Berjamaah Bersama Buron
Tempo, Edisi. 40/XXXV/27 November - 03 Desember 2006
Buron tersangka kasus Poso menolak menyerah. Ada yang lenggang-kangkung di tengah kota.
Terik benar matahari siang itu, Jumat dua pekan lalu. Umat muslim baru saja turun dari masjid raya di kota Poso setelah menunaikan salat, di antaranya ratusan polisi bergegas ke markas. Para polisi itu tak sadar seorang buron utama berada di tengah mereka. Dialah Irawanto Asapa, 24 tahun.
Irawanto adalah satu dari 28 nama yang ada di daftar pencarian orang polisi. Dia dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan Pendeta Susianti pada 2004. Dia juga disangka membunuh wartawan Poso Post I Wayan Suryasa tiga tahun sebelum itu.
Pada Jumat itu, Irawanto salat di masjid raya. Ia sempat mengobrol dengan seorang politikus daerah. Dengan sepeda motor, pemuda yang ada di peringkat 10 teratas daftar buron itu melintas di depan Markas Kepolisian Resort Poso di Jalan Pulau Sumatra.
Kepada Tempo, politikus yang sempat berbincang dengan Irawanto mengaku membujuk pemuda itu agar menyerah, tapi tegas-tegas ditolak. ”Lebih baik mati daripada menyerah. Kematian itu rezeki,” aktivis partai Islam itu menirukan ucapan sang buron.
Dua puluh delapan orang dinyatakan sebagai buron pada awal November. Mereka disangka terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan di Poso. Gambar dan nama mereka disebar kepada khalayak dengan helikopter. Mereka disebutkan berasal dari Kelompok Tanah Runtuh dan Mujahidin Kayamanya.
Tokoh utama dua kelompok ini, menurut polisi, adalah Hasanuddin. Ia ki-ni sedang diadili di Jakarta sebagai terdakwa pelaku mutilasi tiga siswi di Poso pada Oktober 2005. Dua kelompok itu juga dituduh bertanggung jawab atas penembakan Ferry Silalahi dan Pendeta Irianto Kongkoli.
Seorang tersangka, Andi Ilalu alias Andi Bocor, menyerahkan diri kepada polisi pada 14 November lalu. Dia kemudian dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Namun, empat hari kemudian ia dilepas dan diterbangkan kembali ke Poso dengan pesawat khusus milik Polri.
Beberapa kali polisi memberi tenggat kepada para buron untuk menyerah. Tenggat itu tak pernah digubris. Toh Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Badrodin Haiti masih optimistis. ”Kami masih mengedepankan sikap persuasif agar mereka mau menyerah.”
Sebagian besar buron diyakini masih ada di Poso. Sisanya lari ke Makassar atau menyeberang ke Jawa. Seorang aktivis Komite Aksi Penanggulangan Akibat Krisis, suatu kelompok yang aktif mengurusi konflik Poso, menuturkan bahwa para buron umum bersembunyi di tempat tinggal keluarga mereka.
Para buron itu juga ”diawasi” oleh anggota lain yang tidak diburu. Para ”pengawas” menjaga dengan cermat agar keluarga buron tidak melapor ke polisi. ”Begitu ada yang mencurigakan, si tersangka diminta pindah ke tempat lain,” kata aktivis yang sempat dihukum dua tahun itu.
Dua pekan lalu, Brigjen Badrodin bertemu dengan sejumlah tokoh muslim Poso. Ia meminta bantuan mereka membujuk para buron agar menyerah. Ustad Ahmad, salah seorang pemuka agama setempat, ganti meminta polisi agar mengusut kasus lain yang memakan korban muslim sebagai syarat menyerahkan buron.
Pemerintah daerah kota itu bergerak. Bupati meminta Amrullah Sia, Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Poso, untuk mendekati keluarga buron, tapi hasilnya tetap nihil. ”Mereka trauma karena ada polisi menyiksa warga yang ditangkap,” tutur Amrullah.
Salah satu cara polisi menjaring para buron adalah dengan menggelar razia di jalan-jalan. Semua akses menuju Poso dijaga ketat. Yang jadi soal, polisi tak mengenal betul 28 orang yang dicari. Maka Irawanto pun bisa salat berjamaah bersama Pak Polisi.
Budi Setyarso, Darlis (Palu)
Tuesday, November 28, 2006
Posted @ 12:21 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment