Tempo, Edisi. 50/XXXV/05 - 11 Februari 2007
Opini
Pasar Senjata di Poso
SELAMA masih ada senjata di tangan penduduk sipil, selama itu pula kedamaian di Poso bagai telur di ujung tanduk. Bila senjata dengan mudah bisa diperoleh warga, setiap saat damai akan berganti perang. Segenap usaha mengakhiri konflik Poso yang sudah berawal delapan tahun silam bisa sia-sia. Seharusnya, senjata hanya boleh digunakan dalam peperangan untuk menyerang atau bertahan. Dalam masa damai, alat untuk mencederai, melumpuhkan, membuat lawan tak berdaya, atau membunuh itu seharusnya tidak dikuasai orang sipil. Apalagi hukum di negeri ini secara jelas melarang orang sipil menguasai senjata tanpa izin.
Fakta bahwa sebagian penduduk Poso memegang senjata gelap memang merisaukan. Selain jumlahnya tak pasti, jenis senjata yang beredar juga mempunyai daya bunuh luar biasa besar. Senapan serbu M-16, contohnya, bisa memuntahkan 750 butir peluru dalam semenit. AK-47, yang dirancang Mikhail Kalashnikov dari Rusia, sanggup memberondongkan 600 peluru setiap menit. Senapan serbu SS-1 buatan Pindad Bandung, yang juga digenggam sebagian penduduk Poso, mampu melontarkan 700 pelor semenit.
Senjata modern mematikan itu tidak bisa dibuat sendiri oleh penduduk, seperti halnya senapan rakitan, tapi datang dari segala penjuru. Sebagian senjata itu sudah ”berdiam” di Poso sejak konflik pada 2000-2001. Sebagian lagi dibawa masuk oleh kelompok milisi yang datang membela agama masing-masing. Ada juga polisi dan tentara yang secara individual menjual peralatan perang itu kepada kelompok yang bertikai. Begitu konflik senjata meletus, ada saja broker yang mencium peluang ”bisnis” dan memasok senjata dari Filipina dan Malaysia.
Naluri bisnis pedagang senjata dengan jeli mendeteksi niat sebagian warga yang masih menyimpan amarah kepada kelompok lain. Sang pedagang juga tahu ada warga yang butuh senjata untuk berjaga-jaga dari serangan kelompok lain. Dengan dua motif itu warga bersedia menjual tanah atau harta benda lain untuk membeli senjata. Maka, seperti lazimnya hukum ekonomi, kalau ada permintaan maka ada pasokan. Mengalirlah senjata haram itu ke Poso. Wilayah yang semula aman damai akhirnya menjadi ”neraka” bagi siapa saja yang ingin hidup tenang.
Tidak gampang membuang dendam, amarah, dan curiga yang kini menguasai penduduk Poso. Kecurigaan bahwa polisi sudah berpihak ke satu kelompok bisa dijawab dengan memindahkan sebagian besar polisi yang sudah lama bertugas di sana. Sebagai pengganti bisa diambil polisi yang berasal dari daerah lain, dengan memprioritaskan polisi yang bukan beragama Islam atau Kristen. Pendekatan dan sosialisasi kepada kelompok yang bertikai, bahwa senjata tak boleh dimiliki orang per orang tanpa izin, bisa diteruskan oleh polisi yang baru bertugas di sana.
Sementara itu, dialog antarkelompok yang pernah bertikai sudah saatnya dibuka kembali. Dialog dan pertemuan perlu untuk mengungkapkan apa saja masalah yang menimbulkan kecurigaan antarkelompok. Penting diketahui penyebab perasaan tak aman yang akhirnya mendorong penduduk menguasai senjata. Dialog begini perlu digagas oleh para pemimpin informal setempat, terutama para pemimpin agama dari golongan yang tidak ekstrem.
Dialog dengan melibatkan pemimpin agama dilakukan di Maluku Utara. Walaupun memakan waktu lama, para pemimpin dua agama yang berhadapan akhirnya menyadari bahwa senjata hanya mempertajam konflik dan menyebabkan korban tewas terus bertambah. Dan orang yang tewas itu ternyata adalah sanak saudara sendiri yang kebetulan berbeda agama. Agar keluarga yang menjadi korban tidak berlipat jumlahnya, senjata perlu diserahkan. Di Maluku Utara, penduduk dari kelompok agama yang bertikai memang berasal dari satu rumpun keluarga. Inilah yang memudahkan penyelesaian konflik Maluku Utara.
Kasus Poso berbeda. Penduduk yang bertikai di Poso bukan berasal dari rumpun keluarga yang sama. Tapi dialog dengan melibatkan pemimpin agama bisa dicoba. Mereka yang dulu terlibat dalam deklarasi perdamaian Poso pada 2001, yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla, bisa kembali dikumpulkan. Semua kecurigaan ditampung, diselesaikan lewat dialog. Setelah kondisi keamanan membaik, pelanggaran aturan bisa diselesaikan lewat jalur hukum. Para pemimpin agama perlu menyadarkan umatnya bahwa memiliki senjata adalah perbuatan melawan hukum. Itu sebabnya senjata harus dikumpulkan, kemudian dimusnahkan, dengan disaksikan wakil kedua kelompok.
Bila dialog tidak membuahkan hasil dan konflik terus berlangsung, Presiden RI bisa mengumumkan keadaan darurat sipil secara terbatas di Poso—seperti saran majalah ini pekan lalu. Pelucutan senjata bisa dilakukan, kalau perlu dengan kekuatan penuh. Ini bukan sebuah pilihan menarik, tapi harus dilakukan demi menyelamatkan nyawa warga. Poso harus diselamatkan dari kematian akibat bedil dan mesiu.
Monday, February 05, 2007
Posted @ 9:21 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment