SUARA PEMBARUAN DAILY
TAJUK RENCANA II
Jalan Kekerasan di Poso
embali kita didera keprihatinan dengan munculnya berita dari Poso, Sulawesi Tengah, Selasa (23/1) lalu. Upaya menangkap sejumlah orang yang menjadi tersangka berbagai kasus kekerasan di daerah tersebut berlangsung dengan tembak-menembak beberapa jam, dan memakan korban tewas 14 orang. Dan sejauh ini sebagian besar buron masih terus dikejar, bahkan seratus lebih orang yang terlibat diburu aparat keamanan.
Keprihatinan ini sangat terasa, sebab konflik yang muncul satu dekade lalu belum juga bisa diakhiri, bahkan upaya menangkap para tersangka dihadapi dengan senjata. Perjanjian Malino yang dilakukan pada akhir tahun 2001 belum menjadi pijakan untuk menyelesaikan kasus konflik di wilayah tersebut. Bahkan setelah penggerebegan itu terjadi, sejumlah ledakan masih terdengar. Kondisi Poso sekarang ini menunjukkan wajah bopeng kita dalam menyikapi dan menyelesaikan konflik. Penghormatan pada kesepakatan, dan pernyataan damai masih sebatas basa-basi bagi sebagian warga.
Sejak sejumlah orang ditetapkan sebagai tersangka sejumlah kasus kekerasan di sana, aparat keamanan sendiri terlihat ambigu dalam mengambil sikap. Pemerintah selalu menyebut Undang-undang Anti Teror yang akan diterapkan pada para tersangka, tetapi pendekatan yang dilakukan cenderung lunak, bahkan dengan memberikan toleransi waktu yang diulur-ulur. Padahal UU tersebut memberikan wewenang yang cukup tegas bagi aparat menangkap para tersangka. Akibatnya, para tersangka mempunyai cukup waktu untuk membangun kekuatan, dan tawaran untuk menyerahkan diri justru dijawab dengan letusan senapan.
Masalah lain yang dihadapi adalah kenyataan bahwa para tersangka memiliki senjata yang cukup banyak. Senjata-senjata itu sangat mungkin yang digunakan dalam berbagai aksi kekerasan selama ini. Bahkan, sebelum penyergapan tersebut, beberapa kali para tersangka mampu menebar teror dengan membuat ledakan di sejumlah tempat. Ini menunjukkan bahwa di Poso beredar senjata-senjata ilegal yang membuat masyarakat di sana terus-menerus dicekam ketakutan dan dirundung konflik.
Keprihatinan yang mendalam adalah mereka yang masuk daftar tersangka kerusuhan justru mampu mengembangkan jaringan pengikut yang cukup besar.
Belum cukup jelas apakah mereka yang bergabung itu menyadari benar gagasan dan rencana para tersangka itu, atau kekacauan di sana membuat mereka tanpa sadar terbawa arus melawan aparat. Dalam konteks ini ada fakta yang paradoks bahwa orang-orang yang disangka melawan hukum dan pada hakikatnya musuh masyarakat, justru memperoleh dukungan dan dilindungi oleh sekelompok masyarakat.
Tembak-menembak Selasa lalu itu juga menunjukkan bahwa masalah telah bergerak dari yang sebelumnya disebut sebagai konflik horizontal antarwarga masyarakat ke arah konflik kelompok masyarakat dengan aparat keamanan. Oleh karena itu, masyarakat Poso perlu menyikapi secara proporsional, agar masalah ini tidak ditarik dan dikaitkan dengan konflik horizontal yang membawa masyarakat kembali ke dalam kancah konflik kekerasan.
Dalam mengatasi kasus Poso ini, aparat keamanan harus bertindak di atas dasar hukum dan keadilan. Terhadap segala kritik dan protes, polisi harus bisa membuktikan bahwa apa yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan, dan mekanisme itu telah tersedia. Sebab, banyaknya senjata yang ada di Poso menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum dan keadilan. Upaya kali ini harus mampu membebaskan Poso dari beredarnya senjata ilegal yang terus-menerus dimanfaatkan untuk melanggengkan konflik.
Warga masyarakat, khususnya para tokoh masyarakat, perlu menyikapi masalah ini secara bijak, dan dengan teguh berpegang pada usaha menciptakan perdamaian di wilayah tersebut. Dalam situasi masyarakat yang masih rawan, harus dicegah kasus ini menyeret kembali konflik horizontal di antara warga Poso. Sudah cukup panjang penderitaan dialami warga akibat konflik yang berkepanjangan. Satu dekade konflik berkekerasan berlangsung, akibat upaya-upaya penyelesaian dan kesepakatan damai tidak diimplementasikan secara konsisten. Dan kita menyaksikan cara kekerasan tidak menyembuhkan trauma akibat konflik, bahkan membuat luka itu makin lebar.
Last modified: 24/1/07
Thursday, January 25, 2007
Posted @ 8:30 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment