Saturday, January 27, 2007

Komentar, 27 January 2007
Terkait kasus Poso dan Densus 88
Hendropriyono Minta Ba’asyir Cs Dijadikan TO

Gebrakan Densus 88 di Po-so membuat warga lega. Ta-pi Abu Bakar Ba’asyir malah meminta agar Densus 88 di-tarik dari Poso, sedangkan Ketua MPR Nurwahid Hida-yat mendesak tim anti teror tersebut ditarik, dengan alasan agar masyarakat bisa kondusif. Menanggapi hal itu, Mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), Jenderal (Purn) AM Hendropriyono meminta, agar orang atau pejabat-pejabat yang menginginkan Densus 88 antiteror di Poso ditarik atau dibubarkan, wajib dija-dikan Target Operasi (TO) in-telijen. Handphone (HP) mere-ka harus disadap, aktivitas di-awasi, dipotret dan direkam. “Mereka jangan ditangkap, karena operasi intelijen me-mang tidak menyentuh orang. Itu urusan polisi,” kata Hen-dro. Dia sendiri menyesalkan adanya elit politik yang menya-lahartikan operasi Densus 88 dan cenderung ingin mencari popularitas untuk kepentingan pribadi di balik kasus itu. “Apa-kah Poso lebih aman ada polisi atau dipegang gerombolan,” ta-nyanya, seperti dilansir rakyat merdeka online. Diakuinya, operasi Densus 88 sudah sukses karena ber-hasil mengungkap para peru-suh yang selama ini membuat Poso menjadi medan jihad. Menurutnya, era para elit po-litik turut campur di Poso su-dah lewat karena politisi boleh ikut campur pada tahap di-plomasi. Sementara sekarang ini Poso masuk pada era pe-rang, karena diplomasi sudah menemui jalan buntu. “Pe-rang itu kelanjutan dari diplo-masi yang buntu. Karena para perusuh ngotot, maka perang adalah pilihannya,” tegasnya. Soal banyak korban yang te-was, Hendro menandaskan, tidak tepat jika hal itu disebut sebagai pelanggaran HAM. Lebih tepat kalau itu disebut risiko perang. “Sipil yang ber-senjata itu combatant, karena sipil seharusnya uncombatant alias tak bersenjata. Jadi, tak benar kalau ada warga sipil yang bersenjata.” Sipil yang bersenjata, lanjut-nya, hanya ada dua pilihan kalau bukan gerombolan bisa jadi gerilyawan yang punya target politik. Di sisi lain, Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyesalkan pernyataan Kepala Desk Anti-teror Kementerian Polhukam Irjen Pol Ansyaad Mbai yang menyatakan perjanjian Mali-no tidak berhasil maksimal dalam menangani kasus Poso. Kalla menyebutkan, keber-hasilan perjanjian Malino dibuktikan dengan saat ini tidak ada lagi konflik antara Islam dengan Kristen di Poso.“Siapa pun yang ngomong itu tak mengerti persoalan. Berka-li-kali saya katakan perjanjian Malino menyelesaikan konflik antar komunitas. Buktinya se-karang bupatinya Kristen dan wakil bupatinya Islam mereka bekerja dengan peran yang sama,” tutur penggagas perjan-jian Malino ini.Menurut Kalla, kerusuhan Poso terjadi akibat kelompok kecil yang melakukan teror, sedangkan untuk masalah konflik di Poso sudah tidak ada lagi. “Coba tunjukkan ada konflik Poso tidak. Yang ada teror, karena itu bukan urusan Malino lagi. Itu urusan antiteror,” ujarnya.Kalla juga menilai, untuk menyelesaikan kasus baku tembak di Poso 22 Januari lalu tidak diperlukan operasi militer. Hal itu karena kasus di Poso merupakan kriminal biasa dan bukan konflik. “Ini kan soal memburu 15 orang. Itu urusan polisi,” katanya seperti dilansir detik.Soal pengakuan warga bah-wa penangkapan DPO mem-babi buta, Kalla menilai, tidak perlu dilakukan penyidikan lebih lanjut. Hal ini tidak per-lu karena sudah ada tim in-dependen yang memantau. “Biasalah tidak mungkin orang 100 persen puas,” kata Kalla.(dtc/rmc)

No comments: