SUARA PEMBARUAN DAILY
Kalau Tetap Dieksekusi, Darah Mereka Akan Teriak
Presiden harus membatalkan rencana eksekusi mati terhadap tiga terpidana mati kasus Poso III, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu. Sebab, mereka tidak bersalah. Mereka tidak terlibat dalam kerusuhan Poso III, sebagaimana dituduhkan jaksa. Mereka hanya dijadikan kambing hitam oleh aparat penegak hukum.
Kalau mereka tetap dieksekusi, itu berarti aparat penegak hukum menghukum orang tidak bersalah. Jangan sampai hal ini terjadi. "Ingat, darah orang benar akan berteriak kepada Tuhan. Kalau mereka tetap dieksekusi, darah mereka akan berteriak kepada Tuhan," kata Anna Berlian, dalam orasinya ketika berunjukrasa bersama sekitar 500 massa yang menolak eksekusi mati terhadap tiga terpidana tersebut di Bundaran HI dan di depan Istana Negara, Sabtu (25/3).
Perempuan berkulit putih ini adalah warga Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Pekerjaannya sebagai pendeta. "Saya, sebagai warga Poso asli, mengetahui persis, mereka tidak bersalah. Pelaku sebenarnya dalam kerusuhan Poso III, masih berkeliaran sampai sekarang ini," kata dia.
Awal Juli 2000, Tibo Cs ditangkap aparat di Desa Beteleme, 250 Km dari Poso. Sejak itu, masyarakat mau atau tidak dipaksa untuk percaya, mereka adalah pelaku atau otak kerusuhan kerusuhan Poso III.
Sesudah ditangkap, dimasukkan ke dalam tahanan, disidik, didakwa, dan diadili, maka pada tanggal 5 April 2001. Mereka dijatuhi hukuman mati. Ketiganya dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana, pembakaran dan penganiayaan yang dilakukan secara berlanjut, di Kelurahan Moengko Baru dan Kayamanya Kecamatan Poso Kota, Mesjid Al-Hidjrah dan Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Lorong Puskesmas Desa Tagolu dan di Penambangan Pasir Tepi Sungai Poso Desa Tagolu, Kecamatan Lage, pada Maret hingga Juli 2000. Ketika proses pengadilan itu berlangsung, masa mengelilingi gedung pengadilan; mereka menuntut hukuman mati. Para pengacara Tibo diancam.
Putusan atas tiga orang itu dikuatkan oleh PT Sulteng pada 17 Mei 2001, demikian pula dengan pengajuan kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) juga ditolak pada 11 Oktober 2001. Mereka juga mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) yang juga ditolak pada 31 Maret 2004. Mereka mengajukan grasi ke Presiden pada Mei 2005 dan ditolak oleh Presiden Yudhoyono pada 10 November 2005.
Pada sidang, saksi Sutarmin tidak melihat Tibo. Sutarmin merupakan salah satu korban penyerangan di kompleks Walisongo, namun saksi pura-pura mati sehingga selamat. Ia menerangkan, yang memimpin penyerangan di Walisongo pada 28 Mei 2000 adalah Lempalulu dan bukan ketiga terdakwa.
Saksi Anton Muhammad. Ia tidak melihat Tibo berada di lokasi pembunuhan. Ia (saksi) mengikuti kelompok yang berpakaian hitam-hitam dari Kayamanya namun saksi tidak melihat Fabianus Tibo berada bersama kelompok yang berpakaian hitam- hitam.
Ilham, SH. Ia ikut pada saat penyerangan ke Walisongo melawan orang Kristen yang jumlahnya 30 orang bersenjatakan dum-dum, parang, peluncur dan senjata rakitan. Waktu penyerangan ke kompleks Walisongo. Ketika itu terdakwa tidak ikut serta. Ia mengenal wajah tiga terdakwa dari foto-foto di harian Mercusuar.
Rinaldy Damanik. Ia kenal Ir. Lateka sebagai warga jemaat dan Lateka pernah datang ke kantor saksi pada tanggal 30 Juni 2000. Lateka mengatakan bahwa dia bertanggung jawab, dialah komandan, pimpinan dan menyerahkan satu lembar surat untuk dikirim ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan dibacakan di depan aparat.
Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Muhammad Arfiandi Fauzan SH mengatakan, kerusuhan Poso III tidak terlepas dari kerusuhan Poso I dan II. Oleh karena itu, kata dia, adalah tidak benar kalau Tibo Cs dituduh sebagai pelaku atau dalang dalam kerusuhan di Poso. Kalau mereka benar sebagai pelaku, mengapa hanya mereka dihadapkan ke muka hukum ?
Pada tanggal 23 Mei 2000 masyarakat Kristen dibawah pimpinan Advend Lateka mulai melakukan penyerangan ke daerah-daerah penduduk muslim yaitu Kelurahan Moengko dan Kayamanya dan kemudian dilanjutkan ketempat-tempat lain.
Berdasarkan itu, Fauzan menyimpulkan, kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso bukan merupakan konflik agama tetapi tidak lebih dari kepentingan elite politik lokal yang haus akan kekuasaan dengan menarik agama sebagai pemicu konflik. Negara telah gagal dalam menanggulangi kerusuhan, menciptakan rasa aman dan keselamatan masyarakat di kabupaten Poso.
Dalam kasus konflik horisontal di Kabupaten Poso penegakan hukum tidak didasarkan pada asas persamaan di depan hukum.
Proses peradilan terpidana mati dilakukan di bawah tekanan massa sehingga kebebasan peradilan (fair of trail) yang menjadi salah satu asas peradilan. Tiga terpidana di atas adalah korban, seperti korban konflik lainnya di Indonesia. [Pembaruan / Siprianus Edi Hardum]
Last modified: 6/4/06
Friday, April 07, 2006
Posted @ 3:51 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment