Komentar, 05 February 2007
Basri Lebih Cerdik Dibanding Dr Azahari
Basri adalah seorang pelaku teror yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Pria kela-hiran 10 Agustus 1976 ini ha-nya mengecap sekolah formal hingga SMP, dan tidak lulus. Berbeda halnya dengan gem-bong teroris kakap, Dr Azahari yang telah tewas ditembak polisi. Dr Azahari adalah se-orang dosen yang jenius. Tapi jika berbicara strategi dalam menjalankan aksi terornya, Basri dinilai lebih cerdik. Polri pun mengakui bahwa lebih sulit menangkap Basri dibanding Dr Azahari (alm). “Itu dikarenakan polisi harus mempelajari gerak gerik komplotan DPO yang membaur bersama masyara-kat,” kata Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen (Pol) Anton Bahrul Alam, akhir pe-kan lalu di Mapolda Sulteng.Menurut Anton, kelompok Basri yang tertangkap di Poso, Kamis (01/02) lalu, selalu menjadikan masyarakat sebagai dalih perlindungan ketika polisi melakukan ope-rasi penangkapan, sehingga menyulitkan aparat di lapa-ngan jika akan membekuk mereka.Tak hanya itu, lanjut Anton, selama menjalani aksinya di beberapa desa di Poso, Basri dkk melakukan koordinasi dengan warga setempat su-paya ikut melawan petugas yang hendak melakukan ope-rasi penangkapan. “Kelompok Basri ini tidak segan-segan melukai warga sipil, dan kalau tidak ikut membantu mereka, rumahnya akan dibakar atau menganiaya penghuninya,” ujarnya.Anton menjelaskan, Basri dkk memberi semacam kode-kode kepada masyarakat untuk berhamburan keluar ketika petugas datang, misal-nya dengan memukul tiang listrik beberapa kali atau suara letusan senjata api. “Itu yang sering terjadi ketika po-lisi beberapa kali melaksa-nakan operasi penangkapan di Poso,” katanya.“Petugas sering kerepotan karena banyak warga biasa ikut melawan petugas seka-lipun mereka bukan target penangkapan polisi,” tambah Anton. Melihat cara kerja mereka, menurut Anton, polisi kemudian menjadikan pembelajaran mengenai strategi penangkapan para DPO di Poso.“Saya menilai operasi pe-nangkapan Basri dkk tergo-long rumit dibanding menang-kap pelaku bom Bali, Dr Aza-hari, tahun 2005,” kata An-ton. Menurut Anton, kesulitan polisi dalam menangkap Dr Azahari disebabkan yang bersangkutan hanya melaku-kan perpindahan tempat persembunyian, sedangkan Basri dkk melibatkan masya-rakat sebagai pelindung da-lam proses persembunyian.Basri sendiri ditangkap aparat kepolisian gabungan di sebuah rumah penduduk di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota. Ikut tertangkap dalam operasi perburuan tersebut yaitu Ardin Djanatu alias Rojak, juga tersangka yang masuk dalam DPO.Saat penangkapan tersebut, Basri tidak melakukan perla-wanan. Kecuali Rojak sempat baku tembak dengan aparat kepolisian di lapangan, se-hingga yang bersangkutan terkena beberapa peluru senjata api petugas ketika berusaha melarikan diri.Pada bagian lain, terkait kasus DPO Poso ini, Polri akan segera menyerahkan berkas 17 tersangka kepada tim antiteror ke Kejaksaan Agung, agar proses hukum-nya selesai dengan cepat. Direncanakan 17 orang yang tercatat dalam Daftar Penca-rian Orang (DPO) itu, akan disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Anton, Polri mem-bawa DPO kerusuhan Poso itu ke Jakarta dengan maksud, agar masyarakat Poso dan Palu tidak terkonsentrasi pa-da masalah kerusuhan, selain pertimbangan keseimbangan atas proses dan perlakuan hukum, terhadap para ter-sangka kerusuhan Poso. “Warga Poso bisa melaksa-nakan kegiatan sehari-hari lagi. Di samping itu, Ha-sanudin juga sudah disidang di Jakarta, biar tidak ada diskriminasi,” kata Anton menjelaskan. Para tersangka itu, lanjut Anton, akan dijerat dengan Pasal 6,7 dan 14 UU 15/2003 dan atau Pasal 340,338 170, 55 dan 56 KUHP, tentang pembunuhan berencana. Sementara Basri alias Bagong (30) menyatakan dirinya tobat dan menyesali segala per-buatannya selama ini. “Saya tobat dan cukuplah kekerasan di Poso selama ini karena ka-sihan kepada masyarakat yang tidak berdosa,” kata Basri. Pria yang kedua lengannya dipenuhi tato tersebut itu menjelaskan, selama terjadi kerusuhan di Poso, banyak masyarakat tidak bisa me-lakukan kegiatan sehari-harinya secara normal karena diliputi rasa takut. “Saya sadar akan hal itu sehingga membuat masyarakat Poso resah dan hidupnya tidak nyaman,” katanya.Pada kesempatan itu, Basri mengimbau kepada rekan-rekannya yang masih buron untuk segera menyerahkan diri kepada polisi, karena polisi sudah berjanji akan menjamin keamanannya. “Saya sendiri tidak diapa-apakan oleh polisi selama saya ditahan,” kata pria yang terlibat 17 kasus kekerasan di Poso dan Palu tersebut.(npc/rmc/dtc)
Monday, February 05, 2007
Posted @ 9:57 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment