Tempo, Edisi. 37/XXXV/06 - 12 November 2006
Dari Reruntuhan Tanah Runtuh
Jaringan Hasanuddin dituduh polisi memantik konflik di Sulawesi Tengah.
Pada mulanya Tanah Runtuh adalah nama sebuah kampung santri di Desa Gebang Rejo, Poso. Sekarang polisi memakainya sebagai identitas kelompok yang dituding melakukan mutilasi, penembakan, dan aksi teror.
Itulah kelompok Tanah Runtuh. Polisi menuduh kelompok ini bertanggung jawab memantik petaka berdarah di malam takbiran lalu di Gebang Rejo. Tudingan itu tentu saja disangkal para tetua agama setempat. Namun, polisi kukuh. Senin pekan lalu, ditebarlah nama serta foto para anggota kelompok ini. ”Jumlahnya 29 orang,” kata juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Muhammad Kilat.
Tidak semuanya anggota kelompok Tanah Runtuh. Sebagian berasal dari kelompok Mujahidin Kayamanya. Namun, berasal dari kelompok mana pun, kata polisi, mereka dibuhul oleh satu nama: Hasanuddin.
Pria ini adalah tersangka kasus mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen di Poso, Oktober 2005. Ia dan empat anggotanya sudah dibekuk polisi pada 25 Maret lalu di Palu dan akan segera disidangkan di Jakarta.
Jaringan Hasanuddin, menurut Kilat, bertanggung jawab atas berbagai kekerasan dan teror di seantero Poso. Kelompok Tanah Runtuh, misalnya, terlibat kasus mutilasi, penembakan Pendeta Susianti Tinulele serta jaksa Pengadilan Negeri Palu, Ferry Silalahi. Kelompok ini juga dituding menembak Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah, pada 16 Oktober. ”Mereka punya senjata otomatis dan bisa merakit bom,” ujar Kilat.
Masih kata polisi, dalam aksinya kelompok Tanah Runtuh mendapat pasokan dana dari Mujahidin Kayamanya. Kelompok ini menggalang dana dengan cara merampok. Dalam tiga tahun terakhir mereka diduga merampok tiga kali di tempat berbeda.
Cerita lebih lengkap didapat dari Nassir Abbas, bekas Mantiqi III Jemaah Islamiyah Sulawesi Tengah. Menurut dia, dua kelompok itu sejatinya binaan Jemaah Islamiyah. JI berada di Poso sejak Juli 2000, setahun setelah warga Kristen dan Islam mulai baku bunuh.
Ke Tanah Runtuh barisan Jemaah Islamiyah datang, mendiami kampung muslim yang ditinggal mengungsi penghuninya. Di sana mereka memberikan pelatihan militer dan berdakwah kepada anak-anak muda muslim. Mereka kemudian dibawa ke Poso. Setiap kali, 40 orang diberangkatkan. Pengikutnya meluas ke desa-desa lain.
Damai singgah sebentar di Poso setelah Perjanjian Malino 21 Desember 2001. Namun, gelombang kedatangan anggota JI masih berlanjut, termasuk Hasanuddin yang datang setahun kemudian. Nassir—waktu itu dia komandan JI wilayah Sulawesi Tengah—menunjuk pria Jawa ini untuk memimpin Poso. ”Saya pilih dia untuk memulihkan ekonomi Poso.”
Lima bulan kemudian, pada April 2003, Nassir ditangkap polisi dengan tuduhan terorisme. Damai pergi lagi dari Poso. Hasanuddin, ujar Nassir, beraksi melakukan pengeboman dan pembunuhan. Perjanjian Malino yang diperbarui pada 2004 tak ampuh membujuknya. Menurut Nassir, ”Hasanuddin tidak puas dengan Deklarasi Malino.”
Pembela Hasanuddin, Achmad Michdan, membenarkan kliennya tidak puas dengan Deklarasi Malino. Anggota Tim Pengacara Muslim itu mengatakan, aksi oleh kliennya merupakan protes atas penganaktirian muslim Poso, termasuk dalam pengusutan kasus-kasus kerusuhan di wilayah itu.
Pengacara muslim lainnya, Tadjwin Ibrahim, menyatakan laskar Mujahidin sudah bubar setelah Deklarasi Malino. Bila ada yang merampok dan menodong, itu bukan langkah pengumpulan dana untuk kelompok. Itu, ujarnya, ”Tindakan individu karena kebutuhan ekonomi.”
Eduardus Karel Dewanto dan Darlis Muhammad (Palu)
Tuesday, November 07, 2006
Posted @ 8:59 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment