SUARA PEMBARUAN DAILY
Tibo Cs Korban Sebuah Sistem
Oleh Antonius Sujata dan RM Surachman
Di Eropa, Amerika, dan Afrika ada pengadilan regional yang dapat mengkaji kembali (review) perkara-perkara pengadilan nasional. Di Asia pengadilan regional semacam itu belum ada bahkan mungkin hanya segelintir pakar hukum saja yang pernah memimpikan pembentukannya. Terlebih lagi Indonesia yang masih memberlakukan pemidanaan mati. Siapakah paling akhir yang dapat meninjau mereka yang dipidana mati seperti Tibo Cs, setelah segala upaya hukum yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia habis digunakan? Jawabnya: tidak ada!
Padahal ini menyangkut nyawa manusia. Jika ditemukan miscariage of justice atau putusan yang keliru di kemudian hari seperti dalam kasus Sengkon dan Karta, memang dapat diluruskan dan direhabilitasi. Tetapi dalam kasus pidana mati yang sudah terlanjur dieksekusi jelas tidak mungkin dikoreksi.
Satu-satunya cara, hanya dengan melakukan pengekangan diri di pihak eksekutor (Kejaksaan). Dalam hal ini, Jaksa Agung seharusnya mendengarkan segala pihak dan mempertimbangkan semua aspek secara saksama. Dalam perkara Tibo Cs, menurut laporan terdapat "pelaku-pelaku" lain yang dapat meringankan atau pun bahkan membebaskan mereka. Mengapa eksekusi tidak ditangguhkan sehingga pengadilan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kerusuhan Poso tersebut dapat dituntut dan diadili?
Jangan lupa, bahwa di bidang eksekusi pun Kejaksaan memiliki diskresi untuk menangguhkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap. Perluasan diskresi eksekusi Kejaksaan pernah diterapkan oleh Jaksa Agung Ismail Saleh dalam perkara Hariman Siregar.
Kami berharap tulisan ini tidak terlambat, dan Tibo Cs belum al- marhum, mudah-mudahan dapat menjadi bahan pertimbangan.Untuk waktu yang akan datang, Kejaksaan hendaknya jangan terburu nafsu melakukan eksekusi pidana mati. Bahkan di beberapa negara, Kejaksaan dapat menerapkan diskresi untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan dengan alasan yang benar-benar kuat, sekalipun bukan dalam hal eksekusi pidana mati.
Seperti diketahui dalam sistem hukum acara pidana dikenal adversary system/accusatoir sebagai lawan dari non-adversary system/ inquisitoir.
Menurut sistem pertama, pihak jaksa penuntut umum dan pihak terdakwa (didampingi penasihat hukumnya) bertarung di muka hakim. Sang hakim bersifat pasif, tidak aktif mengintervensi kedua belah pihak yang sedang saling melemahkan pembuktian yang diajukan, dan saling melemahkan kesaksian dari masing-masing pihak melalui cross-examination atau pemeriksaan silang.
Sedangkan sistem yang kedua, kedudukan tersangka (dibantu penasihat hukumnya) kurang sejajar dengan pihak jaksa penuntut umum. Lagi pula di persidangan, kedua belah pihak hanya dapat mengajukan pertanyaan melalui Hakim. Bahkan Hakim dapat bertindak sangat aktif untuk memeriksa, menegur, maupun menekan terdakwa dan saksi-saksi yang dianggapnya bicara berbelit-belit. Hukum acara pidana di Indonesia sebelum 1981 bersifat inquisitoir.
Aktif
Dalam pada itu, bukan rahasia umum lagi bahwa Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana hanya lahirnya saja bersifat adversary. Hal ini terlihat, di mana meja Jaksa Penuntut Umum dijauhkan dari hakim dan dihadapkan serta sejajar dengan meja Penasihat Hukum. Akan tetapi semangatnya sudah musnah entah ke mana. Para penyelenggara peradilan pidana (penyelidik/penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim), dengan tanpa disadari, jalan pikirannya sudah kembali ke sistem inquisitoir.
Apalagi memang menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, hakim masih aktif melakukan pemeriksaan seperti di jaman Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR). Padahal apabila benar-benar memang sistem adversary diterapkan, hakim Indonesia seharusnya pasif dalam melakukan pemeriksaan selama persidangan. Yang bertarung (to contest) adalah pihak penuntut umum dan pihak terdakwa/penasehat hukumnya saja. Benar bahwa di dunia sekarang ini tidak ada yang betul-betul sepenuhnya bersifat adversary (accusatoir) maupun inquisitoir.
Hal yang paling tidak seimbang dalam praktik adalah dari sejak penyidikan/penuntutan, hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan sering ditolak. Penolakan ini bahkan sampai di tahap persidangan. Pada sistem inquisitoir saja, yang umumnya masih berlaku dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Eropa Kontinental antara lain: Prancis, Belgia, Belanda, dan Jerman, diutamakan sekali keseimbangan antara pihak jaksa penuntut umum dengan tersangka/terdakwa/penasihat hukumnya, dikenal sebagai equal arms. Maka selalu pihak yang disangka/didakwa melakukan tindak pidana boleh mengajukan saksi-saksi yang meringankan dirinya.
Dalam kasus Tibo Cs, sejak persidangan di Pengadilan Negeri telah menyangkal keras atas dakwaan jaksa dan bahkan mengajukan 19 nama-nama yang diperkirakan pelaku kerusuhan sesungguhnya namun tidak pernah dikabulkan. Bila peran 19 nama pelaku tersebut dapat terungkap maka hal itu bukan saja meringankan para terpidana mati, bahkan akan dapat mengungkap kebenaran dan keadilan sejati dengan membebaskan mereka.
Belum lagi praktik yang sudah lama berkembang, baik penyidik kepolisian maupun penyidik kejaksaan (termasuk penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi), sering memeriksa seseorang sebagai sak- si, kemudian ditetapkan sebagai terdakwa. Bukankah sebenarnya orang tersebut berisiko mengalami self-incrimination, yaitu memberikan keterangan yang akan memberatkan dirinya? Padahal prinsip self-incrimination dilarang, baik oleh Ketentuan Hak Asasi Manusia Internasional maupun oleh Undang-undang Domestik yang berlaku di Indonesia (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Sekalipun banyak keluhan ketidakpuasan, terutama dari pihak terdakwa, sampai usianya seperempat abad, ketentuan-ketentuan yang menjadi sasaran kritik tersebut tidak pernah diamendemen.
Kekeliruan
Terkadang sering merenung dan merasa ngeri. Seandainya ada suatu sistem eksaminasi dari pihak independen, jangan-jangan putusan pengadilan di Indonesia yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), secara mayoritas merupakan miscariage of justice, yaitu putusan akibat suatu kekeliruan besar (great error) dalam peradilan pidana, terutama vonis pemidanaan terhadap seorang yang tidak bersalah yang dalam istilah lebih populer adalah peradilan sesat.
Padahal dalam adversary system menganut suatu asas bahwa lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah dari pada meng- hukum seorang saja yang tidak bersalah.
Berdasar penelitian para pakar Sistem Peradilan Pidana, persidangan perkara di pengadilan yang bersifat adversary, sulit untuk membuktikan terdakwa bersalah. Akibatnya banyak terdakwa yang bebas. Sebaliknya, melalui persidangan pengadilan yang bersifat inquisitoir, membuktikan terdakwa bersalah tidak terlalu sulit, sehingga hampir semua terdakwa yang diajukan ke persidangan pengadilan dijatuhi pidana.
Dengan kata lain, semua terpidana mati baik yang belum dieksekusi, seperti Tibo Cs, maupun yang sudah dieksekusi, potensi untuk keliru sungguh tidak kecil oleh karena sistem, aturan serta praktik peradilan yang mendukung potensi tersebut amat kondusif.
Semua yang uraian di muka adalah mengenai hukum acara pidana (adjective criminal law). Di bidang hukum pidana materiil (substantive criminal law) pun perlu diperbaiki. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang sekarang masih berlaku (sejak 1918) secara subtansial tidak jauh berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda (yang berlaku sejak 1860), dasar filsafatnya adalah ultimum remedium atau digunakan sebagai upaya akhir. Tetapi di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sudah lebih dari 60 tahun merdeka, menjadi bersifat premium remedium. Contoh konkret, Bung Hatta diadili di Belanda diputus bebas, sedangkan Bung Karno diadili di Indonesia dihukum pidana penjara, bahkan dibuang ke luar Jawa.
Mudah-mudahan pada masa yang akan datang, hasil persidangan perkara-perkara berat, tidak lagi seperti dalam perkara subversif zaman Orde Baru. Pada masa itu setiap tersangka yang sudah diajukan sebagai terdakwa ke pengadilan hampir pasti terbukti bersalah dan dijatuhi pidana. Padahal dalam pengadilan perang Nürenberg sekalipun, yang mengadili penjahat-penjahat perang Nazi, ada beberapa yang mendapat putusan bebas.
Dilihat dari sistem hukum kita yang demikian itu, maka penangguhan eksekusi pidana mati, khususnya menyangkut Tibo Cs sungguh amat bijaksana serta manusiawi. Lebih dari itu, tentu kami per-caya bahwa hati nurani masih menjadi landasan para penanggung jawab eksekusi, meski peringatan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus baru saja berlalu.
Penulis adalah Ketua/Anggota Komisi Ombudsman Nasional
Last modified: 23/8/06
Thursday, August 24, 2006
Posted @ 8:32 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment