Monday, January 29, 2007

Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari - 04 Februari 2007
Sepuluh Jam di Tanah Runtuh

Sekitar 700 polisi menyerbu Tanah Runtuh, Poso. Baru sebagian kecil senjata yang dapat dirampas.
HELIKOPTER itu berputar-putar di atas permukiman padat Desa Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Poso, Sulawesi Tengah. Di sela putaran baling-balingnya terdengar suara lantang dari pengeras suara. Penduduk Gebang Rejo diminta berlindung di dalam rumah karena polisi akan melakukan operasi.
Kekacauan menyentak. Anak-anak sekolah berlarian meninggalkan bangku ketika pelajaran pertamanya baru dimulai. Mereka mencari perlindungan di rumah terdekat. Masyarakat yang hendak memulai aktivitasnya pun memutar balik kendaraannya.
Dari arah utara terdengar tembakan. Sesaat kemudian riuh suara tiang listrik yang dipukul berentetan. Tanda itu langsung dikenali masyarakat Poso bahwa sebentar lagi akan terjadi baku tembak karena ”musuh” menyerang. Sebuah kebiasaan lama yang berlaku sejak pecah konflik agama di kota penghasil kakao itu, delapan tahun silam.
Benar saja, suara tembakan terdengar sahut-menyahut dengan sesekali ledakan bom. Suara-suara itu mengurung di segala penjuru desa yang luasnya hanya sekitar enam kilometer persegi. Perang berlangsung sepanjang hari. Polisi yang mengepung dengan senjata api mendapat perlawanan sengit. ”Menembus jarak setengah kilometer saja, kami butuh waktu empat jam,” kata seorang anggota kepolisian menggambarkan ganasnya pertempuran.
Menjelang siang, sebuah peluru menembus kepala anggota Brigade Mobil, Bripda Rony Iskandar. Beberapa anggota polisi juga terluka tembak. Pertempuran berhenti menjelang matahari terbenam, setelah saling baku tembak dari pintu ke pintu sekitar 10 jam. Suara tembakan atau bom tak lagi terdengar. Polisi menguasai setiap sudut desa.
Jumlah korban dari masyarakat yang bersenjata cukup besar. Sebanyak 13 nyawa terenggut, plus 23 orang ditahan polisi. Belasan senjata laras panjang lengkap, jenis M-16, AK-47, dan M-3, plus rakitan, dengan beberapa kardus berisi amunisi dan bom sebesar kepalan tangan, kini ada di tangan polisi. Polisi menilai operasi itu sukses besar. Mereka berhasil mengusir orang-orang bersenjata keluar dari Gebang Rejo. ”Mereka ini meresahkan masyarakat, dan kami berhasil mengusirnya,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi Muhamad Kilat, juru bicara Polda Sulawesi Tengah.
Namun, tak kurang juga yang mencibir. Operasi Senin pekan lalu itu bermaksud menangkap 26 buron (sebelumnya 29 buron, tapi tiga di antaranya dinyatakan tak terlibat) yang sudah setengah tahun diincar polisi. Namun, tak satu pun di antara korban yang jatuh dan tawanan yang ditangkap merupakan buron polisi. Mereka menjadi buron karena dianggap terlibat dalam beberapa kali aksi pembunuhan, kekerasan, dan teror bom.
Daftar nama berikut dosa mereka terungkap setelah polisi membekuk Hasanuddin, Mei tahun lalu. Ia diburu setelah beberapa tersangka pelaku perampokan mengaku mendapat perintah dari Hasanuddin untuk mengumpulkan dana bagi perjuangan kelompok mereka. Mereka menuruti perintah Hasanuddin alias Slamet Raharjo karena ia merupakan ketua wakalah—pimpinan wilayah dalam organisasi Jamaah Islamiyah—wilayah Poso.
Pengakuan sejumlah tersangka mengejutkan. Mereka bilang Hasanuddin-lah yang memberi perintah mutilasi terhadap tiga siswi SMA Kristen Poso, Ida Yarni Sambue (15), Theresia Morangke (15), dan Alfita Poliwo (19), pada Oktober 2005. Setelah ditangkap polisi, Hasanuddin tak hanya mengakui terlibat dalam kasus mutilasi tetapi juga melakukan 13 aksi pembunuhan, perampokan, dan teror bom, termasuk peledakan bom di Kawua, Tangkura, dan Pasar Sentral. Juga penembakan terhadap dua siswi SMU di Poso. Semuanya terjadi dalam dua tahun terakhir.
Para tersangka menyebutkan bahwa Hasanuddin menetap di sekitar Pesantren Al-Amanah, Desa Gebang Rejo. Pesantren yang dipimpin Haji Adnan Arsal yang juga mertua Hasanuddin ini terletak dekat tebing yang longsor atau lebih dikenal masyarakat sebagai kawasan Tanah Runtuh. Ustad Adnan pernah bertindak selaku jembatan penghubung antara polisi dan para tersangka. Kasus Hasanuddin tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Semula polisi berharap para buron ini menyerahkan diri. Beberapa kali polisi melakukan negosiasi dengan ulama setempat agar 26 orang ini segera menyerahkan diri. Namun, mereka menolak.
Situasi memanas usai eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka dihukum mati karena melakukan aksi pembantaian terhadap sejumlah warga muslim di sekitar Pesantren Wali Songo, di Desa Sintuwu Lemba, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, tujuh tahun lalu. Sehari usai eksekusi yang ditentang umat Kristiani itu, dua penduduk muslim tewas.
Polisi yang datang melakukan investigasi malah memicu kemarahan penduduk yang mayoritas muslim. Bentrokan pun terjadi dan berujung 17 warga ditangkap. Hubungan antara polisi dan masyarakat muslim Poso makin renggang.
Sehari berikutnya bom meledak di depan Gereja Kawua, Poso. Lima bom lainnya menyusul dalam beberapa pekan, namun tidak sampai memakan korban. Hingga akhirnya, pada 16 Oktober tahun lalu, seseorang menembak Pendeta Irianto Kongkoli di Palu.
Polisi menuding pelakunya berasal dari kelompok Tanah Runtuh. Upaya negosiasi agar ulama Tanah Runtuh menyerahkan para tersangka tak juga berhasil. Keluarga buron itu mengaku bersedia menyerahkan kerabatnya asalkan polisi memproses 16 nama yang disebut Tibo ikut terlibat penyerangan Pesantren Wali Songo, pada Mei 2000 silam.
Malam hari raya Idul Fitri atau sepekan setelah penembakan Pendeta Kongkoli, polisi melakukan razia di jalan-jalan sekitar Tanah Runtuh. Kedatangan polisi ini menimbulkan kecurigaan masyarakat hingga terjadi bentrokan. Dalam bentrokan itu, Saifudin, siswa Pesantren Al-Amanah, mati tertembak polisi.
Kematian Saifudin memicu amarah penduduk Tanah Runtuh. Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudy Sufahriadi, memerintahkan anak buahnya memblokade kawasan Tanah Runtuh agar kerusuhan tak menyebar. Masyarakat Tanah Runtuh kemudian menjadikan pos polisi di sana sebagai sasaran amuk. Sebanyak 16 polisi yang bertugas di sana terjebak dalam berondongan peluru dan batu.
Menurut laporan resmi polisi, dalam upaya evakuasi mereka mendapat perlawanan, tembakan, dan bom molotov. Mereka terpaksa membalas. Tembakan itu menewaskan Mislan Aminuddin dan anaknya yang berusia empat tahun. Esok harinya saat pemakaman, rombongan pengantar jenazah yang melewati kantor polisi selalu memberikan perlawanan dengan melempar batu ke arah polisi.
Suasana kembali memanas, Kamis dua pekan lalu. Detasemen Khusus Antiteror menyergap dua rumah di Gebang Rejo yang diduga ditempati Basri dan Dedi Parsan, dua di antara 26 buron. Penyergapan di rumah Basri tak memberikan hasil. Namun, di rumah Dedi Parsan, mereka menangkap Anang Mayetadu dan Paiman. Dedi Parsan tewas dalam penyergapan itu. Selain itu, Ustad Rian, pengajar di Pesantren Al-Amanah, juga menjadi korban.
Menurut Jamil, pemuda setempat, saat itu Rian berniat mencari tahu asal suara ribut-ribut di rumah Basri. Ternyata dia malah menjadi sasaran tembak. Sedangkan menurut versi polisi, Rian saat itu tampak melemparkan bom ke arah polisi yang sedang melakukan operasi.
Siang hari, rombongan pengantar jenazah Ustad Rian berpapasan dengan anggota polisi Bripda Dedi Hendra. Melihat polisi, rombongan itu mengeroyok dan menembak Dedi hingga tewas.
Ketegangan memuncak. Penduduk Tanah Runtuh kemudian memblokir semua akses masuk ke wilayah mereka. Selama sebelas hari polisi dan penduduk Tanah Runtuh saling berhadapan.
Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti, kembali mengupayakan negosiasi. Tuntutan penduduk Tanah Runtuh tak berubah. Mereka bersedia menyerahkan para buron asalkan polisi memproses 16 nama yang disebut-sebut Tibo.
Gagal negosiasi, akhirnya polisi melakukan penggerebekan besar-besaran, Senin pekan lalu. ”Terpaksa kami sapu, kami bersihkan,” kata seorang polisi. Saat itu sekitar 3.000 aparat kepolisian dibantu lebih dari 1.300 anggota TNI berada di Poso. ”Semua kita siapkan, tapi tidak perlu semuanya turun,” kata juru bicara polisi setempat, Muhamad Kilat. Sumber Tempo menyebut yang terlibat langsung sekitar 700 personel. Mereka terbagi dalam tiga lapis, termasuk tiga regu (36 orang) dari Detasemen Khusus Antiteror 88 yang melasak di ring pertama.
Hingga pekan lalu, dari 26 buron, masih ada 16 orang yang belum tertangkap. Ketika baku tembak pekan lalu, saat polisi mulai menguasai situasi, mereka lari ke arah perbukitan. Seorang ulama di Poso menyebut jumlah aparat keamanan terlalu berlebihan. ”Mereka (kelompok bersenjata) yang ikut melawan jumlahnya hanya sekitar 50 orang,” katanya.
Memang jumlah keseluruhan ”mujahidin” mantan pasukan perang muslim di Poso cukup besar. Namun mereka kini sudah menarik diri dari terlibat bentrokan karena saat ini bukan lagi situasi perang. ”Kalau kami turun semuanya, perang baru selesai paling tidak seminggu,” kata sumber ini.
Ulama ini yakin bahwa jumlah senjata yang dirampas tak seberapa. Mereka sengaja menyimpan senjata untuk berjaga-jaga. ”Kami hanya pakai untuk membela diri,” katanya.
Bupati Poso, Piet Inkiriwang, menyebut tak ada lagi konflik antaragama. Peristiwa pekan lalu itu hanya melibatkan sekelompok kecil orang yang di antaranya menjadi buron polisi. ”Itu pertikaian antara sekelompok kecil orang dan polisi,” katanya enteng. Sebagai kepala daerah, dia mengaku akan melakukan konsolidasi dengan mendorong terbentuknya forum-forum warga untuk membuka dialog.
Pemimpin Pesantren Al-Amanah, Haji Adnan Arsal, meminta polisi bertindak adil dalam menyelesaikan masalah. Di Tanah Runtuh mereka hanya berniat mengembangkan pendidikan dan mengasuh yatim piatu. Peristiwa adu tembak kemarin itu merupakan upaya masyarakat setempat dalam membela diri. ”Siapa yang bisa lemah lembut kalau kami diserang terus?” katanya. Kalau ingin aman, pemerintah harus menarik pasukan Detasemen Khusus Antiteror. ”Mereka ini yang membuat suasana menjadi keruh.”
Agung Rulianto (Poso), Wahyu Dhyatmika

No comments: