Thursday, March 01, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Penghapusan Hukuman Mati, Ujian bagi MK

Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis (kiri), Pengacara Tibo Cs, Roy Rening (tengah) dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Dr Satya Arinanto berbicara dalam diskusi panel di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Rabu (28/2). [Pembaruan/Ignatius LIliek]
[JAKARTA] Peradilan di Indonesia belum terbebas dari kepentingan politik dan kekuasaan. Peradilan masih jauh dari sikap independensi. Para pencari keadilan harus menyadari bahwa keadilan bagi semua pihak masih sangat jauh dari harapan. Demikian juga halnya dengan tuntutan pencabutan hukuman mati. Perwujudannya masih sangat panjang dan berliku jalannya. Hal itu merupakan tantangan dan ujian sejarah bagi Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu mengemuka dalam diskusi mengenang seratus hari Tibo Cs dengan tema "Peluang dan Kendala Judicial Review terhadap Hukuman Mati" di kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, Rabu (28/2). Diskusi itu menampilkan pembicara Wakil Ketua Komnas HAM, Zoemrotin KS, pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Prof Dr Satya Arinanto, praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis, dan kuasa hukum Tibo Cs, Roy Rening.
"Di Komnas HAM ada para ahli dan tokoh yang menyadari betul bahwa hukuman mati sangat tidak manusiawi dan melanggar HAM. Gagasan dan wacana pencabutan hukuman mati masih menimbulkan silang pendapat. Ini terjadi karena begitu beragam perspektif serta cara pandang dalam memahami hukuman mati," ujar Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin KS.
Sedangkan menyangkut upaya judicial review ke MK, menurut Todung memang dapat dilakukan jika penggugat undang undang yang merekomendasikan hukuman mati tetap dilakukan bisa mengajukan dua bukti. "Apakah produk hukum atau undang undang yang mengandung hukuman mati nantinya juga dapat dibatalkan/produk hukum tersebut dapat dicabut, tentunya sangat tergantung dari keberanian serta kearifan hakim konstitusi melakukan hal itu," ujar Todung.
Dikatakan, seluruh masyarakat menyadari bahwa hukuman mati sama sekali tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan, baik itu narkotika, penjahat kemanusiaan, atau teroris. "Justru sebaliknya, seorang teroris atau pelaku kejahatan kemanusiaan merasa menjadi pahlawan ketika dirinya dijatuhi hukuman mati. Karena ideologi yang ditanamkan kepada mereka seperti itu. Sebaliknya jika dia dihukum seumur hidup dan selama dalam penjara mendapat pencerahan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah kejahatan dan salah, dia akan bertobat," ujarnya.
Todung mengatakan tantangan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan ujian sejarah bagi MK untuk membawa Indonesia kepada peradaban baru. "Atau MK akan tercatat sebagai mahkamah yang gagal menjaga konstitusi," tegasnya.
Saat ini, lanjut Todung, secara global kecenderungan untuk menghapuskan hukuman mati lebih besar daripada mempertahankan hukuman tersebut. "Total jumlah negara yang sudah menghapuskan hukuman mati mencapai 129. Sedangkan negara yang mempertahankannya, hanya 68 negara," kata dia.
Dari 129 negara yang sudah menghapus, 88 negara menghapuskan hukuman itu untuk semua jenis kejahatan. Sedangkan 11 negara, menghapuskan mati hanya untuk kejahatan biasa. Sementara 30 negara lainnya melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati.
Menurut Todung, permohonan uji materiil pasal-pasal tentang ancaman hukuman mati itu dilakukan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. [E-5]
Last modified: 28/2/07

No comments: