Monday, August 21, 2006

Tempo, Edisi. 26/XXXV/21 - 27 Agustus 2006
Seruan dari Takhta Suci

Sepucuk surat dari pemimpin umat Katolik di dunia diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan hanya untuk Tibo dan kawan-kawan.
..... Di dalam nama suci Paus Benedik-tus XVI, kembali saya mengatakan kepada yang mulia, untuk meninjau kasus, dalam kaitan pengampunan kepada tiga warga Katolik di ne-gara Anda, itu amat berharga. Kami percaya seruan ini akan menemukan hasil positif.
Bunyi penggalan surat telegram itu datang nun jauh dari Vatikan. Surat diteken Kardinal A-ngelo Sodano, sekretaris negara itu, bertanggal 11 Agustus 2006. Isi-nya, Paus Benediktus XVI meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengampuni tiga terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu.
Inilah kedua kalinya Tibo dan kawan-kawan mendapat dukungan kemanusia-an dari Vatikan. Maret lalu, Paus meng-utus Uskup Agung Manado Mon-sinyur Josef Suwatan me-nemui ketiga terpidana itu di Lembaga Pema-syarakatan Petobo, Sulawesi Tengah. Paus mengirim salib dan rosario buat mereka- se-bagai penguatan menghadapi kasus ini.
Pesan dari Vatikan itu menimbulkan riak pada sebagian masyarakat. Mereka menganggap pesan itu campur tangan politik. ”Surat Paus itu memberi tekanan,” kata Mahendradatta di Jakarta, pekan lalu. Juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia Fauzan Al-Anshori, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan sejumlah anggota Dewan di Senayan turut mempertanyakan motif surat tersebut.
Maklum bila membuhulkan reaksi-. -Sehari seusai surat Paus tiba adalah jadwal eksekusi mati Tibo dan kawan-kawan. Pemerintah ternyata menunda tiga hari hingga selesai Hari Kemerdekaan RI ke-61. Menteri Poli-tik, Hu-kum, dan Keamanan Widodo A.S.- membe-ri alasan agar masyarakat bisa tenang memperingati hari kemerdekaan.
Menteri Luar Negeri Hassan Wira-juda menyangkal surat itu alasan penundaan eksekusi. Surat senada dari Vatikan banyak diterima Presi-den. Ada dari berba-gai negara, organisasi ma-syarakat maupun perorang-an. ”Kami sudah menjawab sebelumnya, dan siap menjelaskan kapan pun,” kata Hassan.
Bagi pemerintah, surat itu tak bisa mengubah keputusan hukum bagi Tibo dan kawan-kawan. Peme-rintah tetap menerapkan hukum positif negeri ini dan menye-rahkan keputusan pada kepolisian dan kejaksaan di Sulawesi Tengah.
Sekretaris Eksekutif Hubungan Antar-Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia, Romo Antonius Benny Susetyo, menjelaskan surat itu lazim dilayangkan oleh Paus bila memberi seruan kemanusiaan. ”Surat itu tidak pernah punya pikiran politik, murni dari seorang rohaniwan,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Sumber Tempo di lingkungan rohaniwan Katolik mengatakan surat itu inisiatif langsung dari Vatikan. Tidak ada upaya Keuskupan Agung Jakarta meminta pemimpin Katolik di dunia itu turun tangan. ”Tidak pernah ada permintaan itu,” kata si sumber.
Seruan senada dengan itu bukan per-tama kali untuk Tibo dan kawan-kawan. Pendahulu Benediktus, Paus Yohanes Paulus II, pernah memprotes keras Amerika Serikat saat menyerang Irak. Paus juga menyurati Gubernur Texas, George Bush Junior, pada Agustus 1999 agar mengampuni Larry Keith Robinson, 42 tahun, dari hukuman mati. Ro-bin-son dipidana membunuh lima orang, ter-masuk bocah laki-laki 11 tahun.
Pada Maret 1998, Paus minta pimpin-an militer Nigeria, Jenderal Sani Abacha, meringankan hukuman 60 politisi. Di antaranya calon presiden yang ”se-harusnya” menang pemilu 1993, Moshood Abiola, dan sejumlah pimpinan partai. Di Nigeria ini, 50 persen penduduknya Islam dan hanya 11 per-sen Katolik. Setahun berikutnya, Paus meminta keringanan bagi Ali Agca, pe-nembak dia pada 13 Mei 1981.
Benny Susetyo tak ingin surat Paus memicu konflik SARA. Surat itu tak be-da dengan seruan kemanusiaan berbagai elemen masyarakat, menolak eksekusi Tibo cs. Satu di antaranya surat kepada Presiden dari lima pemimpin agama: KH Abdurrahman Wahid (Islam), Pendeta Andreas A. Ye-wangoe (Kristen), W.S. Budi S. Tanuwibowo (Hindu), Kardinal Julius Darmaatma-dja (Katolik), dan Bhiku Dharmavimala (Buddha), pada April silam. ”Saya percaya ada keputusan bijaksana dari Pre-siden,” kata Benny.
Eduardus Karel Dewanto dan Oktamanjaya Wiguna

No comments: