Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Kampung Para Mujahidin
Tanah Runtuh memainkan peran kunci dalam konflik Poso. Ada jejak gerakan teroris.
SUNGAI Poso meliuk tajam ketika memasuki perbukitan di sudut Desa Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Hantaman arus sungai terus-menerus itu membuat lantai tebing yang menopang Lorong Cendrawasih, nama jalan di kaki bukit itu, keropos.
Pada November 1998, Lorong Cendrawasih ambrol. Sekitar 20 meter jalan dan tebing longsor menimbun badan sungai. ”Saya ingat sekali karena itu satu bulan sebelum kerusuhan pertama di Poso pada 1998,” kata Ustad Syarifullah Djafar, yang sudah 17 tahun tinggal di sana. Sejak saat itulah, kawasan perbukitan yang berbatasan langsung dengan hutan lebat ini lebih dikenal dengan nama Tanah Runtuh.
Nama kampung ini lekat di hati para mujahidin, veteran konflik komunal antara warga muslim dan umat Nasrani yang pasang-surut sejak sembilan tahun lalu. Lokasinya yang di ujung barat daya Desa Gebang Rejo, terpencil dan sulit dimasuki karena longsornya Lorong Cendrawasih, membuatnya ideal sebagai basis pertahanan.
Sebelum Jalan Trans Sulawesi dibangun pada 1992, sebagian besar penduduk Poso beragama Kristen. Komposisi penduduk berubah gradual dengan mengalirnya pendatang muslim dari Jawa dan Sulawesi Selatan. Desa Gebang Rejo, yang semula merupakan kawasan perkebunan cengkeh, dibuka pendatang pertama asal Jawa pada awal 1960-an. Sampai sekarang warganya masih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
Lemahnya kekuatan politik dan ekonomi warga asli dibandingkan kaum pendatang menjadi salah satu faktor yang memantik konflik. Kerusuhan pertama di Poso meletik karena faktor sepele: perkelahian antara dua pemuda kampung.
Ketika kerusuhan Poso meledak lagi pada Mei 2000, yang berpuncak pada pembantaian di Pesantren Wali Songo, ratusan penduduk mengungsi ke Tanah Runtuh. Ustad Adnan Arsal, pemimpin Pesantren Al-Amanah di Tanah Runtuh, masih ingat betul nestapa kaumnya ketika itu. ”Kami bertahan di sini hampir dua bulan, dengan makanan seadanya karena semua akses masuk diblokir pasukan merah,” kata Adnan. Pasukan merah adalah sebutan untuk kaum Kristen.
Pada saat-saat genting itu, bantuan datang tak disangka-sangka. Dimulai dari Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Laskar Jundullah, sampai Mujahidin Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) yang dipimpin Agus Dwikarna. Kalau masih ingat, Agus sampai kini masih dipenjara di Filipina dengan tuduhan kepemilikan bahan peledak ilegal.
Terakhir, datanglah sekelompok orang yang mengaku utusan Pesantren Ngruki di Solo, Jawa Tengah. Tercatat di antara mereka: Mustafa alias Abu Tholud, Dulmatin, dan Nasir Abbas yang saat itu mengaku bernama Khairudin. Ketiga nama ini adalah pentolan Jamaah Islamiyah yang disebut-sebut kerap menyulut aksi teror di Tanah Air. Belakangan, Mustafa dan Nasir tertangkap, sedangkan Dulmatin lari ke Moro, Filipina.
”Kami tak tahu mereka berasal dari jaringan mana,” kata seorang ustad di Tanah Runtuh yang menolak disebut namanya. ”Yang pasti, kedatangan mereka berniat membantu.” Sambutan warga makin hangat ketika tahu ”orang-orang baru” ini punya akses mendapatkan pasokan senjata dan peluru dari berbagai sumber. Tak hanya peralatan, mereka juga piawai melatih pemuda. Maklum, mereka sendiri rata-rata alumni kamp sejenis di Afganistan dan Mindanao.
Sejak itulah, ikatan antara Jamaah Islamiyah dan Kampung Tanah Runtuh mulai menguat. Pada Februari 2001, Nasir Abbas memperkenalkan seorang pemuda lulusan akademi militer di Filipina Selatan, Hasanuddin, kepada Ustad Adnan. ”Saya minta Hasanuddin menjadikan Poso sebagai basis ekonomi kegiatan Jamaah Islamiyah,” kata Nasir.
Tapi bukannya menanam kakao atau cengkeh, Hasanuddin malah menebar kekerasan. Buntutnya, kini dia diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, didakwa mendalangi kasus mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen di Poso, Oktober 2005. Dari Hasanuddin, polisi mengendus jejak pelaku teror lain di Poso dan Palu. Semuanya mengarah ke Tanah Runtuh.
Wahyu Dhyatmika, Agung Rulianto (Poso)
Monday, January 29, 2007
Posted @ 6:39 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment