Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Komplotan Baru Pak Guru’ Dujana
Polisi menguak jaringan baru sayap militer Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Dujana. Mereka kerap tak seiring dengan Noor Din Top.
RUANG tahanan di Markas Komando Brimob itu terasa seperti pesantren, Rabu pagi pekan lalu. Tiga orang penghuni sel paling besar, berukuran 4x2 meter, menggelar salat duha berjemaah. Tiga lainnya, masing-masing menghuni sel lebih kecil, membaca Quran sambil tidur-tiduran.
Ini hari pertama para tahanan menghuni sel Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Mereka adalah Sarwo Edi Nugroho (40 tahun), Kholis (38), Sikas (37), Amir Ahmadi (32), Achmad Syahrul alias Doni (25), dan Mahfud Qomari alias Sutardjo (33 tahun). Sebelumnya, mereka ditahan di Yogyakarta untuk kemudian dipindah ke Depok dengan pesawat khusus milik polisi.
Pagi-pagi benar mereka telah mengepel lantai sel masing-masing. Bak kamar mandi juga digosok. Setelah itu, petugas membagikan nasi bungkus dengan lauk ayam goreng. Sarwo Edi, 40 tahun, mengeluhkan menu itu. Katanya, selama dua pekan ditahan, menunya selalu sama. ”Bisa nggak, Pak, lauknya diganti tempe dan tahu?” katanya. Polisi penjaga berjanji memenuhi permintaan itu. Sarwo menambahkan, ”Kalau bisa ditambah buah, biar metabolisme perut kami lancar.”
Enam pria itu ditangkap Satuan Tugas Bom Polri di Yogyakarta dan Surabaya, tiga pekan lalu. Mereka dituduh terlibat sejumlah aksi teror di Tanah Air. Seorang tersangka lainnya, Saiful Anam alias Mujadid, masih dirawat di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, karena kaki kirinya ditembak polisi. Adapun Agus Suryanto tewas didor dalam penyergapan di Yogyakarta.
Kepada polisi, para tersangka mengaku anggota sayap militer Jamaah Islamiyah. Pemimpin kelompok ini adalah Abu Dujana alias Ainul Bahri, veteran perang Afganistan asal Cianjur, Jawa Barat. Polisi menyimpulkan inilah sel baru di tubuh organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dinyatakan sebagai teroris internasional itu.
Polisi tampaknya sudah tahu bagaimana membuat para tersangka buka mulut. Setelah ditangkap, mereka umumnya ”digarap”, salah satunya dengan cara dipertemukan dengan senior-senior mereka yang sudah ”insyaf”. Dalam pertemuan itu, keyakinan mereka didebat habis-habisan oleh sang senior. Setelah itu, ditambah teknik-teknik ”penggarapan” lainnya, umumnya mereka ”melunak” dan mau ”berkicau”.
l l l
AWALNYA adalah penangkapan sejumlah buron pelaku berbagai aksi kekerasan di Poso, Januari lalu. Mereka dianggap terlibat berbagai kasus, seperti pengeboman Pasar Tentena, mutilasi tiga siswi SMA, dan pembunuhan Pendeta Susanti. Para tersangka itu lalu diterbangkan ke Jakarta.
Dari hasil interogasi, polisi memperoleh keterangan bahwa mereka bagian dari kelompok ”ustad dari Jawa”. Beberapa tersangka bahkan mengaku sempat dilarikan ke Jawa setelah melakukan aksi kekerasan. Satu di antaranya adalah Wiwin Kalahe yang dituduh melakukan mutilasi dan membunuh.
Polisi bergerak cepat. Sepekan sete-lah ditangkap, Wiwin diajak berkeliling ke sejumlah kota di Jawa—antara lain Semarang, Jepara, Solo, dan Surabaya. Ia diminta menunjukkan tempat-tempat yang dulu pernah dipakainya bersembunyi.
Hasilnya, Satuan Tugas Bom menandai belasan orang yang dicurigai. Kegiatan orang-orang itu pun diawasi. Mujadid, yang tinggal di Temanggung, Jawa Tengah, termasuk paling awal diintai. Ia dikenali sebagai pelaku pengeboman Pasar Tentena, Mei 2005. Orang-orang yang berhubungan dengannya juga dikuntit, termasuk Sarwo Edi.
”Saya dan Mujadid beberapa kali main sepak takraw. Ternyata polisi tahu tempat kami bermain itu. Jadi sudah lama kami diamati,” kata Sarwo Edi kepada Tempo. ”Padahal saya merasa bersih, belum ada kasus apa pun yang melibatkan saya.”
Polisi menerima informasi sahih bahwa Sarwo Edi hendak mengambil senjata pada Selasa tiga pekan lalu. Ketika ia meninggalkan rumah istri keduanya di Muntilan, Jawa Tengah, berboncengan dengan Agus Suryanto, polisi mengikutinya. Keduanya disergap setelah menerima senjata dari Sutarjo, Amir, dan Sikas di Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta (lihat Pertukaran Gagal di Maguwoharjo, Tempo, 1 April 2007).
Sehari kemudian polisi membongkar simpanan bahan peledak di rumah Sikas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Polisi juga menangkap Mujadid di Temanggung, lalu Kholis dan Doni di Surabaya. Di rumah kedua tersangka dari Jawa Timur itu pun ditemukan bahan peledak. Polisi mengklaim, total bahan peledak yang disita dari mereka bisa dipakai membuat bom berkekuatan dua kali lipat dibandingkan bom Bali, 12 Oktober 2002. ”Yang kami temukan di Surabaya bahkan sudah siap diledakkan,” kata Brigadir Jenderal Surya Darma, Komandan Satgas Bom Polri.
Polisi juga menemukan berbagai berkas di rumah para tersangka. Di antaranya, di rumah Sutarjo di Sukoharjo, aparat menemukan selembar kertas bergambar sebuah struktur organisasi. Sutarjo alias Ayyasy lalu buka mulut: itulah struktur terbaru sayap militer Jamaah Islamiyah.
Jabatan tertinggi pada struktur baru itu adalah qoryah, yang artinya komandan sariyah alias komandan tentara. Posisi ini ditempati Abu Dujana. Di bawahnya ada ishobah, yang menurut Surya Darma merupakan istilah baru di sayap militer Jamaah Islamiyah. Ishobah membawahkan sejumlah majmuah dan sejajar dengan qism dzakhiroh, yang mengurusi logistik (lihat Wajah Baru Jamaah Islamiyah).
Nasir Abas, bekas petinggi Jamaah Islamiyah, menjelaskan bahwa sariyah setara dengan satu kompi atau seratus orang dalam istilah militer pada umumnya. Adapun ishobah sama dengan peleton. Majmuah adalah regu yang anggotanya sekitar 10 orang.
Ishobah tidak ada dalam struktur awal sayap militer yang dibentuk berdasarkan Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah. Demikian juga dalam Tanzim Qoidatul Jihad, unit pasukan tempur yang dibentuk Noor Din Mohammad Top, buron nomor wahid berkewarganegaraan Malaysia, pada 2003.
Komandan satuan di bawah qoryah ditunjuk oleh Abu Dujana dalam pertemuan di Solo tahun lalu. Ahli senjata dan taktik perang yang oleh anggotanya dipanggil Pak Guru itu menganggap perlu penataan organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir Jamaah Islamiyah memang terkikis karena petingginya ditangkapi.
Sarwo Edi ditunjuk menjadi Komandan Ishobah Jafar bin Abi Tholib yang membawahkan wilayah Semarang. Kholis diperintahkan memimpin Ishobah Abdullah bin Rowiyah di Surabaya. Ishobah Zaid bin Haristah di Surakarta dipimpin seseorang yang, menurut Sarwo, bernama Gulam. Adapun Ayyasy ditunjuk untuk mengurusi logistik. ”Makanya dia banyak menyimpan senjata dan bahan peledak,” tuturnya.
Meski anggotanya hanya satu kompi, kelompok pimpinan Abu Dujana ini tak bisa dianggap enteng. Mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah yang kemampuan dan kesetiaannya sudah diuji. Sarwo Edi, misalnya, menjadi anggota organisasi ini sejak dibentuk pada 1993. Ia mengikuti latihan singkat militer di Kamp Pelatihan Hudaybiyah, Mindanao, Filipina Selatan, pada 1999-2000.
Agus Suryanto, yang tewas ditembak saat penyergapan, adalah murid Dr. Azahari, ahli bom asal Malaysia yang tewas saat penggerebekan oleh polisi di Batu, Jawa Timur, November 2005. Adapun Mujadid pernah meledakkan bom di Pasar Tentena, Sulawesi Tengah, yang menewaskan 22 orang.
Mujadid dibaiat menjadi anggota Jamaah Islamiyah saat menjadi santri Pondok Pesantren Al-Husein, Jatibarang, Jawa Barat pada 2000. Menurut polisi, yang membaiat adalah Ulul Albab, guru bantuan dari Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. Lulus dari pesantren Al-Husein yang tutup tiga tahun lalu itu, Mujadid terjun dalam konflik berdarah di Maluku dan Poso selama enam tahun.
Menurut Nasir Abas, penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah, kelompok ini tak bisa dianggap remeh. ”Meski jumlahnya hanya seratusan orang,” katanya, ”bayangkan akibatnya bila mereka bergerak bersama-sama.”
l l l
PENEMUAN struktur baru itu membuat polisi berkesimpulan bahwa Jamaah Islamiyah masih aktif bergerak. Nasir Abas sependapat. Apalagi sariyah hanya satu di antara lima bidang di bawah Majelis Qiyadah Markaziah alias pengurus pusat Jamaah Islamiyah. Empat bidang lainnya adalah dakwah, pendidikan, ekonomi, dan penerangan.
Tapi Abu Bakar Ba’asyir, yang disebut-sebut menjadi pemimpin tertinggi Jamaah Islamiyah, menuduh struktur baru itu hanya karangan polisi. ”Yang keluar dari polisi selalu rekayasa, diambil dari pengakuan orang yang disiksa,” kata pendiri Pondok Pesantren Al-Mukmin itu.
Kelompok Dujana aktif bergerak. Mereka berlatih bongkar pasang senjata dan merakit bom di Gunung Sumbing, Temanggung. Juga menggelar latihan menembak di Pantai Sekucing, Weleri, Jawa Tengah. Secara rutin mereka juga bertemu di Solo, Magelang, dan Parakan.
Sebulan sebelum ditangkap, Mujadid menghadiri pertemuan di Parakan. Abu Dujana hadir bersama seseorang yang dipanggil ”Mbah”. Pria yang diyakini sebagai Zulkarnain, buron tersangka kasus bom Bali I itu, meminta anggota kelompok Dujana bersabar. ”Dia bilang, ’Yang benar belum tentu menang, tapi yakinlah pada perjuangan kita’,” kata Mujadid kepada Tempo.
Meski sama-sama mengklaim ”berjuang menegakkan agama”, kelompok Abu Dujana dan Noor Din Mohammad Top sebenarnya tak seiring. Dujana, menurut Mujadid, dalam berbagai ke-sempatan membicarakan sepak terjang Noor Din dengan nada negatif. Pria yang konon ahli merekrut pelaku bom bunuh diri itu dianggap menyulitkan dakwah karena kerap mengebom tanpa koordinasi.
Sarwo Edi menyatakan pernah menolak permintaan Noor Din agar ”menyumbangkan” anggotanya. Ia bertemu buron yang nyawanya dihargai Rp 1 miliar itu pada awal 2004 di Solo. Da-lam pertemuan dua jam yang diselingi makan nasi goreng itu, Noor Din berkata bahwa jihad adalah ”memerangi Amerika berserta kepentingan, aset, warga, dan sekutu-kutunya di mana pun berada.”
Demi mendukung ”jihad”, Sarwo Edi diminta bergabung, menyerahkan anggotanya untuk terlibat, atau menyumbangkan dana dan bahan peledak bagi Noor Din. ”Saat itu saya menjawab hanya bisa menyumbangkan doa,” kata Sarwo. ”Pemahaman saya soal jihad berbeda dengan beliau.”
Walau begitu, bukan berarti Abu Dujana tak bergerak. Kelompok ini pernah menyiapkan target pembunuhan sebagai pembalasan atas kelompok Kristen yang menyerang warga muslim Poso. Di antaranya adalah John Titaley, bekas Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (lihat Dari Sebuah Corat-Coret).
Pada akhir Januari lalu, Abu Dujana juga menggelar latihan militer di lereng Gunung Sumbing. Sebulan kemudian ia mengumpulkan para komandan ishobah dalam pertemuan di Solo. Pria 38 tahun itu meminta agar senjata dan bahan peledak yang disimpan Ayyasy dibagi ke sejumlah tempat, seperti Semarang dan Surabaya.
Belum jelas tujuan pemindahan barang-barang berbahaya itu. Sarwo Edi mengaku tak menanyakannya kepada Pak Guru. Yang jelas, ia diperintahkan menyerahkan barang-barang dari Ayyasy kepada Ruri, pria asal Kudus, teman seangkatannya di Kamp Hudaybiyah.
Sarwo melaksanakan perintah Dujana pada Selasa tiga pekan lalu. Tapi misi itu gagal. Polisi melumpuhkan pemegang sabuk hitam kungfu itu segera setelah menerima kiriman senjata dari Ayyasy. Kini dia menghuni sel sempit di Markas Brimob. Ia mengaku tak menyesal. Katanya, ”Ini risiko perjuangan.”
Budi Setyarso (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo), Ivansyah (Indramayu)
Dari Towrkham Menuju Solo
Januari 1993 Abdul Halim (Abdullah Sungkar) dan Abdus Somad (Abu Bakar Ba’asyir) memisahkan diri dari Jamaah Negara Islam Indonesia pimpinan Ajengan Masduki. Mereka membentuk Jamaah Islamiyah, dengan Abdullah Sungkar sebagai pemimpin. Mujahidin asal Indonesia dan Malaysia di Kamp Towrkham, Afganistan, bergabung dengan kelompok baru ini. l Memiliki dua mantiqi (wilayah dakwah), yaitu Mantiqi Ula, yang meliputi Malaysia dan Singapura, serta Mantiqi Tsani (II) di Indonesia.
Akhir 1994 Jamaah Islamiyah membentuk kamp latihan Hudaybiyah di Mindanao, Filipina Selatan.
1997 Jumlah mantiqi ditambah menjadi tiga. Mantiqi Ula meliputi Malaysia Barat dan Singapura. Mantiqi Tsani meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Adapun Mantiqi Tsalis (III) meliputi Sabah, Malaysia, Kalimantan Timur, Palu, dan Mindanao. Juga dirintis pembentukan mantiqi di Australia.
November 1999 Abdullah Sungkar wafat. Abu Bakar Ba’asyir menggantikannya sebagai Amir Jamaah Islamiyah.
Agustus 2000 Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia. Kelompok garis keras Jamaah Islamiyah memprotes Ba’asyir yang dianggap terlalu lunak dan keluar dari garis perjuangan Abdullah Sungkar.
23 Oktober 2002 Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkan Jamaah Islamiyah ke daftar organisasi teroris internasional karena sejumlah anggotanya terlibat dalam bom Bali, 12 Oktober 2002.
April 2005 Noor Din M. Top mengklaim memimpin kelompok Tanzim Qoidatul Jihad, unit pasukan tempur yang wilayahnya meliputi Kepulauan Melayu.
2006 Abu Dujana menata kembali organisasi Jamaah Islamiyah, termasuk dengan mengubah struktur sayap militernya. Menurut polisi, struktur baru ini lebih ringkas karena dibuat dalam keadaan terdesak.
Wajah Baru Jamaah Islamiyah
Tujuh tersangka teroris ditangkap di Yogyakarta dan Surabaya akhir bulan lalu. Mereka mengaku sebagai anggota kelompok Abu Dujana. Dari pengakuan para tersangka itu terungkap struktur baru sayap militer Jamaah Islamiyah, yang menurut polisi lebih ringkas dibanding struktur sebelumnya.
Tuesday, April 10, 2007
Posted @ 8:24 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment