Tuesday, April 10, 2007

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Dari Sebuah Corat-coret

Mantan rektor dan kampus Universitas Kristen Satya Wacana menjadi target teroris. Penjagaan nihil.
POS Satpam di pintu gerbang kompleks perumahan Universitas Satya Wacana (UKSW) tak berpenjaga. Malam belum datang, tapi sepi sudah terasa. Kamis sore pekan lalu, hanya satu-dua pemuda nongkrong di muka kompleks, di pinggir Jalan Kartini 11-A, Salatiga, Jawa Tengah, itu.
Tamu bebas keluar masuk kampus itu. Tak ada pemeriksaan identitas, apalagi penggeledahan oleh petugas penjinak bom. Hanya seorang satpam berjaga, mengatur mobil yang lewat. ”Tak ada perintah untuk periksa orang,” kata Satpam itu.
Padahal, dua hari sebelumnya, tim antiteror polisi mengungkapkan bahwa Satya Wacana akan menjadi target bom. Bukan itu saja, bekas rektornya pun jadi sasaran. Sehari kemudian, memang, beberapa personel polisi sempat patroli. ”Tapi hari ini tak kelihatan lagi,” kata seorang penghuni kompleks.
Rencana teror ke Satya Wacana terungkap dari coretan denah kompleks UKSW yang ditemukan polisi dalam penggerebekan rumah tersangka teroris di Muntilan, dua pekan lalu.
Target disiapkan Abu Dujana, gembong teroris yang kini buron. Incaran lain adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, M. Ismail. Ia jadi sasaran karena pada November lalu menuntut hukuman mati terhadap sejumlah anggota jaringan yang tertangkap.
Kepada Tempo, tersangka teroris Sarwo Edi Nugroho, 40 tahun, Ketua Ishoba (sayap militer) Jemaah Islamiyah Semarang, membenarkan soal denah itu. Ditemui di tahanan Markas Komando Brigadir Mobil Kelapa Dua, Selasa lalu, Sarwo Edi mengatakan bahwa aksi di UKSW akan dilakukan jika muslim Poso diserang pada Idul Fitri tahun lalu.
Siapa mantan rektor yang diincar? Polisi meyakini dia adalah John Titaley, mantan pendeta dan guru besar Fakultas Teologi UKSW. Namanya memang tak disebut dalam dokumen Muntilan, tapi denah rumahnya jelas tertera.
John terperanjat saat tahu dirinya dibidik. Ia mengaku baru pulang dari kunjungan ke University of California di Berkeley, Amerika Serikat, sehari sebelum namanya disebut-sebut. ”Apa salah saya? Kenal pun saya tidak (dengan mereka),” katanya kepada Tempo.
Lahir di Sorong, Papua, 19 Juni 1950, John berdarah Ambon. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Kakaknya adalah Pendeta Semmy Titaley, bekas ketua Sinode Gereja Protestan Maluku 1995–2000. Adiknya, Yulius Titaley, tewas setelah dua hari menghilang saat konflik Ambon berlangsung pada 1999.
John mengaku ikut berperan saat konflik pecah. ”Untuk meredakan konflik,” ujarnya. Pada 1999, ia dan sejumlah pendeta, termasuk Semmy, membawa kasus Ambon ke badan-badan internasional di Jenewa, Vatikan, dan parlemen Eropa. Konflik saat itu, menurut dia, sangat kompleks. ”Bukan sekadar agama, tapi ada juga masalah ekonomi, politik, sosial, konflik penduduk asli dan pendatang,” ujarnya. ”Ada pula permainan orang Jakarta.”
Mengapa kampus UKSW jadi sasar-an? Tak jelas. Nicodemus Lulu Kana, bekas pengajar yang kini aktif di Yayasan Percik, Salatiga, menolak anggapan kampus UKSW berideologi ekstrem. Katanya, orientasi kekristenan saat ini sudah pupus digerus pemikiran pragmatis. Ia mengaku prihatin mendengar kampusnya jadi target teroris.
Petugas di Kepolisian Resor Salatiga yang dihubungi Tempo mengaku tak menerima perintah khusus untuk mengamankan kampus UKSW. Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Sisno Adi Winoto, mengatakan, sejauh ini memang tak ada perintah pengamanan khusus meski kampus dan petingginya sudah sempat menjadi target teror. ”Itu kan belum tentu benar,” katanya. Lagi pula, ”Toh mereka sudah tertangkap.”
Kurie Suditomo, Budi Setyarso, Rofiuddin (Salatiga)

No comments: