Monday, April 17, 2006

Tempo, Edisi. 08/XXXV/17 - 23 April 2006
Karena Ingin Membongkar Akar

Polisi mulai memeriksa dan memanggil 16 nama yang disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan Poso. Sebagian besar belum menyatakan kesediaan.
SETELAH lama menanti, Fabia-nus Tibo akan dipertemukan dengan Yahya Patiro, yang masuk daftar 16 nama yang disebut-sebut selaku dalang konflik Poso. Pria 61 tahun itu tak menyangka, di ujung harinya menanti maut, keingin-annya untuk bertemu Yahya terkabul. Selasa pekan lalu itu, Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Oegroseno, mengirim kabar akan mengkonfrontasi Tibo dengan Yahya Patiro, mantan Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Poso.
Tepat pukul 10.00, terpidana mati ka-sus- konflik Poso pada Mei-Juni 2000 si-lam- itu sudah menunggu di ruang kerja Ke-pala Lembaga Pemasyarakatan Peto-bo-. Beberapa saat kemudian, Oegroseno- dan dua orang yang tak dikenal Tibo da-tang. ”Kalau bertemu Yahya, apa yang a-kan Anda katakan?” kata Kapolda, me-mecah keheningan ruangan tempat Tibo menunggu. ”Saya akan tuntut dia berbicara soal Poso, karena dia yang mau menjadi Bupati Poso,” kata Tibo, lugas.
Oegroseno kemudian bertanya, apa-kah Tibo mengenal Yahya. Jawaban Tibo mengagetkan Oegroseno. Tibo menyatakan tidak. Ternyata, baik Tibo maupun Yahya, salah satu dari dua orang yang datang bersama Oegroseno, tak saling mengenal. ”Oh, so… ini Yahya Patiro?” Tibo terkesima. ”Saya minta maaf kalau suara saya tadi agak keras.” Tibo menyalami Yahya.
Di luar ruangan, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, dua terpidana mati lain-nya untuk kasus Poso, langsung berteriak-teriak begitu mengetahui ta-mu yang diterima Tibo adalah Yahya. ”Tangkap dia. Dia yang mau merebut Bupati Poso. Dia otaknya,” kata Marinus sambil menunjuk ruang kerja Kepala Lembaga Pemasyarakatan Petobo. ”Dia yang punya ambisi menjadi bupati. Dia harus bertanggung jawab, ” Dominggus menimpali.
Teriakan Marinus dan Dominggus membuat petugas penjara turun tangan. Mereka segera menjauhkan kedua orang itu dari ruang utama hotel prodeo. Berbeda dengan Tibo, kedua orang ini me-ngenal Yahya. Namun, Oegroseno tak mem-pertemukan mereka dengan Yah-ya. ”Sebab, mental Tibo lebih matang dibanding Marinus dan Dominggus,” kata Kapolda.
Selama enam jam Tibo dan Yahya men-jawab 20 pertanyaan yang diajukan -Oe-gro-seno. Tibo sempat menyesalkan si-kap Yahya, yang selama ini dinilainya- ter-tutup. ”Kenapa Bapak selama ini di-am- saja, tidak mau bersuara?” kata Ti-bo.
Ketika konfrontasi berlangsung, Tibo mengeluarkan pernyataan baru yang membuat kening Oegroseno berkerut. Ia meralat 16 nama yang disebutnya sebagai dalang kerusuhan Poso. Menurut Tibo, nama Yahya Patiro bukan datang dari dia. Menurut pria kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur, itu, dia hanya pernah menyebut 10. ”Sedangkan Yahya- saya dengar dari teman-teman yang ada di penjara ini,” ujarnya.
Sepuluh nama versi Tibo itu adalah: Paulus Tungkanan (purnawirawan TNI), Lampadeli (pensiunan pegawai negeri sipil Poso), Ladue (purnawirawan TNI), Erik Rombot (pegawai Kehutan-an), Ventje Angkou-, Son Rungadodi- (gu-ru SD), Angki- Tungkanan, Yanis Simangunsong , Obed Tumpai (pegawai per-hubungan), dan Pendeta Sigilipu. Enam nama lainnya dia peroleh dari Dominggus, Marinus, dan Herry Meng-ka-wa, terpidana 15 tahun penjara untuk- kasus yang sama. Keenam nama itu adalah Theo Manjayo (purnawira-wan TNI), Edi Bunkudapu (pejabat Pe-merintah Daerah Ka-bupaten Poso), Yahya Patiro, Heri Banibi, Sarjuan alias Gode, dan Guntur Tarinje.
Menurut Oegroseno, dia akan melanjutkan pemeriksaan terhadap orang-orang yang memberi daftar nama itu kepada Tibo, Termasuk nama Anca Poerasongka, yang disebut Yahya Pati-ro. ”Saya ingin mengetahui tujuan dari tun-tutan ketiga terpidana mati untuk me-meriksa 16 nama itu,” kata Oegroseno-.
Oegroseno juga ingin mencari tahu kepentingan orang-orang di luar ketiga terpidana mati yang menuntut pemeriksaan 16 nama itu. ”Ini menyangkut nyawa manusia,” katanya. ”Pertanggungjawaban saya ke dunia dan akhirat.”
Pada pertengahan Maret lalu, kepada Tempo, Yahya menegaskan, ketika konflik meletus di Poso, ia sudah tinggal di Palu. ”Saya tidak tahu apa-apa soal Poso,” katanya. Ketika konflik terjadi pada Mei-Juni 2000, kata Yahya, pe-me-rintah daerah Poso memang tak bi-sa berbuat apa-apa. Kerusuhan Poso me-nelan korban sedikitnya 200 orang tewas, ribuan rumah hancur, dan ribuan orang mengungsi ke daerah lain.
Menurut Yahya, karena namanya di-sebut-sebut itulah ia akhirnya dikonfrontasi dengan Tibo. Begitu menerima surat panggilan dari polisi, dua pekan lalu, Ketua II Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah itu langsung menyatakan menyanggupi. ”Hidup saya terganggu selama ini,” ujarnya.
Selain Yahya, polisi juga sudah memanggil 15 nama lain yang disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan. Namun, ha-nya Yahya yang menyatakan siap di-periksa. Yang lain belum memberi jawab-an. Menurut Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pendeta Reynaldi Damanik, mereka yang menolak itu takut pengalaman pahit yang dialami Tibo terulang kembali. ”Dulu Tibo datang ke polisi dengan kerelaan untuk diperiksa, tapi malah ditangkap dan dihukum mati,” ujar Damanik kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kendati belum ada jawaban, Oegro-seno- me-nyatakan akan tetap memeriksa 15 o-rang itu. ”Ini pertanggungjawaban sa-ya kepada publik,” katanya. ”Saya ingin- ta-hu langsung apa sebenarnya yang ter-ja-di, tidak lewat siapa-siapa.” Karena i-tu, ujar Oegroseno, jika panggil-an ke-du-a tidak digubris, mereka akan dipang-gil- paksa.
Pekan ini, kata Kapolda, surat panggilan kedua akan segera ia layangkan. ”Jangan sampai yang salah mengaku tak bersalah dan yang tidak bersalah malah dihukum,” ujarnya. Pemeriksa-an dan pemanggilan semua nama itu, bisa jadi, memang tak mengubah nasib Tibo. -Namun, seperti yang dinyatakan Oegroseno, ia ingin membongkar akar kon-flik Poso sejak Desember 1998 -sam-pai -sekarang.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad (Palu)

No comments: