Tuesday, August 29, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Jangan Tergesa-gesa Mengeksekusi Tibo Cs!
Franz Magnis Suseno SJ

asus Tibo cs. menjadi semakin rumit, tercecer, bahkan eksplosif. Semula masalahnya masih agak sederhana: Keadilan terhadap kurban pembantaian di km 9 dekat Poso. Dan keadilan, yah, kebenaran, terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu yang di semua tingkat pengadilan diputuskan menjadi penanggungjawab pembantaian tersebut.
Kalau putusan pengadilan-sesudah permohonan grasi ditolak oleh Presiden-kemudian mulai dipersoalkan maka demikian karena muncul beberapa alasan serius untuk meragukan bahwa Tibo cs memang melakukan apa yang mendasari putusan hukum mati itu.
Tetapi kemudian masalahnya merebak ke mana-mana. Para kurban khawatir bahwa pembantaian tidak ditebus. Sebaliknya ada yang meyakini bahwa Tibo cs tidak terlibat sama sekali dan hanya dija- dikan tumbal. Masalah menjadi "SARA": Kalau tiga terhukum mati Katolik tidak dieksekusi, menjadi masalah kalau Amrozi cs yang Muslim dieksekusi.
Tuntutan untuk menunda eksekusi Tibo cs. menjadi tuntutan untuk menghapus hukuman mati an sich. Para uskup Indonesia mengambil posisi ini. Mereka tidak hanya minta agar Tibo cs. tidak dieksekusi, melainkan juga agar semua ekskusi hukuman mati lain, termasuk terhadap Amrozi cs, dibekukan. Pemerintah sebaliknya khawatir akan kepastian hukum apabila putusan pengadilan yang sudah sah lalu tidak dieksekusi.
Akhirnya telegram Paus Benedikt XV, kepada Bapak Presiden, betapa pun baik maksudnya, bisa mempertajam konfrontasi primordialistik (Katolik membela Tibo cs karena mereka Katolik, Islam membela Amrozi cs karena mereka Islam).
Dalam situasi cukup kacau ini sebaiknya kita coba mengangkat beberapa pertimbangan mendasar, meskipun tetap pimpinan negara akan harus mengambil sikap yang tidak gampang.
Pertama, Paus Benedikt. Apakah Beliau bi-sa menolak permintaan bantuan moral dari orang-orang umatnya yang khawatir bahwa bisa terjadi kejahatan hukum terhadap tiga orang terpidana itu? Dan apakah tepat seandai-nya Beliau juga minta penundaan eksekusi Amrozi cs?
Bukankah Amrozi cs-itulah perbedaan cukup mendasar dengan Tibo cs -mengakui mengakui sendiri perbuatan yang dituduhkan kepada mereka dan tidak minta bantuan siapa pun agar hukuman mati?
Permintaan Implisif
Padahal Paus-yang pasti tahu tentang Amrozi cs-dalam telegramnya menambah bahwa, Gereja Katolik sudah pada banyak kesempatan bicara menentang hukuman mati". Bukankah itu sebuah permintaan implisit agar Amrozi cs pun tidak dihukum mati?
Apalagi Paus, beda dengan sementara pendukung Tibo cs, menghindar sama sekali dari memper- soalkan keputusan hukum terhadap Tibo cs. Jadi ia justru tidak mencampuri proses hukum di Indonesia.
Tetapi barangkali pertimbangan paling dasar adalah: Apa pun implikasinya, dan betapa pun penundaan hukuman mati Tibo cs bisa menimbulkan macam-macam kesulitan, kita orang Indonesia, sebagai bangsa yang beradab, tidak mengeksekusi orang yang belum pasti bersalah!
Tetapi bukankah semua jalur hukum sudah dilalui? Bagaimana kalau setiap keputusan "final" pengadilan kemudian bisa ditunda eksekusinya hanya karena ada yang meragukannya kemungkinan kecil yang bersangkutan tidak melakukan apa yang dituduhkan?
Tetapi di sini kita harus konsekuen. Sangkalan yang wajar ini kandas dalam hal hukuman mati! Karena semua hukuman lain masih dapat direvisi, tetapi hukuman mati tidak.
Itulah konsekuensi bagi negara yang mempertahankan hukuman mati: Proses pengadilan tidak boleh menjadi kata akhir selama masih ada secuil kemungkinan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Kalau itu mengganggu kepastian hukum maka hapuslah hukuman mati!
Tetapi membunuh orang meskipun ada keragu-raguan tentang kebersalahannya, hanya karena "jalan hukum sudah selesai dilewati" adalah tindakan barbar. Negara- negara yang mempertahankan hukuman mati perlu menyadari hal itu kalau harkat kemanusiaan yang adil dan beradab mau mereka klaim.
Kesempatan Baik
Sesudah pertimbangan prinsipil ini, saya mau menarik perhatian pada satu segi serius dalam pelaksanaan pengadilan terhadap Tibo cs. Di tengah-tengah konflik yang masih merajalela, di tahun 2001, mereka diadili di kota Poso yang waktu itu merupakan teritori satu dari dua pihak yang berperang.
Apakah mungkin dalam tekanan massa yang sangat emosional (hal mana bisa dimengerti) para hakim melakukan pengadilan yang betul-betul objektif?
Dan bagaimana keadilan dalam perkara Tibo cs, tiga orang transmigran dari Flores itu, dapat men-jadi transparen bagi mereka yang sesuku dan segama dengan mereka, kalau kita ingat bahwa selama seluruh konflik di Maluku dan Poso, selama tiga tahun lebih, dengan sekitar delapan ribu kurban, hanya tiga orang itulah yang dijatuhi hukuman mati?
Kalau secara politis pembatalan eksekusi hukuman mati terhadap Tibo cs dianggap sulit, maka itulah kesempatan baik untuk membekukan untuk sementara segala pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, termasuk terhadap Amrozi cs.
Maka amat tepat kalau pelaksanaan eksekusi Tibo cs-dan silahkan juga terhadap Amrozi cs-ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Rasanya tak ada jalan ke luar lain yang wajar.
Penulis adalah Rohaniwan,
guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Last modified: 29/8/06

No comments: