Monday, February 05, 2007

Tempo, Edisi. 50/XXXV/05 - 11 Februari 2007
Nasional
Pesantren di Atas Tanah Runtuh

Pesantren Amanah di Tanah Runtuh dicurigai menjadi tempat persembunyian para teroris. Pemerintah berniat memolesnya menjadi pesantren modern.
Bangunan seluas kantor balai desa itu menghadap ke barat. Di sisi kirinya menempel jajaran ruang kelas, walau yang terlihat hanya atapnya. Selapis seng bergelombang mengurung kelas-kelas itu dari pandangan orang. ”Di sini pesantren wanita,” kata Haji Adnan Arsal, pimpinan Pesantren Amanah, memberikan alasan.
Pesantren itu tampak sepi dalam tiga pekan terakhir. Adnan meliburkan santrinya hingga minggu mendatang. ”Kasihan mereka ketakutan, banyak sekali polisi di sini,” katanya. Dua pekan lalu polisi menyerbu Gebang Rejo untuk mencari para buron. Hingga kini polisi masih terus melakukan penyisiran ke rumah-rumah.
Namun keresahan di Amanah sudah dirasakan sejak polisi menetapkan 26 nama buron Poso, pertengahan tahun lalu. Mereka selalu mencurigai orang-orang baru yang datang. Apalagi jika yang muncul aparat keamanan. Sejumlah buron memang memilih bersembunyi di Desa Gebang Rejo. Mereka sering muncul saat salat di masjid pesantren. Cap buron diberikan karena mereka dicurigai menjadi pelaku 17 aksi teror di wilayah Poso dan Palu. Akibatnya, Pesantren Amanah kena imbasnya dan mendapat cap sebagai sarang teroris.
Haji Adnan tentu saja menolak tudingan ini. Menurut Adnan, sekolah itu dia dirikan dengan maksud menjalankan pendidikan dan mengasuh yatim piatu korban kerusuhan Poso. Terletak di Jalan Pulau Jawa 2, Desa Gebang Rejo, Poso Kota, pesantren itu menempati sebuah tanah lapang seluas separuh lapangan bola. Di sisi barat jalan terdapat 11 rumah, berjajar menghadap ke arah pesantren. Di antaranya rumah Adnan.
Sejarah berdirinya pesantren ini dituturkan kembali oleh Adnan kepada Tempo, pekan lalu. Setelah Pesantren Walisongo yang ada di kilometer sembilan Trans Sulawesi dibakar dalam kerusuhan, tiada lagi pesantren di Poso. ”Ada yang namanya pesantren, tetapi santrinya tidak berada di dalam,” kata Adnan. Setelah peristiwa itu, sejumlah organisasi Islam dari berbagai daerah di Indonesia mengirimkan bantuan.
Di Poso, mereka menjalankan program sendiri-sendiri tanpa satu koordinasi. Sejumlah tokoh setempat kemudian bertemu dengan pimpinan organisasi yang datang bertamu. Pada awal 2001 mereka sepakat membentuk Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso. Haji Adnan duduk sebagai ketuanya. Setelah berjalan beberapa bulan, forum ini melihat pentingnya pesantren untuk mendidik santri sebagai pengganti Pesantren Walisongo.
Forum kemudian membentuk Yayasan Badan Wakaf Ulil Albab yang bertugas mendirikan pesantren untuk menampung yatim piatu korban kerusuhan. Sebidang tanah lapang yang berada di depan rumah Adnan dipilih sebagai lokasi. Di sampingnya terdapat din-ding sungai yang longsor akibat terkikis arus. Tempat tanah longsor itulah yang kini dikenal sebagai kawasan Tanah Runtuh.
Tanah Runtuh kemudian menjadi semacam legenda bagi umat muslim di Poso saat kerusuhan besar pecah pada 1998 dan 2000. Runtuhan tanah itu memutus jalan masuk ke Desa Gebang Rejo. Kawasan ini terisolasi dan sulit ditembus ”pasukan Kristen”. Saat itu Adnan memimpin 50 orang bertahan di dalamnya selama hampir dua bulan. Tiba-tiba datang beberapa organisasi Islam dari luar Poso. Bantuan itu tentu saja diterima dengan lapang dada oleh Adnan. ”Saya tidak peduli mereka berasal dari mana. Saat itu kita tinggal baju dan nyawa saja yang menempel,” kata Adnan.
Beberapa rombongan yang datang itu bukan hanya membawa bantuan makanan, tetapi mereka juga terdiri dari para ustad. Mereka menghidupkan kembali masjid-masjid yang sudah lama kehilangan imam dan pendakwah. Para ustad ini kemudian ikut mendirikan dan mengajar di Amanah.
Pada tahun pertama, murid Pesantren Amanah hanya sembilan. Mereka belajar di sebuah bangunan kosong. Tahun berikutnya, jumlah santri berlipat dua. Terpaksa mereka pindah ke gedung sekolah dasar yang kosong sejak konflik meletus. Pada tahun ketiga mulai terbetik niat menerima siswa putri.
Karena terbatasnya tempat, siswa putra dipindahkan ke daerah Landangan, sekitar delapan kilometer dari Tanah Runtuh, tiga tahun lalu. Di sana mereka menempati kompleks bangunan dua lantai. Sebelum konflik, gedung ini dipakai oleh Yayasan Amanah untuk menampung yatim piatu. ”Nama itu kami pakai untuk pesantren kita,” kata Adnan. Bangunan itu kini menjadi milik Pesantren Amanah sebagai wakaf dari Arief Patanga, Bupati Poso saat itu.
Pendidikan di sekolah agama itu dibagi dalam dua tahap. Pertama setingkat tsanawiyah (SMP), dilanjutkan ke tahap pendidikan dakwah bagi para santri yang berminat. ”Kami sudah meluluskan tiga angkatan,” kata Anshari, kepala asrama Pesantren Amanah Putra. Anshari memastikan mereka tetap mengacu pada kurikulum Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa pelajaran mereka memakai buku-buku yang diajarkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Bagaimana dengan soal jihad?
Jihad diajarkan kepada santri Amanah sebagai ilmu pengetahuan di kelas. ”Kami ajarkan sesuai dengan Al-Quran dan Hadis, tidak lebih,” katanya. Adapun kitab lain, menurut Anshari, mengacu pada ulama Salafiyah, seperti sebagian besar pesantren di Tanah Air.
Anshari, yang datang dari Jakarta ke Poso sejak tujuh tahun lalu, menyebut ada fenomena yang berbeda di Poso dibandingkan daerah lainnya. Jika pemberi ceramah dalam sebuah majelis taklim kurang berani dan tidak menyinggung jihad, bisa dipastikan taklim itu akan bubar. ”Tapi, kalau ceramahnya berkobar-kobar, taklimnya pasti meriah,” kata Anshari.
Hal serupa terjadi di kelas-kelas dalam pesantren. Jika guru yang mengajarkan ceritanya provokatif, murid menjadi semangat. Tetapi, jika meng-ajarnya santai-santai saja, pasti akan dibilang ”orang baru” yang belum memahami karakter Poso. Menurut Anshari, setiap penerimaan siswa baru jumlahnya mencapai 50 orang. Tetapi, setelah mereka tahu tidak ada pelajaran olah perang atau senjata, jumlah muridnya rontok, tinggal seperempatnya. ”Itu terjadi hampir setiap tahun. Tidak apa-apa, biar mereka tahu Amanah adalah tempat untuk belajar,” katanya.
Dia membenarkan sejumlah ustad yang mengajar di Amanah menjadi korban saat polisi menyerbu ke Tanah Runtuh. Umpamanya Rianto dan Idrus Asapa. Polisi menuduh mereka membantu para buron yang dicari polisi. ”Itu urusan pribadi, tidak ada hubungannya dengan Amanah,” katanya.
Pindahnya para santri putra ke Landangan memang sempat menjadi masalah di Tanah Runtuh. Adnan mengumpulkan kaum muda yang biasa berkumpul di sekitar wilayah itu dan masih menyimpan senjata sisa konflik. ”Semua yang membawa senjata jangan lagi ada di sini,” Adnan mengusir mereka. Dia khawatir, jika terjadi bentrokan antara para pemuda penyimpan senjata dengan aparat atau kelompok Kristen, Amanah akan terkena imbasnya.
Dia juga menolak keras jika anak-anak dan perempuan dipakai menjadi tameng. ”Kalau ingin menjadi mujahid sejati, jangan memakai anak-anak sebagai perlindungan,” pesannya ke para pemuda Tanah Runtuh.
Mematuhi perintah Adnan, mereka kemudian pindah ke beberapa rumah yang ditinggalkan penghuninya tetapi masih di dalam wilayah Gebang Rejo. Misalnya di Jalan Pulau Irian Jaya, Pulau Jawa I, dan Pulau Seram. Walaupun anak-anak muda ini telah pindah, peristiwa bentrokan bersenjata pada Januari lalu—seperti yang telah diperkirakan Adnan—ternyata masih menyisakan bekas di Pesantren Amanah.
Pemerintah telah berniat memoles Amanah menjadi pesantren modern sekelas Pondok Pesantren Gontor. Akhir tahun lalu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah datang ke Poso. Dia menemui sejumlah ulama di sana, termasuk Adnan Arsal. ”Saya melihat pesantrennya kecil, sehingga berniat membangunkan pesantren baru yang lebih baik,” ujarnya. Hal ini juga telah dibicarakan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Departemen Sosial berjanji menyediakan dana awal Rp 300 juta. Adapun Wakil Presiden mengusulkan didatangkan ustad dari Gontor, supaya santrinya mahir berbahasa Arab dan Inggris.
Berbagai persiapan kini sudah dimulai. Adnan tengah mencari lokasi yang tepat. Selain soal lokasi, dia berharap pendanaan pesantrennya kelak bisa mandiri. Sepuluh hektare tanah perkebunan telah dia beli. ”Hasil kebun itu untuk biaya operasional pesantren,” katanya. Adnan yakin, pada akhir 2007, proses awal pembangunan bisa dimulai. Jika semua rampung, Pesantren Gontor telah menyanggupi mengirim 20 ustad untuk mengajar di pesantren ini.
Adnan agaknya menanti saat-saat itu dengan rindu. Kepada Tempo dia mengatakan, tahun depan saat memasuki masa pensiun, dia berharap dapat mencurahkan seluruh tenaganya bagi Pesantren Amanah. ”Kalau ada kegiatan, kan tidak cepat pikun,” katanya sambil tersenyum.
Agung Rulianto (Poso), Darlis Muhammad (Palu), Wahyu Dhyatmika (Jakarta)

No comments: