Friday, August 11, 2006

Tiga pemimpun Agama Minta Pertimbangkan Ulang Eksekusi Mati Tibo Cs
Kamis, 10 Agustus 2006 - 20:31 wib

MANADO, KOMPAS – Tiga pemimpin agama di Sulawesi Utara dan Tengah menyampaikan seruan kemanusiaan, minta pihak berwenang dan khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempertimbangkan kembali rencana pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus dan Dominggus. Alasannya karena novum baru yang ditemukan melalui sidang Pengadilan Negeri Palu tertanggal 9 Maret 2006 lalu sampai hari ini belum dipakai oleh penegak hukum guna mencari kebenaran materiil atas kasus tersebut.

Dalam surat seruan kemanusiaan tertanggal 10 Agustus 2006, ketiga tokoh agama Sulawesi Utara, masing masing Uskup Manado yang sekaligus membawahi wilayah pelayanan Sulawesi Utara dan Tengah Mgr Joseph Suwatan, Ketua Mejelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara KH Arifin Asegaf dan President of Asia Fellowship of Mission 21 Partner Churches Dr Nico Gara menyampaikan lima seruan.

Mereka menyatakan, hak untuk hidup adalah hak yang asasi, yang tidak dapat dirampas oleh siapapun juga sebagaimana dijamin dalam konvensi dunia tentang hak asasi manusia dan harus pula dijamin dalam Undang-Undang Republik Indonesia serta diakui dalam tatanan hidup bermasyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan ber-Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut mereka, pelaksanaan hukuman mati kepada ketiga Tibo Cs belum berkeadilan karena belum didapati kebenaran materiil, antara lain tidak dipertimbangkannya novum dalam sidang PK yang dilaksanakan oleh Tim Lima Hakim Agung pada tanggal 9 Mei 2006, dan lebih sungguh tidak masuk akal menuduh Tibo cs menyerang kompleks Moengko, yang notabene adalah kompleks peribadatannya sendiri. Demikian juga tempat sekolah dan asrama anak-anak mereka sendiri.

Dengan demikian sekurang-kurangnya materi tuduhan tentang peristiwa di kompleks Moengko pada tanggal 23 Mei 2000, pasti tidak benar. Dengan ini menyatakan menolak pelaksanaan hukuman mati Tibo cs yang diyakini belum berkeadilan dan belum didapati kebenaran materiil. Karena itu ketiganya menghimbau agar pelaksanaan hukuman mati, hendaknya menunggu kepastian penyelesaian RUU KUHP yang baru, yang pada saat ini sedang dalam penyelesaian oleh para wakil rakyat di DPR.

Mereka berpendapat, kesalahan dalam mengeksekusi mati nyawa atau hidup seseorang, yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, akan membawa dampak kepada citra pengadilan dan penegakan hukum serta nama baik baik Bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa.

Ketua Komisi I DPR RI Theo L Sambuaga menjawab wartawan di Manado tentang eksekusi mati Tibo, Marinus dan Dominggus mengatakan, semestinya pemerintah demi pertimbangan kemanusiaan mempertimbangkan kembali permohonan grasi kedua yang disampaikan Tim Pengacara Tibo Cs. Alasan lainnya, menurut Theo karena sejak putusan pengadilan itu jatuh, banyak sekali faktor kontroversi yang bermunculan dan belum dipertimbangkan.

Apalagi melihat kehidupan nyata Tibo Cs yang amat bersahaja, jari tangannya tidak lengkap, dan tidak berpendidikan lalu kemudian dinyatakan sebagai otak atau dalang utama pembantaian manusia. “Pada prinsipnya kita semua tidak setuju dengan pembantaian manusia, tetapi dalam menentukan kesalahan hendaknya dilakukan dengan proses yang cermat agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari,” tegas Sambuaga. (FR)

No comments: