Friday, August 18, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
GKST Poso Kirim Surat ke Presiden Tolak Hukuman Mati

[PALU] Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, Poso mengirim surat resmi ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya menolak segala bentuk hukuman mati di Indonesia termasuk kepada tiga terpidana kasus kerusuhan Poso Fabianus Tibo, Dominggis da Silva dan Marinus Riwu.
Majelis Sinode GKST berpendapat hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 huruf a UD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukuman mati terhadap terpidana apapun tidak akan menjawab masalah kekerasan dan berbagai bentuk kejahatan di Indonesia.
"Karena itu kami menolak eksekusi hukuman mati terhadap semua pihak yang telah dan akan divonis hukuman mati di seluruh Indonesia, dan meminta agar vonis hukuman mati di Indonesia segera dihapuskan," demikian bunyi surat yang ditandatangani Ketua Umum Sinode GKST Pdt. Rinaldy Damanik MSi dan Sekretaris Umum Pdt. Irianto Kongkoli MTh.
Terkait dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Tibo Cs, Sinode GKST dalam surat dengan nomor istimewa/9/06 tanggal 16 Januari 2006 itu dinyatakan, putusan pidana mati tersebut akan berimplikasi pada pendapat yang menyesatkan, bahwa yang bertanggungjawab atas kerusuhan Poso (1998-2000) hanyalah pribadi, keluarga dan kelompok masyarakat tertentu.
Keputusan hukuman mati terhadap Tibo Cs juga tidak menjamin terciptanya rekonsiliasi yang abadi dan keamanan masyarakat.
Kasus kerusuhan Poso termasuk Tibo Cs, harus diteliti kembali sesuai dengan fakta dan hukum yang berlaku, serta mengupayakan solusi yang benar-benar dapat menjamin rasa keadilan seluruh komponen masyarakat, terciptanya rekonsiliasi yang abadi, kesejahteraan dan keamanan masyarakat.
Dalam surat yang tembusannya dikirim ke Pembaruan di Palu, Jumat (18/8) disebutkan bahwa surat tersebut merupakan aspirasi dari seluruh warga GKST dari 25 klasis yang tersebar di Sulawesi Tengah.
Sudah Siap
Sementara itu, Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno maupun Kajati Sulteng M Yahya Sibe yang ditanya wartawan di sela-sela HUT Proklamasi, Kamis (17/8) menyatakan, walaupun sempat tertunda namun eksekusi Tibo Cs tetap akan dilakukan sesuai keputusan.
Saat ini katanya keduanya, tinggal menunggu hari yang tepat. "Regu tembak sudah siap, kita tinggal menunggu hari yang tepat," kata Oegroseno. Kendati begitu, Yahya Sibe mengakui sampai saat ini belum ada penjadwalan ulang waktu eksekusi dan hal ini masih akan ia koordinasikan sesuai ketentuan yang berlaku. [128/E-8]
Surat untuk Presiden
Perkenankan saya mengucapkan terima kasih atas penundaan eksekusi mati orang tua saya, Fabianus Tibo, om Marinus dan Kakak Dominggus. Perlu Bapak ketahui orang tua saya adalah korban ketidakadilan sebuah proses peradilan yang sesat. Saya membaca tuduhan jaksa dalam dakwaan sangat ironis sekali. Bapak saya dituduh membunuh, menganiaya lebih dari 200 orang serta membakar lebih dari 5.400 rumah dimana disebutkan juga melatih 700 orang dengan senjata api lengkap dari tanggal 14 Mei 2000 sampai dengan 20 Mei 2000. Tetapi di lain hal, fakta-fakta di persidangan sesuai BAP sangat berbanding terbalik dengan tuduhan jaksa.
Bukti-bukti di persidangan hanya berupa mesin ketik, batu, parang, sedangkan pernyataan saksi di persidangan tak satu pun pernah melihat Bapak Tibo secara langsung membunuh tetapi hanya mendengar dari orang lain. Bahkan yang lebih parah lagi perbuatan bapak saya tidak bisa dibuktikan dengan cara apa pun dan bagaimana dia membunuh dan membakar rumah yang begitu banyak.
Bapak Presiden yang terhormat, tuduhan berat itu yang buat bapak saya dihukum mati, padahal bapak saya adalah petani miskin yang buta huruf yang bertransmigrasi ke Beteleme kira-kira 300 km dari Poso. Kehidupan sehari-hari bapak saya di samping petani adalah menganyam yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Di samping Bapak Tibo adalah seorang ayah yang saleh dan aktif dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
Perbuatan yang dituduhkan sangat jauh dari sikap keseharian Bapak Tibo oleh karena saya berpendapat bapak Tibo sedang menghadapi tragedi kemanusiaan, keadilan dan kebenaran yang paling parah di Bumi Persada ini. Kami sudah letih selama enam tahun mencari keadilan. Namun belum kami dapatkan sampai saat ini.
Surat ini adalah surat terbuka dari kami anak bangsa dan keluarga, kepada Bapak Presiden Republik Indonesia yang saya cetuskan dari nurani yang terdalam.
Palu 15 Agustus 2006
Robertus Tibo
Last modified: 18/8/06

No comments: