Tempo, Edisi. 26/XXXV/21 - 27 Agustus 2006
Di Tengah Eksekusi yang Tertunda
Eksekusi tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso ditunda. Pejabat daerah takut kerusuhan meletup.
KEMARAU terasa makin ”p-anas” di Tentena. Sejak awal pekan lalu, bendera setengah tiang berkibar di seluruh penjuru ibu ko-ta Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu. Lapangan bola di kota itu juga dipenuhi massa, yang tiap hari menggelar protes atas rencana eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, pada Sabtu pukul 00.15 waktu setempat di Palu, ibu kota provinsi itu.
Ketiga terpidana yang tersangkut kasus pembunuhan dan kekerasan dalam kerusuhan Poso jilid tiga, atau kerusuh-an tahun 2000, diputuskan dieksekusi mati, setelah upaya peninjauan kembali (PK) mereka yang kedua ditolak Mahkamah Agung pada Mei lalu. Sebelumnya, permohonan grasi ketiganya juga ditolak Presiden, dan permohonan PK yang pertama tidak diterima Mahkamah Agung, April 2006.
Makin dekat saat eksekusi, makin emo-sional pula demonstrasi di Tentena. Para pengunjuk rasa tidak terima ketiga pria itu dihukum sebagai ”pengge-rak” kerusuh-an Poso. Gelagat ancaman ke-rusuhan ini membuat Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigjen Oegroseno, ”merapat” ke Tentena dari Palu, Rabu pekan lalu. Ia memilih memantau keamanan langsung di lapangan.
Kepada Tempo, kalangan gereja di Tentena menyatakan Oegroseno gagal meyakinkan Pendeta Rinaldy Dama-nik untuk membantu ”menjaga” massa bila eksekusi dilaksanakan. Ketua Gereja- Kristen Sulawesi Tengah (GKST) itu meng-aku enggan bertanggung jawab atas reaksi warga di Tentena. ”Saya tak bisa membayangkan jika jenazah Tibo lewat di Tentena ketika dibawa ke kampungnya di Morowali,” kata Pendeta Damanik.
Dua hari menjelang eksekusi, ratus-an warga Kristen dari Pendolo, wilayah di perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, ikut bergabung. Mereka melempari kantor polisi di Tentena, juga menggembok pintu keluar di Kantor Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena, sekalian menyandera Mathius, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri di Tentena. Malam harinya, sejumlah pohon di daerah Pamona Utara dan Selatan ditebang untuk merintangi jalan.
Lain di Tentena, lain pula di Palu. Menjelang jam eksekusi, tiga peti mati dan satu tim tenaga medis diangkut ke kejaksaan tinggi, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Lembaga Pemasyarakatan Petobo, tempat ketiga terpidana diisolasi tiga hari sebelumnya. Jaksa penuntut kasus Tibo, La Anatara dan Iskandar Sukirman, tampak lelah di kantor jaksa tinggi. ”Saya belum pulang sejak pagi, ini masih pakai seragam,” kata Anatara. Kepala Kejaksaan Negeri Palu, Basri Akib, juga terlihat gelisah. Mereka cuma menanti jemputan regu penembak Brimob dari Polda Sulawesi Tengah.
Satu jam sebelum eksekusi, seorang wartawan mendapat pesan pendek pe-nun-daan eksekusi dari kantornya di Jakarta. ”Siapa bilang eksekusi ditunda?” kata Basri ragu, ketika diberi tahu. Ia lalu mengontak Jaksa Tinggi Yahya Sibe, yang sedang berada di Jakarta. Sepuluh menit kemudian, ia terlihat turun dari lantai dua. ”Benar, eksekusi ditunda, begitu kata Jaksa Tinggi kepada saya,” kata Basri sambil berlalu pulang.
l l l
KEPADA Maria Hasugian dari Tempo, Brigjen Oegroseno menyatakan, ”Se-bagai Kapolda, saya yang menentukan standar keamanan.” Putra seorang polisi itu mengaku meminta pembatalan eksekusi setelah berkonsultasi dengan Jaksa Tinggi Sibe, Jumat petang pekan lalu. ”Ada informasi yang saya dapat soal Tibo. Jadi, saya laporkan situasi keamanan kurang menguntungkan,” ia menambahkan.
Oegroseno juga mengaku langsung melaporkan hal yang sama ke Kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Pembicaraan itu dilakukannya di tengah perjalanan dari Tentena ke Desa Taripar, di dekat Kecamatan Bateleme, Kabupaten Morowali, kampung asal Tibo. Malam itu, massa yang berkumpul di Tentena dilaporkan sudah mencapai hampir seribu orang.
Menurut aturan, penentu dan penanggung jawab eksekusi adalah jaksa tinggi dan Kepala Polda setempat. Jaksa bertugas menyiapkan terpidana, sedangkan polisi mencari tempat dan waktu eksekusi yang ”aman”, serta regu tembak.
Malam itu, perkembangan pelaksana-an eksekusi Tibo dkk. dilaporkan dalam rapat kabinet oleh Jenderal Polisi Su-tanto. Rapat juga ”menyinggung” surat terbaru dari Vatikan yang diterima kantor Presiden siang harinya, tatkala Pre-siden Susilo Bambang Yudhoyono sedang meninjau lokasi lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.
Jenderal Polisi Sutanto kemudian menyatakan, ”Eksekusi ditunda setelah 17 Agustus.” Alasannya, untuk memberi waktu kepada masyarakat dan pejabat di daerah merayakan hari kemerdekaan. ”Eksekusi akan tetap dilakukan,” Sutanto menambahkan. ”Selambat-lambatnya akan ditentukan tiga hari setelah 17 Agustus.” Wewenang menentukan waktu yang baru berada di tangan jaksa tinggi dan Kapolda setempat.
l l l
PENUNDAAN eksekusi atas trio terpidana ini sudah keenam kalinya. Eksekusi seharusnya dilakukan segera setelah Maret 2004, setelah permohonan PK para terpidana kelahiran Nusa Tenggara Timur itu ditolak Mahkamah Agung. Hukuman ditunda karena mereka meng-ajukan grasi ke Presiden. Ketika grasi ditolak, September 2005, mereka meng-ajukan lagi permohonan PK kedua.
Ketika semua upaya hukum dipastikan kandas, pada April 2006, ketiga-nya tak juga dieksekusi. Brigjen Oegro-seno memutuskan mengkonfrontasi ketiga terpidana dengan 16 nama yang disebut- Tibo sebagai ”dalang sebenarnya” kerusuhan Poso.
Daftar nama itu ternyata ”diterima”- po-lisi. ”Dari 16 nama itu, kini ka-mi fokus ke sepuluh nama saja,” kata Oe-gro-seno, pekan lalu. Tiga bulan lalu, polisi me-rekonstruksi penyerangan di Pondok Pesantren Walisongo di Desa Sintuwu- Lemba, Kecamatan Lage, Poso, Mei 2000, dengan membongkar kuburan mas-sal di Kilo Sembilan—lokasi penguburan korban.
Menurut polisi asal Semarang ini, se-karang situasi Poso relatif tenang untuk ”membongkar” misteri kerusuhan se-lama 1999-2000 itu. ”Orang berta-nya siapa pelaku sebenarnya. Saya tidak ingin ada orang memutarbalikkan fakta. Kasus ini harus diungkap,” kata pria yang pernah menjadi Kepala Polsek Menteng, Jakarta itu.
Selain polisi, kejaksaan juga mengaku ”berhati-hati” dalam kasus Tibo. ”Jaksa Agung sengaja membiarkan PK kedua, yang sebenarnya tak punya dasar hukum,” kata Bambang Widjojanto, staf ahli Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, kepada Tempo. ”Barangkali ada keputusan baru dari Mahkamah Agung. Ternyata tidak ada.” Ketika upaya hukum habis, menjadi kewajiban jaksa untuk mengeksekusinya. ”Posisi kejaksaan memang jadi terjepit,” kata mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia itu.
Dengan kata lain, MA membenarkan putusan hakim Pengadilan Negeri Palu, yang menyatakan Tibo dkk. bersalah atas sangkaan pembunuhan, pengania-yaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru. Majelis Pengadil-an Negeri Palu, yang dipimpin hakim Sudarmo, meyakini sejumlah saksi yang mengaku melihat ketiganya memimpin dalam penyerangan itu. Hukuman diperberat karena Tibo, 61 tahun, pernah dihukum empat tahun dalam kasus pembunuhan seorang transmigran asal Bali, pada 1994.
Di luar pengadilan, Tibo disebut-sebut punya andil dalam kerusuhan Poso. Warga lokal kerap menyebutnya sebagai Panglima Pasukan Kelelawar, salah satu pasukan kelompok ”Merah”. Sebutan ini ditolak Tibo di persidangan. Petani ini ditangkap Satuan Tugas TNI Cinta Damai di Desa Jamur Jaya, Beteleme, Kabupaten Morowali, pada akhir Juli 2000. Lima hari kemudian Dominggus da Silva (42 tahun) dan Marinus Riwu (48 tahun) menyerahkan diri di Polsek Bateleme.
Akankah eksekusi ditunda lagi me-nunggu pelaku kerusuhan Poso ter-ung-kap? ”Tanya saja kepada Ka-polri,” jawab Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, ber-kelit.
Arif A. Kuswardono, Darlis Muhammad (Poso)
Monday, August 21, 2006
Posted @ 7:56 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment