Monday, February 05, 2007

Tempo, Edisi. 50/XXXV/05 - 11 Februari 2007
Laporan Utama
Bisnis Senjata di Jantung Poso

Ratusan senjata organik dan ribuan amunisi diduga beredar di Poso, tanah yang sudah sembilan tahun didera konflik. Diselundupkan melalui jalur-jalur tikus dari Filipina selatan dan Jawa, senjata itu bisa pula diperoleh melalui anggota TNI yang bandel. Tempo melaporkan dari Poso, Sulawesi Tengah.

Razia besar-besaran itu digelar di Trans Sulawesi, sebuah jalan utama yang melintang di tengah Kota Poso. Polisi menghadang setiap truk, mobil pribadi, bus, sepeda motor yang lewat, lalu menggeledahnya satu per satu. Seratus lebih polisi bersenjata ikut dalam aksi pembersihan senjata tersebut, Rabu malam pekan lalu.
Tim penggeledah berasal dari Detasemen Khusus 88 Antiteror serta Markas Besar Polri. Mereka menyisir perkampungan di Bonesompe dan Lawanga, Kecamatan Poso Kota. Semua rumah, termasuk bangunan kosong, disisir dari atap hingga kakus.
Sepekan sebelumnya, polisi bentrok dengan sejumlah warga Desa Gebangrejo di Poso Kota. Insiden berdarah itu menelan 14 nyawa, termasuk seorang polisi. Maka, razia besar pun digelar. ”Ini untuk mencegah senjata keluar atau masuk Gebangrejo,” kata Kepala Kepolisian Resor Poso Ajun Komisaris Besar Rudi Sufahriadi kepada Tempo.
Gebangrejo dan desa-desa di sekitarnya memang menjadi target operasi. Polisi curiga, wilayah itu menjadi tempat persembunyian buron berbagai kasus kekerasan di Poso. Tanah Runtuh di Gebangrejo—letaknya hanya 100 meter dari Markas Kepolisian Poso—disebut-sebut sebagai jantung pertahanan para buron.
Aparat menduga Tanah Runtuh menjadi tempat mereka mengumpetkan senjata. Setelah bentrokan berdarah pada 22 Januari silam, pihak keamanan menemukan enam senjata pabrikan, 25 senjata rakitan, 3.500 lebih peluru serta rupa-rupa bahan peledak di sana. Pada akhir Januari, polisi mengklaim menyita 12 senjata pabrikan—dikenal sebagai ”senjata organik”—51 senjata rakitan, sebuah granat, dan 4.000 lebih peluru tajam.
Jumlah itu bisa digunakan hampir sekompi pasukan militer atau sekitar 100 orang.
l l l
Konflik Poso meletus pertama kali pada Natal 1998. Saat itu Roy Runtu Bisalemba, pemuda Kristen dari Pamona, membacok Ridwan Ramboni, anak muda muslim di Masjid Darussalam, Kelurahan Sayo. Penganiayaan itu memicu kemarahan kaum muda muslim. Roy disebut-sebut juga menghina agama mereka. Mereka merusak tempat tinggal Roy serta menyerang toko dan diskotek di Poso. Aksi ini dibalas massa Kristen keesokan harinya. Sejumlah permukiman dirangsek. Tak ada korban jiwa saat itu. Tapi puluhan rumah dan toko hancur.
Kejadian serupa terulang pada April 2000, ketika dua pemuda berkelahi di Terminal Poso. Perkelahian ini memicu bentrokan dua desa dan memakan tiga korban jiwa. Hampir tiga ratus rumah terbakar. Sebulan kemudian, aksi kekerasan kian bertambah dengan munculnya pasukan ala ninja yang menyerang permukiman muslim. Penduduk Kayamanya—ini salah satu basis muslim—balik menggasak Kelurahan Lombogia serta hunian Kristen lainnya.
Kekerasan berbalas kekerasan. Darah dibalas darah. Poso, kota seluas 30 kilometer persegi dengan jumlah penduduk tak lebih dari 390 ribu, terbelah tiba-tiba oleh ”konflik agama”. Seribu orang dari kedua pihak tewas sepanjang 2000-2001. Korban berasal dari dua wilayah agama. Basis muslim ada di daerah pesisir seperti Toyado, Madale, Parigi, dan Bungku. Pemeluk Kristen bermukim di wilayah pedalaman seperti Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona.
Penelurusan Tempo menemukan sebagian besar senjata masuk Poso ketika konflik memuncak di wilayah itu pada 2000-2001. ”Senjata organik yang masuk ada 100-200 pucuk,” sumber yang berpengalaman memasok senjata ke wilayah itu menuturkan kepada wartawan majalah ini di Poso.
Senjata itu, menurut si sumber, dipasok untuk kepentingan milisi yang terlibat ”konflik agama”. Orang-orang dari luar Poso mulai masuk. Kelompok se-perti Laskar Jihad, Laskar Mujahiddin, dan Laskar Jundullah berdatangan untuk menyokong wilayah muslim. Kelompok Legiun Christum dan Brigade Manguni bersatu padu membeking penduduk Kristen.
Kelompok Kristen juga dibantu oleh transmigran asal Nusa Tenggara Timur. Di antaranya Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, yang dihukum mati pada 2006. Tiga orang ini kemudian dituduh memimpin aksi pembantaian kaum muslim di Pesantren Walisongo, yang dikenal sebagai ”Kasus Kilo 9” atau ”Insiden Mei 2000” . Peristiwa ini sekaligus menjadi puncak kekerasan di Poso. Kota kecil di Sulawesi Tengah ini pun masuk sorotan berbagai media dan lembaga hak asasi mancanegara.
Satu pertanyaan penting: bagaimana senjata dan amunisi dialirkan ke wilayah yang terus mendidih oleh konflik selama sembilan tahun terakhir? Anton Bachrul Alam, juru bicara Markas Besar Kepolisian Negara RI (Polri), menuturkan bahwa senjata yang beredar di Poso berasal dari luar maupun dalam negeri. ”Ada juga yang buatan Pindad,” kata jenderal berbintang satu ini. Tiga senapan buatan perusahaan pemasok senjata Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) termasuk yang disita pada akhir bulan lalu (lihat Jejak Pindad Ada di Sini).
Dari luar negeri, menurut Anton, senjata didatangkan dari Filipina dan Malaysia. Serah-terima senjata biasanya dilakukan di tengah Laut Sulawesi, yang merupakan wilayah terbuka dan berbatasan langsung dengan dua negara itu. ”Transaksi di laut itu tidak bisa kami pantau,” Brigadir Jenderal Anton mengakui.
Seorang aktivis Laskar Jundullah kepada Tempo mengaku pernah beberapa kali mengapalkan senjata M-16, MK-3, serta pistol FN-45 dari Filipina selatan. Barang-barang itu diangkut ke Poso melalui dua pilihan jalur: Sabah dan Tahuna. Jalur Sabah ditempuh menyusur Tarakan, Nunukan, dan dibawa berlayar ke Palu. Dari ibu kota Sulawesi Tengah itu senjata diangkut ke Poso melalui jalan darat.
Adapun dari Tahuna senjata api dilayarkan oleh kapal-kapal kecil sewaan menuju Manado, Sulawesi Utara. Dari sini perjalanan diteruskan via rute darat menuju Poso. ”Semua jalur itu sekarang ditutup rapat,” kata aktivis itu, yang ditangkap polisi pada 2003.
l l l
Jalur lain yang bisa ditempuh adalah melalui Kepulauan Sangihe. Di tempat itu, menurut Ariyanto Sangaji, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka yang banyak meneliti konflik Poso, jalur distribusi dipecah tergantung agama pembeli. Jika yang memborong senjata adalah kelompok muslim, dagangan ilegal itu dimasukkan ke Poso melalui Palu. Jika pemesannya dari kelompok Kristen, barang dikirim melalui Tentena (lihat Tempo, 22-29 Januari 2007).
Dari mana pun jalurnya, senjata itu dibawa secara berantai. Ada yang bertugas menjemput ke Filipina dengan menyewa kapal kecil. Yang lain meneruskannya dari pelabuhan transit. Pengangkutan di jalan darat akan dilakukan lagi oleh orang lain.
Senjata selundupan dari Filipina Selatan umumnya dibeli dari milisi Moro. Harganya bervariasi. Senjata seperti FN dan SKS bisa dibeli Rp 2 juta per pucuk. Jenis M-16 mencapai Rp 12 juta. ”M-16 memang paling mahal,” kata seorang aktivis Jundullah kepada Tempo, pekan lalu.
Ambon, ibu kota Provinsi Maluku, juga menjadi salah satu ”kios senjata” yang banyak dilirik pelaku konflik di Poso. Pernah lama didera konflik berdarah, Ambon agaknya masih menyimpan sisa-sisa ”peralatan perang”. Farhan, bukan nama sebenarnya, menyatakan pernah mengangkut senjata jenis SKS, Carbine, dan S&W dari wilayah itu pada November 2000. ”Saya juga pernah membawa senjata dari Makassar dan Surabaya,” ujar penggiat Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) itu.
Seorang warga Tentena dalam perbincangan dengan wartawan majalah ini pekan lalu mengakui, anggota Brigade Manguni yang berpusat di Manado turut giat memasukkan senjata ke Poso untuk kelompok Kristen pada era 2000.
Sumber senjata lainnya adalah tentara yang menyempal. Seorang bekas pentolan Jamaah Islamiyah dari sayap Qirdas Askary mengaku 14 kali memasukkan senjata pabrikan ke Poso. Semuanya laras pendek. ”Agak ribet kalau yang laras panjang,” tuturnya kepada Tempo.
Nah, sebagian senjata ternyata dibeli sang laskar dari seorang perwira tinggi berpangkat brigadir jenderal yang berdiam di Bekasi, Jawa Barat. Semuanya jenis Senapan Serbu-1, buatan PT Pindad, Bandung. Di beberapa kawasan di Poso, Tempo mendapatkan informasi bahwa penduduk biasa memperoleh peluru dari tentara. Kadang-kadang para prajurit yang justru menawarkan peluru mereka. Harganya Rp 3.000 hingga Rp 3.500 per butir. Para tentara nekat itu menyebutnya sebagai ”tambahan uang rokok”.
Dimintai konfirmasi soal ini, Laksamana Muda Sunarto Sjukronoputra, Kepala Dinas Penerangan TNI, menyatakan tak mungkin tentara menjual senjata dan amunisi kepada penduduk. ”Kami memeriksanya secara rutin. Jadi, kalau ada kebocoran, pasti diketahui,” ujarnya pekan lalu.
Salah satu jenis yang ikut meramai-kan pasar gelap di Poso adalah senjata rakitan. Andi Baso, kepala pasukan muslim dari Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir, menuturkan bahwa senjata rakitan itu dibuat oleh sejumlah bengkel di Poso dan Palu. Yang paling bagus buatan Ampana, di daerah basis muslim. Harganya Rp 3,5 juta per pucuk.
Andi Baso mengaku, cukup membeli satu pucuk senjata buatan Ampana. Setelah itu ia bongkar untuk dijadikan model agar bisa merakit sendiri. ”Ternyata kelebihan senjata buatan Ampana hanya pernya yang dobel,” ujarnya sembari tergelak.
Dari mana warga memiliki uang untuk membeli senjata? Menurut Andi Baso, masyarakat di desanya kadang berpatungan. ”Senjata yang dibeli menjadi milik desa, bukan milik umat,” dia menjelaskan.
Adapun ”senjata umat”, menurut Andi, adalah yang disimpan di Tanah Runtuh. Senjata ini dipasok kelompok dari luar Poso dan bisa dipinjam untuk ”operasi” oleh kelompok muslim. Syaratnya, ”Harus segera dikembalikan begitu selesai operasi,” kata Andi Baso.
Anggota Front Solidaritas Islam Revolusioner Poso punya cara lain. Para anggota kelompok itu ada yang sampai menjual tanah demi senjata. ”Alasannya, mereka ingin membalas dendam atas kematian keluarga mereka,” kata Sofyan Farid Lembah, 43 tahun, bekas komandan Front Solidaritas.
Amir, 32 tahun, bukan nama sebenarnya, penduduk di pinggiran Poso, melakukan hal serupa. Tujuh tahun lalu dia kehilangan ayah dan ibu yang ia yakin dibunuh oleh kelompok Kristen. Amir pun berembuk dengan saudara-saudaranya lalu menjual tanah warisan mereka.
Sebidang tanah mereka dilego dengan harga Rp 16 juta. Dari jumlah itu, Rp 12,5 juta digunakan untuk membeli sepucuk M-16 melalui tangan seorang perantara. ”Katanya bekas tentara punya,” ia menuturkan kepada Tempo.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara juga punya ceritera soal pendanaan senjata. Kelompok di Tanah Runtuh dan Kayamanya, menurut dia, mendapatkan dana dari menjual cokelat di Kabupaten Perigi serta beberapa usaha lain, bahkan merampok. Sebagian senjata memang telah disita aparat kepolisian. Tapi Wakil Kepala Polri itu menyebutkan masih ada 80 hingga 100 pucuk senjata api yang beredar di sana.
Dari mana pun asalnya, senjata dan pelor—apalagi di tangan yang tidak berhak—selalu mendatangkan masalah. Ardin alias Rojak, 35 tahun, yang diduga terlibat pengeboman di Tentena pada Mei 2005, melepas tiga tembakan saat polisi akan menangkapnya di Kayamanya, Poso Kota, Jumat pekan lalu. Polisi ganti membidiknya. Peluru bersarang di perut, kaki, dan kedua tangan buron asal Kayamanya itu—menambah riwayat konflik berdarah Poso yang belum kunjung reda setelah sembilan tahun.
Budi Setyarso (Jakarta), Agung Rulianto (Poso), Darlis Muhammad (Palu)
Senjata Milisi
Polisi mengaku ditembaki aneka senjata oleh milisi Poso: dari karabin sisa Perang Dunia II hingga senapan mesin baru buatan Belgia, FN Minimi. Semua senjata itu mematikan karena, dari laras mana pun, mimisnya melesat di atas kecepatan suara (331 meter per detik).
BS
M-16 Senapan serbu Amerika Serikat rancangan Eugene Stoner. Mulai diproduksi pada 1960, menjadi andalan Amerika pada Perang Vietnam. Dipakai Indonesia. Jumlah produksi: sekitar 8 juta pucukPanjang: 1.006 mmKaliber: 5,56 mmKecepatan tembakan: 750 peluru/menitKecepatan peluru: 975 meter/detikJangkauan efektif: hingga 550 meter
AK-47Senapan serbu Rusia rancangan Mikhail Kalashnikov. Dipakai Indonesia.Jumlah produksi: sekitar 90 juta pucuk Panjang: 870 mmKaliber: 7,62 mmKecepatan tembakan: 600 peluru/menitKecepatan peluru: 710 meter/detikJangkauan efektif: hingga 400 meter
SS-1Senapan serbu (SS) buatan PT Pindad. Dibuat sejak 1991, SS1 merupakan hasil reka ulang senapan buatan FNC, Belgia. Dipakai TNI dan Polri.Panjang: 997 mm Kaliber: 5,56 mmKecepatan tembakan: 700 peluru/menitKecepatan peluru: 710 meter/detikJangkauan efektif: hingga 400 meter
M1 GarandSenapan semi-otomatis rancangan John Garand yang menjadi standar pertama infanteri Amerika. Populer pada Perang Dunia II dan Perang Korea.Jumlah produksi: sekitar 5,4 juta pucuk.Panjang: 1.100 mmKaliber: 7,62 mmKecepatan tembakan: 16–24 butir/menitKecepatan peluru: 865 meter/detikJangkauan efektif: hingga 550 meter
Karabin M1Karabin semi-otomatis ringan tentara Amerika pada Perang Dunia II dan Perang Korea. Jumlah produksi: sekitar 6,25 juta pucukPanjang: 904 mmKaliber: 7,62 mmKecepatan peluru: 600 meter/detikJangkauan efektif: hingga 275 meter
SKS Samozaryadnyi Karabin sistemi Simonova (SKS) adalah karabin semi-otomatis Rusia rancangan Sergei Gavrilovich Simonov pada 1945. Banyak diekspor ke dan diproduksi oleh negara-negara Blok Timur dan RRC. Panjang: 1.021 mmKaliber: 7,62 mmKecepatan peluru: 735 meter/detikJarak efektif: hingga 400 meter
FN MinimiSenapan mesin ringan Minimi (Mini-mitrailleuse) produksi Belgia Fabrique Nationale (FN) de Herstal produksi awal 1980-an.Panjang: 1.038 mmKaliber: 5,56 mmKecepatan menembak: 725 butir/menitJarak efektif: hingga 1.000 meter

No comments: