Thursday, January 25, 2007

SUARA PEMBARUAN DAILY
Stop Terorisme di Poso!

Tjipta Lesmana
pa sebab manusia membentuk Negara dan negara kemudian membentuk sebuah pemerintah? Karena manusia ribuan tahun yang lalu yang hidup berkelompok-kelompok menyadari bahwa dengan bersatu mereka dapat lebih efektif mengatur kehidupan, terutama untuk menghalau musuh bersama (common enemy).
Dengan demikian, Ilmu Negara mengajarkan bahwa fungsi tertua dari Negara (baca: pemerintah) adalah to protect life and property. Anthony Gregory menambahkan satu elemen lagi yang harus dilindungi oleh pemerintah, yakni people's liberty. "Protecting rights to life, liberty, and property must be the government sole's function," demikian tulis Gregory, seorang penulis kenamaan yang bermukim di Berkeley, California.
Hal itu berarti pemerintah harus mampu memberikan perlindungan atas jiwa dan harta-benda segenap rakyatnya, supaya rakyat dapat hidup tenteram, tidak selalu dihantui oleh ketakutan atau rasa tidak aman.
Di Amerika, misalnya, Pre-siden mempunyai kewajiban konstitusional untuk melakukan tindakan apa pun, manakala ada seorang pun warganegaranya yang mati di luar negeri, lepas dari apa penyebab kematiannya.
Ketika terjadi insiden berdarah di Timika (Papua) yang menewaskan dua warganegara Amerika, pemerintah Bush tidak pernah berhenti menekan pemerintah kita untuk melakukan penelitian saksama, menyeret serta menghukum mereka yang bertanggung jawab.
Sampai-sampai Bush mengirimkan beberapa petugas FBI untuk membantu Kepolisian RI untuk mengugkap insiden bersenjata tersebut. Para pendiri bangsa kita, sebenarnya, juga mengakui ajaran di atas, ketika mereka menyusun Undang Undang Dasar 1945 sebagai hukum da-sar Negara yang akan mereka dirikan.
Perhatikan baik-baik bunyi Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945: "..untuk membentuk pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.." Ini berarti pagi-pagi sekali para Pendiri Negara kita mengakui bahwa tugas dan fungsi utama pemerintah adalah melindungi nyawa dan harta-benda segenap bangsa kita.
Maka, tatkala ada sekelompok masyarakat di suatu daerah Tanah Air yang hidup selalu dihimpit rasa takut, yang nyawa dan harta-bendanya setiap saat bisa dirampas oleh kelompok lain, ketika itulah pemerintah tidak punya alternatif lain, kecuali memberikan perlindungan all out, apa pun risiko tindakan yang akan diambilnya.
Akhir-akhir ini Poso bergolak kembali. Selama 10 hari terakhir, polisi telah dua kali melancarkan serangan terhadap "markas DPO", masing-masing pada 11 Januari 2007 dan 22 Januari 2007. Pada kedua serangan ini jatuhnya korban tidak bisa dihindarkan. Paling sedikit 10 orang tewas -termasuk satu anggota Brimob- dalam operasi 22 Januari, disamping 21 korban luka-luka.
Dari dua serangan polisi ini, paling tidak kita bisa menarik empat kesimpulan. Pertama, konflik Poso kelihatannya nyaris sudah "lepas kendali". Artinya, konflik tsb. Sudah memasuki tahap "to be or not to be". Pemerintah berani menegakkan kembali law and order, atau pemerintah takkan pernah mampu mengendalikan situasi. Kita menilai pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan, sudah terlambat mengatasinya, sehingga situasi semakin sulit dan semakin kompleks.
Kedua, situasi pelik itu, antara lain, ditandai oleh pecahnya konflik vertikal, yaitu antara komunitas yang dituduh "teroris" dan aparat kepolisian; bukan lagi konflik vertikal, yaitu antar kelompok masyarakat.
Ketiga, peredaran senjata api di kalangan masyarakat sudah mencapai tahap amat memprihatinkan. Dewasa ini, siapa pun -termasuk polisi- tidak tahu berapa banyak senjata api ilegal yang bertebaran di Poso dan Sulawesi Tengah. Kecuali itu, kualitas senjata api yang mereka miliki terbilang canggih.
Dalam operasi penggebrakan 11 Januari, misalnya, senjata api yang berhasil disita polisi ter-masuk M16, SS1, Revolver dan GLM. Amunisi yang disita berjumlah ratusan dari berbagai jenis senjata. Poso sudah seperti medan perang.
Keempat, kelompok DPO berhasil menggunakan penduduk sebagai perisai untuk menahan serangan aparat. Situasi ini mirip-mirip situasi di Irak menjelang pesawat pesawat tempur AS menjatuhkan bom-bom di atas wilayah Irak.
Saddam Hussein terang-terangan menggunakan rakyat sebagai perisai sehingga ketika serangan udara dimulai, ratusan bahkan ribuan rakyat mati konyol. Dan Amerika pun dicacimaki sebagai pelanggar HAM terberat di dunia.
Hukum Harus Ditegakkan
Apa sebenarnya sumber konflik berdarah di Poso dan Palu? Konflik yang sudah berlangsung lebih dari 6 tahun itu telah menciptakan benang kusut yang sungguh kusut.
Orang tidak lagi tahu mana sebab dan mana akibat. Kelompok DPO tidak mau tunduk pada ancaman polisi sebelum tuntutan mereka dipenuhi.
Tuntutan mereka: lepaskan semua rekan-rekan mereka dari tahanan. Karena polisi bersikeras untuk tidak mau memenuhi tuntutannya, mereka pun bertambah keras.
Polisi mustahil memenuhi tuntutan pelepasan orang-orang yang diindikasi kuat telah melakukan tindakan kejahatan teror yang menghilangkan nyawa kelompok lain. Langkah polisi ini sudah benar. Hukum harus ditegakkan, apa pun resikonya.
Sejak akhir Oktober tahun lalu, Adnan Arsal -pimpinan kelompok DPO- dikabarkan sudah berjanji akan menyerahkan anak-buahnya kepada aparat kepolisian. Namun, hampir dua bulan, janji itu tidak direalisir. Setelah berkali-kali melakukan langkah persuasif, akhirnya polisi "terpaksa" menempuh langkah kekerasan.
Tindakan polisi, menurut hemat kita, sudah benar. Bahkan banyak kalangan menilai sudah terlambat. Kenapa polisi selama ini terkesan ragu, jawaban yang kita peroleh: karena pimpinan Polri merasa tidak memperoleh "patung politik" dari pemerintah, sehingga mereka takut kena "ranjau HAM".
Ketika masih menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada era pemerintahan Megawati, Susilo Bambang Yu- dhoyono diam-diam sebenarnya mengkritik Presiden Megawati yang dinilai tidak berani melawan terorisme secara tegas.
Tapi, kini setelah menjadi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono justru melakukan sikap serupa dengan Megawati: selalu ragu dan ragu. Serangan polisi tanggal 11 Januari, tampaknya, diambil karena ada KTT ASEAN di Cebu, Filipina. Salah satu topik utama KTT ASEAN adalah terorisme.
Dalam pernyataan bersama usai bertemu, para pemimpin ASEAN menyatakan tekadnya untuk bersatu memerangi segala bentuk terorisme.
Singkat kata, serangan di Poso diambil untuk konsumsi ASEAN, untuk menunjukkan kepada negara-negara ASEAN bahwa Indonesia serius dalam memberantas terorisme.
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu UU No 1 tahun 2002. Dalam UU tersebut ditandaskan bahwa "terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas atau hilangnya kemerdekaan serta kerugian harta-benda, oleh karena itu perlu dilaksa- nakan langkah-langkah pemberantasan".
Lalu, kenapa lagi kita ragu memerangi terorisme? Kenapa aparat ragu mengejar siapa saja yang dicurigai memiliki senjata api? Jika pemerintah tidak mampu melaksanakan fungsi pokoknya, yaitu to protect life and property of the citizens, permasalahan akan semakin ruwet dan semakin ruwet.
Tatkala muncul kelompok-kelompok dalam masyarakat yang membentuk "milisi bersenjata" sendiri, itulah tanda-tanda kiamat bagi suatu negara. Lihat misalnya Lebanon. Pemerintah negeri itu tidak mampu melumpuhkan kelompok-kelompok bersenjata yang ada.
Makin Kuat
Kelompok bersenjata ini makin lama makin kuat dan membesar. Akhirnya, pemerintah hanya menjadi bulan-bulanan permainan mereka.
Maka, melalui forum ini kita mengingatkan kembali pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono untuk secepatnya memulihkan keamanan dan ketertiban di Poso. Korban jiwa yang jatuh sudah terlalu banyak. Terorisme harus dilawan secara rigid dan terus menerus.
Siapa pun yang memperjuangkan idealismenya dengan senjata api tidak boleh ditolerir. Untuk ini, kita juga mengimbau agar TNI diberikan peranan yang lebih besar. Tidak cukup hanya dijadikan aparat "pembisik intelijen" kepada Polri.
Aparat intelijen TNI, kabarnya, kecewa karena data intelijen yang diberikan kepada Polri seringkali tidak ditindaklanjuti karena berbagai sebab.
Bukankah di dalam UU No 34 tahun 2004 tentang TNI disebutkan dengan jelas (Pasal 7 ayat 2) bahwa tugas pokok TNI antara lain "mengatasi terorisme"? Demi kepentingan masyarakat luas, polisi jangan lagi "jual gengsi" sehingga tidak mau meminta bantuan TNI !
Penulis adalah Pengajar Universitas Pelita Harapan, anggota Kelompok Kerja Kewaspadaan Nasional LEMHANNAS
Last modified: 24/1/07

No comments: