Tuesday, April 10, 2007

Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Sarwo Edi Nugroho: Kekerasan itu Jalan Darurat

IA bermimpi jadi tentara. Lulus da-ri SMA Negeri 1 Magelang pada 1985, ia mendaftar ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tapi gagal. Pria itu, Sarwo Edi Nugroho, kini 40 tahun, lalu pindah haluan, masuk Fakultas Matematika Institut Keguruan dan Il-mu Pendidikan (IKIP) Semarang.
Tapi di IKIP-lah ”kariernya” seba-gai ”tentara” justru terbuka. Di kampus itu ia bergabung dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Ajengan Masduki. Ketika petinggi kelompok itu pecah pada 1993, ia memilih bergabung dengan kelompok pecahan yang mendirikan Jamaah Islamiyah.
Ia lalu dikirim berlatih militer ke kawasan gerilyawan Moro, Filipina Selatan. Sejak tahun lalu, ia pun diminta memimpin sayap militer Jamaah Islamiyah di Semarang. Sarwo adalah bawahan langsung Abu Dujana, yang diyakini merupakan pemimpin sayap militer Jamaah Islamiyah.
Selasa tiga pekan lalu, polisi menangkap Sarwo ketika ia sedang mengambil senjata dari anggota kelompoknya di Yogyakarta. Pria kelahiran 16 Mei 1967 itu dituduh terlibat jaringan teroris. Karena ia berusaha lari, polisi menembak pinggang kirinya. Hampir sepekan ia dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Yogyakarta. Sejak itu, ia terpisah dengan dua istri dan sebelas anaknya—anak pertama kelas III SMP dan yang bungsu baru berusia tiga bulan.
Selasa pekan lalu, polisi menerbangkannya ke Jakarta bersama lima orang tersangka lain. Mereka ditahan di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Pada hari pertama meringkuk di sel barunya yang sempit, ia menerima Budi Setyarso dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus.
Ceritakan penangkapan Anda….
Selasa, 20 Maret 2007, saya mendapat tugas dari Abu Dujana untuk menerima dua senjata M-16, 400 amunisi, dan tiga revolver dari Ayyasy, yang mengurusi logistik Jamaah. Kami janjian di ring road Yogyakarta sekitar jam setengah tujuh malam. Saya harus menyerahkan senjata itu kepada seseorang bernama Ruri. Ia menunggu saya di dekat kolam renang di Muntilan. Sore itu, saya berboncengan dengan Agus Suryanto dari rumah saya di Muntilan. Rupanya, kami lebih dulu sampai di ring road, jadi saya salat magrib dulu. Saya juga sempat beli pulsa. Tapi pulsanya nggak masuk-masuk. Mungkin telepon saya sudah dikacau polisi.
Anda tahu dikuntit polisi?
Sampai sekarang, saya belum tahu bagaimana polisi mengidentifikasi saya. Saya merasa bersih dan nggak punya kasus. Mungkin itu karena Mujadid (salah seorang anggota jaringan) lebih dulu diidentifikasi dan saya tersangkut. Ia beberapa kali memang ikut kegiatan saya. Saya punya dua istri. Menurut interogator, polisi ternyata sudah lama menunggui rumah saya di Secang dan Muntilan. Telepon saya pun pasti disadap.
Bagaimana Anda tahu telepon Anda disadap?
Pernah ada telepon nyasar ke saya, missed call. Waktu itu, saya baru ganti telepon dan dengan telepon baru itu saya balas missed call. Nomor itu lalu mengirim SMS, ”Kalau memang elu jantan, jangan cuma missed call. Telepon!” Saya balas: ”Elu yang missed call-missed call saya.” Nomor yang sama, saya ingat nomor belakangnya 8001, bebera-pa kali masuk lagi. Terakhir pada hari saya mengambil senjata itu.
Anda sempat mengangkat?
Sewaktu salat magrib itu, HP saya matikan. Ketika HP saya nyalakan, Ayyasy menelepon dan bilang sudah sampai. Lalu nomor itu masuk. Saya nggak curiga dan segera ke tempat Ayyasy menunggu. Saya berhenti tapi tidak turun dari motor. Ayyasy menyerahkan barang, langsung saya masukkan ke dus kosong yang saya bawa. Adapun senjata M-16, dibungkus tas raket, segera saya serahkan ke Sur (Agus Suryanto). Saat itulah polisi datang.
Anda melawan?
Leher saya dipegang. Dengan refleks, saya tancap gas. Polisi menarik saya ke belakang, tapi saya tetap tancap gas. Kira-kira 10 meter, saya jatuh. Tiga polisi langsung memegangi saya. Saya melawan. Lalu, dorrr..., kaki saya tiba-tiba lemas. Saya tertembak. Agus mungkin lari sewaktu saya disergap. Dia ditembak mati.
Anda tadi menyebut Ruri. Siapa dia?
Teman. Kami seangkatan saat berlatih di Moro. Dia orang Kudus. Makanya Abu Dujana meminta saya menjadi penghubung karena saya dan Ruri sudah saling kenal. Jadi lebih mudah. Tapi kami sudah lama sekali nggak ketemu.
Apa posisi Ruri dalam kelompok Anda?
Saya nggak tahu karena tidak semua struktur dibuka. Kami mengenal prinsip: yang boleh diketahui hanya yang perlu diketahui.
Siapa pemilik senjata-senjata itu?
Punya organisasi. Selama ini disimpan Ayyasy. Dia bagian logistik kelompok kami. Saya tidak tahu dari mana senjata-senjata itu. Sebulan lalu, Abu Dujana bilang agar sebagian barang di tempat Ayyasy dipindahkan ke Ruri.
Mengapa?
Saya tidak tahu. Tugas saya dalam organisasi hanya melatih kader.
Untuk apa senjata itu?
Digunakan bila jalan dakwah mentok. Selama ini kebenaran dan kebaikan kan tidak selalu diterima. Kalau orang didakwahi tentang kebaikan tapi malah melawan, senjata boleh digunakan. Untuk itu, kita tetap harus melakukan persiapan atau i’dad. Berlatih bela diri jangan sewaktu kita diserang musuh. Itu terlambat. Latihan dilakukan jika sewaktu-waktu ada musuh. Syukur-syukur nggak ada musuh.
Untuk itu, apa yang harus disiapkan?
Ada dua: manti atau materi dan ma’nawiyah atau spiritual. Manti adalah menyiapkan keperluan logistik, menambah jumlah senjata dan barang-barang yang bisa digunakan untuk senjata. Kita juga harus berlatih agar fisik kita kuat. Ada tiga hal yang disarankan oleh Rasulullah: berenang, naik kuda, dan memanah. Naik kuda sekarang bisa diganti dengan mobil. Nah, untuk memanah, yang paling dekat tentu saja menembak.
Kapan Anda bergabung dengan Jamaah Islamiyah?
Sejak 1993. Awalnya saya masuk NII. Saya dibaiat oleh Haji Surya, Ketua NII Semarang. Kegiatannya biasa saja, kami ngaji atau naik gunung. Pada 1993 itu NII pecah. Haji Surya menyerahkan kepada saya untuk memilih bergabung ke kelompok NII yang mana. Tapi dia memberitahukan bahwa kelompok baru hasil pecahan didukung oleh ustad-ustad yang faqih (mumpuni). Alumni Afganistan yang bagus-bagus juga bergabung. Saya masuk ke situ.
Anda dibesarkan di lingkungan santri?
Saya justru dibesarkan di lingkungan yang minim agama. Saya bersekolah di SD negeri. SMP di sekolah Katolik. SMA juga negeri. Orang tua saya hanya mengenalkan kedisiplinan dan kejujuran. Islam tidak pernah dikenalkan. Di kampung saya, meski 80 persen warganya muslim, yang salat sedikit. Masjid tidak ada, tapi anjing banyak. Walau saya salat, saya tak pernah mengenal Islam. Begitu kuliah, saya bertemu de-ngan teman dari berbagai penjuru kota.
Lalu?
Pada 1986, ketika saya masuk kuliah, sedang terjadi kebangkitan Islam. Banyak kajian keislaman. Buku dari Mesir banyak diterjemahkan. Keyakinan saya mengkristal setelah membaca buku Ikhwanul Muslimin. Saya terinspirasi ibadah yang sempurna, bahwa perjuangan tidak dibatasi oleh langit dan sebagainya. Nah, waktu itu saya masuk NII.
Dari mana Anda punya kemampuan militer?
Saya pernah mengikuti latihan singkat di Moro pada 1999. Waktu itu saya ditawari Ustad Farah (alias Abu Ashkari, Ketua Wakalah Jamaah Islami-yah Jawa Tengah). Dia bilang ada kesempatan pergi ke Moro. Saya bilang oke, karena dunia militer memang saya suka. Oktober 1999, saya berangkat bersama 20 orang lain secara bergelombang.
Kemudian?
Dari Jawa Tengah cuma ada dua, saya dan Ruri. Di Surabaya, kami lebih dulu di-briefing oleh Pak Fahim (Ketua Wakalah Jamaah Islamiyah Jawa Timur). Dia bilang kami akan berangkat ke Nunukan, Kalimantan Timur, dan di sana sudah ada yang menjemput. Kami naik kapal Kerinci ke Nunukan. Setelah itu, naik kapal lagi ke Tawau, dan dilanjutkan naik pesawat ke Srandakan. Dari situ kami memakai kapal kecil yang nyambung-nyambung menuju Filipina Selatan. Semua akomodasi sudah disediakan Pak Fahim.
Anda berlatih apa saja?
Kami berlatih empat keterampilan dasar militer, yakni taktik infanteri, senjata, baca peta, dan field engineering. Taktik infanteri dilatih oleh Abu Dujana, senjata oleh Nasir Abas, field engineering oleh Abu Tholut, dan pemetaan oleh orang Jakarta yang saya lupa namanya. Semua hanya dasar-dasar karena kami hanya berlatih enam bulan. Semua pesertanya orang Indonesia meski tempat latihannya di wilayah mujahidin MNLF (Moro National Liberation Front).
Ilmu itu Anda praktekkan di Tanah Air?
Pulang dari Moro, sedikit-sedikit saya mulai memasukkan ilmu kemiliteran dalam kegiatan yang saya selenggarakan. Misalnya, saat naik gunung, kami berlatih mengenal medan dan rute. Setelah bom Bali (12 Oktober 2002), polisi melakukan penangkapan. Saya menyingkir dari Semarang karena takut kecipratan. Belakangan saya tahu nama saya memang disebut-sebut oleh para tersangka.
Anda setuju dengan bom Bali?
Bom Bali dipilih di tempat yang pa-ling maksiat dan syirik. Dilakukan pada malam Minggu karena saat itu banyak orang berbuat maksiat. Dipilih pukul sebelas malam karena orang Islam tak pantas berkeliaran pada jam-jam segitu. Memang, jika ditinjau oleh umat Islam secara umum, pengeboman itu kontraproduktif dengan dakwah. Tapi saya yakin mereka tidak sembarangan. Di situ kan ada Mukhlas, ustad yang sangat faqih.

No comments: