Kamis, 13 April 2006
Eksekusi Tibo Tergantung Situasi Jaksa Agung Tolak Kedatangan Pengacara Tibo
JAKARTA- Tiga terpidana kerusuhan Poso Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva untuk sementara bisa bernapas lega. Ini menyusul sikap Kejagung yang melunak dengan menunda eksekusi Tibo dkk hingga suasana menjadi kondusif.
‘’Saya tidak mengatakan ditunda tetapi menunggu waktu yang tepat (untuk mengeksekusi Tibo). Tentunya banyak pertimbangan. Saya lihat Kajati dan Kapolda Sulteng ingin menunggu situasi yang kondusif,’’ kata JAM Pidum Prasetyo yang ditemui di Gedung Kejagung Jakarta kemarin.
Apa definisi suasana kondusif, apakah terkait pro kontra eksekusi Tibo dkk? Mantan Kepala Kejati Sulsel itu menolak menjelaskan detail. ‘’Saya kira Anda sudah tahu,’’ jawab Prasetyo tanpa menjelaskan kapan terjadinya situasi kondusif.
Yang pasti, eksekusi Tibo dkk harus dilaksanakan mengingat tugas kejaksaan adalah menegakkan keadilan. ‘’Keadilan harus ditegakkan. Keadilan harus diberikan kepada semua pihak. Dan, kejaksaan mewakili kepentingan (keadilan) masyarakat,’’ jelas Prasetyo.
Lebih lanjut Presetyo menjelaskan koordinasi Kejati Sulteng selaku pimpinan eksekusi sesuai UU No 2/Pnps/1964 dengan kepolisian setempat tidak terganggu dengan pemeriksaan 16 nama yang dituding Tibo terlibat kerusuhan Poso. Ini karena yang dilakukan penyidik kepolisian adalah mencari kebenaran semata.
‘’(Pemeriksaan) itu bisa dilakukan bahkan Kapolda sudah mempertemukan dengan salah satu nama yang juga mantan pejabat di situ (Poso),’’ jelasnya. Akan tetapi, dari perkembangan terakhir, Tibo ternyata tidak mengenalinya.
Terkait keinginan Tibo mengajukan grasi kedua, Prasetyo menegaskan hal itu tidak memungkinkan terkecuali hingga dua tahun sejak diterimanya grasi pertama yang bersangkutan tidak dieksekusi. ’’Kalau sekarang tidak ada grasi kedua,’’ beber Prasetyo.
Sementara itu, pengacara Tibo, Alamsyah Hanafiah kemarin berusaha menemui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk menanyakan kepastian penundaan eksekusi kliennya.
Akan tetapi, niat tersebut bertepuk sebelah tangan. Alamsyah gagal menemuinya karena Arman (sapaan Abdul Rahman Saleh) sedang menggelar pertemuan penting di kantornya. ‘’Rencananya ketemu Pak Jaksa Agung tetapi belum janjian. Karena yang bersangkutan sibuk ya nggak apa-apa (tidak bertemu),’’ jelas Alamsyah yang tiba di Gedung Kejagung pukul 14.30.
Alamsyah menegaskan penundaan eksekusi Tibo merupakan pilihan tepat. Selain mengakomodasi aspirasi masyarakat, langkah tersebut untuk mencari kebenaran material terkait siapa saja yang terlibat kerusuhan Poso. Juga, untuk mencari novum untuk kepentingan PK (peninjauan kembali) perkara kliennya. ‘’Eksekusi Tibo menunggu hingga berakhirnya pemeriksaan 16 nama di kepolisian. Nah, kalau Tibo memang terbukti baru eksekusi baru dilakukan. Sebaliknya kalau Tibo tidak terbukti, eksekusi tidak bisa dilaksanakan,’’ ungkap Alamsyah.
Lebih jauh Alamsyah menyatakan kliennya tetap mengajukan grasi kepada Presiden SBY kendati kejaksaan menyalahi prosedur. Menurutnya, grasi kali ini diajukan keluarganya. ‘’Keluarga Tibo tetap mengajukan grasi Tibo ke Presiden,’’ tegas pengacara berambut gondrong ini.
Rencana eksekusi Tibo dkk belakangan mengundang kontroversial. Kejagung tetap mengeksekusi. Sebaliknya, kubu Tibo dkk menegaskan bahwa eksekusi tersebut akan memperburuk proses recovery Poso paska kerusuhan.
Sejumlah tokoh juga mengajukan penolakan eksekusi. Pernyataan tersebut disampaikan para tokoh lintas agama yang diantaranya KH Arifin Assegaf (Ketua MUI Sulut), Mgr Josef Suwatan (Uskup Manado), dan Pdt Nico Gara (Universitas Kristen Indonesia Tomohon). Bahkan, surat keberatan juga ditangatangani mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan mantan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Sekadar mengingatkan, proses hukum terhadap Tibo dkk berjalan sangat panjang. Sejak akhir 2000 mereka mulai menjalani pemeriksaan di PN Palu, dengan menghadirkan sekitar 20 orang saksi dan 19 di antaranya memberatkan.
Setelah menjalani pemeriksaan berbulan-bulan, pada Maret 2001 Majelis Hakim PN Palu diketuai Darmono SH dengan anggota Ferdinandus PN dan Taksin SH menjatuhi vonis pidana mati. Putusan ini diputuskan majelis hakim mengingat Tibo dkk terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana, pembakaran, dan penganiayaan berat terhadap banyak manusia tak berdosa saat kerusuhan Poso bernuansa SARA bergolak pertengahan 2000.
Sekitar dua bulan kemudian, tepatnya 17 Mei 2001, PT Sulteng mengeluarkan putusan menolak upaya hukum banding yang diajukan ketiga terpidana ini sekaligus menguatkan putusan PN Palu.
Pada 11 Oktober 2001, MA kembali menolak permohonan kasasi Tibo dkk sambil meneguhkan putusan dua pengadilan di tingkat bawah, dan terakhir lagi-lagi majelis hakim lembaga peradilan tertinggi itu dalam persidangannya pada 27 Februai 2004 menolak upaya hukum PK yang diajukan Tibo dkk.
Sesuai UU No 22/2002 tentang Grasi, para terpidana kemudian mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden dan berharap akan ada perubahan, peringanan, pengurangan, serta penghapusan pidana yang telah dijatuhkan. Presiden sendiri pada 13 April 2005 sudah menolak permohonan grasi mereka.
Kerusuhan Poso yang mencapai klimaksnya pertengahan 2000 mengakibatkan lebih 1.000 orang terbunuh dan hilang. Korban terbanyak adalah warga kompleks Pesantren Walisongo di Kelurahan Sintuwu Lembah, sekitar sembilan kilometer selatan kota Poso.
Peran Tibo dkk saat pecah kerusuhan di Poso bersamaan waktunya dengan penyelenggaraan MTQ Nasional ke-19 di Palu disebut-sebut oleh banyak saksi di pengadilan "in fact" sebagai aktor penggerak di lapangan, selain membunuh dengan tangannya sendiri banyak manusia dengan cara sadis.(agm)
Saturday, April 22, 2006
Posted @ 12:48 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment