Wednesday, April 12, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tibo dan Kekeliruan Vonis Mati
Oleh Tjipta Lesmana

abianus Tibo - serta dua kawannya, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu saat ini sedang menunggu "saat-saat terakhir" kehidupan mereka, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyo menolak permohonan grasi yang mereka ajukan. Pengadilan tingkat terakhir, yaitu Mahkamah Agung, telah memperkuat vonis mati yang dijatuhkan pengadilan I dan II, karena mereka dinyatakan terbukti melakukan kejahatan dalam kerusuhan rasial di Poso tahun 2000 yang menewaskan ratusan orang.
Namun, setelah grasi ditolak Presiden, muncul aksi-aksi massal di berbagai kota, mendesak Presiden membebaskan Tibo cs. Bahkan Paus Bennedictus pun menghimbau Presiden Indonesia untuk memberikan pardon kepada Tibo cs, para terpidana mati dianggap hanya korban rekayasa pihak-pihak tertentu.
Orang-orang dibalik kerusuhan Poso itu, para aktor intelektual, justru dinilai tidak tersentuh hukum. Di mana rasa keadilan itu? Seorang pensiunan Hakim Agung kita pernah "menguliahkan" penulis bahwa keadilan memang persoalan yang enak dibicarakan, tapi tidak mudah diwujudkan.
Masalahnya, keadilan mempunyai "wajah" yang berbeda-beda. Ia membagi keadilan dalam 5 kategori: keadilan menurut hakim, jaksa, pengacara, korban, dan masyarakat. Belum lagi jika bicara tentang keadilan menurut Tuhan. Seorang koruptor yang merugikan Negara Rp 50 miliar, misalnya, divonis penjara setahun, sementara pencuri ayam diganjar 14 bulan. Adilkah? Gugat masyarakat.
Tapi, hakim berargumentasi bahwa putusan yang mereka jatuhkan terhadap koruptor itu sudah pas, karena sesuai ketentuan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Mensitir pernyataan seorang Hakim Agung Amerika, kawan saya itu berucap, the duty of a judge is to uphold law, not to administer justice. Hakim bertugas menegakkan hukum, bukan melaksanakan keadilan. Hakim tidak mau tahu apakah bukti yang diajukan di pengadilan palsu atau hasil rekayasa, atau kesaksian seseorang palsu atau tidak.
Jika barang bukti atau kesaksian seseorang diyakini betul (misalnya ada shabu-shabu di dalam tas seorang perempuan), jadilah ia landasan untuk putusan hukum. Tapi, sejarah mencatat, betapa sering pengadilan menjatuhkan hukuman, termasuk hukuman mati yang dikemudian hari diakui keliru. Kadang terpidana sudah dieksekusi, tapi tidak jarang ia selamat dari el maut pada saat-saat terakhir menjelang pelaksanaan eksekusi mati terdebut.
Kesaksian Palsu
Joseph Green Brown dijatuhkan pidana mati oleh pengadilan Florida pada 1974, karena "terbukti" melakukan pembunuhan. Dalam menjatuhkan vonis, pengadilan terutama mengandalkan kesaksian yang diberikan oleh Ronald Floyd, co-conspirator yang mengaku mendengar langsung pengakuan Brown bahwa ia yang membunuh koban. Tapi, di kemudian hari Floyd mengaku bahwa kesaksiannya palsu.
Ia sengaja memberikan keterangan palsu untuk menjebloskan kawannya, sekaligus membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Kesaksian baru Floyd diberikan hanya 13 jam sebelum Brown menjalani eksekusi. Peradilan kasus Brown berlangsung 13 tahun lebih. Baru pada 1987 Brown dinyatakan tidak bersalah dan di- bebaskan.
Kasus lain, Larry Hicks, seorang penduduk Negara Bagian Indiana, pada 1978 dijatuhkan hukuman mati, juga karena kasus pembunuhan sadis. Dua minggu sebelum eksekusi Hicks dilaksanakan, seorang pengacara volunteer yang rupanya menaruh minat besar terhadap kasus ini meminta pengadilan untuk menunda eksekusi, karena ia mengklaim menemukan novum.
Yayasan Playboy memberikan dukungan dana untuk penyelidikan kembali kasus Hicks. Dalam proses retrial, terungkaplah alibi Hicks yang cukup sempurna, sekaligus bukti bahwa keterangan saksi kunci dalam pengadilan sebelumnya ternyata palsu.
Larry Hicks dibebaskan pada 1980. Apakah "fakta hukum" seputar kejahatan yang dilakukan Tibo dkk sungguh sudah meyakinkan dan tak terbantahkan? Tibo dkk kini membuka suara bahwa mereka hanya korban rekayasa. Kepada pihak kepolisian, baru-baru ini mereka mengungkapkan 16 nama pelaku lapangan. Dalam persidangan 2001, Tibo mengaku sebenarnya sudah siap membuka identitas ke-16 orang itu, tapi dilarang oleh kuasa hukumnya. Kenapa?
Apakah penasehat hukum mendapat ancaman serius dari kelompok tertentu? Sebaliknya, jika "fakta hukum" tentang kejahatan Tibo dkk memang tak terbantahkan, hukum harus dijalankan. Semua pihak harus mengakui bahwa hukuman mati masih tercantum dalam KUHP.
Maka, hakim tidak salah jika menerapkan hukuman itu, karena hakim hanya bertugas "menjalankan ketentuan perundangan-undangan". Itu berarti eksekusi mati Tbo dkk. Tinggal persoalan waktu.
Memang capital punishment hingga kini tetap menjadi kontroversi. Semakin banyak negara yang sudah menghapus hukuman maut ini. Para penentang vonis mati melihat hukuman mati adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia. Lagipula, hukuman mati terbukti tidak mampu menimbulkan rasa jera pada kriminal. Hukuman mati malah bisa menimbulkan rasa dendam dari pihak terhukum.
Di kubu lain, motto "pro vita hominis nisi hominis vita reddatur" (nyawa harus dibayar dengan nyawa) yang diucapkan Kaisar Julius Ceasar 2000 tahun yang lalu masih memikat banyak ahli hukum di seantero dunia hingga kini.
Amerika termasuk salah satu negara besar yang setiap tahun - sampai sekarang - masih terus mengeksekusi warganya yang terbukti melakukan kejahatan sadis, walaupun banyak sekali vonis mati yang kemudian diakui keliru! Menurut catatan resmi, dari 1973 sampai 1998, rata-rata 2,96 kasus acquitted (yang terkait dengan vonis mati) di Amerika. Total kasus acquitted sampai Februari 2006 berjumlah123. Cukup besar.
Nah, fakta di atas, fakta tentang banyaknya kasus kekeliruan hakim Amerika mengganjar hukuman mati kepada terdakwa seyogianya menggugah pihak-pihak terkait dalam kasus Tibo dkk untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh imbauan dan desakan banyak kalangan untuk suatu retrial yang lebih terbuka, dan lebih fair.
Jangan lupa, nuansa politis kasus-kasus Poso dari awal sampai hari ini amat kental. Kalau sudah bicara "politis", segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan subordinasi hukum atas kepentingan politik!
Penulis adalah Pengajar Universitas Pelita Harapan
Last modified: 11/4/06

No comments: