Tuesday, April 11, 2006

Tempo, 07/XXXV/10 - 16 April 2006
Kami Tidak Bisa Bicara

MATAHARI rasanya seperti membakar Palu, Sulawesi Tengah, pada Minggu, 19 Maret silam. Kendati baru pukul 9 pagi, suhu udara menunjukkan angka sekitar 32 derajat Celsius. Hari itu tiga terpidana kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, akan bertemu utusan Paus Benediktus XVI, pemimpin tertinggi umat Katolik. Pertemuan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.
Sejam sebelum utusan Paus tiba, ketiga terpidana itu keluar dari selnya. Dengan mengenakan kemeja berwarna gelap, senada dengan celana panjang yang mereka kenakan, mereka menyalami setiap orang yang ada di ruang itu seraya menebar senyum. ”Dorang (kami) baru selesai misa di gereja,” kata Tibo.
Tibo, yang berperawakan kecil, dikenal warga Poso dan Morowali sebagai sosok religius dan memiliki karisma. Dia aktif menjembatani setiap percekcokan yang terjadi di kampungnya.
Sembari menunggu utusan dari Vatikan, wartawan Tempo Maria Hasugian dan Darlis Muhammad mewawancarai ketiga terpidana itu. Awalnya wawancara berjalan lancar. Ketika Dominggus berbicara secara emosional, Tibo menegurnya. ”Domi, pelankan suara. Bicara jangan pake bahasa seperti itu. Bicara yang baik, pelanpelan,” kata Tibo. Teguran ini membuat pria itu diam seribu basa. Wawancara pun ikut terhenti dan disepakati dilanjutkan pada Selasa 21 Maret.
Wawancara Selasa itu, sebagaimana kesepakatan, lagilagi ada ”insiden.” Kali ini yang emosional Marinus. ”Saya bosan, media di sini tidak memberitakan dengan benar apa yang kami sampaikan,” ujarnya. Wawancara baru bisa dilanjutkan setelah Tibo membujuk dan menenangkan Marinus.
Saat wawancara berjalan hampir satu jam, seorang petugas memberi tahu Tibo, di ruang besuk sudah banyak orang menunggu. Mereka itu ”pasien” Tibo. Agaknya pria kelahiran Ende 5 Mei 1945 ini punya kemampuan supernatural untuk menyembuhkan berbagai penyakit dengan gratis. ”Selama di penjara, sudah sekitar 600 orang yang saya sembuhkan, termasuk seorang haji dari Banten yang perutnya mengalami pembengkakan,” ujar Tibo. Berikut petikan wawancara dengan Tibo, Dominggus, dan Marinus.
Bagaimana keadaan Anda saat ini?
Tibo: Saya sehatsehat saja.
Anda tampak cerah seperti tidak ada beban.
Tibo: (Tertawa). Bagaimana kami tidak mau tenang. Apa yang mau kami perbuat. Semua kami serahkan saja kepada Tuhan, daripada pusingpusing. Kalau ajal kami harus selesai, ya apa boleh buat. Kami serahkan kepada Yang Mahakuasa.
Apa saja yang Anda kerjakan di sini?
Tibo: Saya membikin kerajinan tangan dari anyaman rotan. Ada tas, topi, keranjang pakaian kotor, dan lobok (tudung saji). Selama di LP kami sudah menghasilkan uang dari hasil penjualan anyaman rotan sekitar Rp 10 juta. Kami penghuni LP yang memasukkan uang untuk negara. (Dominggus dan Marinus datang sambil membawa beberapa hasil anyaman mereka).
Anda mengatakan tidak bersalah dalam konflik 23 Mei 2000. Tapi Anda bertiga dijatuhi hukuman mati. Apa sebenarnya yang terjadi?
Tibo: Kami yakin tidak terlibat. Tapi pemerintah menuduh kami. Kami ini yang menolong orang. Sedangkan aparat berdiri saja tak bergerak, tidak berbuat banyak. Jadi aneh ini. Tapi saya pikir ini tidak apaapa. Mungkin ini ujian bagi saya.
Apa keanehan itu?
Tibo: Kami betulbetul menolong orang. Tapi pemerintah bilang kami ngomong tidak benar, ngarangngarang saja. Dulu jaksa itu menekan betul kami, termasuk jika ingin bicara dengan pengacara kami, Robert Bofe, kami tidak bisa bicara. Apa yang kami bicarakan sebagai sesuatu yang benar ditekan terus.
Kapan Anda menghadapi tekanan?
Tibo: Waktu pemeriksaan, waktu persidangan, sudah di ruangan ini. Waktu itu kami bertanya kepada pengacara kami Robert Bofe, kenapa keterangan kami tidak digubris, tidak dimuat di BAP. Robert menjawab, oh gampang itu. Dorang (Tibo, Marinus, dan Dominggus) tenang saja. Kami pun tenang karena waktu itu kami belum tahu hukumnya bagaimana. Dia hanya bilang, kalau kami tuntut 16 orang itu, kamu dapat hukuman berat. Sekarang mereka beralasan kami tidak mengungkap 16 nama itu dari pertama. Mereka bohong. Mereka itu ingin menutupnutupi. Karena kami bodoh tidak tahu hukum, mereka tambah kasih bodoh.
Reaksi Anda?
Dominggus: 16 nama itu harus diambil semua. Kenapa mereka tidak diambil? Sebab itu sampai sekarang saya kejar terus kenapa mereka tidak disentuh hukum. Kami bisa membuktikan karena kami di lapangan. Yang kami minta sekarang pemerintah membuktikan.
Tibo: Ya. Kalau hukum mau ditegakkan, pemerintah harus membuat keadilan yang seadiladilnya. Kalau tidak, terserah pemerintah. Akibatnya, mereka yang tanggung. Kalau kami mati, belum tentu negara ini aman. Karena membunuh orang yang tidak bersalah, Tuhan akan menampakkan mukjizatnya.
Marinus: Yang dihukum mati ada di konflik ketiga. Mana yang di konflik pertama dan kedua? Di mana orangnya sekarang?
Dari mana daftar 16 nama itu?
Tibo: Orang Poso yang memberitahukan kepada kami. Mereka itu pimpinan penyerbuan. (Menurut mantan Sekwilda Kabupaten Poso Yahya Patiro kepada Tempo, daftar 16 nama itu diperoleh Tibo dari Anca Purasongka, warga Tentena yang kini tidak diketahui keberadaannya. Yahya pun masuk dalam daftar 16 nama).
Anda mengenal 16 nama itu?
Tibo: Kami tidak kenal. Kami kenal mereka hanya pada saat penyerbuan di Kelurahan Moengko. Paulus Tungkanan kami kenal di kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Tentena. Waktu itu kami mau minta mobil truk untuk memulangkan anakanak yang kami bawa dari Poso. Semua orang harus menghadap dia.
Namun, hasil pemeriksaan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, ke16 nama itu tidak terbukti terlibat. Tanggapan Anda?
Dominggus: Saya ingin sekali bertemu Presiden. Kami bisa membuktikan keterlibatan 16 orang itu demi keadilan.
Dalam berkas dakwaan, Anda disebut panglima Pasukan Kelelawar dari Kelompok Merah (Kristen). Benar?
Tibo: Tidak benar. Yang menjadi panglima adalah orang Poso sendiri, yaitu Paulus Tungkanan. Anaknya itu kemudian menjadi kepala untuk Kelompok Kelelawar.
Anda berulang kali mengatakan tangan Anda tidak berdarah. Apa maksudnya?
Tibo: Saya tidak membunuh. Mencubit orang pun tidak pernah. Malah kami selalu melarang. Tapi saat itu banyak sekali orang, jadi kami mau bikin apa?
Lalu, menurut Anda, apa yang terjadi saat penyerangan 23 Mei 2000?
Tibo: Kami ini tidak mempunyai masalah dengan umat Islam. Kami mau Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah bicara. Waktu dari orang AlKhaeraat datang menjenguk saya, saya bilang sebenarnya kami tidak punya persoalan. Yang mempunyai persoalan dengan kalian adalah Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Sinode. Yang memasukkan kami ke penjara, Pak Papasi (waktu itu Ketua Gereja Kristen Sulawesi Tengah) dengan Ibu Agustina Lumentut. Jadi yang saya minta sebenarnya Pak Papasi itu harus diambil supaya dia bertanggung jawab. Semua orang Desa Jamur Jaya tahu. Tapi sampai hari ini tidak ada pertanggungjawaban dari mereka.
Apa yang dikatakan Papasi dan Lumentut kepada Anda?
Dominggus: Mereka datang ke Desa Jamur Jaya tiga kvali bertemu kami. Yang pertama, mereka menyuruh kami menyerahkan diri bersama Om Tibo dan Marinus. Kami tanya, kami menyerahkan diri ini persoalan apa. Kalau persoalan di Poso kok harus kami? Akhirnya dia cari jalan, datang yang kedua kami tolak. Datang yang ketiga, dia bilang tidak, kamu cuma memberikan keterangan tentang kejadian penyerbuan gereja Katolik di Moengko. Sesudah itu kami datang dan kami jelaskan bahwa terbakarnya gereja bukan karena orang muslim yang menyerang tapi orang Ir Lateka.
Apa permintaan terakhir Anda jika eksekusi tetap dilakukan?
Tibo: Saya hanya minta kami tidak boleh dieksekusi karena kami tidak bersalah. Kami hanya ingin membuka kejahatan di Poso supaya oknumoknum itu ditangkap. Tapi pemerintah membiarkan. Itu berarti pemerintah bukan mau aman. Kalau eksekusi ini tetap dilakukan, saya tetap tidak mau. Kami bertiga tidak mau.
Jadi, Anda akan melakukan perlawanan?
Tibo: Bagaimana kami mau melawan? Sebab kami tidak ada alatalat seperti punya aparat. Walau mereka membunuh kami, kami tidak terima. Nanti satu saat semua akan ketemu di sana.

No comments: