Wednesday, May 17, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Sulteng, Merintis Jalan ke Tanah Harapan

Sulawesi Tengah (Sulteng) masih menghadapi tantangan yang kompleks dan mendasar. Untuk menjadi daerah yang maju, provinsi ini mesti dapat segera keluar krisis dan konflik. Sejumlah persoalan mendesak untuk segera dibenahi agar Sulteng tidak tertinggal jauh dari provinsi lain.
Berbicara di tengah Seminar dan Lokakarya "Menata Pembangunan Sulteng yang Aman, Damai, Adil dan Sejahtera" di kantor Gubernur Sulteng baru-baru ini, Gubernur Sulteng HB Paliudju yang baru dilantik menyatakan sedikitnya 14 persoalan yang tengah dihadapi daerahnya untuk bisa bergerak maju, dan keluar dari krisis yang tengah dihadapi.
Sebanyak 14 persoalan itu, kata Paliudju meliputi tingginya angka kemiskinan, melonjaknya pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan penduduk, tertinggalnya sejumlah desa, lemahnya sumber pembiayaan masyarakat, mutu pendidikan yang rendah, krisis energi listrik, rendahnya tingkat investasi, ancaman kerawanan pangan, dan rendahnya tingkat pelayanan publik. Persoalan yang juga penting adalah menurunnya rasa kebersamaan, kerukunan, keharmonisan antaragama, suku dan budaya, serta tindak kekerasan dalam masyarakat yang terus meningkat.
Menurut Paliudju, persoalan kompleks dan sangat mendasar itu menjadi tantangan besar yang harus bisa cepat dituntaskan. Jika tidak, Sulteng akan semakin tertinggal jauh dengan daerah provinsi lain. Namun upaya keluar dari krisis multidimensi itu tentu tidak mudah. Apalagi situasi Sulteng yang masih diwarnai aksi-aksi kekerasan sebagai dampak dari konflik Poso. Dibutuhkan keseriusan, kerja keras serta komitmen yang sungguh-sungguh baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat setempat untuk keluar dari masalah ini. UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 sudah mengisyaratkan provinsi yang tidak mampu mengembangkan dirinya maka konsekwensinya harus bergabung dengan daerah lain yang lebih maju.
"Tidak mungkin daerah yang begitu kaya raya ini akan hilang dari peta sejarah Indonesia hanya karena kita salah urus. Karena itu kita harus bisa keluar dari krisis ini, perbaiki semua kesalahan dengan dengan jiwa besar, rintis kembali jalan menuju Sulteng yang aman, damai, adil dan sejahtera," ujar Paliudju.
Diungkapkan, sejak pecah konflik komunal di Kabupaten Poso, roda perekonomian Sulteng memang berjalan pincang. Terutama antara tahun 2000-2005 (diwarnai banyaknya peristiwa kekerasan di Poso), tidak ada pertambahan investasi yang signifikan, angka kemiskinan pun bertambah.
Jumlah orang miskin di Sulteng tahun 2004 mencapai 230.368 KK atau meningkat 41,29 persen dari tahun 2003 yang masih 210.964 KK. Pendapatan per penduduk (perkapita) pada 2004 juga hanya sekitar Rp 1,4 juta atau hanya sedikit melampaui Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Roda pergerakan investasi swasta juga tidak mencerminkan kemajuan yang menggembirakan. Sampai tahun 2005, investasi yang direncanakan dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) sebanyak 30 perusahaan sebesar US$ 271,489 juta dan sembilan perusahaan Rp 58,135 miliar, tapi yang terealisasi baru US$ 24.649 dan Rp 31,8 miliar. Begitu pula dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN) terdiri dari 87 perusahaan dengan total rencana investasi Rp 5,056 triliun, yang teralisasi sampai 2005 baru sekitar Rp 7,46 miliar.
Tidak Dinamis
Situasi ini menyebabkan stimulasi pembangunan di Sulteng menjadi dingin dan tidak dinamis. Hampir setiap hari masyarakat dihantui ancaman kekerasan Poso yang cenderung meluas. Sementara pemerintah daerah selama lima tahun terakhir sibuk mengurus pengungsi Poso. Akibatnya usaha-usaha memperbaiki keterpurukan ekonomi dan memberantas kemiskinan banyak yang sia-sia karena ternyata kebutuhan akan rasa damai, tentram dan aman, jauh lebih penting bagi masyarakat.
Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan untuk merintis kembali jalan menuju tanah harapan yang diimpikan masyarakat Sulteng? Apa yang mesti dibuat untuk mewujudkan harapan pemerintah daerah agar Sulteng yang aman, damai, adil dan sejahtera bisa terwujud?
Dalam seminar yang menghadirkan sejumlah pembicara penting seperti Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Saifullah Yusuf, pengamat sosial Salahuddin Wahid, Anggota DPD RI M Ichan Loulembah, Guru Besar ilmu Pemerintahan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Dr H Juanda Nawawi, Komandan Operasi Keamanan Sulteng, Irjen Paulus Purwoko dan Pembantu Rektor II Universitas Tadulako (Untad) Palu, Prof Dr Wahid Syafar, semua sepakat bahwa langkah prioritas yang mesti dilakukan saat ini adalah memulihkan dahulu Poso, minimal pada kondisi yang lebih aman.
Menurut Wahid Syafar, konflik Poso yang sudah menahun, diakui telah memberikan citra buruk bagi pertumbuhan pembangunan Sulteng khusususnya antara tahun 2000-2005. Padahal sebelum konflik terjadi, pembangunan Sulteng berkembang cukup pesat. Salah satu indikatornya yakni Sulteng termasuk dari 10 provinsi di Indonesia yang berhasil mencapai swasembada pangan dan memasok kebutuhan pangan nasional khususnya beras.
Sementara itu, Menteri Syaifullah Yusuf mengatakan selama masih ada konflik Poso, pengusaha akan takut berinvestasi karena menganggap daerah ini tidak aman. Karena itu langkah-langkah seperti memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan aparat keamanan melalui penegakan supremasi hukum secara konsisten tanpa diskriminasi, berantas korupsi, kolusi dan nepotisme secara transparan, berdayakan demokrasi melalui penguatan masyarakat sipil yang partisipatif, adalah stimulasi yang tepat untuk penyelesaian keamanan Poso dalam rangka percepatan pembangunan Sulteng menuju daerah yang aman, damai, adil dan sejahtera.
"Saya sepakat dengan langkah-langkah yang sudah ditetapkan pemerintah Sulteng tersebut. Tapi hal itu tidak cukup di atas kertas, perlu implementasi kongkrit, dan ini yang kita tunggu," tandasnya.
Selain agenda-agenda itu, Salahuddin Wahid berpendapat kunci penyelesaian konflik Poso sebenarnya sangat terletak pada masyarakat dan pemimpin masyarakat yang ada di Poso.
"Jika kedua komponen ini terbuka dan jujur mengungkap siapa sebenarnya aktor maupun donatur konflik Poso lalu membuat komitmen menghentikan semua konflik yang ada maka saya yakin Poso bisa pulih seperti sedia kala," kata tokoh religius nasional ini.
Kaya Sumber Alam
Provinsi Sulteng yang kini telah dimekarkan menjadi 9 kabupaten dan satu kota, sebenarnya merupakan daerah yang sangat subur dan kaya sumber daya alam. Mulai dari sumber daya pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan dan perikanan, pertambangan, sosial budaya, pariwisata dan lain-lain. Bahkan hasil penelitian Departemen Pertambangan menunjukan di perairan Sulteng terdapat sumber-sumber minyak dan gas bumi yang kandungannya diperkirakan jauh lebih besar dari Kalimantan Timur. Kandungan migas itu banyak ditemukan di perairan Kabupaten Morowali (hasil pemekaran Kabupaten Poso), Kabupaten Banggai dan Donggala.
Yang menjadi problem, potensi yang sedemikian besar itu, belum dikelola dengan baik karena sejumlah kendala.
Gubernur maupun Wakil Gubernur Sulteng, HB Paliudju serta wakilnya Achmad Yahya yang terpilih melalui pilkada pertama di Sulteng yang berlangsung sangat demokratis pada 16 Januari, menyadari betul keterbatasan daerahnya itu. "Itu sebab lewat seminar ini kita mengharapkan pemikiran-pemikiran kritis yang bisa memberikan kontribusi memecahkan kesulitan-kesulitan yang kita tengah hadapi," ujar Paliudju dan Yahya.
Paliudju mengatakan diperlukan reformasi kebijakan untuk mempercepat terwujudnya pembangunan Sulteng yang adil, damai, aman dan demokratis.
Beberapa reformasi kebijakan yang sangat mendesak seperti penegakkan hukum tanpa pandang bulu, revitalisasi birokrasi pemerintahan daerah dan penyiapan sumber daya aparatur yang bersih dan profesional, pemberdayaan demokrasi melalui penguatan masyarakat sipil, berantas korupsi, kolusi dan nepotisme secara transparan dan lain-lain.
[Pembaruan/Jeis Montesori S]
Last modified: 16/5/06

No comments: