Tuesday, April 11, 2006

Tempo Edisi 07/XXXV/10 - 16 April 2006

Mencari Keadilan dari Prahara Poso

Isyarat eksekusi tiga terpidana mati kerusuhan Poso telah terdengar. Sejumlah kejanggalan dalam proses hukum dipertanyakan.
GIGI Dominggus da -Silva ber-ge-re-tak. Mulutnya dikatupkan ra-pat-rapat setiap kali dia mendengar kata eksekusi mati. Pemuda asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu memprotes putusan pidana mati yang dialamatkan kepada dia, Fabianus Tibo, dan Marinus Riwu dalam konflik Poso pada tahun 2000. ”Dorang tidak terima putusan itu. Kami akan lawan,” ujarnya tegas.
Dari sejumlah kasus prahara Poso yang sudah berkekuatan hukum tetap, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwulah yang menerima ganjaran paling berat: hukuman mati. Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu memutus ketiganya terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana da-lam konflik Poso. Tidak kurang dari 200 orang tewas, ratusan orang terluka, dan ratusan rumah terbakar.
Putusan itu diperkuat di tingkat ban-ding dan kasasi. Hal itulah yang kemudian melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Sulawesi Tengah da-ri komunitas yang berbeda agama.
Menurut Dominggus terdapat bebe-rapa kejanggalan dalam proses hukum. Tempo mencoba menelusuri kesaksiannya, mulai dari penyelidikan hingga putus di meja hakim.
Awalnya adalah saat ketiga petani karet itu diambil dari rumah mereka di Desa Beteleme dan Ja-mur Jaya, Kecamatan Lembo, Kabupa-ten Morowali, Sulawesi Tengah. Saat itu yang datang bukan aparat kepolisian, tapi tiga aparat TNI berpakaian sipil mengendarai dua mobil Kijang berpelat hitam dan kuning.
”Mereka mengaku dari Pasukan Cinta Damai,” kata mantan Kepala Desa Jamur Jaya, Yulius Sebi, kepada Te-mpo, yang menemuinya di Desa Tomata, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Moro-wali, Rabu 22 Maret silam.
Ketiga aparat itu datang tanpa membawa surat pemberitahuan dari pihak kepolisian. Menurut Robertus Tibo, anak sulung Tibo, ayahnya hanya akan dimintai keterangan seputar penyerbuan ke kompleks Gereja Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kelurahan Kayamaya, dan di Pesantren Wali Songo, Desa Sintuwu Lemba, Kabupaten Poso.
Keluarga Tibo sempat meragukan permintaan itu. Namun akhirnya diterima karena anggota Pasukan Cinta Damai, Kapten (Inf) Agus Firman Yusmo-no menjamin keselamatan ketiganya dan menjanjikan pemulangan mereka se-telah pemeriksaan tiga hari. ”Saya jadi jaminannya,” kata Yulius mengutip pernyataan Agus.
Apalagi, sebelum kedatangan Pasukan Cinta Damai, Ketua Sinode Ger-eja Sulawesi Tengah Pendeta Mahenda Papasi, bersama mantan Ketua Sinode, Agustina Lumentut (almarhum), sempat mendatangi rumah Yulius Sebi. Kedua pendeta itu menempuh perjalanan 150 kilometer dari Tentena ke desa itu.
Di rumah Yulius, kedua pendeta itu membujuk Tibo memberikan keterang-an kepada polisi di Palu. ”Mereka d-atang tiga kali,” ujar Dominggus (l-ihat wawancara Tibo dkk, Kami Tidak Bisa Bicara). Atas bujukan kedua pendeta itu, Tibo, Marinus, dan Dominggus l-uluh. A-khir-nya mereka bertiga bersedia di-bawa Pasukan Cinta Damai ke Palu. ”Jadi tidak benar, Oom Tibo itu ditangkap. Dia menyerahkan diri,” ujar Yulius.
Ketika dikonfirmasi Tempo, Papasi menyangkal kesaksian Yulius itu. ”Saya datang untuk kunjungan biasa. Ke-pri-hati-nan saja,” ujarnya kepada Tempo. ”Saya sendirian waktu itu.”
Ketiganya tak pernah lagi kembali ke rumah sejak Tibo dn kawan-kawan dijemput Pasukan Cinta Damai. Pihak keluarga pun tidak pernah lagi mendengar kabar mereka. ”Tidak ada yang memberi tahu kami,” kata Nurlin Kasiana, istri Tibo. ”Kami tahu kabar Bapak dari TV.”
Pada tahap penyidikan, Tibo men-ilai penyidik dan pengacara mereka, Ro-bert Bofe, menutup-nutupi fakta tentang pe-ristiwa Mei 2000. ”Kami tidak dibolehkan bicara,” ujarnya. Terutama ketika Tibo mengungkap keterlibatan 16 nama dalam konflik Poso tahun 2000. Bofe melarang mereka menyebutkan nama-nama itu. ”Alasannya, kalau kami tuntut 16 nama itu diperiksa, hukuman kami jadi makin berat,” ujar Tibo.
Bofe membantah tuduhan Tibo. ”Oh tidak. Dia keluarkan 16 nama itu pada saat pembelaan di pengadilan. B-ukan saat penyidikan,” ujarnya kepada Tempo. Menurut Tibo, nama-nama itu ada-lah Paulus Tungkanan, Limpadeli, Ladue, Erik Rombot, Theo Manjayo, Edi Bunkundapu, Yahya Patiro, Sigilipu, Obed Tampai, Zon Rungadodi, Yanis Simangunsong, Ventje Angkou, Angki Tungkanan, Heri Banibi, Sarjun alias Gode, dan Guntur Tarinje.
Beberapa nama itu memang pernah di-periksa aparat kepolisian, misalnya Paulus Tungkanan, Edi Bunkudapu, dan Yahya Patiro. Hasilnya, kata Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen Oegroseno, tidak ada bukti kuat yang menyatakan mereka terlibat. ”Alat buktinya lemah,” ujarnya.
Namun dia masih berharap membongkar keterlibatan nama-nama itu. Asal-kan ada saksi mata yang berani bicara. ”Andai ada yang mau jadi volunteer,” ujarnya.
Oegroseno sempat perintahkan anak buah-nya memeriksa 12 dari 16 nama itu di rumah mereka masing-masing di Pa-lu dan Tentena. Rencananya mereka akan dikonfrontir dengan Tibo, Marinus, dan Dominggus. ”Sayang mereka me-nolak se-waktu dikatakan mau dikonfron-tir,” ujar sumber Tempo, Kamis pekan lalu.
Penolakan ini membuat polisi meng-atur strategi agar upaya konfrontir bisa berjalan. Bahkan sempat muncul ide membawa 16 nama itu ke kantor polisi di Palu pada Kamis siang pekan lalu. Namun akhirnya hal itu ditunda untuk meng-hindarkan guncangan di masyarakat.
Sebelumnya, kepada Tempo, mantan Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Poso, Yahya Patiro, menyatakan siap diperiksa kembali. ”Tapi saya minta ha-rus fair dan saya minta dari awal kerusuh-an Poso 1998,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya yang mewah di Palu, 19 M-aret 2006.
Tempo berusaha mewawancarai Paulus Tungkanan, Ventje Angkou, Limpa-deli, dan Edi Bungkundapu dengan me-nemui mereka di Tentena, sekitar 300 kilometer dari Palu. Mereka menolak di-wawancarai.
Pada 5 Juni 2000, Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayjen Slamet Kirbianto menyebut Ir Advent Lateka se-ba-gai pucuk pimpinan Pasukan Merah. Se-telah Lateka tewas, Paulus Tungkanan, purnawirawan TNI berpangkat pembantu letnan satu, menempati posisi itu. Tibo berada di lapisan kedua bersama Yanis Simangunsong.
Namun, entah dengan alasan apa, sebuah dokumen bertajuk ”Respons Mili-ter Terhadap Konflik Sosial di Poso” oleh Yayasan Bina Warga Sulawesi Te-ngah, Oktober 2000, menyebut Tibo se-bagai dalang kerusuhan di Poso
Tibo pun diburu. Kepala Polisi Sula-wesi Tengah waktu itu, Brigjen Zainal Abidin Ishak lalu membuat kesepakat-an dengan Pendeta Agustin Lumentut .
Zainal bersedia membarter empat ta-hanan konflik Poso jika Tibo bisa digiring ke kantornya. Setelah Tibo, Marinus, dan Dominggus berhasil dibujuk, ”Ibu Pendeta lalu minta 10 tahanan dibebaskan. Tapi Kapolda bilang hanya boleh empat,” ujar Bofe.
Ketiganya pun dibarter dengan Ventje Angkou, Yeni Tandega, dan dua orang Timor yang terkena panah saat penyer-bu-an Mei 2000 lalu. Ventje dan dua orang Timor itu—Bofe mengaku lupa nama keduanya—akhirnya dilepas.
Namun Yeni, orang pertama yang masuk ke Poso pada 23 Mei 2000 sebagai laskar penyihir dari Pasukan Lateka, menolak barteran itu. Ia kemudian menjalani persidangan. Majelis hakim memvonis Yeni penjara dua tahun enam bulan. Vonis ini jauh lebih ringan ketimbang tuntutan seumur hidup jaksa Iskandar Sukirman.
Sedangkan Ventje dan dua orang Ti-mor itu tak tersentuh hukum sampai se-karang. Padahal, menurut ketiga terpidana mati itu, Ventjelah yang menceburkan mereka di arena konflik.
Mantan Kepala Polisi Sulawesi Te-ngah, Zainal Abidin Ishak, mengaku lu-pa tentang adanya barter tahanan da-lam kasus Tibo. ”Saya tidak begitu ingat adanya barter-barter,” ujarnya kepada Tempo, yang menemuinya di kantor DPRD Pa-pua, Jayapura, Kamis pekan lalu.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Te-ngah Yahya Sibe memilih tak mengo-mentari bolong-bolong dalam kasus ketiga terpidana mati itu. Menurut dia, kejaksaan tinggal menjalankan perintah undang-undang untuk mengeksek-u-si pu-tusan pengadilan. ”Kalau tidak di-lak-sanakan, jaksa yang salah,” ujarnya. ”Eksekusi harga mati.”
Suara senada juga datang dari Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Menurut Bagir, proses hukum sudah final. Sedangkan permohonan peninjauan kembali kedua dari tiga terpidana mati itu menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Namun ada yang tak lengkap dari pernyataan Bagir itu. Awalnya, Tempo ber-maksud ingin mengetahui lebih terperinci pendapat majelis hakim yang me-mutus perkara peninjauan kembali yang kedua itu. Lalu Tempo mengecek ke bagian registrasi kasasi dan peninjauan kembali di lantai 5 gedung Mahkamah Agung, Kamis pekan lalu.
Menurut seorang staf yang tak mau di-sebut namanya, berkas perkara pe-nin-jauan kembali kedua itu belum disentuh sama sekali. Bagian registrasi baru menerima berkas itu dari Pengadilan Ne-geri Palu pada 27 Maret 2006. ”Berkas juga belum diberi nomor register,” ujar staf itu.
Namun persoalan administrasi itu ter-nyata tak mampu menyelamatkan Tibo dan kawan-kawan. Ketiga terpidana ma-ti itu kini hanya menunggu hari-hari ek-sekusi. Permohonan grasi mereka telah ditolak Presiden.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad, Cunding Levi
Dari Medan Kerusuhan ke Vonis Eksekusi
Kerusuhan Poso pada 2000 silam membawa Tibo dan kawan-kawan ke nasib yang mungkin tak pernah ia duga sama sekali: mendapat vonis hukuman mati. Inilah perjalanan kasus Tibo.
23 Mei 2000Penyerbuan kompleks Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kabupaten Poso. Tiga orang tewas dan kompleks gereja ludes dilalap si jago merah.
28 Mei 2000Penyerbuan Pesantren Wali Songo di Desa Sintuwu Lembah dan Desa Kayamaya di Kabupaten Poso. Tidak kurang dari 200 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan ratusan rumah rusak.
25 Juli 2000Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva menyerahkan diri kepada pasukan Satuan Tugas Cinta Damai. Mereka langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.
4 Desember 2000Sidang pertama Tibo, Marinus, dan Dominggus digelar di Pengadilan Negeri Palu. Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan berencana di sejumlah tempat di Poso pada pertengahan 2000.
15 Maret 2001Jaksa penuntut umum A. Latara membacakan tuntutan hukuman mati bagi Tibo, Marinus, dan Dominggus.
4 April 2001Tibo diperiksa polisi karena mengungkap beberapa nama yang terlibat dalam prahara Poso, Mei 2000.
5 April 2001Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Soedarmo (ketua), Ferdinandus, dan Achmad Fauzi menghukum mati Tibo, Marinus, dan Dominggus.
17 Mei 2001Pengadilan Tinggi menolak banding ketiga terdakwa dan memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu.
14 Juni 2001Tim penasihat hukum ketiga terpidana mati mengajukan memori kasasi.
11 Oktober 2001.Mahkamah Agung menolak putusan kasasi Tibo. Marinus, dan Dominggus.
31 Maret 2004Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan ketiga terpidana mati.
September 2005 Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan grasi ke presiden.
10 November 2005Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani penolakan grasi Tibo, Marinus, dan Dominggus.
20 Februari 2006Tim pengacara Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua.
27 Maret 2006Keluarga Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

No comments: