Monday, January 29, 2007

Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Opini
Perlu Darurat Sipil di Poso


Konflik di Poso sulit dihentikan jika senjata tidak dilucuti dari tangan rakyat. Pemberlakuan darurat sipil mungkin diperlukan.
Yang terjadi di Poso bukan lagi perlawanan, melainkan sudah merupakan pemberontakan. Polisi berusaha menangkap 26 orang tersangka aksi kekerasan. Aparat penegak hukum itu tidak hanya dihalang-halangi sekelompok orang, tapi juga diserang balik dengan kekuatan bersenjata berat. Jatuhnya korban tewas dalam bentrokan 22 Januari lalu—seorang polisi dan 13 warga sipil—menunjukkan konflik Poso yang sudah delapan tahun usianya belum juga selesai.
Pertikaian antarkelompok, yang dimulai dari persoalan sepele antara dua anak muda berbeda agama pada akhir tahun 1998, membuat Poso seperti menderita penyakit kambuhan. Begitu banyak persoalan lokal yang tidak selesai tuntas, akibatnya seperti api dalam sekam kering. Setelah persoalan makin bertumpuk, campur tangan pemerintah pusat pun tidak efektif lagi. Deklarasi Perdamaian Malino pada tahun 2001, yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla, ternyata tidak bertahan lama. Peledakan bom dan pembunuhan terjadi lagi. Ketegangan Islam dan Kristen meningkat tensinya.
Konflik semakin berkembang dengan datangnya milisi yang membela agama mereka masing-masing. Dengan senjata berat di tangan sipil, aturan hukum seakan runtuh, suasana ”gagal negara” sangat terasa ketika kekuasaan seperti ditentukan kelompok milisi. Sulit untuk mengatakan sebagian polisi dan militer tidak terlibat, mengingat senjata di tangan sipil itu adalah senjata yang biasa dipakai polisi atau tentara seperti M-16 atau AK-47. Konflik makin berbahaya dengan senjata di tangan.
Eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo dan dua rekannya, tiga orang yang dianggap sebagai pentolan kelompok Kristen, ternyata bukan meredam keadaan melainkan memicu konflik lanjutan. Seusai eksekusi terhadap Tibo, dua warga muslim tewas. Polisi yang datang menyelidiki kematian itu malah mendapat perlawanan keras. Bentrokan pecah, sejumlah warga muslim ditahan. Seperti mengirim tantangan, bom meledak di sejumlah gereja dan puncaknya Pendeta Irianto Kongkoli tewas ditembak seseorang di Palu, Oktober 2006. Maka, operasi polisi pun digelar untuk mengejar tersangka pembunuh, termasuk melakukan razia di kawasan Tanah Runtuh—yang diduga sebagai basis persembunyian pelaku kekerasan.
Di Tanah Runtuh itulah polisi disambut pelor dengan gencar, 11 Januari lalu. Dua warga sipil yang tewas bukan membuat perlawanan usai, malah mengobarkan pemberontakan lebih besar. Serangan polisi pada 22 Januari tadi merupakan puncak dari tembak-menembak setelah kelompok Tanah Runtuh bertahan 11 hari dan menolak menyerahkan orang-orang yang dicari polisi. Serangan besar sekitar 700-an anggota polisi yang disokong tentara sudah reda, tapi orang yang dicari polisi sudah lari dari Tanah Runtuh. Artinya, masalah belum beres, perlu ada solusi.
Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan, polisi dan pemerintah daerah perlu meyakinkan tokoh-tokoh Tanah Runtuh bahwa yang dicari hanya pelaku kejahatan dan bukan memerangi seluruh warga Tanah Runtuh. Mayoritas warga Islam dan Kristen, yang mengaku sudah bosan berada dalam kondisi perang yang mencekam, perlu dibantu membangun budaya taat hukum. Kedua kelompok agama perlu disokong untuk menyerahkan senjata dan melaporkan bila ada anggota kelompoknya yang suka bertindak ekstrem dengan menyakiti warga kelompok lain.
Kalau solusi jangka pendek tak memberi hasil, presiden bisa mengumumkan keadaan darurat sipil secara terbatas, di kabupaten yang paling bergolak. Pelucutan senjata bisa terus diteruskan, seraya memastikan agar kelompok milisi tidak berdiam di Poso dengan alasan jihad atau apa pun. Mungkin langkah itu bisa membuat Poso lebih tenang.

No comments: