response from residents who are deprived of entertainment following the strife in Poso, the festival this year (also) lost its true meaning," he said.
Poso regency administration spokesman Amir Kiat confirmed the Central Sulawesi Tourism and Cultural Office had not involved the Poso regency administration in the organizing committee.
"The provincial administration has taken over everything," Amir said.
"So, if you want to ask about its technical aspects, I'm sorry, I cannot explain."
Organizing committee head Jethan Towakit left Tentena immediately after the opening ceremony. He said he was accompanying the director general of tourism and culture back to Palu and would return Sunday.

Selasa, 11 Desember 2007
100 Lebih Patung Megalit Poso Dicuri
Diperjualbelikan di Bali hingga Rp 5 Miliar

Palu, Kompas - Lebih dari 100 patung megalit asal Kecamatan Lore Selatan dan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dipastikan telah dicuri sindikat yang memiliki jaringan sampai ke luar negeri. Patung-patung berumur ratusan hingga ribuan tahun itu diperjualbelikan di sejumlah galeri barang antik di Denpasar, Bali.
Hal itu disampaikan Ketua DPRD Poso Pelima dan Ketua Komisi B DPRD Poso M Asmir Podungge di Palu, Senin (10/12).
Pelima mengatakan, tahun 2006 pihaknya menerima laporan dari sejumlah warga Poso yang berdiam di Bali bahwa sejumlah galeri seni di Denpasar memperjualbelikan patung-patung megalit dari Poso. Untuk memastikan kebenaran informasi itu, DPRD Poso mengutus dua anggotanya melakukan investigasi di Denpasar. ”Setelah kami cek, informasi itu ternyata benar. Banyak sekali patung megalit dari Poso yang dijual dengan harga puluhan juta sampai miliaran rupiah di galeri itu,” kata Pelima.
Patung-patung megalit di Poso tersebar di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, yaitu di Lembah Bada di Kecamatan Lore Selatan, dan Lembah Napu di Kecamatan Lore Utara. Sebagian patung yang tersebar itu berbentuk tubuh dan kepala manusia. Ada pula jambangan besar, piring-piringan dari batu, dan tiang penyangga rumah.
Asmir, anggota DPRD Poso yang ikut melakukan investigasi ke Bali, menguatkan informasi itu. ”Kami menemukan ada sebuah galeri di Denpasar yang menjual 20 patung asal Poso yang telah laku terjual, tapi masih dipajang menunggu proses pengiriman ke pemesan,” katanya.
Harga Rp 5 miliar
Sebagian besar patung yang berukuran 30-100 cm itu, kata Asmir, dijual kepada kolektor asing, khususnya yang berasal dari Amerika Serikat, dengan harga puluhan sampai ratusan juta rupiah. Dari pemilik galeri juga diperoleh informasi bahwa sebuah patung bernama Batu Nongko laku terjual Rp 5 miliar.
Menurut Asmir, praktik pencurian dan perdagangan artefak situs purba dari Poso itu telah berlangsung sekitar enam tahun terakhir. Diperkirakan lebih dari 100 patung telah dicuri dan dijual kepada kolektor asing. ”Sayang pihak terkait seperti tidak merasa kehilangan,” ujarnya.
Temuan DPRD Poso itu, kata Pelima, telah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Poso sejak dua bulan lalu. Sampai saat ini belum ada tindakan Pemkab Poso untuk menyetop praktik pencurian itu. DPRD Poso akan melaporkan temuan itu ke Kepolisian Daerah Sulteng dan Bali.
Wakil Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulteng Jetan Towakit mengaku belum mendengar kasus pencurian patung-patung megalit itu. Namun, ia berjanji akan segera menindaklanjuti temuan DPRD Poso itu dengan melakukan inventarisasi patung-patung megalit yang terdapat di Poso. (REI)

Monday, December 10, 2007

Senin, 10 Desember 2007
Hak Asasi
Pelanggaran HAM di Sulteng Dilupakan Pemerintah

Palu, Kompas - Pemerintah dinilai telah melupakan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM yang terjadi di Sulawesi Tengah dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Selain tidak mendukung upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM itu melalui pengadilan, pemerintah juga mengabaikan puluhan korban pelanggaran HAM yang hidupnya menjadi sengsara.
Hal tersebut disampaikan Ketua Perwakilan Komisi Nasional HAM Sulteng Dedi Askary dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Palu, Minggu (9/12). Hadir puluhan korban pelanggaran HAM di Sulteng dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Mereka didampingi sejumlah lembaga swadaya masyarakat, antara lain Poso Center, Kontras Sulawesi, dan Lembaga Pendidikan Studi HAM.
Dedi mengatakan, sampai saat ini sedikitnya ada lima kasus pelanggaran HAM berat di Sulteng yang diabaikan pemerintah, yaitu penembakan empat warga Kabupaten Banggai Kepulauan hingga tewas oleh aparat polisi; penangkapan dan penembakan warga sipil di Kelurahan Gebang Rejo, Poso; penculikan warga Toyado, Poso, oleh aparat keamanan; penganiayaan petani di Desa Bohotokong, Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai; dan kasus di Desa Salena, Palu. "Total keseluruhan korban mencapai 65 orang," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh, Jumat di Jakarta, mengatakan, "Perkembangan penyidikan pembunuhan Munir dan Alas Tlogo mungkin juga akan ikut kami bawa ke Dewan HAM PBB. Namun, yang sudah hampir pasti adalah kasus Lapindo."
Mengenai kasus Alas Tlogo, Ridha Saleh mengemukakan, peristiwa penembakan yang terjadi pada tanggal 30 Mei itu bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. "Peristiwa tersebut merupakan bagian dari rentetan atau rangkaian banyak peristiwa sebelumnya," ungkap Ridha.
Sementara itu, dalam diskusi "Penghormatan HAM di Indonesia: Catatan Kritis Akhir 2007" oleh Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Sabtu, sosiolog George Junus Aditjondro mengatakan, pascapemerintahan Orde Baru, wacana dan praktik penegakan HAM masih sangat didominasi oleh hak-hak sipil dan politik. Adapun pelanggaran hak sosial, ekonomi, serta budaya yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat cenderung terabaikan. (JOS/NWO/REI/YOP)

Sunday, December 09, 2007

Security at Poso Lake Festival to be intensified
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, 8 Dec 2007

In response to two blasts in Poso and Donggala regencies, the authorities on Friday stepped up security around the venue of the Poso Lake Festival in Tentena, Central Sulawesi.
Police officers are checking identities of all drivers and passengers coming into the area, and inspecting vehicles and bags being carried by pedestrians.
Upon arrival in Tentena, people have to pass through at least three gates to get to the venue for the culture festival, where they and their belongings are searched. Passengers are required to exit vehicles so officers can search them.
Poso Police chief Adj. Sr. Comr. Adheni Muhan DP said at least 600 police officers had been deployed to maintain security.
All hotels near the festival have also been subject to stepped up security. Anybody entering a hotel is searched.
These types of security measures were not in place during the last festival in 1997, just before religious violence broke out in the area.
Police also are distributing photos of wanted people, including Iwan Asapa and Upi. The two are believed to belong to a terror network led by Basri, who is thought to be responsible for several attacks in Poso and Palu.
Tight security was taken after two explosions on Wednesday, the night before the opening of the festival in Tentena.
While police say the explosions were caused by firecrackers, some residents claim they were bombs.
"If it was only firecrackers, why is security so tight, and in certain case being exaggerated?" said Sandra Dewi, a resident of Bonesompe village in North Poso district.
The Poso Lake Festival, which used to be an annual international culture festival, is being held this year for the first time since 1997.
Local figures say the festival shows peace has returned to Poso, the scene of a bloody conflict between Christians and Muslims in the early 2000s.
Despite the peace claim, however, a explosion took place in Poso on eve of the opening of the festival, followed by another similar blast in Donggala, 17 kilometers south of Palu.
There has been no official statement from the police on the blasts, but some people believe they were intended to disturb the festival, which is scheduled to be attended by tourist and culture representatives from 10 regencies and mayoralties throughout Central Sulawesi.
"The explosions were a kind of a small-scale terror which was intentionally intended to disrupt the festival," Tahmidi Lasahidi, a sociologist at Tadulako University in Palu, said.
Apart from the security threats, the festival so far has been plagued by poor planning, with numerous events being postponed without prior announcement.
The decorated boat competition, for example, was scheduled to be held Friday morning, but it was delayed until the afternoon with no information being given for the decision.
Central Sulawesi culture observer Nungci Ali said this year's festival was not only about culture and tourism, but also showing the world that conditions in Poso have returned to normal.
He said proof of this was that Muslims and Christians were able to mingle until late into the night at the festival, which opened Thursday.
"This is the condition we want to show to the world," Nungci said.
Sofi Tamuntuan, a resident of Poso, said people were excited about the festival and there were no safety concerns.
"I expected this event for years. I am grateful that I'm able to witness it again," Sofi said.

Friday, December 07, 2007

Two blasts mark preparations for Poso Lake Festival
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso, 7 Dec 2007

Two explosions marred preparations for Thursday's opening of the revived Poso Lake Festival, which had been canceled indefinitely following religious conflict in Central Sulawesi in the early 2000s.

The first explosion occurred at Kawua village in South Poso district, Poso regency, at 7 p.m. on Wednesday, in front of Puncak restaurant and about 200 meters from the Sintuwu Maroso military post. The second was at Soulowe village in Dolo district, Donggala regency, at 10 p.m.

There were no reports of casualties.

Poso, which used to be famous for its pristine natural beauty, and surrounding areas had been the scene of a series of bloody conflicts between Muslims and Christians that left some 1,000 people dead between 2000 and 2001.

The police had not yet determined the cause and nature of the Thursday's explosions, but local people suspected they had been caused by bombs.

Some witnesses in front of Puncak restaurant reported seeing a plastic bag at the side of the road just before the explosion. They had thought it was merely garbage.

"We only realized it was a bomb after it exploded," a resident, who asked not to be identified, told The Jakarta Post.

Head of the Central Sulawesi Police, Gen. Brig. Badrodin Haiti, said police were still investigating the cases and had not determined conclusively whether the explosions were caused by bombs.

Police and soldiers closed all roads leading to Poso and investigated several places in the two regencies. They said the festival, to be held from Thursday to Monday, would go on as planned.

"We have prepared our officers to oversee events. We guarantee the festival will run well," Badrodin said.

One bomb squad was deployed to Saulowe in Donggala soon after the explosion there, but was unable to reach any conclusions due to an electricity outage.

Tuesday, December 04, 2007

Komentar, 04 Desember 2007
Pemenggal Tiga Siswi SMA Kristen Poso Divonis 19 Tahun

Masih ingat teror sadis lewat aksi pemenggalan kepala terhadap tiga siswi SMA Kristen Poso? Kini pelakunya, Rahman Kalahe alias Wiwin cs, telah dinyatakan bersalah atas kasus tahun 2005 silam itu. Dia kemudian diganjar hukuman 19 tahun penjara oleh hakim di PN Jakarta Selatan, Senin (03/12). “Mengadili, menyatakan ter-dakwa I Rahman Kalahe alias Wiwin dan terdakwa II Yudi Heriyanto Parsan alias Udit te-lah terbukti melakukan permu-fakatan jahat untuk melaku-kan tindak pidana terorisme,” ujar Ketua Majelis Hakim, Aswan Nurcahyo saat membacakan berkas putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bersama Yudi, imbuh As-wan, Wiwin juga terlibat penembakan dua siswi SMA Kristen Poso bernama Ivon Natalla dan Siti pada 8 November 2005. Namun Yudi divonis lebih ringan, yakni 10 tahun penjara.Menurut Aswan, keduanya didakwa melanggar pasal 6 PP 1/2002 tentang Pemberan-tasan Terorisme jo pasal 55 (1) jo 65 (1) KUHP. Dakwaan se-lebihnya tidak perlu dipertim-bangkan. Aswan melanjut-kan, Wiwin melakukan muti-lasi dan penembakan atas dasar balas dendam. Ketiga korbannya yaitu Alvita Poliwo, Yarni Sambue dan Theresia Morangke.Sedangkan Yudi dianggap membantu Wiwin melakukan survei sebelum melancarkan penembakan terhadap kor-ban. “Perbuatan terdakwa tidak dapat dipungkiri telah menimbulkan rasa takut masyarakat yang luar biasa,” ujar Aswan. Usai membaca-kan putusan, hakim menya-rankan agar keduanya yang sejak awal hanya menunduk itu untuk menerima putusan dengan lapang dada dan berdoa. “Akan lebih baik Anda baca doa untuk semuanya, tanpa terkecuali. Karena ini akan bermanfaat supaya Anda punya kepercayaan diri lagi,” ujar Aswan. BOM PASARPada bagian lain, terdakwa kasus pengeboman Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Te-ngah (Sulteng), Syaiful Anam alias Mujadid alias Brekele, divonis 18 tahun penjara. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni 20 tahun bui. “Menya-takan terdakwa secara sah bersalah melakukan perbuat-an tindak pidana dan pemu-fakatan jahat melakukan tindak pidana terorisme,” ujar Ketua Majelis Hakim Haryanto saat membacakan berkas putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Am-pera Raya, Jakarta Selatan, Senin (03/12).Haryanto mengatakan, Bre-kele didakwa melanggar pasal 15 jo pasal 6 PP 1/2002 ten-tang Pemberantasan Te-rorisme jo pasal 65 (1) KUHP. Karena dakwaan primair telah terbukti, dakwaan subsidair atau selebihnya tidak lagi menjadi pertimbangan hakim. Mendengar vonis jaksa, Bre-kele yang mengenakan baju koko warna biru muda itu berteriak “Allahu Akbar!”Lelaki berusia 26 tahun asal Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, itu menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan banding.“Itu adalah konsekuensi dari perbuatan kami. 18 Tahun tidak masalah. Masih ada pengadilan yang lebih mulia di hadapan Allah,” katanya saat dibawa kembali ke sel usai sidang.Haryanto mengatakan, per-buatan Brekele telah menim-bulkan rasa takut, menye-babkan 22 nyawa melayang, merusak bangunan dan fasi-litas umum. “Hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa telah menimbulkan ketidaktenangan hidup. Sedangkan hal-hal meri-ngankan, terdakwa berlaku sopan, mengakui dan me-nyesali perbuatannya,” ujar-nya.(zal/dtc)

Kompas, Selasa, 04 Desember 2007
Pembunuh Tiga Siswi di Poso Divonis 19 Tahun

Jakarta, Kompas - Wiwin Kalahe alias Rahman, seorang terdakwa dalam kasus pembunuhan tiga siswi SMA Kristen di Poso, Sulawesi Tengah, pada 2005, Senin (3/12) dijatuhi hukuman 19 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang dipimpin Aswan Nurcahyo. Wiwin dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana terorisme bersama terdakwa lainnya, Yudi Heriyanto alias Udit dan Agus Nur Muhammad alias Agus Jenggot.
Dalam sidang itu, Yudi dipidana 10 tahun 3 bulan penjara dan Agus dihukum 14 tahun penjara. Majelis hakim menilai perbuatan ketiganya telah menimbulkan rasa takut yang meluas di masyarakat Poso.
Terhadap putusan itu, Wiwin belum berencana mengajukan banding. "Baru pekan depan akan diketahui ia banding atau tidak. Yang menerima putusan baru Agus Jenggot," kata Asluddin Hajani, pengacara ketiga terdakwa.
Ketiga korban pembunuhan dengan kepala dipenggal itu adalah Alvita Poliwo, Yarni Sambue, dan Theresia Morangke. Kepala ketiga korban itu dibungkus plastik dan dibuang di jalan.
Pembunuhan ketiga siswi itu dilakukan pada 29 Oktober 2005. Wiwin juga terlibat penembakan dua siswi SMA Kristen, Poso, pada 8 November 2005.
Selain memvonis ketiga terdakwa, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam persidangan terpisah yang dipimpin Gatot Suharnoto menjatuhkan hukuman pada Amril Ngiode, Irwanto, dan Mujadid, terdakwa kasus peledakan bom di Pasar Tentena, Poso, pada 28 Mei 2005. Amril alias Aat dihukum 15 tahun penjara, Mujadid alias Brekele divonis 18 tahun penjara, dan Irwanto 14 tahun penjara.
"Selama persidangan, mereka mengakui perbuatannya. Semuanya dilakukan karena dendam," ujar Asluddin.
Menanggapi putusan itu, Amril dan terdakwa lainnya menyatakan pikir-pikir. (SF)