Wednesday, July 12, 2006

Komentar, 12 July 2006
Di Balik Heboh Pro Dan Kontra Eksekusi Tibo Dkk: Mengungkap Kepentingan “Tritunggal” Modal, Militer, dan Milisi di Balik Desakan Eksekusi Tibo Dkk di Palu (8)

PENGANTAR:KEPUTUSAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak permohonan grasi Fabianus Tibo (61), Martinus Riwu (49) dan Dominggus da Silva (39), telah membelah opini masyarakat Indonesia. Ketiga lelaki asal Flores yang beragama Katolik itu dituduh — secara tidak adil – bertanggungjawab atas serangkaian kematian di Kabupaten Poso, antara akhir Desember 1998 s/d bulan Mei 2001.Soalnya, pulau buatan itu dulu terumbu karang tempat pemijahan ikan bagi nelayan dari tiga desa di Kecamatan Bungku Utara, Morowali, yakni Baturube, Kolo Bawah, dan Pandauke. Kalau jumlah nelayan di ketiga desa itu 300 orang, sedangkan kerugian setiap hari 10 kg, sementara satu kg ikan dijual kepada pe-dagang penampung ikan se-tinggi Rp 15 ribu untuk dijual ke Pasar Luwuk, kerugian me-reka selama setahun = 365 x 300 x 10 x Rp 15 ribu = Rp 16, 425 milyar! (Aditjondro 2006). Berarti, di kemudian hari, tidak mustahil nelayan Bungku Utara yang jatuh me-larat akan “bertamu” ke Tia-ka, menuntut pembagian re-zeki. Selain itu, keamanan pe-layaran di Teluk Tolo bagi ne-layan maupun tanker minyak Pertamina perlu difikirkan dari sekarang. Kelompok Bukaka dan Hadji Kalla milik keluarga besar Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga dapat menikmati perlin-dungan militer di Kabupaten Poso. Kalau tadinya militer yang secara organik berkedu-dukan di Kabupaten Poso ha-nya meliputi personil Markas Batalyon 714/Sintuwu Ma-roso di pinggiran kota Poso dan satu kompi di Pendolo, se-telah bom Tentena satu kompi tambahan telah ditempatkan di Desa Saojo, dekat lokasi proyek PLTA Poso 1 dan Poso-2. Personil kompi itu siap membantu 15 pos penjagaan militer, polisi, dan satpam yang berada di lokasi proyek PLTA Poso 2 di Sulewana (Aditjondro 2005a: 11-2). Hubungan yang organis an-tara modal dan militer juga tampak setelah 650 orang anggota FAPS (Front Advokasi PLTA & SUTET) dari sebelas desa di sepanjang Sungai Poso melakukan aksi di Desa Sule-wana, hari Selasa, 18 April yang lalu. Mereka menuntut pembangunan PLTA itu di-hentikan, sampai PT Bukaka Teknik Utama menyelesaikan masalah ganti rugi tanah (Kompas, 19 April 2006). Fi-hak Bukaka meminta waktu dua minggu, untuk memba-has tuntutan FAPS. Namun tentara tidak menunggu lama. Kontan pengamanan di kota Tentena dan sekitarnya diperketat. Hari Kamis, 20 April 2006, tentara dari Yoninf 714/Sintuwu Maroso meng-gelar latihan perang-perangan di dekat pusat pemukiman pengungsi Poso di ex lapa-ngan terbang MAF di kota Tentena. Sejak Rabu malam, 19 April, pasukan-pasukan sudah didrop di Tentena de-ngan menggunakan mobil PT Bukaka. Malam itu juga, di-umumkan dengan corong dari atas mobil yang keliling kota Tentena, agar masyarakat ja-ngan kaget jika mendengar bunyi letusan senjata api, ka-rena TNI lagi latihan perang-perangan (komunikasi pribadi dengan informan-informan di kota Palu dan Tentena, 19 April 2006, pk. 20: 07 dan 21: 31). Pola perang urat syaraf begini, mirip seperti yang te-lah dilakukan di Seseba, Ka-bupaten Banggai. Persis di tempat bermukim rakyat yang tidak puas terhadap dampak sebuah proyek pembangunan raksasa, di situ dilakukan latihan perang-perangan. KESIMPULAN:Dari seluruh uraian ini da-pat kita lihat, betapa kom-pleksnya permasalahan ke-rusuhan di Poso, yang di wak-tu-waktu mendatang ke-mungkinan besar akan me-lebar ke kabupaten-kabupa-ten tetangganya, terutama Morowali dan Banggai, begitu Bukaka, Artha Graha, dan Medco mulai berproduksi se-cara optimal. Permasalahan itu harus diselesaikan secara bijak, dengan menggunakan kotak suara, dan bukan kotak peluru. Sebab, seperti yang sudah kita belajar dari kasus Freeport di Tanah Papua serta ExxonMobil di Tanah Ren-cong, menghadapi rakyat se-tempat dengan kekerasan, akan berbuah kekerasan juga. Sementara menghadapi rakyat dengan taktik meme-cah belah, dengan meradika-lisasi dan membiayai kelom-pok-kelompok sempalan yang dilatih berperang, juga akan menambah kesengsaraan anak bangsa, yang terlahir atau bertumbuh dan menjadi dewasa di Tanah Poso, Morowali, dan Banggai. Yogyakarta, 29 April 2006

No comments: