Wednesday, July 05, 2006

Komentar, 05 July 2006
Di balik heboh pro dan kontra eksekusi tibo dkk:Mengungkap Kepentingan “Tritunggal” Modal, Militer, dan Milisi di Balik Desakan Eksekusi Tibo DKK di Palu, Sulawesi Tengah(3)

PENGANTAR:keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak permohonan grasi Fabianus Tibo (61), Martinus Riwu (49) dan Dominggus da Silva (39), telah membelah opini masyarakat Indonesia. Ketiga lelaki asal Flores yang beragama Katolik itu dituduh secara tidak adil bertanggung jawab atas serangkaian kematian di Kabupaten Poso, antara akhir Desember 1998 s/d bulan Mei 2001.Pasalnya, trio asal Flores itu direduksi sebagai orang yang mesti bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Padahal, peristiwa itu terjadi dan me-luas, bukan saja karena se-rangan antar komunitas, te-tapi karena kesalahan pe-merintah sendiri.Ada tiga kesalahan pemerin-tah, menurut Sangaji. Perta-ma, praktek disinformasi oleh aparat pemerintah (sipil dan keamanan) bahwa tidak ada serangan dari komunitas ter-tentu. Warga Sintuwulemba yang sebelumnya telah mem-peroleh informasi tentang se-rangan lalu membatalkan ke-putusan untuk mengungsi, karena dihalang-halangi oleh aparat pemerintah. Akibat-nya, sebagian besar di antara mereka menjadi korban ke-kerasan. Kedua, pembiaran oleh apa-rat keamanan. Peristiwa Sin-tuwulemba sebenarnya de-ngan mudah dapat dicegah oleh otoritas keamanan di Poso. Ini dimungkinkan ka-rena jarak antara Kompi Se-napan B/Yon 711 Raksatama dan lokasi perisitiwa hanya sekitar lima kilometer. Bah-kan, jarak Polsek Lage dengan lokasi kejadian hanya terpaut ratusan meter. Lebih dari itu, sejumlah saksi mata menyebutkan, ketika terjadi kekerasan, aparat keamanan yang bertugas di sana bukannya mencegah, malah pergi me-ninggalkan lokasi kejadian. Ketiga, kebobrokan institusi intelijen. Sungguh aneh in-stitusi intelijen tidak men-deteksi kemungkinan sera-ngan yang memakan korban begitu besar, Padahal, pereda-ran rumor berlangsung cepat dan meluas tentang serangan. Di luar itu, ada penyebaran senjata api di tangan warga sipil serta keterlibatan sejum-lah aparat dalam kekerasan. Fakta ini menunjukkan ke-mungkinan adanya operasi intelijen untuk mendorong es-kalasi kekerasan. Jadi menurut kesimpulan Sangaji, eksekusi terhadap Tibo cs mengandung implikasi serius, yakni menguburkan fakta penting dan obyektif dari peristiwa Mei 2000. Pada-hal, pengungkapan fakta yang benar amat membantu untuk menyelesaikan masalah Poso secara tuntas. Boleh jadi, pemerintah me-mang tidak menginginkan fakta-fakta itu dibuka secara obyektif. Bukan saja tentang peristiwa Mei 2000, tetapi juga semua peristiwa yang mendahuluinya, serta semua kekerasan sesudahnya, sebe-lum maupun sesudah perte-muan perdamaian di Malino di bulan Desember 2001. Co-ba saja lihat, apakah ada pe-ristiwa kekerasan yang berha-sil diungkap oleh aparat ke-amanan dan pelakunya dise-ret ke depan meja hijau sejak awal 2002? Dan kalau ada, apakah mereka mendapat hu-kuman yang setimpal dengan perbuatan mereka? Kabupaten Poso, kabupaten tetangganya, Morowali, serta kota Palu, telah menyaksikan berbagai tindakan kekerasan yang tidak kunjung berhenti. Baik penembakan-penemba-kan misterius yang terjadi di Kabupaten Poso sendiri; pe-nyerangan ke Beteleme dan Poso Pesisir, tanggal 12 & 13 Oktober 2003; penembakan Pdt. Freddy Wuisan sehingga tewas di depan rumahnya di Desa Tumora, Kecamatan Poso Pesisir, tanggal 30 Maret 2004; penembakan jaksa Ferry Silalahi yang sedang menangani kasus Beteleme sampai tewas di depan rumah seorang pengacara di Palu, tanggal 26 Mei 2004; penem-bakan terhadap Pdt. Susianty Tinulele yang sedang berada di depan mimbar gereja sam-pai tewas di gereja GKST Ef-fatha di Palu, tanggal 18 Juli 2004; peledakan bom di Pasar Tentena, tanggal 28 Mei 2005, yang mengakibatkan 22 orang meninggal dunia; kemudian tahun 2005 ditutup dengan peledakan bom di pasar da-ging babi di Kampung Maesa di kota Palu, yang menelan delapan korban jiwa, karena bom kedua cepat berhasil di-temukan dan dijinakkan. Se-dangkan selama semester pertama 2006, Jumat, 10 Ma-ret pagi, bom kembali meledak di sasaran baru: Pura Agung Jagad Raya di Desa Toini, yang dihuni transmigran asal Bali, dengan menelan korban Sekretaris Kelurahan Moeng-ko Lama, I Nengah Sugiarta (40), yang terpaksa dirawat secara intensif di RSUD Poso.Itu belum lagi peristiwa-pe-ristiwa pembunuhan dengan mutilasi, yang sudah terjadi beberapa kali di Poso. Yakni, pembunuhan dengan mutilasi terhadap Bendahara MS GKST, Oranye Tajoja (60) dan keponakannya, Yohanes (“Butje”) Tajoja (28) di bangu-nan bekas Hotel Kartika di tepi Jalan Trans Sulawesi di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota, pada hari Sabtu siang, 15 November 2003; pembunu-han dengan pemenggalan ke-pala Karminalis Ndele (48), Kepala Desa Pinedapa di Ke-camatan Poso Pesisir, pada malam tanggal 1 November 2004; serta pembunuhan de-ngan pemenggalan kepala tiga siswi SMA Kristen Poso, Ida Yarni Sambue (15), Theresia Morangke (15), dan Alfita Po-liwo (19), sedang berjalan ka-ki menuju sekolah dari rumah mereka di Kelurahan Buyum-boyo, tanggal 29 Oktober 2005 (Aditjondro 2004a: 116; Baruga, Des. 2003: 12-13; Seputar Rakyat, 3 (II), 2004, hal. 10, 5 (II) 2005, hal. 15; Kompas, 30 Okt. 2005; Fakta, April 2006: 53). Memang, cukup banyak warga Poso yang beragama Is-lam yang menjadi korban ber-bagai peristiwa kekerasan itu, seperti Budianto (34), anggota tim sukses Piet-Thalib, yang ditembak mati saat makan malam bersama isterinya di Jalan Pulau Madura, Kelura-han Gebangrejo, Poso Kota, tanggal 24 Agustus 2005; Su-gito (42), pengrajin kayu hi-tam, yang ditembak mati ke-tika akan melaksanakan sho-lat subuh di Masjid Al Falah, tak jauh dari rumahnya di Ja-lan Pulau Madura, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, hanya beberapa jam setelah penem-bakan Budianto; Briptu Agus Sulaiman (28), anggota Polres Poso, yang ditembak hingga tewas saat berbuka puasa di rumah kontrakannya di Jalan Pulau Buton, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, tang-gal 12 Oktober 2005 (Kompas, 5 Nov. , 17 Nov., 12 Des. 2005; Fakta, April 2006: 52; Seputar Rakyat, No. 5 (II), 2005, hal. 13-14).Namun korban-korban yang paling spektakuler dan sadis, seperti korban-korban muti-lasi tersebut di atas, dan juga yang paling massal, seperti dalam serangan ke Beteleme dan Poso Pesisir, serta korban ledakan bom di Pasar Tentena dan Pasar Maesa, semuanya beragama Kristen. Sementara itu, yang diseret ke meja hijau, diadili secara serius, dan mendapat vonis yang se-rius, sejak awal rentetan ke-rusuhan Poso sampai detik ini, juga beragama Kristen. Mulai dari Herman Parimo yang meninggal di RS Stella Maris, Makassar, di bulan April 2000, setelah divonis 14 tahun penjara dengan tudu-han mencetuskan kerusuhan pertama; pemenjaraan jauh lebih banyak pemuda Kristen yang dituduh terlibat dalam konflik komunal di kota Poso; pemenjaraan pendeta Rinaldy Damanik, yang dituduh se-cara palsu mengangkut sen-jata untuk kelompok militan Kristen di Kabupaten Moro-wali; sampai dengan huku-man mati kepada tiga orang laki-laki Flores ini, beragama Kristen juga. Sementara padanan dari tokoh-tokoh di atas yang beragama Islam, mulai dari provokator, pangli-ma lasykar lokal, sampai para kombatannya, selalu lolos dari jerat hukum.Makanya, mau tidak mau, fakta-fakta ini “dibaca” oleh rakyat biasa yang beragama Kristen di Kabupaten Poso dan Palu dengan agak miring. Mereka berpendapat, sejak rezim Habibie, penguasa cenderung mengkambinghi-tamkan orang Kristen dalam berbagai gejolak atau kerusu-han sosial di Indonesia. Jadi, pernyataan Poso Center mau-pun pernyataan implisit keli-ma orang tokoh agama, bah-wa eksekusi Tibo, Riwu dan da Silva dapat melecut kem-bali konflik komunal di Kabu-paten Poso, patut dicermati. Memang, dugaan saya, ekse-kusi itu tidak akan melahir-kan konflik terbuka seperti di tahun-tahun silam, melain-kan memperdalam rasa ter-alienasi dan termarjinalisasi sebagian warga masyarakat, yang cukup signifikan. Tapi itu saja sudah cukup parah akibatnya bagi kerukunan kita sebagai bangsa.Makanya, kerentanan hubu-ngan antar komunitas, yang belum pulih betul, dapat men-jadi dampak keputusan untuk mengeksekusi ketiga laki-laki yang merantau dari Flores ke Tanah Mori, tapi kemudian menemui ajalnya di tangan empat regu tembak yang telah disiapkan oleh Polda Sulteng (Kedaulatan Rakyat, 9 April 2006).(bersambung)

No comments: