Tempo, Edisi. 26/XXXV/21 - 27 Agustus 2006
Ada Burung Menjemput Tibo
Tibo meminta keluarganya menjaga kebunnya. Ada kecemasan menjelang eksekusi itu, tapi eksekusi akhirnya batal.
SUARA cicit burung mengagetkan Fabianus Tibo, terpidana mati konflik Poso. Ia segera bergegas menuju pintu selnya di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. Ia kaget melihat seekor anak burung tergolek tak berdaya di depan selnya. Ia heran burung itu bisa masuk ke kamarnya. Apalagi, di sekeliling kamarnya tak ada pohon tempat burung berkumpul atau membuat sarang. Tibo memungut anak burung itu.
Sehari sebelumnya, Tibo juga dikejutkan dengan munculnya seekor burung berwarna cokelat. Juga di depan selnya. Selama beberapa detik, burung itu menatap ke arahnya sebelum akhirnya terbang. Peristiwa dua burung di depan selnya itu membekas di pikiran Tibo. ”Anak burung itu sampai sekarang dirawat Pak Tibo di selnya,” kata Roy Rening, pengacara Tibo, kepada Tempo.
Cerita soal burung itu disampaikan Tibo saat ibadah misa pada Jumat pagi, dua pekan lalu. Ketika itu, bersama Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva, ia tengah menunggu detik-detik eksekusi yang akan dilaksanakan pada Sabtu pukul 00.15. Ketiganya dijatuhi hukum-an mati karena terbukti membunuh puluhan orang dan merusak sejumlah rumah, termasuk rumah ibadah, saat konflik Poso meletus pada 2000 lalu.
Menurut Roy, ketika itu Tibo sangat serius menceritakan tentang burung yang mampir di selnya. Semua yang hadir pada misa itu menyimak cerita Tibo. Di ujung ceritanya, petani asal Desa Beteleme, Kabupaten Morowali, itu lantas berkelakar. ”Burung ini pertanda, bisa saja untuk menjemput saya, bisa juga membebaskan saya.”
Seusai ibadah, Nurlin Kasiala, i-stri Tibo, tak mampu menyembunyikan ke-sedihannya. Perempuan pendiam ini menatap suaminya lekat-lekat de-ngan air mata tertahan. Begitu pu-la Robert Tibo. Anak Tibo ini tak mampu membendung air matanya. ”Saya terharu, bapak berkali-kali mencium anak saya, cucu satu-satunya,” ujar Robert.
Mata Tibo memang terlihat me-rah, tapi ia tak menangis. ”Jaga ibumu dan istrimu. Pelihara k-ebun karena hanya itu yang saya titipkan,” ujarnya kepada Robert. Sedangkan Marinus menitipkan pe-san kepada Henrikus, sahabatnya. ”Lihat-lihat anakku nanti,” ujarnya.
Dominggus, yang masih lajang, juga tampak tenang. Padahal selama ini ia dikenal paling emosio-nal. Sehari sebelumnya, ia bahkan marah kepada pegawai Kejaksaan Negeri Palu. Bahkan segelas air kopi sempat ia lemparkan ke sang pegawai.
Tapi, hingga matahari tergelincir dan langit Palu menjadi gelap, persiapan eksekusi Tibo tak terlihat. Roy mencoba menghubungi telepon genggam Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Te-ngah, Jahja Sibe. Tak aktif. Begitu pula telepon genggam Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah Brigjen Oegroseno.
Saat jam menunjuk pukul 10 malam, tanda-tanda persiapan eksekusi masih tak terlihat. Penjagaan di sekitar penjara Petobo juga biasa-biasa saja. Mobil milik kejaksaan untuk membawa Tibo, Marinus, dan Dominggus ke tempat eksekusi juga tak muncul.
Ketika jam tepat menunjuk angka 11 malam, Roy semakin yakin eksekusi akan ditunda. Tapi, Robert masih terlihat khawatir. Telepon genggamnya yang terus berdering tak ia hiraukan. Sejam kemudian, pukul 00.15, Roy ber-anjak dari duduknya dan bergegas masuk ke penjara. Ia menanyakan kepastian eksekusi kepada seorang petugas. Petugas menggelengkan kepala. Tak ada perintah eksekusi malam itu.
Pecahlah tangis gembira dan ucapan syukur keluarga ketiga terpidana mati yang sejak pagi menunggu di penjara Petobo. Untuk sementara, mereka masih bisa bercengkerama, menghibur, dan menemani ketiga terpidana mati itu. Entah sampai kapan.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad
Monday, August 21, 2006
Posted @ 7:57 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment