Monday, January 23, 2006

Aksi Kekerasan di Poso dan Disinformasi
Kompas cetak, Senin, 23 Januari 2006

Jika keamanan merupakan parameter terlaksana atau tidaknya fungsi pemerintahan, di Poso, kota kabupaten berpenduduk lebih kurang 200.000 jiwa di Sulawesi Tengah, hal itu baru sebatas janji.

Hingga sekarang aksi kekerasan masih terus bergulir. Upaya memadamkannya sejak masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, kemudian menyusul Gus Dur, Megawati, dan saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum membuahkan hasil.

Kehidupan warga Poso tetap dihantui ketakutan dan kecemasan. Setiap saat bom maupun penembak gelap dapat mencabut nyawa mereka. Belum lagi kekhawatiran akan pecahnya kembali perang agama. Sementara saling curiga dan ketidakpastian menjalar di semua sektor. Kini teror mendikte irama kehidupan di Poso.

Pemerintah sendiri telah mengerahkan ribuan aparat TNI/Polri sejak pecahnya konflik komunal tahun 1998. Namun, baku tembak antar-aparat keamanan justru berulang kali terjadi. Alhasil, kehadiran mereka ikut menambah daftar peristiwa kekerasan di Poso.

Meningkat, kualitas kekerasan
Aksi kekerasan di Poso bermula dari konflik komunal yang dipicu oleh para elite politik lokal saat memperebutkan jabatan bupati dan wakilnya tahun 1998. Kesepakatan Malino berhasil menghentikannya. Namun, provokasi aksi kekerasan agar pecah kembali konflik komunal masih berlangsung hingga saat ini.

Untuk mengatasinya, Pemerintah RI tetap tidak beranjak dari rumus yang dipraktikkan sejak Indonesia merdeka, yakni mengirim kekuatan militer dan polisi. Dalam rumus keamanan demikian, aksi kekerasan diasumsikan segera akan padam.

Maka, dari tahun ke tahun para pejabat tidak bosan-bosannya menyatakan, Keamanan di Poso makin membaik. Padahal, fakta menunjukkan kualitas kekerasan makin ekstrem. Contohnya, tahun-tahun sebelumnya hanya dikenal bom ukuran kecil. Belakangan mulai digunakan berskala besar. Korbannya tidak lagi satu-dua orang, melainkan puluhan orang.

Sama halnya dengan penembak gelap dan pembacokan warga yang kerap terjadi tahun-tahun sebelumnya. Kini hal tersebut dianggap kuno dan tidak memadai bobot terornya. Sebagai gantinya, muncul favorit baru, yakni memenggal leher korban. Tidak hanya itu, pelaku masih sempat-sempatnya membawa kepala korban dan dibuang di tempat lain.

Lepas dari semua itu, pertanyaannya masih tetap sama. Siapa yang bermain di Poso?

Jaringan jihad internasional
Memenggal leher korban memang sedang tren di dunia terorisme setelah Abu Musab al-Zarqawi memopulerkannya dalam perang Irak. Tujuannya menimbulkan ketakutan di kalangan tentara maupun warga sipil asing yang berada di Irak.

Poso jelas bukan Irak, wilayah operasi Tanzeem Qaedat Al-Jihad Fi Bilad Al-Rafidayn (Organisasi Al Qaeda di Negeri Dua Sungai), yang dipimpin Abu Musab al-Zarqawi. Namun, Kepala Polri (waktu itu) Jenderal (Pol) DaĆ¢€™i Bahtiar menuding Dr Azahari dan Noordin M Top berada di balik ledakan bom di pasar Tentena yang menewaskan 21 orang, 28 Mei 2005. Pendapat yang sama dikemukakan Demak Lubis, Deputi Bidang Keamanan Nasional Menko Polhukam.

Dengan kata lain, jika kedua pria asal Malaysia itu merupakan bagian dari jihad internasional yang difatwakan Osama bin Laden, hubungan antarkelompok jihad bukanlah hal mustahil, termasuk hubungan dengan Zarqawi yang menyatakan kesetiaannya pada Bin Laden. Maka, tidak mengejutkan aksi teror memenggal leher korban begitu cepatnya disosialisasikan.

Beberapa laporan International Crisis Group menunjukkan, kelompok Jemaah Islamiyah (JI) sejak awal sudah membangun selnya di Poso dan aktif bermain dalam konflik agama. Sementara dalam bukunya, Menggugat Jemaah Islamiyah (2005), Nasir Abas menulis, konflik Poso sangat strategis dalam pemikiran geopolitik JI.

Menurut mantan ketua Mantiqi III JI, yang membawahi Mindanao Selatan, Sabah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi, kelompok JI berkepentingan konflik Poso berlarut-larut. Keadaan demikian membuka jalan bagi JI membangun markas tetap dan kekuatan militernya.

Dikendalikan dari Poso
Poso yang tadinya aman dan tenang berubah menjadi episentrum aksi kekerasan. Dari daerah ini aksi kekerasan diekspor ke daerah lain, termasuk ledakan bom di pasar daging Palu, yang menewaskan 6 orang (31/12/2005). Lagi-lagi aparat keamanan mengatakan, bahan peledak yang digunakan sama dengan bom Bali II.

Maka, bukan mustahil aksi peledakan bom yang terjadi selama ini dikendalikan dari Poso. Kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan ini mengingat beberapa pelaku bom Bali I justru sempat bersembunyi di daerah ini, termasuk Dul Matin.

Dul Matin jelas bukanlah teroris amatiran. Pemerintah AS menganggapnya sebagai salah satu orang paling berbahaya di dunia. Untuk itu, dijanjikan hadiah 10 juta dollar AS (lebih kurang Rp 95 miliar) bagi penangkapannya. Dengan kata lain, saat ini Dul Matin merupakan buronan urutan kelima tertinggi hadiahnya di dunia, setelah Bin Laden, Mullah Muhammad Omar, Ayman al-Zawahiri, dan Zarqawi, yang masing-masing berhadiah 25 juta dollar AS.

Masalahnya, pemerintah mengabaikan fakta ini. Sumber permasalahan selalu dirujuk pada pemain lama yang punya kepentingan politik menggoyang pemerintah pusat, termasuk oknum TNI/Polri yang merasa kecewa dengan keadaan sekarang. Ironisnya, pemerintah sendiri tidak bisa menunjuk siapa saja pemain tersebut.

Belakangan malah dimunculkan pemain baru, yakni para koruptor. Mereka disebut mengacaukan keamanan untuk mengalihkan perhatian. Namun, setelah para koruptor dipenjarakan, aksi kekerasan masih terus berlangsung.

Fakta ini mengingatkan kita pada disinformasi peristiwa serangan bom malam Natal 2000. Pada waktu itu para analis menyebut keterlibatan Jalan Cendana. Analis lain menyebut oknum intelijen dan TNI. Setelah letih menganalisis, tudingan diarahkan kepada GAM.

Disadari atau tidak, disinformasi demikian sedang bergulir. Kita menelannya bulat-bulat. Sebaliknya, meragukan fakta. Akibatnya, kasus Poso tidak bisa diungkap dan aksi kekerasan bergulir terus hingga sekarang.(MT)

No comments: